0
#Total “Syukuran” yang diterima Taufiqurrahman Rp 1,3 Milliar, dan Sebahagian untuk biaya pencalonan Istrinya menjadi Cabup Kab. Nganjuk#
beritakorupsi.co – Bupati Nganjuk Taufiqurrahman sempat “menjebolkan tahanan” KPK melalui sidang Praperadilan pada awal tahun lalu, karena dirinya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan Korupsi dan baju orange pun gagal melekat dibadannya.

Namun ternyata, baju orange itu sepertinya sudah “serasi” dengan orang nomor 1 di Kabupaten Nganjuk itu. Terbukti, KPK akhirnya memasangkan baju kebesaran para Koruptor itu ke badan Taufiqurrahman setelah terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh lembaga anti rasuha itu, karena ketahuan menerima uang suap dari Ibnu Hajar dan Suwandi, masing-masing sebesar Rp 150 juta di Hotel Brobudur, Jalan Lapangan Banteng Selatan Pasar Baru, Jakarta Pusat, pada tanggal 24 Oktober 2017 lalu.

Saat itu, KPK awalnya mengamankan sebanyak 20 orang dalam dua tempat, yakni di Jakarta sebanyak 12 orang  terdiri dari Bupati Nganjuk Taufiqurrahman termasuk ajudannya, Ibnu Hajar (Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nganjuk), Suwandi (Kepala SMPN 3 Ngronggot Nganjuk), seorang wartawan, Ita Triwibawati (istri Bupati Nganjuk yang menjabat selaku Sekda Kabupaten Jombang) bersama ajudannya, J (Sek Cam Tanjung Anom), SA (salah seorang Lurah di Nganjuk yang bakal maju bersama Ita Triwibawati dalam Pilbup Kabupaten Nganjuk, S (mantan Kepala Desa), dan BS (supir).

Sementara 8 orang yang diamankan KPK di Nganjuk, antara lain Harjanto (Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk), SUR (Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dispendikbud Kabupaten Nganjuk), CSE (Kabid Dispendikbud Kabupaten Nganjuk), TFY (Direktur RSUD Kertosono), OHP (ajudan Bupati Taufiqurrahman), T (Kepala Sekolah SMPN 1 Tanjung Anom), SUT (Kepala Sekolah SMPN 5 Nganjuk) dan SUM (supir mobil rental).

Untuk sementara, penyidik KPK hanya menetapkan 5 tersangka, yakni M. Bisri (Kabag Umum RSUD Nganjuk), Harjanto (Kadis Dinas Lingkungan Hidup), Ibnu Hajar (Kepala Dinas Pendidikan) dan Suwandi (Kepala SMPN 3 Ngronggot) dan Taufiqurrahman (Bupati).

M. Bisri, Harjanto, Ibnu Hajar dan Swandi saat ini sudah diadili terlebih dahulu dan tinggal menunggu Vonis dari Majelis Hakim.

Dua terdakwa yakni M. Bisri dan Harjanto di dakwa sebagai pemberi suap yang dijerat dengan pasal 5 ayat (1) huruf b UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi junto pasal 64 ayat 1 KUHAP. Keduanya di tuntut pidana penjara masing-masing 2 tahun. 

Sementara terdakwa Ibnu Hajar dan Suwandi didakwa sebagai penerima suap dari M. Bisri untuk Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, dan dijerat pasal 12 huruf b UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi junto pasal 64 ayat 1 KUHAP. 

 Namun Keduanya di tuntut pidana penjara yang berbeda. Ancaman penjara untuk Ibnu Hajar 7 tahun, sedangkan untuk Suwandi 4 tahun dan 6 bulan.

Dan hari ini, Jumat, 9 Maret 2018, giliran Taufiqurrahman yang duduk di kursi pekitan Pengadilan Tipikor sebagai terdakwa penerima suap, dan diadili dihadapan Majelis Hakim yang diketuai I Wayan Sosisawan.

Dalam persidangan, JPU KPK Fitroh Rohcahyanto, Ahmad Burhanudin, Herry BS Ratna Putra, Arif Suhermanto, Ni Nengah Gina Saraswati, Andhi Kurniawan dan Dame Maria Silaban membacakan surat dakwaannya terhadap terdakwa Taufiqurrahman yang didampingi Tim Penasehat Hukum (PH)-nya Dr. Soesilo Aribowo dkk dari Jakarta Selatan.

Dalam surat dakwaannya, JPU KPK meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor untuk mengadili perkara terdakwa Taufiqurrahman selaku Bupati Nganjuk, karena melakukan ataun turut melakukan beberapa perbuatan kejahatan, menerima uang yang totalnya sebesar Rp 1.355.000.000 melalui Ibnu Hajar, Suwandi, Joni Tri Wahyudi, Nurrosid Hussein Hidayat dan Budiono.

Pada hal, lanjut JPU KPK, diketahui atau patut diduga bahwa hadiah (uang) tersebut sebagai kompensasi atas promosi/mutasi beberapa pegawai Pemkab Nganjuk, diantaranya Harjanto, Muhammad Bisri, Teguh Sujatmika, Tien Farida Yani, Suroto, Sutrisno dan Sugito serta beberapa pegawai Kabupaten Nganjuk.

JPU KPK membeberkan kronologis sumber uang sebesar Rp 1.355.000.000 yang diterima terdakwa Taufiqurrahman. Berawal pada tahun 2008, saat terdakwa menjabat Bupati Nganjuk untuk periode 2008 - 2013 yang Kemudian pada tahun 2013 terpilih lagi untuk periode 2013 – 2018. Dan untuk melanjutkan kepimpinannya, terdakwa berencana mencalonkan istrinya mengikuti pencalonan Bupati Nganjuk untuk periode 2018 – 2023.

Dalam rangka sosialisasi atas rencana tersebut, lanjut JPU KPK dalam surat dakwaannya, terdakwa meminta bantuan beberapa pegawai Kabupaten Nganjuk yang dianggap memiliki loyalitas terhadap dirinya, diantaranya Ibnu Hajar dan Suwandi.

JPU KPK menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan dana operasional atas sosialisasi rencana pencalonan istri terdakwa sebagai calon Bupati Nganjuk sekaligus sebagai biaya operasional pribadi, pada awal tahun 2017 terdakwa meminta Ibnu Hajar dan Suwandi untuk mengumpulkan uang “syukuran” dari beberapa pegawai di lingkungan Pemkab Nganjuk yang telah mendapat promosi/mutasi jabatan, diantaranya Muhammad Bisri yang diangkat menjadi Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk, Haryanto sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Tien Farida Yeni sebagai Direktur RSUD Kertosono Nganjuk, Teguh Sujatmika diangkat sebagai Kepala Sekolah SMPN 1 Tanjung Anom, Suroto mutasi jabatan sebagai Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan, Sutrisno yang semula Kepala SMP Negeri 5 Nganjuk dipromosikan sebagai Pengawas Sekolah SMP, dan Sugito sebagai Kepala sekolah SMP Negeri 2 Sawahan Kab. Nganjuk.

Atas perintah terdakwa Taufiqurrahman, Ibnu Hajar dan Suwandi kemudian mengumpulkan uang syukuran dari beberapa pegawai tersebut, diantaranya penerimaan uang dari Haryanto dengan rincian sebagai berikut; uang sebesar Rp 80 juta.

Pada akhir tahun 2016, terdakwa mengangkat Haryanto menjadi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk, yang sebelumnya menjabat sebagai staf ahli. Sekitar bulan April 2017 setelah pelantikan, terdakwa memanggil Haryanto melalui Sudrajat selaku Kepala Badan Pengawasan Daerah Nganjuk untuk datang ke rumah pribadi terdakwa di Mojosari Jombang. Kemudian Haryanto datang bersama Wisnu Anang Prabowo Kepala Bidang Pengelolaan Sampah pada Dinas Lingkungan Hidup. Dalam pertemuan itu, terdakwa meminta uang syukuran sebesar Rp 500 juta kepada Harianto sebagai kompensasi atas pelantikannya sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup.

Selanjutnya, terdakwa Taufiqurrahman meminta Ibnu Hajar mengambil uang syukuran sebesar Rp 200 juta dari Haryanto. Ibnu Hajar kemudian menghubungi Harianto dan menyampaikan permintaan terdakwa, lalu Haryanto meminta Wisnu Anang Prabowo menyiapkan uang syukuran, tetapi yang terkumpul hanya sebesar Rp 80 juta rupiah, yang kemudian oleh Harianto diserahkan kepada Ibnu Hajar di rumah Haryanto, Jln. DI Panjaitan 1 No 18 Kelurahan Payaman, Kecamatan Nganjuk Kabupaten Nganjuk, dan selanjutnya Ibnu Hajar menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa.

Penerimaan uang sebesar Rp 50 juta. Pada tanggal 23 Oktober 2017, terdakwa Taufiqurrahman  melalui Suwandi selaku Kepala SMP Negeri 3 Ngronggot sebagai orang kepercayaannya,  meminta Haryanto agar disiapkan uang syukuran sebesar Rp 200 juta, untuk kegiatan terdakwa di Jakarta. Uuntuk memenuhi permintaan tersebut, Haryanto menghubungi Wisnu Anang Prabowo agar menyiapkan uangnya. Lalu pada tanggal 24 Oktober 2017, uang yang terkumpul sebesar Rp 50 juta yang berasal dari Wisnu Anang Prabowo sebesar Rp 15 juta, Sumadi selaku  Kasi Dinas Pengelolaan Sampah sebesar Rp 10 juta, Arif selaku rekanan Dinas Lingkungan Hidup sebesar 15 juta rupiah, dan Okta juga rekanan Dinas Lingkungan Hidup sebesar 10 juta rupiah. Setelah uang terkumpul sebesar Rp 50 juta, Haryanto menyerahkan kepada Suwandi  melalui Sumadi di depan SMP Negeri 2 Nganjuk, Jln Wilis No 44 kelurahan Kramat Nganjuk.

 Penerimaan uang sebesar Rp 200 juta. Selain menerima uang melalui Suwandi dan Ibnu Hajar, pada bulan Mei 2017, terdakwa Taufiqurrahman juga menerima uang syukuran melalui Nurrosid  Husein Hidayat sebesar Rp 100 dari Haryanto melalui Wisnu Anang Prabowo di sekitar RSUD Kertosono. Masih di bulan yang sama, ternyata terdakwa juga menerima uang syukuran melalui Budiono sebesar Rp 100 juta dari Haryanto melalui Wisnu Anang Prabowo di rumah Budiono di  Desa Sukorejo, Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk.

Penerimaan uang dari Muhammad Bisri; pada tanggal 24 Mei 2017, terdakwa mengangkat Muhammad Bisri dari jabatan Kepala Bidang Perencanaan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk eselon 3B menjadi Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk dengan eslon yang sama, serta mengangkat para pegawai sebagaimana formasi yang diajukan oleh Muhammad Bisri.

Atas promosi/mutasi Muhammad Bisri dan beberapa pegawai tersebut, terdakwa telah meminta dan menerima uang syukuran dari Muhammad Bisri yakni; 1. Antara bulan Juli sampai dengan Agustus 2017, bertempat di rumah M. Bisri di Jln Semeru Gang 1 RT 3 RW 1 Desa Tanjungrejo,  Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk, diterima oleh Joni Tri Wahyudi sebesar Rp 200 juta  yang kemudian diserahkan Joni Tri Wahyudi kepada terdakwa Taufiqurrahman di Pendopo Kantor Bupati Nganjuk.

Ke- 2, pada tanggal 12 Oktober 2017 bertempat di Hotel Luminor Surabaya di Jln Jemursari No 206 Surabaya diterima oleh Suwandi sebesar Rp 100 juta. 3, pada tanggal 15 Oktober 2017 bertempat di rumah M. Bisri dan ke- 4 pada tanggal 17 Oktober 2017 bertempat di RSUD Nganjuk, Jln DDr. Soetomo 602 Kabupaten Nganjuk, diterima Suwandi sebesar 50 juta.

Penerimaan uang dari Teguh Sujatmika. Bahwa setelah Teguh Sijatmika diangkat menjadi Kepala SMPN 1 Tanjunganom, Ia sering ditemui Suwandi dan meminta uang syukuran untuk keperluan terdakwa. Namun Teguh Sujatmika ragu untuk memberikan uang kepada Suwandi,  karena sepengetahuan Teguh Sujatmika, yang merupakan orang dekat terdakwa adalah Ibnu Hajar  yang sering diajak pergi bersama terdakwa. Selanjutnya, pada tanggal 1 Oktober 2017, Teguh Sujatmika bertempat di rumah Ibnu Hajar, mengkonfirmasi sekaligus menyerahkan uang kepada terdakwa melalui Ibnu Hajar sebesar Rp 110 juta.

Penerimaan uang dari Tien Farida Yani, terkait pengangkatannya menjadi Direktur RSUD Kertosono Nganjuk. Pada sekitar bulan Oktober 2017, Tien Farida Yani ditelepon oleh Muhammad Bisri yang saat itu bersama Suwandi, dan menyampaikan bahwa terdakwa meminta uang syukuran sebesar Rp 150 juta dengan menggunakan istilah satu setengah meter.

Beberapa hari kemudian masih di bulan Oktober 2017, Suwandi menelpon Tien Farida Yani  dan menyampaikan akan ke rumahnya (Tien Farida Yani) terkait permintaan satu setengah meter tersebut. Selanjutnya Tien Farida Yani, bertempat di Klinik Kesehatan di Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk, hanya memberikan uang sebesar Rp 30 juta yang bersumber dari uang jasa pelayanan yang diterima Tien Farida Yani dari RSUD Kertosono, dan uang tersebut diserahkan langsung kepada Suwandi untuk diserahkan kepada terdakwa.

Penerimaan uang dari Suroto. Terdakwa Taufiqurrahman melalui Ibnu Hajar dan Suwandi, meminta dan menerima uang syukuran yang seluruhnya sebesar Rp 425 juta dari Suroto selaku  Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk. Penerimaan uang tersebut dilakukan oleh terdakwa secara bertahap yaitu sebagai berikut;

1. Pada awal tahun 2017, bertempat di rumah dinas Bupati Nganjuk, diterima Suwandi uang sebesar Rp 50 juta terkait tidak dimutasikannya Suroto pada periode sebelumnya. 2, pada sekitar akhir Maret 2017, bertempat di rumah Ibnu Hajar, diterima Ibnu Hajar sebesar Rp 305 juta dari Suroto, dan uang tersebut dikumpulkan oleh Suroto dari Sony, Sarwo, Prabowo, Murtajih, Sri Utami dan Fani, terkait promosi jabatan di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk. 3, pada sekitar tanggal 24 Oktober 2017, bertempat di depan kantor Dinas Pendidikan Nganjuk, Suwandi menerima uang syukuran sebesar Rp 40 juta terkait promosi Sutrisno dari Kepala Sekolah SMP Negeri 5 Nganjuk menjadi pengawas sekolah SMP.

Penerimaan uang dari Cahaya Sarwo Edi. Sebagai Kepala Bidang Ketenagaan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk. Ibnu Hajar meminta Cahya Sarwo Edi untuk membantu mengumpulkan uang syukuran untuk kepentingan terdakwa. Pada akhir Juni 2017 bertempat di Kantor Dinas Pendidikan, Ibnu Hajar menerima uang sebesar Rp 60 juta dari Cahya Sarwo Edi terkait promosi jabatan Sugito menjadi kepala sekolah SMP Negeri 2 Sawahan.

Dari uang syukuran yang terkumpul melalui Ibnu Hajar dan Suwandi, sebagian telah diserahkan kepada terdakwa, dan sebagian lagi masih di tangan keduanya.

Pada tanggal 24 Oktober 2017, saat terdakwa Taufiqurrahman berada di Jakarta dalam rangka melakukan pendekatan ke Partai PDIP atas rencana pencalonan istrinya sebagai Calon Bupati Nganjuk periode berikutnya, sehingga terdakwa memerintahkan Ibnu Hajar dan Suwandi melalui Nurrosyid Husein Hidayat agar menyusul ke Jakarta guna menyerahkan uang syukuran dimaksud.

 Atas perintah tersebut, Suwandi dan Ibnu Hajar pun ke Jakarta menemui terdakwa di Hotel Borobudur Jalan Lapangan Banteng Selatan, Pasar Baru, Jakarta Pusat dengan membawa uang syukuran yang masing-masing sebesar Rp 150 juta, yang dimasukkan ke dalam tas ransel hitam lalu diserahkan kepada terdakwa Taufiqurrahman.

Dan beberapa saat setelah uang syukuran tersebut diterima terdakwa dari Ibnu Hajar dan Suwandi, Ketiganya pun langsung diamankan petugas KPK.

JPU KPK menyatakan, perbuatan terdakwa Taufiqurrahman sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut pasal 12 huruf b atau pasal 11  UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 65 ayat (1) KUHAP.

Atas surat dakwaan tersebut, Tim PH terdakwa Taufiqurrahman, Dr. Soesilo Aribowo tidak mengajukan Eksepesi atau keberatan, namun meminta kepada Majelis Hakim agar JPU KPK tidak memisahkan dua kasus yang menjerat terdakwa, yakni TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), dimana  penyidik KPK telah mengeluarkan Siprindik dalam kasus TPPU tersebut.

“Kami hanya berharap Yang Mulia. Karena dalam surat dakwaan Jaksa, terdakwa dijerat dalam 2 kasus tetapi tidak sekaligus. Karena Siprindik atas TPPU telah dikeluarkan tetapi belum pernah diperiksa,” kata ketua Tim PH terdakwa memohon.

JPU KPK pun hanya menyampaikan akan mempertimbangkannya. Namun bisa jadi tak akan dituruti oleh JPU KPK. Bisa jadi, karena pasal kasus suap yang menjerat terdakwa adalah UU Korupsi dan sudah dibacakan dihadapan Majelis Hakim, sementara TPPU (UU Np 8 tahun 2010) adalah pengembangan setelah terdakwa diperiksa sebagai tersangka dalam kasus suap.

Hal itu pun diakui Soesilo Aribowo saat ditanya wartawan media ini seusai persidangan. Namun saat ditanya lebih lanjut, apakah sah atau logika, surat dakwaan yang sudah dibacakan dihadapan dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim, dapat ditambahkan pasal baru dengan Undang-Undang yang berbeda yang menjerat terdakwa ?.

Menurut PH terdakwa hanya berharap, dengan alasan ketakutan atas hukuman pidana penjara lama yang akan dialami terdakwa Taufiqurrahman.

“Kita kan hanya berharap. Karena Siprindik TPPU sudah keluar dan memang saat terdakwa diperiksa sebagai tersangka dalam kasus ini (suap). Karena hukumannya bisa lama,” kata Soesilo Aribowo.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top