0
beritakorupsi.co – Pemerintah sepertinya harus membuat aturan yang lebih jelas tentang jumlah uang dalam kasus tindak pidana Korupsi Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Tim Saber Pungli, Khususnya Kepolisian berdasarkan Perpres No. 86 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saberpungli) untuk diadili di Pengadilan Tipikor.

Sebab, sejak Presiden Ir. Jokowi mengeluarkan Perpres No. 86 Tahun 2016 tentang Sapu Bersih Pungutan Liar pada Nopember 2016, Kepolisian Khususnya di Jawa Timur telah banyak melakukan OTT, namun yang ditangkap hanya ‘sipenerima’ hadiah atau janji, dan dijerat dalam pasal 11 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Anehnya, ‘sipemberi’ hadiah atau janji terhadap PNS atau penyelenggara negara yang diatur dalam pasal 5 atau 13 UU Korupsi tak “diselamatkan”. Apakah memang Tim Saber Pungli hanya menangkap PNS atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji yang ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan ?

Masyarakat menduga, OTT yang dilakukan oleh Tim Saber Pungli tanpa melihat jumlah uang yang diteriam oleh seorang PNS atau penyelenggara negara sebagai penerima, “bisa disalah gunakan untuk menjebak seseoarang”.

Yang lebih anehnya lagi, jumlah uang sebagai barang bukti (BB) dalam operasi OTT tersebut hanya dibawah 3 juta rupiah. Sementara anggaran yang dikeluarkan negara untuk Operasi Tangkap Tangan hingga penuntutan ke Pengadilan Tipikor bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Seperti kasusu OTT yang dilakukan oleh Pokja penindakan dari Unit Pemberantasan Pungli (UPP) Satreskrim Polres Pasuruan terhadap Pitono selaku Pj. Kepala Desa (Kades Nogosari), Kecamatan Pandaan Kabupaten Pasuruan dengan barang bukti berupa uang sebesar Rp 3 juta, pada Senin, 27 Pebruari 2017 lalu.

Pitono terjaring OTT oleh Unit Pemberantasan Pungli (UPP) Satreskrim Polres Pasuruan, karena meminta atau menerima uang sebesar Rp 3 juta dari Dedi Zulmi Arman untuk biaya pengurusan surat keterangan Waris, dan proses perubahan nama wajib pajak terutang (SPPT) yang diajukan oleh Dedi Zulmi Arman, agar Pitono menandatangani surat keterangan Waris dan proses perubahan nama wajib pajak terutang (SPPT).

Atas kesepakatan pihak keluarga, pada tanggal 27 Pebruari 2017 sekiat kemudian Dedi Zulmi Arman menyerahkan uang sebesar Rp 3 juta berikut syarat-syarat pengurusan surat keterangan Waris dan perubahan nama dalam SPPT yang diminta Pitono sebagai persyaratan, diantaranya 2 lembar surat pemberitahuan SPPT bumi dan bangunan NOP 35.14.1 20.013.009-0040.0 atas nama Markasan, dan NOP 35.14.120.013.007-0067.0 atas nama Rusmin, 5 lembar fotocopy Kartu Keluarga, 9 lembar fotocopy KTP, 1 lembar surat permohonan KTP.

Selanjutnya, JPU dari Kejari Bangil pun menyeret Pitono ke Pengadilan Tipikor Surabaya untuk diadili dihadapan Majelis hakim. Setelah menjalani proses persidangan, tuntutan JPU terhadap terdakwa pun sama seperti terdakwa dalam kasus perjudian yang diatur dalam pasal 303 KUHP.

Senin, 19 Pebruari 2018, JPU Ananto Tri Sudibyo, Athemas Sawong dan Joni Eko Waluyo membacakan surat tuntutannya terhadap terdakwa Pitono dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Suarabaya yang diketuai Hakim Rochmat.

Dalam surat tuntutannya, JPU memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan tindak pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya yang memeriksa dan mengadili perkara teersebut memutuskan; Menyatakan terdakwa Pitono telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaan yang memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri nilainya kurang dari 5 juta rupiah sebagaimana diatur dan diancam pasal 12 huruf e juncto pasal 12 A ayat (2) UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama.

“Agar Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 7 bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp 10 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan,” ucap JPU.

Atas tuntutan tersebut, Majelis Hakim memberikan kesempatan terhadap terdakwa untuk menyampaikan pembelaan (Pledoi)-nya pada persidangan yang akan datang.

“Anda diberi waktu seminggu untuk menyampaikan pembelaan suaudara,” peritah Ketua Majelis Hakim.

Usai persidangan, salah seorang Tim JPU mengatakan kepada wartawan media ini, bahwa kasus ini adalaha hasil OTT Polisi.

“Ini OTT Polisi,” katanya singkat. (Redaksi).

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top