0
#Terkait keterangan palsu dalam persidangan Kasus pekara Kurupsi Suap Ketua DPRD Malang dalam pembahasan APBD-P Pemkot Malang TA 2015#
Slamat Rusdi

beritakorupsi.co – Sejak KPK manangani kasus Korupsi di Jawa Timur dan di sidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya pada tahun lalu, JPU dari lembaga anti rasuah ini sudah dua kali mendapat perintah dari Majelis Hakim terkait keterangan tidak benar atau keterangan saksi palsu di persaidangan, sesuai pasal 22 jo pasal 35 UU RI Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Yang pertama, dalam kasus Korupsi suap PT PAL Indonesia (Pesero), JPU KPK diperintahkan oleh Majelis Hakim dalam persidangan untuk memeriksa saks-saksi selaku rekanan di PT PAL, namun hingga saat ini tak ada kelnajutannya.

 Kali ini untuk yang kedua, JPU dari lembaga superbody ini kembali mendapat perintah dari Ketua Majelis Hakim untuk memeriksa saksi terkait keterangan palsu dalam palsu dalm persidangan.
Keterangan palsu dalam persidangan dari saksi di Pengadilan Tipikor Surabaya tidak hanya kali ini saja, namun tak satu pun yang belum pernah ditindak lanjuti oleh JPU atas perintah Ketua Majelis Hakim. “Seakan perintah Majelis Hakim kepada JPU dalam persidangan hanya sebuah gertakan bagi saksi”

Ini mungkin untuk yang Tiga kalinya dalam kasus Korupsi yang ditangani JPU KPK di Indonesia, terkait keterangan palsu dari saksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor. Yang pertama yaitu mantan anggota Komisi II DPR RI Miryam S Haryani, yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan memberi keterangan tidak benar atau keterangan palsu saat persidangan kasus  Korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto dan sudah di Vonis 5 tahun penjara pada tanggal 31 Nopember 2017 lalu.

Lalu apakah JPU KPK akan melaksanakan perintah Ketua Majelis Hakim Pengdilan Tipikor SUrabaya untuk memeriksa dan menetapkan saksi sebagai tersangka dalam pasal 22 jo pasal 35 UU No 31 Thn 1999 ?
Masyarakat penggiat anti Korupsi mendudukung agar keberadaan lembaga anti rasuah ini tetap ada, karena dianggap bertindak adil dalam menangani kasus Korupsi di Indonesia. Namun disisi lain, DPR RI “menginginkan” agar KPK di “bubarkan” dengan berbagai alasan para wakil rakyat yang berkantor di gedung Senayan Jakarta.

Catatan redaksi beritakorupsi.co, bahwa kasus Korupsi yang ditangani KPK di Jawa Timur sepertinya tidak “terang bendarang”, seperti kasus gratifikasi Wali Kota Madiun Bambang Irianto (saat ini terpidana 6 tahun). Dalam kasus ini, JPU KPK tidak mengadirkan pejabat Forpinda (Forum Pimpinan Daerah) sebagai saksi di persidangan, karena para pejabat itu diuga menerima aliran dana dari Wali Kota.

Kasus Korupsi suap Operasi Tangkap Tangan (OTT) Direksi PT PAL pada Maret tahun lalu. Dalam kasus ini, 4 tersangka/terdakwa sudah divonis dan saat ini menjadi terpidana, namun JPU KPK tidak menghadirikan pihak Mabes TNI AL Cilangkap sebagai saksi kepersidangan terkait penerima Dana Komando sebesar Rp 5,3 milliar dari PT PAL.

Tidak hanya itu. Salah Satu “pelaku utama” dalam kasus suap PT PAL yaitu pemilik PT Perusa Sejati Kirana Kotama dan Ashanty Sales Inc hingga saat ini tak diminta pertanggung jawabannya bersama dengan Tiga Direksi PT PAL dan 1 dari PT Perusa Sejati yang saat ini berstatus terpidana.

Kemudian dalam kasus Korupsi suap OTT Buapti Nganjuk Taufiqurrahman. Dalam kasus ini KPK menetapkan 5 tersangka/terdakwa. Lagi-lagi JPU KPK tidak menghadirkan salah satu pejabat dari TNI di Nganjuk yang diduga  menerima aliran dana sebesar Rp 100 juta.

Kasus suap OTT Ketua Komisi B DPRD Jatim. Dalam kasus ini, 7 terdakwa yang terdiri dari 2 Kepala Dinas, 2 anggota DPRD (Ketua dan wakil Ketua Komisi B) Jatim dan 3 pegawai bahwan (1 ajudan Kepala Dinas dan 2 staf Komisi B) yang saat ini sudah berstatus terpidana, namun 4 kepala Dinas Pemprov Jatim dan beberapa anggota Komis B DPRD Jatim terkait kasus yang sama hingga saat ini juga belum jelas.

Anehnya, saat KPK melakukan OTT terhadap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya (saat ini sudah terpidana 4 tahun) pada tahun lalu, hanya dituntut 5 tahun penjara, sama dengan tuntutan JPU KPK terhadap Ketua dan 2 wakil Ketua DPRD Mojokerto, sementara wakil ketua Komisi B DPRD Jatim dituntut 9 tahun.

Yang lebih anehnya lagi, saat KPK melakukan OTT terhadap Ketua Mahkamah Komsitusi, JPU KPK menuntut pidana seumur hidup.
 Jumat, 22 Pebruari 2018, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya H.R Unggul Warso Mukti, memerintahkan JPU KPK untuk mengembangkan dan memeriksa 6 (Enam) orang saksi, terkait keterangan tidak benar atau keterangan palsu sesuai pasal 22 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam sidang kasus Korupsi suap Ketua DPRD Malang Moch. Arif Wicaksono sebesar Rp 700 juta supaya menyetujui Perubahan APBD Kota Malang TA 2015 lalu.

Pasal 22 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 35 ayat (1); Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.

Ke- 6 orang saksi itu adalah Cipto Wiyono (mantan Sekda Kota Malang yang saat ini menjabat Kepala Dinas PU dan Tata ruang Pemprov. Jatim), Mohan Katelu., SH (Ketua Fraksi PAN DPRD Malang), Saiful Rusdi., M.Pd (Anggota DPRD Malang Fraksi PAN), Tri Yudiani (anggota DPRD Malang Fraksi PDIP), Slamet., SE (Ketua Fraksi Gerindra DPRD Malang) dan Priyatmoko Oetomo (anggota DPRD Malang Fraksi PDIP).

Ke- 6 pejabat yang digaji dari keringat rakyat ini dihadirkan JPU KPK, Ahmad Burhanudin, Andhi Kurniawan, Dame Maria Silaban ke persidangan untuk terdakwa Jarot Edi Silistiyono yang menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (PUPPB) Pemerintah Kota (Pemkot) Malang, dalam kasus Korupsi suap Ketua DPRD Malang Moch. Arif Wicaksono.
 
Atas pertanyaan JPU KPK dalam persidangan dihapan Majelis Hakim, 5 anggota dewan yang terhorma ini tak mengakui telah menerima uang Pokir (Pokok pokok pikiran) sebesar Rp 15 juta bagi Ketua Fraksi dan Rp 12,5 juta bagi setiap anggota DPRD Kota Malang terkait pembahasan Perubahan ABPD tahun anggaran (TA) 2015 lalu yang diajukan Wali Kota Malang Moch. Anton dan uang “sampah” sebesar Rp 5 juta setiap anggota Dewan, sehingga total yang diterima sebesar Rp 17,5 juta. Sementara Ketua DPRD (saat ini sebagai tersangka) memperoleh jatah sebesar Rp 100 juta.

“Tidak ada” jawab para saksi. Pada hal, JPU KPK telah memutar rekaman pembicaraan antara saksi dengan tersangka Moch. Arif Wicaksono terkait uang Pokir dalam pembahasan APBD-P agar disetuji.

Pembahasan APBD murni menjadi APBD-Perubahan yang diajukan Pemkot Malang terjadi penurunan anggaran sebesar 70 milliar di SKPD Dinas PU terkait proyek Jembatan Kedungkandang Malang.

Dari data yang dimiliki beritakorupsi.co terkait proyek Jembatan Kedungkandang di Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Malang menelan anggaran sebesar Rp 54.183.811.000 dari APBD sejak tahun 2012 lalu, yang dikerjakan oleh PT Nugraha Adi Taruan (Group PT Surya Graha Semesta) Jalan Rungkut Megah Raya, Surabaya, berdasarkan surat penunjukan Penyedia No. 056/BM-SDA/35.73.301/2012 tanggal 11 April 2012 dan Surat Perjanjian No. 056/75/BM-SDA/35.73.301/2012 tanggal 1 Mei 2012 serta Surat Perintah MulaiKerja (SPMK) No. 056/83/BM-SDA/35.73.301/2012 tanggal 26 Juni 2012. Dan proyek tersebut hingga saat ini macet alias magkrak.

Tak ketinggalan Cipto Wiyono, mantan Sekda Kota Malang yang saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas PU dan Tata Ruang Pemprov Jatim juga tak mengakui menerima aliran dana sebesar Rp 200 juta yang diserahkan Tedy Sujadi Sumarna.

Pada hal, dua anggota Dewan (Subur Triono dari F-PAN dan Suprapto Ketua Fraksi PDIP) dan Tedy Sujadi Sumarna sendiri telah mengakui dalam persidangan sebelumnya, terkait aliran dana yang diterima Cipto Wiyono dan uang Pokir serta uang “sampah” yang juga diteriam semua anggota Dewan Kota Malang.

Tapi para saksi ini tetap bersekukuh negatakan tak menerima uang haram tersebut. BAP saksi bahkan rekaman pembicaraan melalui telepon seluler yang diputar JPU KPK saat itu juga tak diakui.

Lima anggota Dewan ini tak mengakui, tetapi keterangan Cipto kepada Majelis Hakim mengatakan, bahwa uang pokir itu  supaya pembahasan APBD lancar.

“Yang diserahkan 700 juta, itu masih kurang. Awalnya akan dibagi rata. Pokir itu pokok pokok pikiran, supaya pembahasan lancar. Tetapi realisasinya saya nggak tau,” mantan Sekda ini.

Saat Penasehat Hukum terdakwa Jarot, Haris menanyakkan Cipto Wiyono terkait uang 2 juta yang diantarkan Tedi, Cipto tak mengakui. Namun mantan staf ahli Gubenur bidan Politik dan Hukum ini mengakui, bahwa pergeseran APBD-P di SKPD Dinas PU terkait Proyek Jembatan Kedungkandang Malang.

“Itu tidak benar. Uang itu saya serahkan ke Pak Arif,” kata Cipto.

Pada hal dalam rekam pembicaraan antara Ketua DPRD dengan Jarot yang diputar JPU KPK mengatakan, Moch. Arif Wicaksono menyuruh Jarot agar mengatakan kepada anggota dewan bila ada yang menanyakkan terkait uang yang dua ratus juta tersebut seakan-akan sebagai pajak PPh. Masuk akalkah uang “haram” dikenakan pajak PPh ?. 

Yang “memalukan” bagi saksi Mohan Katelu sebagai sarjana hukukum (SH) ini, saat JPU KPK bahkan Ketua Majelis Hakim menegur dengan keras serta memerintahkan Mohan untuk membacakan pasal 22 junckto pasal 35 UU RI No. 31 Thn 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Sudara saksi. Saudara boleh membantah tetapi 2 saksi sebelumnya sudah mengakui. Pasal 22 Undang Undang Tipikor ancamannya minimal 3 tahun penjara. Sini sini sini, ini baca yang keras,” perintah Ketua Majelis Hakim terhadap Mohan. Mohan pun menghadap Ketua Majelis Hakim dan menerima buku UU dan membacanya dengan keras sambil duduk.

Wajah para polotikus ini terlihat pucat, dan bahkan tangan kanan Saiful Rusdi terlihat gemetaran saat memegang Microfon Khusus merekam hasil persidangan ketiak menjelaskan terkait uang yang diterimanya dari anggota Dewan lainnya setelah diantarkan kerumahnya.

“Saya tidak tahu berapa jumlahnya karena uang itu berteteran diatas meja. Saya dikasih tau mertua, ada uang diantarkan teman. Saya tinggal serumah dengan mertua,” kata Saiful dengan tangan gemetaran.

Yang “memalukan” lagi keterangan saksi Slamet selaku Ketua Fraksi Gerinda. Ternya selama menjadi anggota DPRD Malang ternyata hanya makan gaji buta alias jarang ngantor tapi lancar meneriam gaji dan uang “haram” lainnya.

“Saya memang jarang ngantor,” akunya jujur. Inilah pengakuan jujur sekalian pengakuan “konyol” seorang anggota Dewan. Betapa mudahnya para anggota Dewan ini memperoleh uang selain gaji resmi, sementara rakyat diluar sana masih banyak yang tak dapat tidur nyenyak, karena sewaktu-waktu mereka akan emnghadapi “algojo” Sat Pol PP untuk menggusur tempat berteduhnya karean dianggap liar dinegeri sendiri.

Usai persidangan, salah seorang dari Tim JPU KPK saat ditanya wartawan media ini terkait perintah Ketua Majelis Hakim mengatakan, akan mempelajari dan melaporkannya dulu keatasan.

“Ia nanti kita bahas bersama tim dan kita laporkan dulu ke atasan,” JPU KPK Andhi Kurniawan.

Kasus ini bermula pada tanggal 25 Juni 2015, bertempat di ruang rapat paripurna DPRD Kota Malang, dilakukan rapat paripurna pertama dengan agenda penyampaian sambutan Walikota Malang dalam pengantar konsep kesepakatan persamaan antara Pemkot  Malang dengan DPRD Kota Malang tentang kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara (PPAS) P-APBD Tahun Anggaran 2015.

Pada tanggal 6 Juli 2015, sebelum dimulainya rapat paripurna dengan agenda penyampaian pendapat badan anggaran DPRD Kota Malang, dan pendapat Fraksi terhadap konsep kesepakatan bersama antara Pemkot Malang dengan DPRD Kota Malang, tentang kebijakan umum anggaran (KUA) dan PPAS P-APBD Tahun Anggaran 2015, dilakukan pertemuan antara Walikota Malang Moch. Anton, Wakil Wali Kota Malang Sutiadji bersama-sama dengan terdakwa Jarot Edy Sulistiyono dan Cipto Wiyono dengan Ketua DPRD Kota Malang Moch. Arif Wicaksono dan Ketua Fraksi PDIP DPRD Kota Malang Suprapto, bertempat di ruang kerja Ketua DPRD Kota Malang.

Pada pertemuan tersebut, Moch. Arif Wicaksono meminta Moch. Anton untuk memberikan uang imbalan dengan istilah uang “Pokir” anggota DPRD Kota Malang, agar pembahasan P-APBD Tahun Anggaran 2015 berjalan lancar dan tidak ada intrupsi atau halangan dari DPRD Kota Malang, sehingga dapat diberikan persetujuan P-APBD Tahun Anggaran 2015. Moch. Anton menyanggupinya Dengan mengatakan, nanti uang “pokir” akan disisipkan oleh Cipto dan Djarot.

Menindaklanjuti pertemuan tersebut, Cipto Wiyono meminta terdakwa agar stafnya yaitu Tedy Sujadi Sumarna yang menjabat Kepala Bidang (Kabid) PUPPB Kota Malang menemui Cipto Wiyono terkait dengan penyiapan uang untuk anggota DPRD Kota Malang, guna memperlancar persetujuan P-APBD Tahun Anggaran 2015.
Kemudian terdakwa memanggil Tedy sujadi Sumarna untuk menemui Cipto Wiyono di ruang Sekda Kota Malang. Tedy Sujadi Sumarna menghadap Cipto Wiyono dan mendapat perintah untuk meminta uang kepada para rekanan pemborong di Dinas PUPPB Kota Malang sebesar Rp 700 juta, untuk diberikan kepada Moch. Arif Wicaksono guna mendapatkan persetujuan P-APBD Tahun Anggaran 2015, dan Tedy Sujadi Sumarna menyanggupinya. Selanjutnya Tedy Sujadi Sumarna melaporkannya kepada terdakwa, dan terdakwa meminta Tedy Sejadi Sumarna segera melaksanakan perintah Cipto Wiyono untuk mengumpulkan uang yang dimaksud.

Pada tanggal 8 Juli 2015, bertempat di ruang rapat paripurna DPRD Kota Malang, dilakukan rapat paripurna dengan agenda penyampaian sambutan Walikota Malang dalam menghantar rencana perubahan daerah (Perda) Kota Malang tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015.

Pada tanggal 13 Juli 2015 pagi hari, bertempat di Kantor Dinas PUPPB Kota Malang, terdakwa menerima uang sebesar Rp 700 juta dari Tedy Sujadi Sumarna yang dikumpulkan dari para rekanan, dan kemudian terdakwa melaporkan hal tersebut kepada Cipto Wiyono.

Pada tanggal 17 Juli 2015 sekitar pukul 10.00 WIB, Moch.Arief Wicaksono menghubungi Cipto Wiyono, menanyakan kepastian ada tidaknya uang Pokir yang dimintanya untuk DPRD Kota Malang, yang kemudian dijawab, bahwa dananya sudah tersedia. Selanjutnya, sekitar pukul 12.00 WIB, Moch. Arif Wicaksono bersepakat dengan Cipto Wiyono melakukan penundaan agenda pengambilan keputusan DPRD, untuk persetujuan Raperda Kota Malang tentang perubahan APBD Tahun Anggaran 2015, dari tanggal 14 Juli 2015 menjadi tanggal 22 Juli 2015 atau 24 Juli 2015 dengan alasan, pengambilan keputusan terlalu cepat dan tidak wajar apabila pembahasan Raperda APBD Tahun Anggaran 2015 hanya satu minggu, walaupun Moch. Anton menghendaki persetujuan raperda APBD Tahun Anggaran 2015 dilakukan tanggal 14 Juli 2015 atau sebelum lebaran, karena jika pengambilan keputusannya dilakukan setelah lebaran, di khawatirkan DPRD Kota Malang berubah pikiran.

Pada tanggal 14 Juli 2015 sekitar pukul 13.00 WIB, Moch. Arief Wicaksono menghubungi Cipto Wiyono, meminta realisasi uang pokir untuk DPRD Kota Malang yang kemudian oleh Cipto Wiyono menyampaikan, bahwa uang akan segera diserahkan oleh terdakwa. Sekitar pukul 14.00 WIB, terdakwa menghubungi Moch. Arif Wicaksono dan menanyakan, ke mana penyerahan uang Pokir sebesar Rp 700 juta. Atas arahan Moch. Arif Wicaksono, uang itu pun diantarkan terdakwa ke rumah dias Moch. Arif Wicaksono di  Jalan Panji Suroso No 7, Kecamatan Blimbing Kota Malang, dengan terlebih dahulu memisahkan uang sebesar Rp 100 juta untuk bagian Moch. Arif Wicaksono selaku Ketu DPRD Kota Malang, dan sisanya sebesar Rp 600 juta untuk bagian seluruh anggota DPRD Kota Malang di bungkus tersendiri.
 
Kemudian pada pukul 15.00 WIB, terdakwa meminta Tedy Sujadi Sumarna mengantarkan dan menyerahkan uang tersebut kepada Moch. Arif Wicaksono di rumah diasnnya dengan mengatakan, “ada titipan dari Pak Kadis” dan kemudian dibalas oleh Moch. Arif Wicaksono dengan ucapan terimaskasih. kepada terdakwa bahwa uang tersebut sudah diserahkan kepada Moch. Arif Wicaksono.

Setelah menerima uang dari terdakwa, Moch. Arief Wicaksono memberitahu Suprapto, bawa uang Pokirnya sudah diterima, dan meminta Suprapto untuk  datang ke rumah dinasnya saat itu juga. Sebelum Suprapto dating, Moch. Arif Wicaksono terlebih dahulu mengambil uang bagiannya sebesar Rp 100 juta, sementara yang Rp 600 juta tetap dalam kardus. Setelah Suprapto datang, Moch. Arif Wicaksono meminta Suprapto untuk menghubungi para Wakil Ketua dan Ketua Fraksi DPRD, agar datang ke rumah dinasnya. Para Wakil Ketua dan Ketua Fraksi DPRD Kota Malang yang datang, adalah Wiwik Hendri Astuti (Wakil Ketua DPRD), Rahayu Sugiarti (Wakil Ketua DPRD), Suprapto (Ketua Fraksi PDIP), Sahrawi (Ketua Fraksi PKB), Heri Sugiantono (Ketua Fraksi Partai Demokrat), Sukarno (Ketua Fraksi Golkar), Mohan Katelu (Ketua Fraksi PAN),  Selamat (Ketua Fraksi Gerindra), Heri Pudji Utami (Ketua Fraksi PPP – Nasdem),  Ya'qud Ananda Gudban (Ketua Fraksi Hanura – PKS) dan Tri Yudiani (Komisi D/Fraksi PDIP).

Selanjutnya, Moch. Arif Wicaksono membagikan uang sebesar Rp 600 juta kepada para Wakil Ketua dan Ketua Fraksi DPRD untuk diberikan kepada seluruh anggota DPRD yang berjumlah 45 orang, yang masing-masing untuk Wakil Ketua DPRD  dan Ketua Fraksi sebesar  Rp 15 juta, dan untuk maing-masing anggota sebesar Rp 12.500.000.

Pada tanggal 22 Juli 2015, dilaksanakan kegiatan penyampaian pendapat akhir Fraksi terhadap Raperda APBD Tahun Anggaran 2015, yang akhirnya menyetujui rancangan APBD tahun 2015 menjadi P-APBD tahun 2015 Kota Malang. Persetujuan tersebut dituangkan dalam keputusan DPRD Kota Malang Nomor 188./4/48/35.73.201/2015 tanggal 22 Juli 2015 tentang persetujuan penetapan Raperda Kota Malang, tentang perubahan APBD Tahun Anggaran 2015 menjadi Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang tentang P-APBD Tahun Anggaran 2015. Kemudian diterbitkan Perda Kota Malang Nomor 6 tahun 2015 tentang perubahan APBD Tahun Anggaran 2015 pada tanggal 14 Agustus 2015.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top