0
Saksi Kopral Satu (AD) Junaidi saat diperlihatkan barang bukti terkait mobil Toyota Alphard  
beritakoruspi.co – Setelah JPU KPK menghadirkan Lila Widyawati selaku Sekretris Pribadi (Sekpri) Wali Kota Batu Eddy Rumpoko dalam persidangan kasus perkara Korupsi suap yang terjaring OTT oleh KPK pada 16 September tahun lalu, dengan terdakwa Edi Setiawan selaku Kabag ULP Kota Malang, kini giliran seorang Driver atau supir pribadi terdakwa yakni Junaidi, anggota TNI AD dari Kesatuan Den Pom Kodam V Brawijaya berpangkat Kopral Satu.

Kehadiran Juanaidi dalam persidangan yang dihadirkan JPU KPK kali ini, karena saksi turut diamankan oleh tim KPK saat melakukan OTT terhadap terdakwa Eddy Rumpoko di rumah dinas Wali Kota Batu bersama Filipus Djab (sudah divonis 2 tahun penajar), sementara Edi Setiawan selaku pejabat ULP (sidang terpisah) diamankan KPK di lokasi lain.

Selasa, 20 Maret 2018, dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim yang diketuai H.R. Unggul Warso Mukti, Junaidi menjelaskan, bahwa dirinya bekerja sebagai Driver/Supir Wali Kota Batu Eddy Rumpoko atau terdakwa sejak 2008 semapai sebelum terjari OTT tanggal 16 September 2017 lalu.

Koptu Junaidi bekerja bagi Wali Kota Batu atas usulan yang diajukan Wali Kota Batu ke pimpinan saksi, yang kemudian disetujui dan diberi surat tugas. Hal itu seperti yang dijelaskan saksi kepada Majelis Hakim. Persidangan yang menghadirkan Junaidi dari anggota TNI AD ini pun sepertinya dipantau beberapa orang yang diduga sebagai anggota TNI berpakain preman.

Dari pertanyaan-pertanyaan JPU KPK terhadap Junaidi dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim, ada beberapa hal yang terungkap diantaranya bahwa saksi Juanidi ternyata menerima gaji sebagai anggota TNI dan juga meneriam gaji dari Pemkot Batu yang sama-sama berasal dari uang rakyat.

“Ya saya menerima gaji dari TNI juga,” jawab Junaidi atas pertanyaan anggota Majelis Hakim Dr. Lusiana.
Dr. Lusiana Lusiana juga mempertanyakkan surat tugas saksi dari kesatuannya. “Suarat tugas itu ada masa berlakunya, nggada surat tugas seumur hidup, saya juga dari militer,” kata Dr. Lufisana saat saksi Junaidi memperlihatkan surat tugas yang diminta oleh Dr. Lufsiana.

Selain itu, dari pengakuan Junaidi, ternyata dialah yang mengambil mobil Toyota Alphard dari deler. Mobil mewah seharga Rp 1,6 itu adalah “pemberian” dari Filipus Djab yang saat ini disita oleh KPK. Menurut Junaidi kepada Majelis Hakim, Ia mengambil mobil Toyota Alphard warna hitam atas perintah terdakwa Eddy Rumpoko. Namun saksi tidak mengetahui, siapa yang membayarnya.

Saksi Junaidi juga mengakui, bahwa mobil yang diambilnya dari deler itu dipergunakan untuk mengantar Megawati ke Blitar.

“Saya yang mengambil dari deler atas perintah Pak Eddy. Ada yang saya tanda tangani saat pengambilan. Sorenya saya ambil, paginya mengantar Ibu Megawati ke Blitar,” jawab saksi.

Saat Majelelis Hakim mempertanyakan nama dalam STNK, Nopol (Nomor Polisi) dan bulan pengambilan mobil tersebut dari deler, saksi mengatakan tidak tau dan tidak pernah melihat STNK. Namun saksi mengatakan, bahwa STNK mobil Toyota Alphard warna hitam itu sudah ada didalam mobil tanpa dia tau siapa yang memasukkan.

Selain itu, saksi Junaidi mengakui bahwa rinyalah yang membuat Nomor Polisi untuk Mobil Toyota Alphard yang digunakan meghantarkan Megawati ke Blitar tanpa ada STNK.

“Saya tidak tau, tidak pernah lihat STNK, tapi sudah ada di Mobil, tidak tau siapa yang masukkan. Nopolnya 507 Bleng, saya yang buat, sudah ada di grasi bekas mobil Inova bekas kecelaan ,” jawab saksi.

Ketua Majelis Hakim pun meminta barang bukti kepada JPU KPK untuk ditunjukkan. Setelah Majelis Hakim memlihat bukti bersama saksi dan Penasehat Hukum terdakwa, Majelis Hakim pun kembali mempertanyakkan saksi.

“Saudara saksi yang membuat itu kan. Ini pembuatan baru tahun 2016. Saudra ambil mobil itu dari deler kapan ?,” tanya Hakim Ketua dan dijawab saksi, “saya mengambilnya bulan Maret 2016,”.

“Saudara ngambil mobil Maret 2016, ini pembuatan Mei 2016. Berarti saudara yang membuatnya,” ucap H.R. Unggul dengan nada agak tinggi, karena saksi dianggap tidk jujur.

Anggota Majelis Hakim Dr. Lufsiana pun mengatakan, bahwa saat saksi mengambil mobil Toyota Alphard itu sudah termasuk turut serta (dalam pasal 55 KUHPidana).
“Saudara tau, dengan saudara mengambil mobil itu, saudara sudah turut serta,” kata Dr. Lysiana.

Kepada Majelis Hakim, saksi Junaidi juga menjelaskan tentang mobil yang dimiliki oleh terdakwa. Menurut terdakwa, bahwa mobil Toyota Alphard milik terdakwa ada 3 unit dengan Nopol yang sama yaitu 507 yaitu Alphard tahun 2011 warna hitam, Alphard tahun 2012 warna putih dan Alphard tahun 2016 warna Hitam.

“Mobil dinas ada 2, Inova tahun 2011, N 721, Lexux Nopol B 1 KWP, Alphard warna putih  tahun 2012, L 507 NW, Alphard warna hitam  tahun 2011, L 507 PA dan Alphard warna hitam  tahun 2016 N 507,” kata Junaidi.

Sementara dalam sidang seblumnya dengan saksi Eddy Rumpoko untuk terdakwa Edi Setiawan atau ES mengatakan, terkait Nopol mobil saksi yang juga terdakwa ini yang menggunkan 507 mengatakan, mengingat kesatuan orang tuanya.

“Mengingat kesatuan Bapak,” kata saksi Eddy Rumpoko atau ER.

Namun terkait mobil Alphard dari terdakwa Filipus Djad termasuk uang ratusan juta rupiah yang disebut sebagai undangan itu tak diakuinya. Namun bisa jadi, keterangan Eddy Rumpoko menjadi pertimbangan bagi JPU KPK dalam surat tuntutannya.
Kasus ini berawal pada sekitar tahun 2012, terdakwa Eddy Rumpoko berkenalan dengan Fiilipus Djab, seorang penusaha yang sedang mengurus ijin mendirikan Hotel miliknya yakni Hotel Amarta Hills di Kota Batu. Dan Filipus Djab pun mejadi rekanan di Kota Batu yang mengikuti beberapa proyek pengadaan Meubelair dan seragam kantor, menggunakan CV Amarta Wisesa miliknya dan PT Dailbana Prima Indonesia milik istrinya (Esther Tedjakusuma).

Pada Mei 2016, terdakwa Eddy Rumpoko berkeinginan untuk memiliki mobil mewah merek Toyota Alphard seri terbaru untuk dipergunakan melayani tamunya yang berkunjung ke Kota Batu. Untuk mewujudkan keinginannya, terdakwa kemudian memanggil Filipus Djab ke ruang kerjanya di lantai 5 Gedung Balai Kota Among Tani Kota Batu, dan menyampaikan keinginannya agar Filipus Djab membayar terlebih dahulu harga pembelian mobil Toyota Alphard tersebut yang harganya Rp 1.600.000.000.

Dalam pertemuan itu, terdakwa menyampaikan, sebagai gantinya akan memberikan proyek-proyek atau paket pekerjaan yang bersumber dari APBD pemerintah Kota Batu kepada, dan permintaan itupun disanggupi oleh Filipus Djab.

Pada tanggal 17 Mei 2016, terdakwa memanggil Filipus Djab dan Haryanto Iskandar selaku Kepala Cabang Dealer Toyota PT Kartika Sari, untuk datang ke ruang kerjanya guna membicarakan type-type terbaru kendaraan Toyota Alphard. Dari pertemuan dan pembicaraan ketiganya,  kemudian memutuskan untuk memilih Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam dengan harga yang disepakati Rp 1,6 miliar. Dan saa itu juga, terdakwa menyampaikan kepada Hariyanto Iskandar, bahwa yang akan membayar adalah Filipus Djab sementara mobil untuk terdakwa sendiri.

Beberapa hari kemudian, Filipus melunasi pembayaran harga mobil dengan cara dua kali angsuran, yaitu pada tanggal 19 Mei 2016 sebesar Rp 300 juta dan pada tanggal 3 Juni 2016 sebesar Rp 1,3 milliar kepada Dealer Toyota PT Kartika Sari.

Pada tanggal 20 Mei 2016, terdakwa memerintahkan Haryanto Iskandar. agar nama pemilik yang tercantum dalam surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan BPKB mobil Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam itu, dibuat atas nama perusahaan PT Duta Perkasa Unggul Lestari (PT DPUL), walau tanpa persetujuan terlebih dahulu atau tanpa diketahui oleh pihak PT DPUL.

Selanjutnya, pada tanggal 21 Mei 2016, Yunedi yang merupakan sopir terdakwa mengambil mobil tersebut dari dealer Toyota PT Kartika Sari dan kemudian menyimpannya di rumah dinas Wali Kota Batu.
Foto atas, Edi Setiawan dan Eddy Rumpoko, dan Foto baw, Filipus Djab bersama istri "gelap"-nya
Pada pertengahan Mei 2016, sebelum dimulai rapat dengan Kepala Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) di ruang rapat Walikota Batu, memperkenalkan Edi Setiawan yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Pengadaan dan Distribusi Aset Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Batu yang sekaligus merangkap sebagai Sekretaris Unit Layanan Pengadaan (ULP) kepada Filipus Djab.

Setelah rapat selesai, terdakwa menyampaikan terhadap Edi Setiawan, “Ed, Ini teman saya, dan Dia sebagai pemenang lelang Pekerjaan Meubelair, kamu pandu atau araahkan agar pekerjaannya bagus, yang kemudian dijawab oleh Edi Setiawan, siap.

Selanjutnya setelah pertemuan terakhir di puncak menemui Edi Setiawan di lobi ruang kerja terdakwa dan memperkenalkan perusahaannya yakni PT dailbana dari mana Prima Indonesia serta meminta agar Edi Setiawan membantu pekerjaannya dalam pengadaan meubelair titik Selain itu di akhir bulan Mei 2016 di puncak juga memberitahu ini Setiawan bahwa dirinya telah memberikan terdakwa mobil Toyota New Alphard.

Sejak pembelian mobil tersebut pada tahun 2016, melalui PT Dailbana Prima Indonesia dan CV Amarta Wisesa, memenangkan 7 pengadaan barang di pemerintahan Kota Batu, antara lain di Dinas pendidikan, pengadaan batik siswa SD dengan pagu anggaran Rp 1.204.740.000 dengan nilai penawaran Rp 1.170.505.000 pemenang CV Amarta Wisesa

2. Pengadaan Batik untuk siswa SMP dengan pagu anggaran Rp 632.100.000, nilai penawaran Rp 614.190.000 pemenang lelang CV Amarta Wisesa,; 3. Dinas Pendidikan pengadaan batik untuk siswa SMA/SMK dengan pagu anggaran Rp 657.370.000, nilai penawaran Rp 640.466.000 pemenang CV Amarta Wisesa.

4. Di BPKAD pengadaan mebeleur berupa meja dan kursi dengan pagu anggaran Rp 5.010.755.000, nilai penawaran Rp 4.929.404.000 pemenang PT Dailbana Prima Indonesai,; 5. Di Dinas Pendidikan pengadaan Almari Sudut BacaSDN dengan pagu anggaran Rp 2.125.000.000 nilai penawaran Rp 2.033.570.000 pemenang CV Amarta Wisesa.

6. Di Dinas Pendidikan Belanja seragam bawahan SMA/MA/SMK dengan pagu anggaran Rp 852.372.500 nilai penawaran Rp 851.919.500 pemenang CV Amarta Wisesa, dan 7. Di Dinas Pendidikan Belanja seragam bawahan SMP/MTs dengan pagu anggaran Rp 728.612.500 nilai penawaran Rp 710.066.000 pemenang CV Amarta Wisesa.

Pada tanggal 3 Januari 2017, Edi Setiawan selaku pelaksana tugas kepala bagian layanan pengadaan (BLP) Sekda Kota Batu, berdasarkan surat perintah melaksanakan tugas Nomor 800/10/PLT.01/422.203/2017. Setelah Edi Setiawan ditunjuk sebagai kepala BLP, kemudian terdakwa menyampaikan terhadap Edi Setiawan bahwa perusahaan teman-temannya bagus serta memerintahkan Edi Setiawan agar mengondisikan supaya perusahaan tersebut dapat memenangkan dalam proses pengadaan di Kota Batu TA 2017.

Pada bulan April 2017, Edi Setiawan dan Filipus Djab mengadakan pertemuan diruang kerja Edi Setiawan sebelum proses lelang pengadaan dimulai. Dalam pertemuan tersbut, Filipus menyampaikan akan mengikuti lelang dengan memakai PT Dailbana Prima Indonesia dan CV Amarta Wisesa. Selain itu, Filipus Djab juga menyampaikan kepada terdakwa Eddy Rumpoko, bagaimana cara pelunasan mobil Toyota Alphard.  Yang dijawab oleh Eddy Rumpoko, bahwa pelunasan mobil sebesar Rp 650 juta, akan diselesaikan dengan pengadaan TA 2017.

“Silakan aja, teknisnya silahkan diatur dengan Edi Setiawan. Terdakwa Eddy Rumpoko pun kemudian memanggil Edi Setiawan yang ada saat itu untuk melaporkan rencana kegiatan pengadaan pemerintah Kota Batu. Selalanjutnya terdakwa mengatakan terhadap Edi Setiawan agar membantu Filipus Djab yang di jawab Edi Setiawan, Siap,” ucap JPU menirukan perkataan terdakwa terhadap Filipus Djab dan Edi Setiawan.
JPU KPK memperlihatkan Barang Bukti kepada Lila (foto atas)
Pada tanggal 23 Mei 2017, terdakwa mengangkat Edi Setiawan sebagai pejabat definitif Kepala Bagian Layanan Pengadaan Pemerintah Kota Batu. Kemudian Edi Setiawan menindaklanjuti perintah terdakwa dengan cara melakukan pembicaraan dengan Filipus Djab, untuk membantu pekerjaan dalam memenangkan lelang pengadaan barang di pemerintah kota Batu TA 2017, sekaligus membicarakan fee yang harus diberikan kepada terdakwa, yakni sebesar 10% dan untuk Edi Setiawan sebesar 2% dari nilai kontrak.

Pada TA 2017, Pemerintah Kota Batu mengadakan pengadaan pekerjaan belanja modal dan peralatan mesin meubelair di BKAD dengan pagu anggaran sebesar Rp 5.440.000.000.

Pada tanggal 14 Mei 2017, BKAD Kota Batu mengadakan lelang pengadaan pekerjaan belanja modal peralatan dan mesin pengadaan meubelair dengan nilai Pagu anggaran sebesar Rp 5.440.000.000.

Pada tanggal 31 Mei 2017, PT Delta Prima Indonesia ditetapkan sebagai pemenang setelah dilakukan evaluasi penawaran peserta lelang terlebih dahulu dengan nilai penawaran Rp 5.265.315.000. Penentuan PT Delta Prima Indonesia sebagai pemenang karena memenuhi minimum persyaratan administrasi dan biaya kualifikasi. Sedangkan peserta lainnya tidak memenuhi syarat teknis, diantaranya tidak melampirkan sertifikat-sertifikat sebagaimana persyaratan dalam lelang yang sengaja dibuat oleh panitia sebagai persyaratan khusus.

Setelah Filipus Djap mengetahui PT Dailbana Prima Indonesia ditetapkan sebagai pemenang lelang, kemudian menghubungi Aang Thandra, agar segera mempersiapkan produksi. Selanjutnya Ang Tjandra menghubungi supplier lain yang bekerja sama dengan PT Dailbana Prima Indonesia, yakni PT Sentratama Global Solusindo, PT Agra Jaya dan PT Wahaya Lentera Raya untuk segera berproduksi, yang hasilnya kemudian dikirimkan PT Dailbana Prima Indonesia ke Balai Kota Among Tani.

Dua pengadaan pekerjaan belanja pakaian dinas dan atribut pada BKAD pemerintah Kota Batu tahun 2017, sekitar Maret 2017 Edi Setiawan bertemu dengan Fitria Dewi Kusumawati selaku PPK BKAD di ruang kerjanya dan mengatakan, bahwa terdakwa Eddy Rumpoko tidak cocok dengan contoh yang diperoleh dari pasar.

Selanjutnya Edi Setiawan menghubungi Filipus Djab terkait pengadaan kain seragam pemerintah Kota Batu TA 2017, dan untuk itu ia (Filipus Djab) meminta agar Teddy Setiawan berkoordinasi dengan Edi Setiawan. Beberapa hari kemudian, Hendra Setiawan menemui Edi Setiawan di ruang kerjanya. Edi Setiawan memanggil Fitria Dewi Kusumawati ke ruang kerjanya dan mengatakan, bahwa terkait dengan pengadaan kain seragam agar berhubungan dengan Hendra Setiawan yang akan menjadi penyedia kain seragam.

Hendra Setiawan Beberapa hari kemudian menemui Fitria Dewi Kusumawati dan Edi Setiawan sambil menyerahkan contoh kain hitam. Selanjutnya Edi Setiawan memerintahkan Fitria Dewi Kusumawati untuk segera uji ke laboratorium pengujian Balai Besar tekstil di Bandung, dan menjadikan hasil ujian tersebut sebagai sertifikasi barang dalam dokumen persyaratan lelang.

Pada bulan Mei 2017, Fitria Dewi Kusumawati kemudian menyerahkan dokumen kelengkapan tersebut ke bagian layanan pengadaan untuk melakukan pelelangan dalam pelaksanaan lelang gagal. karena tidak ada peserta lelang yang memenuhi persyaratan teknis terkait ISO dan SNI

Pada bulan Mei 2017, terdakwa menyampaikan kepada Edi Setiawan, agar pengadaan meubelair dimenagkan oleh Filipus Djab.

Pada tanggal 21 Agustus 2017 sekitar pukul 05.13 WIB, Edi Setiawan memberitahu Fitria Dewi Kusumawati dan Pokja V, akan melakukan pembuktian kualifikasi-kualifikasi dengan mendatangi pabrik yang memberikan dukungan ke segamat bau wisata titik terkait hal tersebut meminta Edi Setiawan berhubungan dengan Hendra Setiawan

Pada tanggal 29 Agustus 2017, CV Amarta Wisesa ditetapkan sebagi pemenang lelang pengadaan pekerjaan belanja pakaian dinas dan atributnya belanja kain untuk pakaian ASN atasan putih dan bawahan hitam denagn pagu anggaran sebesar Rp 1.490.000,000 dengan nilai penawaran Rp 1.488.370.000, karena dianggap memenuhi persyaratan yang dibuat oleh panitia diantaranya  syarat administrasi biaya dan kualifikasi sedangkan peserta lainnya tidak memenuhi syarat teknis diantaranya hasil uji lab sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan.

Berkenaan dengan pelaksanaan pengadaan pekerjaan belanja modal peralatan dan mesin untuk pengadaan mobiler dan pengadaan pekerjaan belanja pakaian dinas dan atribut pada BPKAD Kota Batu TA 2017 tersebut, pada tanggal 5 agustus 2017 sekitar pukul 10.00 WIB, Filipus Djab  menghubungi Edi Setiawan melalui Smart Phone membahas meneganai komitmen fee Kedua  pengadaan tersebut, maka hutang pembelian mobil Toyota New Alphard untuk terdakwa dapat dilunasi. Sehingga Filipus Djab meminta bantuan Edi Setiawan untuk mempercepat pembayaran kedua proyek tersebut.

Pada tanggal 23 Agustus 2017 bertempat di kedai roti di Bandara Abdul Rahman Saleh Malang, terdakwa bertemu dengan Filipus Djap yang menanyakan kepada terdakwa, “Pak, untuk fee meubel ini mau dipotong untuk Si Hitam berapa, Bapak berkenan tunai berapa ?”. Yang di jawab oleh terdakwa, “Udah, Edi Setiawan yang atur”. Selanjutnya, sekitar pukul 13.00 WIB, Filipus Djab menghubungi Edi Setiawan, terkait dengan pekerjaan pengadaan meubelair yang harus diserahkan sebesar 10% dari nilai kontrak yakni sejumlah Rp500 juta.

Dalam pembicaraan tersebut disampaikan bahwa, dari fee Rp 500 juta, akan diperhitungkan Rp 300 juta untuk bagaian uang yang sudah dikelaurkan Filipus Dajb untuk pembayaran Si Hitam. Sehingga sisa kekuragan Rp 650 juta, setelah dikurangi uang sebesar Rp 300 juta  menjadi Rp 350 juta, dan akan diperhitungkan dari pengadaan lainnya pada tahun anggaran 2017 yang dikerjakan oleh Filipus Djap. Selanjutnya sisa uang sejumlah Rp 200 juta diminta oleh terdakwa untuk diberikan secara tunai. Selain itu, juga menyampaikan akan memberikan uang sejumlah 100 juta untuk Edi Setiawan.

Pada tanggal 24 Agustus 2017 sekitar pukul 10.00 WIB, terdakwa menghubungi Filipus Djab dan menyampaikan pesan agar tidak melakukan transaksi terlebih dahulu karena sedang dipantau oleh tim Saber Pungli dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, terdakwa berpesan agar Filipus Djab mengingatkan Edi Setiawan terkait hal tersebut.

Pada siang harinya di tanggal 24 Agustus 2017, Filipus dan Edi Setiawan mengadakan pertemuan di rumah makan Java Nine Malang dan menyepakati untuk menggunakan kata sandi “undangan” untuk uang fee, sandi “atas” untuk Hotel Amartha Hills, dan sandi “bawah” untuk  Cafe Java Nani dan istilah Si Hitam sebagai pengganti Alphard, yang akan digunakan dalam setiap komunikasi dengan Edi Setiawan dan terdakwa serta disepakati. Atas saran terdakwa, menunjuk Edi Setiawan sebagai orang tengah yang menjembatani komunikasi antara terdakwa dan Filipus Djap.

Pada tanggal 6 September 2017, ketika sedang melayat di rumah almarhum Suparto, selaku Sekda Kota Batu, terdakwa diberitahu oleh Filipus Djab, bahwa pengadaan meubelair akan segera dibayarkan, sehingga Filipus Djap meminta ijin kepada terdakwa akan menggunakan bagian dari fee 10% yakni sebesar Rp 300 juta sebagai pelunasan pembelian mobil Toyota New Alphard, hinggap Filipus Djab hanya akan memberikan uang secara tunai sebesar Rp 200 juta kepada terdakwa.

Filipus Djap kemudian menanyakan fee tersebut akan diserahkan kepada siapa, dan dijawab oleh terdakwa agar diserahkan langsung kepada terdakwa. Dan pada sore harinya Filipus Djab  memberitahukan hasil pembicaraannya dengan terdakwa kepada Edi Setiawan, dan meminta agar dibantu mempercepat pembayaran pengadaan meubelair.

Pada tanggal 15 September 2017, setelah pembayaran pekerjaan meubelair masuk ke rekening BRI atas nama PT Dailbana Prima Indonesia sebesar Rp 4.714.850.250 dari BKAD Kota Batu sekitar pukul 13.49 WIB, terdakwa dihubungi oleh Filipus Djab, yang menyampaikan “Oh Pak, besok saya mau ngantar undangan. Yang dijawab oleh terdakwa, “iya iya saya tunggu ya”. Kemudian dijawab Filipus Djap “he he he. saya kontak Bapak besok ya”. Dan dijawab oleh terdakwa “Nggeh maturnuwun”.

Masih di hari yang sama sekitar pukul 13. 59 WIB, Filipus Djap menghubungi Edi Setiawan mengajak bertemu di atas (Hotel Amartha Hills) untuk menyerahkan undangan (uang fee) kepada Edi Setiawan. Selain itu Filipus Djap juga menyampaikan sudah menghubungi terdakwa Eddy Rumpoko, bahwa besok Filipus Djab hendak memberikan undangan kepada terdakwa, dan terdakwa meminta agar diserahkan langsung kepadanya.

Sabtu, 16 September 2017 sekitar pukul 10.14 WIB, Filipus Djap menelepon Edi Setiawan meminta untuk mengecek keberadaan terdakwa. Atas permintaan tersebut, selanjutnya Edi Setiawan menghubungi Lila Widya Rahajeng, sekretaris pribadi terdakwa dengan menggunakan aplikasi WhatsApp, mempertanyakan keberadaan terdakwa. Menurut Lila Widya Rahajeng, bahwa terdakwa berada di rumah dinas, dan selanjutnya Edy Setiawan menyampaikan informasi tersebut kepadaku Filipus Djap

Di hari yang sama sekitar pukul 11.00 WIB, Filipus Djab menghubungi Edi Setiawan untuk bertemu di Hotel Amarta Hills. Selanjutnya, sekitar pukul 11.29 WIB, Filipus Djab  menghubungi terdakwa dan menanyakkan apakah terdakwa di rumah atau tidak, yang dijawab oleh terdakwa “di rumah belum mandi, belum makan”. lalu Filipus Djab menyampaikan ingin bertemu 4 mata terlebih dahulu karena akan menyampaikan undanga untuk terdakwa. Yang dijawab oleh terdakwa “ya, ya, ya pak”.

Sekitar pukul 12.30 WIB, Filipus Djab bertemu dengan Edi Setiawan di Hotel Amarta Hills, lalu sekitar pukul 12.45 WIB, Filipus Djap menyerahkan paper bag BRI prioritas berisi uang sebesar Rp 95 juta kepada Edi Setiawan di halaman parkir Hotel Amarta Hills, sambil mengatakan “ini titipannya’. Selain itu, Filipus Djab mengatakan kepada Edi Setiawan, “kantor yang satu ini punya Pak Bos”.

Setelah menyerahkan uang kepada Edi Setiawan, Filipus Djap kemudian pergi ke rumah dinas Walikota Batu di Jalan Panglima Sudirman Nomor 98 Kota Batu. Filipus Djap selanjutnya membawa paper bag BRI prioritas yang berisi uang sebesar Rp 200 juta yang akan diserahkan bagi terdakwa.

Namun sial bagi si Filipus Djab dan Eddy Rumpoko, karena tidak berapa lama kemudian datanglah petugas KPK lalu mengamankan Filipus Djap, terdakwa dan Edy Setiawan serta barang bukti berupa uang. (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top