0
Jakarta, beritakorupsi.co - Kepala daerah rentan melakukan tindak pidana korupsi. Sepanjang tahun 2017, 30 orang kepala daerah yang terdiri dari 1 Gubernur, 24 Bupati/Wakil Bupati dan 5 Walikota/Wakil Walikota telah menjadi tersangka kasus korupsi. Mereka terlibat dalam 29 korupsi dengan kerugian negara Rp 231 miliar dan nilai suap Rp 41 miliar. Korupsi kepala daerah ini terutama terkait dengan penyalahgunaan APBD, perizinan, infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, promosi dan mutasi pejabat daerah, pengelolaan aset daerah dan lainnya. Dari semua kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah tersebut 11 kasus ditangani oleh KPK, 9 kasus oleh Kejaksaan dan 8 kasus oleh Kepolisian.

Demikian temuan utama pemantauan penanganan kasus korupsi sepanjang tahun 2017 yang ditangani oleh APH (KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian).

Sepanjang tahun 2017, terdapat 576 kasus korupsi yang ditangani dengan kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar. Jumlah tersangka mencapai 1.298 orang. Dibanding dengan tahun 2016, penanganan kasus korupsi tahun 2017 mengalami peningkatan signifikan terutama dalam aspek kerugian negara. Pada tahun 2016, kerugian negara dalam 482 kasus korupsi mencapai Rp 1,5 triliun dan naik menjadi Rp 6,5 triliun pada tahun 2017 ini. Hal ini disebabkan karena adanya kasus dengan kerugian negara yang besar yang ditangani oleh KPK (Kasus KTP elektronik), Kepolisian (Kasus TPPI) dan Kejaksaan.

Tidak hanya dalam dalam aspek kerugian negara dalam aspek tersangka juga mengalami peningkatan signifikan. Tahun 2016, terdapat 1.101 tersangka kasus korupsi dan naik menjadi 1.298 tersangka kasus korupsi. Kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi juga ikut andil berkontribusi terhadap peningkatan jumlah tersangka. Tahun sebelumnya kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi sebanyak 21 orang. Tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi sebanyak 30 orang.

Selain itu, modus korupsi paling banyak digunakan dalam kasus korupsi tahun 2017 adalah Penyalahgunaan anggaran yang mencapai 154 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun. Selanjutnya diikuti oleh penggelembungan harga (mark up) dan pungutan liar dengan masing-masing sebanyak 77 kasus dan 71 kasus. Sementara, modus terkait dengan suap dan gratifikasi sebanyak 44 kasus dengan total nilai suap mencapai Rp 211 kasus.

Sementara itu berdasarkan sektor, anggaran desa merupakan sektor paling banyak korupsi dengan total 98 kasus dengan kerugian negara RP 39,3 miliar. Selanjutnya, sektor pemerintahan dan penndidikan menempati sektor kedua dan ketiga terbanyak dengan jumlah kasus dan kerugian negara berturut-turut adalah sebesar 55 dan 53 kasus serta kerugian negara Rp 255 miliar dan Rp 81,8 miliar.

Lembaga terbanyak tempat terjadi korupsi adalah pemerintah kabupaten dengan kasus sebanyak 222 dengan kerugian negara Rp 1,17 triliun. Tempat kedua adalah pemerintah desa sebanyak 106 kasus denga kerugian negara Rp 33,6 miliar. Dan ketiga adalah pemerintah kota dengan jumlah kasus 45 dengan kerugian negara Rp 159 miliar.

Provinsi paling banyak kasus korupsi pada tahun 2017 adalah Jawa timur dengan 68 kasus dengan kerugian negara mencapa Rp 90,2 miliar. Jabar dan Sumatera Utara menempati Sumatera utama menempati urutan kedua dengan jumlah kasus berturut-turut adalah 42 dan 40 kasus. Meski Jatim menempati urutan pertama dalam jumlah kasus, dan Jabar dari aspek kerugian negara provinsi kalah dibandingkan dengan provinsi Sumut dan Jabar yang memiliki kerugian negara mencapai Rp 647 miliar dan 286 miliar. Namun demikian, kasus yang terjadi pada tingkat nasional memiliki magnitude kerugian negara yang besar meski kasusnya sedikit yakni mencapai Rp 3,3 triliun.

Banyaknya kasus korupsi kepala daerah yayang terkait dengan penyalahgunaan APBD diduga terkait dengan kontestasi pemilu serentak yang akan dihelat pada tahun 2018. Salah satu kasusnya adalah yang melibatkan Wali Kota Mojokerto, Masud Yunus. Ia diduga menerima suap untuk mengalihkan anggaran dari hibah Politeknik Elektronik Negeri Surabaya (PENS) menjadi program penataan lingkungan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Mojokerto tahun 2017.

Selain itu, objek korupsi terkait perizinan pun menjadi terbanyak kedua setelah penyalahgunaan APBD yaitu, enam kasus. Salah satu kasusnya adalah yang melibatkan Bupati Kutai Kertanegara, Rita Widyasari. Ia diduga menerima suap terkait dengan pemberian izin perkebunan kelapa sawit.

Modus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah beragam, paling banyak adalah suap menyuap. Ada sekitar 11 kasus korupsi yang bermodus suap menyuap. Selain itu ditemukan juga modus penyalahgunaan anggaran sekitar 9 kasus.

Hal tersebut perlu diantisipasi mengingat Pilkada serentak tahun 2018 akan dilangsungkan. Dari 29 daerah tempat terjadinya korupsi 12 diantaranya akan menyelenggarakan Pilkada. Dari 12 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada 5 kepala daerah yang telah ditetapkan tersangka berencana akan mencalonkan kembali sebagai kepala daerah.

Dengan maraknya modus suap yang dilakukan oleh kepala daerah, ICW menduga hal tersebut dilakukan untuk biaya kampanye yang memakan dana sangat besar. Selain itu kurangnya transparansi anggaran dan lemahnya partisipasi masyarakat menjadikan dana-dana strategis dengan mudah dialihkan untuk kepentingan pemenangan salah satu pasangan calon.

Rekomendasi

Dari hasil pantauan yang dilakukan, terdapat beberapa rekomendasi yang hendak ICW sampaikan antara lain: 1. Perlu adanya transparansi dan pelibatan masyarakat dalam memantau APBD. Hal ini penting untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh kepala daerah terutama menjelang tahun politik. Dan Kedua, Kepala daerah yang akan mencalonkan kembali perlu untuk menekan biaya kampanye agar meminimalisir konflik kepentingan dengan menerima uang dari beberapa pihak yang memiliki kepentingan. (Redaksi)

 
Sumber : Indonesia Corruption Watch

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top