0
Foto dari kiri, Harry Soenarno, Iddo Laksono Hartanto, Arya Lelana dan Wonggo Prayitno
beritakorupsi.co – Bawahan sepertinya lebih bertanggung jawab dari pada seorang pimpinan disalah 1 (Satu) Bank dalam proses pemberian kredit kepada debitur, dan apa bila terjadi kesalahan maka itu menjadi tanggung jawab bawahannya, alasannya karena yang melakukan On the Spot (OTS) atau suvei kelapangan adalah bawahan, sementara atasan hanya cukup menerima hasil laporan.

Itulah yang terjadi dalam kasus perkara dugaan Korupsi kredit macet Bank Jatim ke PT Surya Graha Semesta (SGS) pada tahun 2010 lalu sebesar Rp 306.050.000.000, yang merugikan keuangan negara senilai Rp 155.036.704.864, berdasarkan hasil penghitungan kerugian negara (HPKN) BPKP dan BKP RI Perwakilan Jawa Timur tahun 2015.

Dalam kasus ini, penyidik Kepolisian menetapkan 4 tersangka yaitu Wonggo Prayitno, mantan pimpinan Divisi Kredit Bank Jatim dan Arya Lelana, mantan Pimpinan Sub Divisi Kredit Bank Jatim,; Harry Soenarno, Relation Manager (RM) Bank Jatim dan Iddo Laksono Hartanto, staf dibagian Sub Divisi Kredit Menengah dan Koperasi Bank Jatim, yang kemudian diseret JPU ke Pengadilan Tipikor Surabaya untuk diadili dihadapan Majelis Hakim.

Setelah menjalani proses persidangan yang memakan waktu hampir 3 bulan lamanya, Tim JPU yang terdiri dari Tumpal Pakpahan dari Kejagung RI (Ketua Tim), dan Widi serta Arif Usman dari Kejari Surabaya, barulah membacakan surat tuntutannya terhadap ke- 4 terdakwa dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim yang diketuai H.R Unggul Warso Mukti, pada Jumat, 16 Maret 2018.

Ke- 4 Empat terdakwa ini disidangkan dalam dua perkara terpisah namun pembacaan surat tuntutannya dibacakan sekaligus, yaitu Harry Soenarno dan Iddo Laksono Hartanto (satu perkara) dan Wonggo Prayitno serta Arya Lelana, satu perkara dalam kasus yang sama.

Dalam surat tuntutan JPU, terdakwa Harry Soenarno selaku Relation Manager (RM) Bank Jatim, dan Iddo Laksono Hartanto sebagai staf Sub Divisi Kredit Menengah dan Koperasi Bank Jatim (1 perkara perkara) dianggap lebih bertanggung jawab dari pada atasannya yaitu Wonggo Prayitno selaku  pimpinan Divisi Kredit Bank Jatim dan  Arya Lelana sebagai Pimpinan Sub Divisi Kredit Bank Jatim dalam proses kredit yang diajukan PT Surya Graha Semesta (SGS) pada tahun 2010 lalu sebesar Rp 306.050.000.000, yang merugikan keuangan negara senilai Rp 155.036.704.864.

Ironisnya, JPU pun menuntut pidana penjara selama 6 tahun terhadap Harry Soenarno dan Iddo Laksono Hartanto. Sementara 2 terdakwa selaku pimpinan yakni Wonggo Prayitno dan Arya Lelana dituntut pidana penjara 1 tahun lebih rendah yaitu 5 tahun. Denda yang dikenakan terhadap ke- 4 terdakwa, sama yaitu sebesar Rp 100 juta subsidair 6 bulan kurungan, tanpa ada hukuman pidana tambahan berupa pengembalian kerugian negara. Alasan JPU, karena semua uang yang sudah dicairkan oleh Bank Jatim masuk ke rekening PT Surya Graha Semesta (SGS) yang dikelola oleh Tjahyo Wijdoyo (tedakwa dalam perkara tersendiri).

Dalam surat tuntutannya JPU menyatakan, bahwa pada tahun 2003, Bank Jatim memberikan fasilitas kredit modal kerja atau (KM) untuk kegiatan pembiayaan proyek yang ditangani dan yang akan ditangani oleh PT Surya Graha Semesta (SGS) dalam bentuk Standby lone dengan plafon kredit sebesar Rp 80 miliar, yang direncanakan untuk pembiayaan proyek jembatan Brawijaya di Kediri, proyek pembangunan RSUD Gambiran Kediri, proyek gedung Poltek II Kediri, proyek RSUD Saiful Anwar Kota Malang, pembangunan Pasar Caruban Madiun,   pembangunan Jembatan Kedungkambang Malang dan pembangunan Kantor terpadu Ponorogo  serta pembangunan Kantor Pusat BPR Jatim di Surabaya.

Tujuan pemberian kredit, kata JPU, adalah untuk tambahan modal kerja pelaksanaan proyek pemerintah, yang sedang dikerjakan dan atau proyek yang akan dikerjakan dengan sumber dana dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, serta swasta bonafit yang diperoleh berdasarkan surat perintah kerja atau kontrak kerja.

Dan pada tahun 2011, Rudi Wahono selaku Direktur PT SGS mengajukan penambahan plafon kredit, dari semula Rp 80 miliar menjadi Rp 125 milliar kepada Bank Jatim Jawa Timur Cabang Sidoarjo, sebagaimana surat Nomor 025/SGS/VII/2011 tanggal 19 Juni 2011, dan oleh Bank Jatim Cabang Sidoarjo, berkas permohonan penambahan plafon kredit tersebut diteruskan ke Bank Jatim pusat di Surabaya dengan melampirkan dokumen proyek diantaranya ; RSUD Gambiran II Kediri dengan nilai Rp 208.685.176.000, pembangunan Poltek II Kediri pelaksana PT Nugraha Adi Taruna dengan nilai Rp 88.901.861.280. Pembangunan proyek pekerjaan Jembatan Brawijaya Kediri, pelaksana PT Fajar Parahiyangan degan nilai Rp 66.409.000.000. Pembangunan Pasar Caruban Madiun, pelaksana PT Idee Murni Pratama dengan nilai Rp 67.200.081.000, pembangunan Jembatan Kedungkambang Malang, dengan pelaksana PT NAT nilai Rp 54.183.811.000,  pembangunan Kantor Pusat BPR Jatim, pelaksana PT NAT nilai Rp 22.189.000.000, pembangunan gedung Setda Kabupaten Madiun, dengan pelaksana PT NAT dan  PT Nugraha Airlanggatama, nilai Rp 46.668.046.000 serta pembangunan Kantor terpadu Ponorogo, dengan pelaksana PT NAT nilai kontrak Rp 42.148.0 00.000.
Iddo dan Harry, Bank Jatim
Kemudian, pemohon penambahan plafon kredit dari PT SGS tersebut, disarankan kepada terdakwa I Wonggo Prayitno selaku Pimpinan  Vivisi, dan kemudian diteruskan kepada terdakwa II Arya Lelana selaku Pimpinan Sub Divisi kredit menengah dan korporasi, untuk dilakukan verifikasi atas permohonan tersebut, dan secara berjenjang kepada tim analisis dan oleh tim analisis dan Relation Manager (RM), membuat penilaian penambahan plafon dan lembar penilaian tersebut secara berjenjang disampaikan kepada terdakwa Arya Lelana dan wonggo Prayitno.

Oleh terdakwa I Wonggo Prayitno dan terdakwa II Arya Lelana, secara melawan hukum melarang tim Analisis untuk melakukan konfirmasi ulang, skema perhitungan yang dibuat oleh para terdakwa Arya Lelana dan terdakwa Wonggo Prayitno secara melawan hukum memberikan persetujuan, untuk fasilitas kredit SGS dari Rp 80 miliar menjadi Rp 125 miliar.

 Pada hal para terdakwa mengetahui, bahwa nilai debit equity ratio (DER) PT SGS sebesar 5,09 kali melebihi persyaratan maksimal, sebesar 2,50 kali penambahan plafon penggunaan fasilitas kredit modal kerja, selama tahun 2010 tidak sesuai dengan ketentuan, namun penambahan plafon KMK SBL oleh para terdakwa, dibuat seolah-olah penggunaan fasilitas KMK SBL sesuai dengan ketentuan.

Selain itu kata JPU, PT SG tidak layak untuk mendapatkan penambahan plafon kredit tersebut antara lain; pelaksana kontrak proyek adalah pihak lain, namun dinyatakan pelaksanaan kontrak adalah PT SGS Grup, jaminan utama kredit berupa pembayaran termin proyek RSUD Gambiran, Poltek II Kediri dan jembatan Brawijaya tidak diikat dengan Cassie, namun dinyatakan telah diikat dengan cassie, pencairan kredit untuk proyek RSUD Gambiran, Poltek II Kediri dan jembatan Brawijaya Kediri periode 2010/2011 tidak diasuransikan, namu dinyatakan kredit saat ini di dipertanggungkan ke PT ASEI,  dengan nilai pertanggungan sebesar Rp 80 miliar dengan coverge 75% selama jangka waktu kredit, tunggakan kredit untuk proyek RSUD Gambiran tahun 2010 dilunasi bukan dari pembayaran termin melainkan dari pencairan kredit RSUD tahun 2011 namun penilaian kolektivitas pt.sgs dinyatakan lancar.

Dan oleh terdakwa Arya Lelana dan terdakwa Wonggo Prayitno,  menyampaikan penilaian dan persetujuan penambahan plafon kredit untuk PT SGS kepada Direktur Utama Bank Jatim, untuk mendapat persetujuan, dan oleh Direktur Bank Jatim serta Direktur Bisnis menengah dan korporasi Bank Jatim, sehingga perbuatan para terdakwa tersebut bertentangan dengan peraturan Internal Bank Jatim, Surat Edaran Direksi Nomor. 048/009/KMK tanggal 9 Maret 2009 tentang pedoman pelaksanaan kredit menengah dan korporasi, perjanjian KMK standby lone atas nama PT Surya Graha Semesta, menyatakan pencairan termin proyek yang dibiayai dengan fasilitas kredit Bank, dan pencairan termin proyek hanya dilaksanakan melalui transaksi giralisasi ke rekening atas nama PT Surya Graha Semesta di Bank Jatim cabang Utama Surabaya, yang diikat cassie dan kuasa memotong buku pedoman pelaksanaan kredit menengah dan korporasi, buku pedoman pelaksanaan kredit menengah dan korporasi Surat Edaran Direksi.

Selanjutnya, Divisi kredit menengah dan koperasi memproses permohonan tersebut dengan menyatakan, bahwa pelaksanaan proyek PT MKI,  PT NAT,  PT. FP dan PT IMP sebagai grup dari PT SGS, dan terdakwa tidak melakukan konfirmasi kepada pejabat pembuat komitmen (PPK), untuk proyek tersebut dan membuat memorandum usulan plafon dan pencairan maksimum.

JPU menyetakan, bahwa atas memorandum yang dibuat oleh para terdakwa tersebut, Bank Jatim melakukan pencairan pinjaman PT SGS  dengan rincian sebagai berikut; Pembangunan gedung Sekretariat Daerah kabupaten Madiun, kontrak tahun jamak antara Ir. Gunawan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dengan PT Nugraha Airlanggatama, KSO selaku leader Drs. Ribut Wahyu Utomo tentang pekerjaan kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Madiun, Nomor kontrak No.602.1/728/402.103/2012 tanggal 14 agustus 2012 dengan nilai kontrak sebesar Rp 46.668.046.000,

Pembangunan gedung Kantor Terpadu Kabupaten Ponorogo, surat perjanjian kontrak multiyears/tahun jamak, antara Budi Darmawan selaku PPK dengan Drs ribut Wahyu selaku pimpinan Cabang PT Nugraha Adi Taruna, tentang pekerjaan pembangunan gedung kantor terpadu Kabupaten Ponorogo, pada tanggal 11 Juni 2012 dengan nilai kontrak sebesar Rp 42.148.0.0000

Proyek pembangunan gedung kantor BPR Jatim dengan surat perjanjian antara Amiruddin selaku PPK dengan Drs. Budi Ribut Utomo selaku kepala cabang PT Nugraha Adi Taruna, tentang pembangunan gedung kantor pusat Bank Perkreditan Rakyat Jawa Timur Nomor. 12/VI/2012 tanggal 22 Juni 2012
Terdakwa Arya Lelana dan Wonggo Prayitno
Pembangunan Poltek II Kediri dengan surat perjanjian kerja konstruksi antara Irdat Indraswati selaku PPK dengan Drs. Budi Ribut Utomo selaku kepala cabang PT Nugraha Adi Taruna tentang pelaksanaan konstruksi APBD tahun 2009 tanggal 8 Oktober 2009 dengan nilai kontrak Rp 88.901.861.280.

Pembangunan jembatan Kedungkambang Kabupaten Malang, surat perjanjian antara Ir. Heroe Agoesdjianto selaku PPK dengan Drs. Budi Ribut Utomo selaku kepala cabang PT Nugraha Adi Taruna, tentang pembangunan jembatan Kedungkambang kabupaten Malang dengan nilai kontrak sebesar Rp 54.183.811.000.

Pembangunan Pasar Caruban Kabupaten Madiun, surat perjanjian antara Ir. Benawai selaku PPK dengan Rudi Soetedjo Budi Rahardjo selaku kepala Cabang PT Idee Murni Pratama tentang Pasar Caruban Kabupaten Madiun dengan nilai kontrak sebesar Rp 67.420.081.000,

Pembangunan RSUD Gambiran II Kota Kediri dikerjakan oleh PT Murni Konstruksi Indonesia dengan surat perjanjian kerja konstruksi harga satuan atau kontrak induk Nomor 9 sebesar Rp 208.685.176.000 dan pembangunan jembatan Brawijaya Kediri dikerjakan oleh PT Fajar Parahiyangan dengan surat perjanjian kerja konstruksi harga satuan atau kontrak Induk Nomor. 1033/KON.FISIK/APBD/2010 tanggal 27 September 2011 antara Nur Iman Satrio Widodo selaku selaku PPK dan Munawar selaku kepala cabang PT Fajar Parahiyangan sebesar Rp 66.409. 000.000

JPU menyatakan, bahwa dari semua proyek yang dimintakan pencairannya oleh PT SGS tersebut, tidak ada satupun proyek yang dimenangkan atau dikerjakan oleh PT Surya Graha Semesta. Pada hal PT SGS sudah menerima pencairan kredit standby lone atas proyek pembangunan gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Madiun dengan nilai pencairan Rp 15.600.000.000, proyek pembangunan gedung kantor terpadu Kabupaten Ponorogo Rp 55 M, proyek pembangunan kantor BPR Jatim Rp 6.800.000.000, proyek pembangunan Poltek 2 Kediri Rp 55 M, proyek pembangunan jembatan Kedungkandang kota Malang Rp 20.550.000.000, proyek pembangunan Pasar Caruban Kabupaten Madiun Rp 42 M, proyek pembangunan RSUD Gambiran 2 Kota Kediri Rp 122.200.000.000 dan proyek pembangunan jembatan Brawijaya Kediri Rp 30.200.000.000, sehingga total kredit yang dikucurkan Bank Jatim sebesar Rp 306.050.000.000, hingga merugikan keuangan negara sejumlah Rp 155.036.704.864.21.

JPU menyatakan, perbuatan terdakwa (Arya Lelana, Wongso Wongso Prayitno, Harry Soenarno dan Iddo Laksono Hartanto ), sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 junto pasal 18 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Menuntut; Meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menyatakan; Bahwa terdakwa Harry Soenarno dan Iddo Laksono Hartanto, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsider. Menjatuhkan hukuman pidana penjara terhadap terdakwa Harry Soenarno dan Iddo Laksono Hartanto masing-masing 6 tahun penjara, denda sebesar Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan ,” ucap Tumpal Pakpahan.

Anehnya, 2 terdakwa selaku pimpinan di Bank milik Pemrov. Jatim ini yaitu Wonggo Prayitno dan Arya Lelana dituntut pidana penjara 1 tahun lebih rendah dari bawahannya sebagai staf di Bank BUMD. Tak heran memang, bila JPU menuntut pimpian (Wonggo) lebih rendah dari bawahannya (Iddo Laksono Hartanto), bila dipefrhatikan kedekatan antara JPU dan Penasehat hukum terdakwa yang sama-sama dari Jakarta.

Atas tuntutan JPU KPK, Ketua Majelis Hakim memberikan waktu sepekan terhadap terdakwa mapun PH terdakwa untuk mempersiapkan suart pembelaan (Pledoi)-nya pada sidang yang akan datang.

Tuntutan JPU terhadap Iddo Laksono Hartanto, ibarat petir disiang bolong. itulah yang dirasakan terdakwa Iddo, istri terlebih kedua orang tua terdakwa dengan kondisi kurang sehat namun selalu setia mengikuti persidangan sejak awal, bahkan tak memperdulikan kondisi kesehatannya karena harus mengikuti  beberapa kali persidangan yang berlangsung hingg pagi hari (pukul 03.25 WIB).

“Saya hanya melaksanakan tugas sesuai perintah dan melanjutkan proses yang sudah berjalan sebelum saya masuk ke Bank Jatim tanpa ada imbalan apapun yang saya terima kecuali gaji. Kalau memang itu dianggap salah, megapa orang yang menangani ini sebelumnya tidak diproses hukum sama sepertis saya. Apakah saya lebih bertanggun jawab dari pimpinan ?,” kata terdakwa dengan nada bertanya.

Hal yang sama juga disampaikan orang tua terdakwa yang mengatakan, bahwa hukum itu ternyata tidak adil, mengapa Iddo dituntut lebih tinggi dari pimpinannya, sementara Iddo hany melaksanakan perintah, lalu dimana tanggung jawab pimpinan.

Sementara JPU Tumpal Pakpahan dari Kejagung RI selaku ketua Tim JPU kepada media ini, terkait tuntutannya yang lebih tinggi terhadap terdakwa Iddo mengatakan, bahwa terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan terdakwa yang melakukan On the Spot (OTS) dan tidak sesuai dengan dokumen.

“Penuntut Umum berpendapat, bahwa pada saat pelaksanaan proses adalah terdakwa Iddo Laksono dan Harry Soenarno yang harusnya melakukan On the Spot tapi tidak melakukan hal itu seperti fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Data yang diberikan tidak sesuai fakta dilapangan. Dan terdakwa tidak mengakui perbuatannya,” kata Tumpal Pakpahan.

Anehnya, mantan RM Bank Jatim pusat yang kini menjabat sebagai Kepala Cabang Bank Jatim Pasurauan, Sundaru dalam persidangan mengakui, bahwa dirinya tidak mengetahui dokumen kontrak kredit yang diajukan PT SGS ke Bank Jatim.

Sundaru mengaku hanya melaknakan monitoring terkait 3 proyek di Kediri, antara lain proyek pembangunan Jembatan Brawijaya dengan nilai anggaran Rp 66.409.000.000 perusahaan pelaksana PT Fajar Parahiyangan (Group PT SGS), proyek pembangunan RSUD senilai Rp 208.685.176.000, pelaksana PT Murni Konstruksi Indonesia (Group PT SGS) dan proyek Poltek II Kediri dengan anggaran sebesar Rp 88.901.861.280, pelaksana PT Nugraha Adi Taruna (Group PT SGS)

Atas pengakuan Sundaru saat itu (Selasa, 12 Desember 2017), Majelis Hakim pun mempertanyakan, dasar Sundaru untuk melakukan moniring tanpa mengetahui dokumen. Namun saksi beralasan, hanya melanjutkan dari pejabat RM sebelumnya. Selain Sundaru, hal yang sama juga disampaikan salah seorang saksi sebagai pejabat Bank Jatim yang saat ini bertugas di Jakarta.

Yang lebih anehnya lagi, proses kredit PT SGS oleh Bank Jatim yang sudah berlangsung oleh pejabat-pejabat Bank Jatim sebelumnya, justru lepas dari proses hukum. JPU mengangap, bahwa yang lebih bertanggung jawab adalah Iddo dan Harry.

Dan selama kasus Korupsi terkait kredit macet di Bank milik pemerintah yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya, inilah sejarah baru yang mencatat bahwa tanggung jawab bawahan lebih besar dari pimpinan.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, kasus ini bermula Pada tahun 2003, Bank Jatim memberikan fasilitas kredit modal kerja atau (KM) untuk kegiatan pembiayaan proyek yang ditangani dan yang akan ditangani oleh PT Surya Graha Semesta (SGS), dalam bentuk Standby lone dengan plafon kredit sebesar Rp 80 miliar, yang direncanakan untuk pembiayaan proyek jembatan Brawijaya di Kediri, proyek RSUD Gambiran Kediri, proyek gedung Poltek II Kediri dan proyek RSUD Saiful Anwar Kota Malang.

Fasilitas layanan yang diberikan Bank Jatim, yakni berupa fasilitas kerja atau dalam bentuk standby lone atau (KMK SBL), yaitu kredit modal kerja yang diberikan kepada kontraktor, termasuk pula grup usaha nasabah yang dapat dicairkan secara revolving baru proyek, apabila debitur memperoleh pekerjaan untuk menyelesaikan proyek konstruksi pengadaan barang dan jasa lainnya, berdasarkan kontrak kerja yang bersumber pembiayaan kreditnya, terutama berasal dari termin proyek yang bersangkutan termasuk juga untuk penerbitan Bank garansi, serta membiayai pembukuan L/C dan SKBDN untuk mengimpor/membeli barang-barang atau mesin peralatan yang terkait dengan proyek yang sedang/akan memperoleh pembayaran kredit dari Bank.

Tujuan pemberian kredit, kata JPU, adalah untuk tambahan modal kerja pelaksanaan proyek pemerintah, yang sedang dikerjakan dan atau proyek yang akan dikerjakan dengan sumber dana dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, serta swasta bonafit yang diperoleh berdasarkan surat perintah kerja atau kontrak kerja.

Pada tahun 2011, Rudi Wahono selaku Direktur PT SGS mengajukan penambahan plafon kredit, dari semula Rp 80 miliar menjadi Rp 125 milliar kepada Bank Jatim Jawa Timur Cabang Sidoarjo, sebagaimana surat Nomor 025/SGS/VII/2011 tanggal 19 Juni 2011, dan oleh Bank Jatim Cabang Sidoarjo, berkas permohonan penambahan plafon kredit tersebut diteruskan ke Bank Jatim di Surabaya dengan melampirkan dokumen proyek, diantaranya ; RSUD Gambiran II Kediri, dengan nilai Rp 208.685.176.000, pembangunan Poltek II Kediri pelaksana PT Nugraha Adi Taruna dengan nilai Rp 88.901.861.280. Pembangunan proyek pekerjaan Jembatan Brawijaya Kediri pelaksana PT Fajar Parahiyangan, degan nilai Rp 66.409.000.000, pembangunan Pasar Caruban Madiun, pelaksana PT Idee Murni Pratama, dengan nilai Rp 67.200.081.000, pembangunan Jembatan Kedungkandang Malang, dengan pelaksana PT NAT dengan nilai Rp 54.183.811.000,  pembangunan Kantor Pusat BPR Jatim, pelaksana PT NAT, dengan  nilai Rp 22.189.000.000, pembangunan gedung Setda Kabupaten Madiun, dengan pelaksana PT NAT, PT Nugraha Airlanggatama, dengan nilai Rp 46.668.046.000 dan pembangunan Kantor terpadu Ponorogo, dengan pelaksana PT NAT, dengan nilai Rp 42.148.0 00.000.

Kemudian pemohon penambahan plafon kredit dari PT SGS tersebut, disarankan kepada terdakwa I Wonggo Prayitno selaku Pimpinan  Vivisi, dan kemudian diteruskan kepada terdakwa II Arya Lelana selaku Pimpinan Sub Divisi kredit menengah dan korporasi, untuk dilakukan verifikasi atas permohonan tersebut, dan secara berjenjang kepada tim analisis dan oleh tim analisis dan Relation Manager (RM), membuat penilaian penambahan plafon dan lembar penilaian tersebut secara berjenjang disampaikan kepada terdakwa Arya Lelana dan wonggo Prayitno.

Oleh terdakwa I Wonggo Prayitno dan terdakwa II Arya Lelana, secara melawan hukum melarang tim Analisis untuk melakukan konfirmasi ulang, skema perhitungan yang dibuat oleh para terdakwa Arya Lelana dan terdakwa Wonggo Prayitno secara melawan hukum memberikan persetujuan, untuk fasilitas kredit SGS dari Rp 80 miliar menjadi Rp 125 miliar.

Pada hal para terdakwa mengetahui, bahwa nilai debit equity ratio (DER) PT SGS sebesar 5,09 kali melebihi persyaratan maksimal, sebesar 2,50 kali penambahan plafon penggunaan fasilitas kredit modal kerja, selama tahun 2010 tidak sesuai dengan ketentuan, namun penambahan plafon KMK SBL oleh para terdakwa, dibuat seolah-olah penggunaan fasilitas KMK SBL sesuai dengan ketentuan.

Selain itu kata JPU, PT SG tidak layak untuk mendapatkan penambahan plafon kredit tersebut antara lain; pelaksana kontrak proyek adalah pihak lain, namun dinyatakan pelaksanaan kontrak adalah PT SGS Grup, jaminan utama kredit berupa pembayaran termin proyek RSUD Gambiran, Poltek II Kediri dan jembatan Brawijaya tidak diikat dengan Cassie, namun dinyatakan telah diikat dengan cassie, pencairan kredit untuk proyek RSUD Gambiran, Poltek II Kediri dan jembatan Brawijaya Kediri periode 2010/2011 tidak diasuransikan, namu dinyatakan kredit saat ini di dipertanggungkan ke PT ASEI,  dengan nilai pertanggungan sebesar Rp 80 miliar dengan coverge 75% selama jangka waktu kredit, tunggakan kredit untuk proyek RSUD Gambiran tahun 2010 dilunasi bukan dari pembayaran termin melainkan dari pencairan kredit RSUD tahun 2011 namun penilaian kolektivitas pt.sgs dinyatakan lancar.

Dan oleh terdakwa Arya Lelana dan terdakwa Wonggo Prayitno,  menyampaikan penilaian dan persetujuan penambahan plafon kredit untuk PT SGS kepada Direktur Utama Bank Jatim, untuk mendapat persetujuan, dan oleh Direktur Bank Jatim serta Direktur Bisnis menengah dan korporasi Bank Jatim, sehingga perbuatan para terdakwa tersebut bertentangan dengan peraturan Internal Bank Jatim, Surat Edaran Direksi Nomor. 048/009/KMK tanggal 9 Maret 2009 tentang pedoman pelaksanaan kredit menengah dan korporasi, perjanjian KMK standby lone atas nama PT Surya Graha Semesta, menyatakan pencairan termin proyek yang dibiayai dengan fasilitas kredit Bank, dan pencairan termin proyek hanya dilaksanakan melalui transaksi giralisasi ke rekening atas nama PT Surya Graha Semesta di Bank Jatim cabang Utama Surabaya, yang diikat cassie dan kuasa memotong buku pedoman pelaksanaan kredit menengah dan korporasi, buku pedoman pelaksanaan kredit menengah dan korporasi Surat Edaran Direksi.

“Setelah mendapat persetujuan penambahan plafon kredit untuk PT SGS,  Rudi Wahono selaku Direktur PT SGS mengirimkan surat yang ditujukan kepada terdakwa Wonggo Prayitno, yang memberitahukan kerjasama dengan pihak pelaksana dalam proyek Pemda, dan meminta untuk diberikan fasilitas kredit modal kerja standby lone dengan meminta pencairan KMK tersebut,” ucap JPU

Selanjutnya Divisi kredit menengah dan koperasi, memproses permohonan tersebut dengan menyatakan, bahwa pelaksanaan proyek PT MKI,  PT NAT,  PT. FP dan PT IMP sebagai grup dari PT SGS, dan terdakwa tidak melakukan konfirmasi kepada pejabat pembuat komitmen (PPK), untuk proyek tersebut dan membuat memorandum usulan plafon dan pencairan maksimum.

JPU menyetakan, bahwa atas memorandum yang dibuat oleh para terdakwa tersebut, Bank Jatim melakukan pencairan pinjaman PT SGS  dengan rincian sebagai berikut; pembangunan gedung Sekretariat Daerah kabupaten, kontrak tahun jamak antara Ir. Gunawan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dengan PT Nugraha Airlanggatama, KSO selaku leader Drs. Ribut Wahyu Utomo tentang pekerjaan kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Madiun Nomor kontrak No.602.1/728/402.103/2012 tanggal 14 agustus 2012 dengan nilai kontrak sebesar Rp 46.668.046.000, pembangunan gedung Kantor Terpadu Kabupaten Ponorogo, surat perjanjian kontrak multiyears/tahun jamak, antara Budi Darmawan selaku PPK dengan Drs ribut Wahyu selaku pimpinan Cabang PT Nugraha Adi Taruna, tentang pekerjaan pembangunan gedung kantor terpadu Kabupaten Ponorogo, pada tanggal 11 Juni 2012 dengan nilai kontrak sebesar Rp 42.148.0.0000

Proyek pembangunan gedung kantor BPR Jatim dengan surat perjanjian antara Amiruddin selaku PPK dengan Drs. Budi Ribut Utomo selaku kepala cabang PT Nugraha Adi Taruna, tentang pembangunan gedung kantor pusat Bank Perkreditan Rakyat Jawa Timur Nomor. 12/VI/2012 tanggal 22 Juni 2012

Pembangunan Poltek II Kediri dengan surat perjanjian kerja konstruksi antara Irdat Indraswati selaku PPK dengan Drs. Budi Ribut Utomo selaku kepala cabang PT Nugraha Adi Taruna tentang pelaksanaan konstruksi APBD tahun 2009 tanggal 8 Oktober 2009 dengan nilai kontrak Rp 88.901.861.280.

Pembangunan jembatan Kedungkambang Kabupaten Malang, surat perjanjian antara Ir. Heroe Agoesdjianto selaku PPK dengan Drs. Budi Ribut Utomo selaku kepala cabang PT Nugraha Adi Taruna, tentang pembangunan jembatan Kedungkamdang kabupaten Malang dengan nilai kontrak sebesar Rp 54.183.811.000.

Pembangunan Pasar Caruban Kabupaten Madiun, surat perjanjian antara Ir. Benawai selaku PPK dengan Rudi Soetedjo Budi Rahardjo selaku kepala Cabang PT Idee Murni Pratama tentang Pasar Caruban Kabupaten Madiun dengan nilai kontrak sebesar Rp 67.420.081.000,

Proyek pembangunan RSUD Gambiran II Kota Kediri dikerjakan oleh PT Murni Konstruksi Indonesia dengan surat perjanjian kerja konstruksi harga satuan atau kontrak induk Nomor 9 sebesar Rp 208.685.176.000 dan pembangunan jembatan Brawijaya Kediri dikerjakan oleh PT Fajar Parahiyangan dengan surat perjanjian kerja konstruksi harga satuan atau kontrak Induk Nomor. 1033/KON.FISIK/APBD/2010 tanggal 27 September 2011 antara Nur Iman Satrio Widodo selaku selaku PPK dan Munawar selaku kepala cabang PT Fajar Parahiyangan sebesar Rp 66.409. 000.000

“Dari semua proyek yang dimintakan pencairannya oleh PT SGS tersebut, tidak ada satupun proyek yang dimenangkan atau dikerjakan oleh PT Surya Graha Semesta. Pada hal PT SGS sudah menerima pencairan kredit standby lone atas proyek pembangunan gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Madiun dengan nilai pencairan Rp 15.600.000.000, proyek pembangunan gedung kantor terpadu Kabupaten Ponorogo Rp 55 M, proyek pembangunan kantor BPR Jatim Rp 6.800.000.000, proyek pembangunan Poltek 2 Kediri Rp 55 M, proyek pembangunan jembatan Kedungkandang kota Malang Rp 20.550.000.000, proyek pembangunan Pasar Caruban Kabupaten Madiun Rp 42 M, proyek pembangunan RSUD Gambiran 2 Kota Kediri Rp 122.200.000.000 dan proyek pembangunan jembatan Brawijaya Kediri Rp 30.200.000.000 sehingga total 306.050.000.000,” ucap JPU

JPU menjelaskan, pada tanggal 19 oktober 2011, dilakukan addendum sebagaimana akta addendum tambahan plafon kredit Nomor 25 tanggal 19 Oktober 2011 yang dibuat Isy Karimah Syakir selaku Notaris di Surabaya, bahwa hasil tagihan termin proyek yang dibiayai dengan fasilitas kredit Bank diikat secara Casey dan kuasa memotong pada proyek. Pencairan kredit yang dilakukan oleh Bank Jatim Cabang sidoarjo, hanya berdasarkan surat yang ditandatangani oleh terdakwa Wonggo Prayitno selaku Pemimpin Divisi KMK dan terdakwa Arya Lelana selaku Pimsubdiv KMK

Pencarian kredit untuk pembangunan jembatan Kedungkambang dilakukan sebelum adanya kontrak pembangunan jembatan Kedungkambang Malang, di mana PT SGS mengirimkan surat kepada terdakwa Wonggo Prayitno, agar bisa digunakan untuk dialokasikan dengan plafon 55%. Dan atas surat PT SGS tersebut, terdakwa Wonggo Prayitno dan Arya Lelana menyampaikan persetujuan pencairan KMK standby lone atas nama PT SGS sebesar Rp 16.700.000.000.

Sehingga hal tersebut bertentangan dengan Surat Edaran Direksi Nomor 064/008/DIR/KRD tanggal 30 April 2008 tentang pedoman pelaksanaan kredit menengah dan koperasi, persetujuan penambahan 8 KMK dan penambahan agunan Nomor 047/740/KRD tanggal 18 Oktober 2011

Dalam pencairan kredit modal kerja tersebut, seharusnya proyek disesuaikan dengan kemajuan fisik proyek berdasarkan progress report, namun dalam pelaksanaannya, pencairan kredit modal kerja tidak dilaksanakan berdasarkan progress report, sehingga hal tersebut bertentangan dengan SE Rireksi Nomor 046/008/DIR/KDR tanggal 30 April 2008

Pencairan kredit modal kerja dari Bank Jatim terhadap PT SGS tersebut, ternyata tidak semuaa dipergunakan untuk kegiatan proyek yang dimintakan kredit pembayarannya, tapi dipergunakan untuk membayar angsuran pokok KM standby lone dan bunga sebesar Rp 90.957.420.250,75, dan ditransfer ke rekening Thahjo Widjojo selaku Komisaris Utama PT SGS sebesar Rp 51.772.000.000. Sehingga hal tersebut bertentangan dengan surat edaran direksi nomor 048/DIR/KMK tanggal 9 Maret 2010 tentang pedoman pelaksanaan kredit menengah dan koperasi

Dalam pengambilan kredit atau angsuran atas 8 proyek yang dibiayai dari KMK standby lone, PT SGS seharusnya dibayarkan proporsional dengan termin. Namun dalam pelaksanaannya, di mana pembayaran dari pejabat pembuat komitmen ke rekening pelaksana pekerjaan, tidak ditransfer kembali ke rekening PT SGS, di mana hal tersebut sesuai dengan permintaan PT SGS dan disetujui oleh para terdakwa.

Surat perjanjian jangka waktu kredit Nomor 74 tanggal 31 Desember 2013, bahwa jangka waktu modal kerja standby lone sampai dengan tanggal 24 Februari 2014, dimana pada saat jatuh tempo tersebut PT SGS tidak mampu melunasi saldo kredit, sehingga masih terdapat tunggakan pokok sebesar Rp 120.700.714.443, yang kemudian dinyatakan macet kolektibilitas 5 dan oleh Tri Ujiarti selaku pimpinan Bank Jatim cabang Sidoarjo, mengusulkan penghapusbukuan atas penggunaan kredit untuk 6 proyek, yakni Poltek Kediri, jembatan Brawijaya, jembatan Kedungkandang, pasar kantor, Setda Kabupaten Madiun dan kantor terpadu Ponorogo

Penempatan kolektibilitas 5 atas kredit modal kerja standby lone PT SGS, tidak didahului dengan penyerahan pengelolaan kredit dari Divisi kredit menengah dan korporasi kepada devisi khusus kredit dan juga PT SGS masih melakukan pembayaran angsuran sebesar Rp 150 juta, dan anggunan tambahan berupa tanah dan bangunan yang diterima Bank Jatim untuk kredit modal kerja standby lone PT SGS, belum dilakukan pelelangan dan pada periode Mei sampai dengan Desember 2014, dan  masih terdapat pembayaran termin dari proyek pembangunan gedung terpadu Ponorogo sebesar Rp 19.312.510.491, 98.

Pembangunan gedung Setda Madiun sebesar Rp 18.609.374.780,89 namun oleh terdakwa wonggo Prayitno dan Arya Lelana selaku pimpinan divisi kredit menengah dan korporasi, tetap memproses usulan penghapusan buku dari cabang Sidoarjo sesuai dengan memorandum Nomor 052/024/PKB tanggal 15 September 2014, dan menyetujui dilakukannya penghapusan buku kredit PT SGS yang diajukan oleh Cabang Sidoarjo, khususnya untuk pokok kredit macet PT SGS, dan oleh terdakwa Arya Lelana dan Wongso Wongso Prayitno meneruskan usulan dan kajian penghapusan buku tersebut ke Direktur Penghapusan dan Direksi PT Bank Jatim

“Bahwa perbuatan terdakwa Arya Lelana dan Wonggo Prayitno, telah memperkaya korporasi, yaitu PT SGS dan orang lain yakni Tjahjo Wijaya selaku komisaris Utama PT SGS hingga merugikan keuangan negara Rp 155.036.704.864.21,” kata JPU

Akibatnya, para terangka/terdakwa (Arya Lelana dan Wongso Wongso Prayitno) pun dijerat dengan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 junto pasal 18 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.  (Redaksi).

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top