0
beritakorupsi.co – Bupati Nganjuk Taufiqurrahman kembali mengalami amnesia alias lupa saat ditanya JPU (Jaksa Penuntut Umum) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tipikor Surabaya, pada Senin, 12 Pebruari 2018

Memang kata lupa, tidak tahun dan tidak ingat seringkali diucapkan saksi maupun terdakwa saat ditanya oleh JPU maupun Majelis Hakim dalam dipersidangan. Apakah lupa benaran atau hanya sekedar lupa untuk menutupi kasus yang sebenarnya ? Sulit memang dibuktikan, karena Pengadilan Tipikor belum punya alat tes kejujuran agar kasus yang disidangkan itu akan lebih jelas.

Kehadirian pertama Taufiqurrahman ke Pengadilan Tipikor Surabaya yang dihadirkan JPU KPK pada Senin, Senin, 29 Januari 2018, bukan untuk diadili dalam kasus Korupsi suap yang terjaring OTT oleh KPK pada tahun lalu, melainkan sebagai saksi untuk terdakwa M. Bisri selaku Kabag Umum RSUD Kertosono Nganjuk, dan Harjanto selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk.

Dalam persidangan yang diketuai Majelis Hakim I Wayan Sosisawan saat itu, Taufiqurrahman lebih banyak menjawa lupa, saat JPU KPK Fitroh Rohcahyanto, Ahmad Burhanudin, Hery BS Ratna Putra, Arif Suhermanto, Joko Hermawan, Andhi Kurniawan dan NN Gina Saraswati menhajukan pertanyaan terkait “syukuran” alias uang yang diterimanya dari para pejabat dilingkungan Pembkab Nganjuk melalui Bisri.

M. Bisri dan Harjanto (termasuk Suwandi dan Ibnu Hajar perkara terpisah) “terseret” ke penjara dan diadili di Pengadilan Tipikor terkait pemberian “syukuran” alias uang suap terhadap Tufiqurrahman melalui Ibnu Hajar dan Suwandi, sebagai imbalan dari promosi dan mutasi jabatan eselon III dan IV di lingkungan RSUD dan Dinas lain di Kabupaten Nganjuk.

Pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan JPU KPK sesuai dengan berita acara pemeriksaaan (BAP) dirinya di penyidik KPK, diantaranya kegiatan Kepala Dinas sebagai salah satu Pandawa Lima  siap mendukung itrinya maju sebagai Kepala Daerah menggantikan dirinya, penerimaan uang dari Bisri melalui Ibnu Hajar dan Suwandi, penerimaan uang dari Dirut RSUD Gambiran Nganjuk.

Taufiqurrahman pun kembali mengalami “Amnesia” alias lupa untuk yang kedua kalinya, saat JPU KPK Andhi Kurniawan dkk menghadirkannya sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Surabaya untuk terdakwa Ibnu Hajar dan Suwandi.

“Penyakit Amnesia” alias lupa yang dialami Taufiqurrahkam kali ini sepertinay lebih “parah” dari yang pertama. Sebab, sebagai Kepala Daerah tidak ingat kapan dirinya melantik terdakwa Ibnu Hajar sebagai kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nganjuk,  dan Suwandi menjadi Kepala SMP Negeri 3 Ngeronggot.

Tidak hanya itu, saksi Taufiqurrahman pun tidak ingat Kepala Dinas dimana terdakwa Ibu Hajar. Terkait permintaan uang sebesar Rp 500 juta dari terdakwa Ibnu Hajar setelah dilantik menjadi Kepala Dinas dibantah. Pada hal sebelumnya, Ibnu Hajar menjelaskan dalam persidangan saat terdakwa menjadi saksi untuk M. Bisri dan Harjanto, bahwa saksi Taufiqurrahman meminta untuk disediakan uang sebesar Rp 500 juta, sebagai imbalan karena sudah dialantik sebagai Kepala Dinas.

Saat JPU KPK menanyakkan terkait Hand Phon (HP) baru yang diterimanya dari ajudannya di Plaza Marina Surabaya, itu diakunya setelah beberapa saat terdiam.

“Ya saya terima,” kata Taufiqurrahmman.

Terkait uang sebesar Rp 200 juta dari M. Bisri ke Joni atas perintah saksi untuk diserahkan kesalah seorang pejabat Forpimda, menurut saksi bahwa itu adalah pinjaman. Yang belum dibayar dan tidak ditagih hingga saat ini. Pertanyaan yang diajukan JPU KPK pun sama dengan pertanyaan yang diajukan pada dirinya sebagai saksi untuk terdakwa Bisri dan Harjanto. Namun Taufiqurrahman selalu menjawab lupa dan tidak ingat.

Saat JPU KPK pun menanyakkan terhadap saksi terkait pencalonan istrinya menjadi Bupati Nganjuk, juga tak diakunya. Tetapi, tujuannya ke Jakarta adalah untuk menemui pengurus PDIP yang rencanya akan mengusung istri saksi menajadi Calon Bupati, namun belum kesampaian karena terjaring OTT oleh KPK. Saksi juga mengakui, rencana pencalonan istrinya menjadi Cabub Nganjuk diusung Partai Golkar dan PDIP.

“Masih penjajakan. Rencananya yang mengusung Partai Golkar dan PDIP,” jawab Taufiqurrahman.

Seperti yang diberitakan sebelumnya. Pada awal bulan Mei 2017, saat Bupati Nganjuk Taufiqurrahman memutasi terdakwa M. Bisri yang menjabat sebagai Kepala Bidang (Kabid) perencanaan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk, menjadi Kepala Bagian (Kabag) Umum RSUD Nganjuk, sekaligus mau minta terdakwa untuk mengkoordinir para pegawai yang berkeinginan menduduki jabatan Eselon III dan IV, baik pada RSUD Nganjuk dan RSUD Kertosono, dengan syarat bersedia memberikan “syukuran” atau sejumlah uang sebagai imbalan, dimana terdakwah menyanggupinya.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, terdakwa M. Bisri mengkoordinir beberapa pegawai untuk dipromosikan maupun mutasi di RSUD Nganjuk dan RSUD Kertosono. Lalu terdakwa M. Bisri membuat daftar nama dan promosi jabatan yang diinginkan. Daftar nama tersebut kemudian diserahkan terdakwa kepada Taufiqurrahman sambil menyampaikan, bahwa para pegawai sanggup untuk memberikan uang syukuran.

Dari daftar nama yang dibuat terdakwa M. Bisri untuk promosi jabatan maupun untuk mutasi adalah, diantaranya Hardi Jono, Waskito Rini, Sofianti Wahyu Setyaningsih, Sri Mumpuni, Yuliana, Anang Agus Susilo, Sri Nuryati, Agustin Rahmawati, Muhammad Yudi Arifin dan Lilik supriyadi.

Kemudian pada tanggal 24 Mei 2017, Bupati Nganjuk menerbitkan surat keputusan (SK) Nomor 82/86/411.404/2017 tentang pengangkatan dalam jabatan struktural yang mengangkat terdakwa dari jabatan Kepala Bidang Perencanaan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk Eselon III/B menjadi Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk Eselon III/B, serta mengangkat para pegawai sebagaimana informasi yang diajukan terdakwa.

Setelah pengangkatan terdakwa sebagai Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk dan pengangkatan para pegawai dimaksud, maka untuk merealisasikan uang syukuran yang akan diberikan kepada Taufiqurrahman, lalu M. Bisri kemudian menyiapkan uang sebesar Rp 400 juta, yang terdiri dari 100 juta rupiah merupakan uang pribadinya, dan Rp 300 juta dikumpulkan Bisri dari para pegawai yang telah berhasil dipromosikan dan dimutasi. Uang tersebut diterima terdakwa secara bertahap, baik secara langsung maupun melalui Tien Farida Yani (Dirut RSUD).

Sebagai kompensasi atas pelantikan Bisri dan para pegawainya, kemudian memberikan uang yang terkumpul itu kepada Taufiqurrahman melalui Joni Tri Wahyudi (ajudan), Suwandi Kepala SMP Negeri 3 Ngeronggot.

Pada sekitar bulan Juli - Agustus 2017, bertempat di rumah terdakwa di Jalan Semeru Gang I Rt 03 Rw 01 Desa Tanjungrejo, Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk, Wahyudi hkan unag sebesar Rp 200 juta dari M. Bisri. di Pendopo Kantor Bupati Nganjuk.

Pada tanggal 12 Oktober 2017, bertempat di Hotel Luminor, Jalan Jemursari Nomor 206 Kota Surabaya, dan tanggal 15 Oktober 2017, Taufiqurrahman kembali menerima uang melalui Suwandi sebesar Rp 100 juta dan Rp 50 juta.

Selanjutnya, pada tanggal 17 Oktober 2017 bertempat di RSUD Nganjuk diserahkan kepada kepada Taufiqurrahman senilai Rp 50 juta. Uang sebesar Rp 200 juta yang diterima Suwandi, kemudian diserahkan kepada Taufiqurrahman melalui Rosid Husein Hidayat selaku ajudan Bupati Nganjuk di sebuah rumah makan di Surabaya.

Pemberian uang sebesar Rp 400 juta kepada Taufiqurrahman selaku Bupati Nganjuk melalui Joni Tri Wahyudi dan Suwandi, karena Taufiqurrahman telah mengangkat dirinya sebagai Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk, dan para pegawai lainnya sesuai usulan terdakwa atau pemberian itu berhubungan dengan promosi dan mutasi jabatan di lingkungan Pemkab. Nganjuk.

Sementara Harjanto, memberikan uang sebesar Rp 500 juta terhadap Buapti Nganjuk, terkait pengankatannya sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk. Pemberian uang tersebut oleh terdakwa diberikan dalam beberapa tahap.

Pada sekitar bulan April 2017, terdakwa dihubungi Ibnu Hajar Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk yang merupakan orang kepercayaan Taufiqurrahman, agar menyiapkan uang sebesar Rp 100 juta untuk keperluan Taufiqurrahman yang sedang ada acara di Yogyakarta. Atas permintaan itu, terdakwa meminta Wisnu Anang Wibowo agar menyiapkan uang sebesar Rp 100 juta, tetapi yang sanggup disediakan Wisnu Anak Wibowo hanya sebesar Rp 80 juta.

Setelah terdakwa menerima uang sebesar 80 juta itu, terdakwa kemudian menghubungi Ibnu Hajar dan menyampaikan bahwa uang sudah dapat diambil di rumahnya tetapi hanya Rp 80 juta. Ibnu Hajar Kemudian datang ke rumah terdakwa terletak di Desa Kwagean, Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk, lalu terdakwa menyerahkan uang sebesar 80 juta tersebut kepada Ibnu Hajar. Kemudian Ibnu Hajar menyerahkan uang tersebut kepada Taufiqurrahman yang masih berada di Yogyakarta.

Pemeberian uang suap terhadap Taufiqurrahman ternyata bukan hanya dari terdakwa Bisri dan Harjanto namun dari beberapa pejabat lainnya, diantaranya Dirut RSUD Kertoson Nganjuk, Tien Firdayani sebanyak 130 juta dengan Dua tahap, yakni sebesar Rp 100 juta dan Rp 30.000-000.

Selain itu, Dirut RSUD Nganjuk ini dikabarkan juga menerima sebuah Hand Phon dari Taufiqurrahman untuk memlancar komunikasi.

Anehnya, Taufiqurrahman tak mengakui satu pun pertanyaan JPU KPK, Penasehat Hukum terdakwa maupun Majelis Hakim. Pemberian uang dari anak buahnya itu tak diakuinya. Justru Taufiqurrahman mengatakan kepada Majelis Hakim, bahwa Bisri sengaja mau menjebaknya dengan memberikan uang sebesar Rp 100 juta.

Senin, 29 Januari 2018 saat Taufiqurrahman diperiksa sebagai saksi untuk Bisri dan Harjanto dalam kasus suap terhadap dirinya, membantah semua pertanyaan JPU KPK. Pada hal, Keterangan saksi pada persidangan sebelumnya, yakni Dirut RSUD Kertoson Nganjuk Tien Firdayani mengakui adanya permintaan dan pemberian uang dari Taufiqurrahman kepada Tien.
Menurut Tien, Taufiqurrahman meminta 5 persen dari anggaran sebesar Rp 4 milliar yang ada di RSUD. Selain itu, Dirut RSUD Kertosono itu juga mengakui pemberian Hand Phon dari Taufiqurrahman untu dipergunakan sebagai alat komunikasi khusus. Selaian pengakuan Tien, juga keterngan Wakil Direktur Umum dan Direktur Umum, tapi itu pun tak diakuinya.

Keterangan Ibnu Hajar pada persidangan session kedua yang mengatakan, bahwa taufiqurrahman meminta uang sebesar Rp 500 juta terkait pelantikannya sebagai Kela Dinas Pendidikan juga tak diakui Taufiqurrahman.

JPU maupun Majelis Hakim sempat dibuatnya kesal karena keterangannya yang selalu berusaha menutupi apa yang terjadi. Pengangkatan beberapa pejabat dilingkungan Kabupaten Nganjuk hanya berdsarkan penunjukan begitu saja tanpa melalui orsedur yang ada. Termasuk pengangkatan Ibnu Hajar.

Tarif yang dikenakan terhadap jabatan Kasi (Kepala Seksi) antara 20 hingga 30 juta rupiah, semetara untuk Kepala Dinas sebesar Rp 50 juta, seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar. Lagi-lagi hal ini pun tak diakui Taufiqurrahman.

Saat JPU Maupun menanyakkan Taufiqurrahman tentang rencana Istri Taufiqurrahman untuk mencalonkan menjadi Bupati Nganjuk dan kaitannya kedatangannya ke Jakarta sekaligus awal dari dirinya ditangkap KPK, juga tak diakuinya.

JPU KPK maupun Majelis Hakim tak memaksa Taufiqurrahkam untuk mengakui semua keterangan saksi pada sidang sebelumnya. Namun JPU akan membeber semua fakta dalam persidangan saat dirinya duduk sebagai pesakitan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya. (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top