#Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa tempat kejadian masuk wilayah hukum PN Situbondo, yang seharusnya Pengadilan Tipikor Surabaya#
beritakorupsi.co – Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Ka Kejagung RI), sepertinya perlu memberikan perhatian serius dan pembinaan terhadap Jaksa dijajarannya, Khususnya yang menangani kasus perkara Korupsi agar tidak terulang seperti yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Situbondo.
Pasalnya, JPU Handoko Alfiantoro dari Kejari Situbondo yang sedang menangani kasus perkara dugaan Korupsi sepertinya “tidak serius” saat membuat surat dakwaan atas nama terdakwa Zainal Imran selaku Lurah Ardirejo, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo yang akan dibacakan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur.
Anehnya, JPU Handoko Alfiantoro saat membuat surat dakwaan “lupa”, bahwa kasus perkara korupsi di Jawa Timur masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya sejak tanggal 17 Desember 2010 lalu hingga saat ini, bukan Pengadilan Negeri Situbondo seperti yang tertulis dalam surat dakwaan JPU.
Kamis, 27 April 2018, dalam surat dakwaan yang dibacakan JPU Handoko Alfiantoro dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya Jalan Raya Juanda, Sidoarjoa Jawa Timur, yang diketuai Hakim Dede menyebutkan, bahwa terdakwa Zainal Imran selaku Lurah Ardirejo, Kecamatan Panji Kabupaten Situbondo, pada hari Senin, tanggal 20 Maret 2017 sekira pukul 15.00 WIB, bertempat di ruang kerja terdakwa di kantor kelurahan Rrdirejo, Kecamatan Panji Kabupaten Situbondo yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Situbondo.
Akibatnya, Ketua Majelis Hakim pun langsung mengur JPU begitu menyebutkan Pengadilan Negeri Situbondo. “…….Coret itu” perintah Ketu Majelis Hakim.
Tidak berhenti disitu saja, begitu selesai membacakan surat dakwaan, JPU Handoko Alfiantoro dan Ridwan Soleh selaku Penasehat Hukum (PH) terdakwa langsung dipanggil menghadap Ketua Majelis. Ternyata yang dilakukan JPU saat itu untuk mencoret nama Pengadilan Negeri Situbondo dan mengganti menjadi Pengadilan Tipikor Surabaya dengan tulisan tangan yang tidak begitu jelas. Hal itu diketahui, saat wartawan media ini menemui PH terdakwa sesusai persidangan.
Surat dakwaan JPU yang “lupa” pengadilan Tipikor ada di wilah hukum Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Surabaya menjadi “lampu hijau” bagi terdakwa untuk “bebas” dari penjara. Sebab PH terdakwa langsung mengajukan untuk menyampaikan Eksepsi atau keberatan pada persidangan berikutnya.
“Yang Mulia, kami akan menyampaikan Eksepsi,” kata PH terdakwa memohon.
Seusai persidangan, Ridwan Soleh dan Markacung selaku PH terdakwa kepada media ini mengatakan, bahwa surat dakwaan JPU ngaur, dan kasus ini bukan korupsi.
“Surat dakwaan JPU ngaur, ditujukan ke Pengadilan Negeri Situbondo makanya langsung ditegur Majelis Hakim untuk diganti, ini copy paste. Akhirnya diganti menjadi Pengadilan Negeri Tipikor Surabaya,” kata Ridwan sambil menunjukkan surat dakwaan.
“Pasal yang dikenakan dalam surat dakwaan tadi pasal 12 huruf e dan pasal 11. Dakwaan ini ngaur tolong dicatat, ini ngaur dan tidak benar. Tidak ada uang negera yng dikorupsi sementara yang dikenakan pasal Korupsi, ini uang jasa perantara aja dan belum diterima, apalagi tidak tau jumlahnya berapa, tapi katanya 10 juta,” kata Ridwan menambahkan.
Dalam surat dakwaan JPU disebutkan, bahwa terdakwa ditangkap di tempat kerja (Kelurahan) terdakwa. Sementara terdakwa mengatakan, bahwa Ia (terdakwa) dipanggil secara resmi oleh Kepolisian.
“Saya dipanggil secara resmi. Uang itu disita dari Kuncoro bukan dari saya. saya tidak tau berapa dan belum lihat,” kata terdakwa.
Apa yang dikatakan oleh terdakwa dengan apa yang dibutkan oleh JPU dalam surat dakwaan, sepertinya menjadi pertanyaan. Sebab, dari berbagai pemberitaan sejak awal menyebutkan, Polres Situbondo melakukan OTT terhadap oknum Lurah dan perangkatnya pada Senin, 20 Maret 2017 sekira pukul 15.00 WIB.
Anehnya, pelimpahan perkara dari Polres Situbondo ke Kejaksaan Negeri Situbondo baru dilakukan pada tanggal 11 April. Kalau memang Zainal Imran terjaring OTT oleh Unit Pemberantasan Pungli (UPP) Polres Situbondo, mengapa harus menunggu setahun baru dilipmpahkan ke Jaksa ?
Apakah karena lamanya kasus ini ditangan Polres Situbondo sehingga membuat “lupa” JPU menyebutkan Pengadilan Negeri Tipikor Surabaya menjadi Pengadilan Negeri Situbondo, karena dianggap kasus Pida umum (Pidum) ?
Seperti dalam surat dakwaan disebutkan, sekitar bulan Desember 2016 Gumilang hendak menjual tanah miliknya yang terletak di Dusun Cappore Kelurahan Ardirejo, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo tetapi ukuran tanah tersebut tidak lurus alias bengkok pada bagian selatan, sehingga sulit untuk di Kavling dan dijual. Kemudian untuk meluruskan ukuran tanah tersebut, Kuncoro mempunyai keinginan untuk membeli sebagian tanah di sebelahnya yang merupakan tanah milik perkumpulan kematian masyarakat Situbondo (PKMS).
Pada bulan Januari 2017, Gumilang mendatangi Onny yang merupakan wakil ketua PKMS, pada saat itu Gumilang menyampaikan keinginannya kepada Onny, selanjutnya Onny menyampikan keinginan Gumilang kepda Ketua PKMS. Setelah terjadi tawar-menawar, kemudian disepakati bahwa tanah PKMS seluas kurang lebih 200 meter seharga Rp 7 juta, sesuai dengan kwitansi pembebasan pada tanggal 23 Januari 2017.
Kemuidan, Gumilang datang ke kantor Kelurahan Ardirejo untuk mengurus akta jual beli tanah tersebut, pada saat itu Gumilang ditemui Kuncoro selaku Kasi Pemerintahan di Kelurahan Ardirejo. Kemuidan, Guliang memberikan data pendukung berupa sertifikat tanah dan fotocopy bukti kuitansi pembebasan lahan kepada Kuncoro. Untuk biaya pengurusan, Kuncoro meminta biaya sebesar Rp 650 ribu untuk membeli materi dan biaya pengetikan. Gumilang pun menitipkan uang sebesar Rp 650 juta kepada Kuncoro dengan kesepakatan pada saat itu, apabila uang titipkan tersebut lebih, akan dikembalikan, dan apabila kurang akan ditalangi terlebih dahulu oleh Gemilang. Untuk maslah akta jual beli tanah, Kuncoro menyarankan Gumilang untuk berkordinasi dengan terdakwa.
Setelah dua hari kemudian, Gumilang datang lagi ke kantor Kelurahan dan bertemu dengan Kuncoro. Pada saat itu, Gumilang bercerita kepada Kuncoro, jika terdakwa meminta biaya sebesar Rp 20 juta untuk pengurusan akte jual beli dan Gumilang merasa keberatan. Kuncoro mengatakan, apabila ada keberatan langsung menawar atau bernego dengan terdakwa, karena terdakwa selaku Lurah yang mempunyai kuasa untuk menentukan harga. setelah itu Gumilang diajak ke ruang kerja untuk menawar biaya pengurusan akte jual beli sebesar yang diminta oleh terdakwa sebesar Rp 20 juta yang belum ada kesepakatan.
Keesokan harinya, terdakwa menyuruh Kuncoro untuk menyampaikan kepada Gumila, jika biaya pengurusan akte jual beli turun menjadi Rp 15 juta, tetapi Gumilang pun tetap merasa keberatan.
Satu minggu kemudian, Gumilang ditelepon oleh Kuncoro agar datang ke kantor Kelurahan untuk tawar-menawar atau nego ulang biaya akta jual beli tanah. Kemudian, sekira pukul 11.15 WIB, Gumilang datang ke kantor Kelurahan Ardirejo yang ditemui oleh Kuncoro. setelah itu, Gumilang diajak masuk ke kerja terdakwa. Pada saat itu, Gumilang menyampaikan keberatannya atas biaya akte jual beli yang diminta oleh terdakwa sebesar Rp 15 juta. Terdakwa pun kemudian menurunkan lagi biaya akte jual beli menjadi Rp 17.750.000, namun Gumilang tetap merasa keberatan.
Karena Gumilang tetap merasa keberatan, lalu terdakwa mengatakan jika tidak ada tanda tangan dan stempel darinya (terdakwa) maka akta jual beli tersebut tidak akan jadi bahkan sampai Kecamatan, dan jika tidak ada kesepakatan masalah uangnya, maka tanah tersebut akan diwakafkan.
Setelah dua hari kemudian, Kuncoro dipanggil oleh terdakwa ke ruangannya, pada saat itu terdakwa menyuruh Kuncoro untuk menyampaikan kepada Gumilang, bahwa biaya pembuatan akta jual beli tanah diturunkan lagi menjadi Rp 10 juta.
Dua hari kemuidan, Gumilang datang ke kantor Kelurahan untuk menyampaikan bahwa pembayaran akan dilakukan dua kali, dan pelunasan setelah akta jual beli tanaha selesai, namun terdakwa menolaknya dan meminta sekaligus. Dan Gumilang pun akhirnya meminjam uang saudaranya sebesar Rp 10 juta.
Satu minggu kemudian, Gumilang mendapatkan pinjaman uang sebesar Rp 10 juta, dan pada hari Minggu tanggal 19 Maret 2017 sekira pukul 20.00 WIB, Gumilang menghubungi Kuncoro, pada saat itu Gumilang menyampaikan jika uang untuk biaya pengurusan akte jual beli sebesar 10 juta sudah ada.
Pada senin 20-03-2017 sekira pukul 11.00 WIB, Gumilang menghubungi Kuncoro dan menyampaikan, jika uang biaya akte jual beli yang diminta oleh terdekat sudah siap. Selanjutnya Kuncoro menjawab, jika terdakwa masih ada acara di luar kantor dan akan dihubungi bila sudah kembali.
Sekitar pukul 14.00 30 WIB di hari yang sama, Kuncoro menghubungi Gumilang menyampaikan jika terdakwa sudah di kantor. Tiga puluh menit kemudian, Gumilang datang ke kantor Kelurahan, dan pada saat itu terdakwa sedang berada di ruang kerja Kuncoro, dan terdakwa langsung Gumilang ke ruang kerja terdakwa.
Saat Gumilang hendak menyerahkan sebuah map warna hijau berisi uang Rp 10 juta sebagai biaya akte jual beli yang diminta oleh terdakwa serta fotokopi KTP dan kartu keluarga (KK), tetapi pada saat itu terdakwa tidak langsung menerima, tetapi terdakwa mengatakan jika tugasnya sudah selesai dan untuk keuangan serta administrasi diwakilkan kepada Kuncoro.
Beberapa saat setelah Gumilang hendak menyerahkan map berisi uang tersebut, polisi dari Polres Situbondo yang sebelumnya telah mendapatkan informasi jika terdakwa meminta sejumlah uang dalam pengurusan akte jual beli tanah langsung melakukan penggerebekan di ruang kerja terdakwa.
JPU menyebutkan, bahwa perbuatan terdakwa tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain, UU RI Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), PP RI Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil (PNS), Peraturan Pemerintah RI Nomor 73 tahun 2005 tentang Kelurahan, Peraturan Bupati Situbondo Nomor 67 tahun 2008 tentang uraian tugas dan fungsi Kelurahan di Kabupaten Situbondo
“Dan perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 huruf e atau pasang 11 undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Sebagaimana telah diubah dengan undang-undang RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,” ucap JPU Handoko Alfiantoro. (Redaksi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :