beritakorupsi.co – Jumat, 27 April 2018 adalah waktu bagi Majelis Hakim untuk menentukan “si Hitam” alias mobil mewah merek Toyota New Alphard Type 3.5 Q A/T tahun 2016 warna hitam yang diterima terdakwa Eddy Rompoko saat menjabat sebagai Wali Kota Batu dari Filipus Djab seorang pengusaha dan kemudian sama-sama tertagkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK pada tanggal 16 Septemberi 2017 lalu.
Saat itu (16 Septemberi 2017) sekira pukul 12.30 WIB, KPK mengamankan 3 orang dengan barang bukti berupa uang yang totalnya Rp 295 juta, yakni Edi Setiawan selaku Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan (Kabag ULP) Kota Batu, dan saat itu penyidik KPK menyita uang sebesar Rp 95 juta dan Filipus Djab, Direktur CV Amarta Wisesa (sudah divonis 2 tahun penjara selaku pemberi suap pada tanggal 22 Januari 2018) bersama Eddy Rumpoko di rumah dinas Wali Kota Batu, penyidik KPK juga menyita uang sebesar Rp 200 juta.
Kemudian Ketiganya pun diseret ke hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya oleh JPU KPK untuk diadili atas perbuatan para tersangka/terdakwa dengan perkara masing-masing terpisah. Namun Filipus Djab sudah terlebih dahulu dijatuhui (Vonis) hukuman dengan pidana penjara 2 tahun dari tuntutan JPU KPK, yakni 2 tahun dan 6 bulan.
Selama dalam proses persidangan dengan terdakwa Filipus Djab, Edi Setiawan maupun Eddy Rumpoko, JPU KPK sudah membeberkan perbuatan ke- 3 terdakwa dengan menunjukkan barang bukti termasuk menghadirkan beberapa saksi, diantaranya Direktur PT Dailbana Prima Indonesia, Esther Tedjakusuma (dalam persidangan ternyata Esther Tedjakusuma bukan istri Filipus Djab namun tinggal serumah bertahun-tahun), Yunaedi (anggota TNI AD yang menjadi supir pribadi Wali Kota Batu), , Lila Widya Rahajeng (Sekretaris pribadi Wali Kota Batu), Diah selaku staf di Pemkot Batu dan dari pihak Cabang Dealer Toyota PT Kartika Sari.
Dihadapan Majelis Hakim yang diketuai H.R Unggul Warso Mukti, JPU KPK pun membeberkan kronologis mobil mewah yang dimiliki terdakwa Eddy Rumpoko.
Saat itu (16 Septemberi 2017) sekira pukul 12.30 WIB, KPK mengamankan 3 orang dengan barang bukti berupa uang yang totalnya Rp 295 juta, yakni Edi Setiawan selaku Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan (Kabag ULP) Kota Batu, dan saat itu penyidik KPK menyita uang sebesar Rp 95 juta dan Filipus Djab, Direktur CV Amarta Wisesa (sudah divonis 2 tahun penjara selaku pemberi suap pada tanggal 22 Januari 2018) bersama Eddy Rumpoko di rumah dinas Wali Kota Batu, penyidik KPK juga menyita uang sebesar Rp 200 juta.
Kemudian Ketiganya pun diseret ke hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya oleh JPU KPK untuk diadili atas perbuatan para tersangka/terdakwa dengan perkara masing-masing terpisah. Namun Filipus Djab sudah terlebih dahulu dijatuhui (Vonis) hukuman dengan pidana penjara 2 tahun dari tuntutan JPU KPK, yakni 2 tahun dan 6 bulan.
Selama dalam proses persidangan dengan terdakwa Filipus Djab, Edi Setiawan maupun Eddy Rumpoko, JPU KPK sudah membeberkan perbuatan ke- 3 terdakwa dengan menunjukkan barang bukti termasuk menghadirkan beberapa saksi, diantaranya Direktur PT Dailbana Prima Indonesia, Esther Tedjakusuma (dalam persidangan ternyata Esther Tedjakusuma bukan istri Filipus Djab namun tinggal serumah bertahun-tahun), Yunaedi (anggota TNI AD yang menjadi supir pribadi Wali Kota Batu), , Lila Widya Rahajeng (Sekretaris pribadi Wali Kota Batu), Diah selaku staf di Pemkot Batu dan dari pihak Cabang Dealer Toyota PT Kartika Sari.
Dihadapan Majelis Hakim yang diketuai H.R Unggul Warso Mukti, JPU KPK pun membeberkan kronologis mobil mewah yang dimiliki terdakwa Eddy Rumpoko.
JPU KPK menyatakan, bahwa Eddy Rumpoko selaku Walikota Batu tahun 2012 sampai dengan 2017, bersama-sama dengan Edy Setiawan yang menjabat Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan, pada bulan Mei 2016 sampai dengan hari Sabtu tanggal 16 September 2017, bertempat di ruang kerja Walikota Batu di lantai 5 Gedung Balai Kota Among Tani Kota Batu, Jalan Panglima Sudirman Nomor 507 Kota Batu, di Hotel Amarta Hills Jalan Abdul Gani Atas Komplek Amarta Hills Kota Batu, serta di rumah dinas Walikota Batu Jalan Panglima Sudirman Nomor 98 Kota Batu, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan berlanjut, menerima hadiah atau janji berupa 1 unit mobil merk Toyota New Alphard Nomor Polisi N 507 BZ seharga Rp 1,6 miliar, dan uang sebesar Rp 95 juta serta Rp 200 juta dari Filipus Djap.
Pada sekitar tahun 2012, terdakwa Eddy Rumpoko berkenalan dengan Fiilipus Djab, seorang pengusaha yang sedang mengurus ijin mendirikan Hotel miliknya yakni Hotel Amarta Hills di Kota Batu. Dan Filipus Djab pun mejadi rekanan di Kota Batu yang mengikuti beberapa proyek pengadaan Meubelair dan seragam kantor, menggunakan CV Amarta Wisesa miliknya dan PT Dailbana Prima Indonesia milik istrinya (dalam persidangan ternyata Esther Tedjakusuma bukan istri Filipus Djab namun tinggal serumah bertahun-tahun).
Pada Mei 2016, terdakwa Eddy Rumpoko ingin memiliki mobil mewah merek Toyota Alphard seri terbaru untuk dipergunakan melayani tamunya yang berkunjung ke Kota Batu. Untuk mewujudkan keinginannya itu, terdakwa Eddy Rumpoko memanggil Filipus Djab ke ruang kerjanya di lantai 5 Gedung Balai Kota Among Tani Kota Batu, dan menyampaikan agar Filipus Djab membayar terlebih dahulu pembelian mobil Toyota Alphard tersebut yang harganya Rp 1.600.000.000, dan sebagai gantinya Eddy Rumpoko akan memberikan proyek-proyek atau paket pekerjaan yang didanani dari APBD Kota Batu, dan permintaan itupun disanggupi oleh Filipus Djab.
Pada tanggal 17 Mei 2016, terdakwa memanggil Filipus Djab dan Haryanto Iskandar selaku Kepala Cabang Dealer Toyota PT Kartika Sari, untuk datang ke ruang kerjanya guna membicarakan type-type terbaru kendaraan Toyota Alphard. Dari pertemuan dan pembicaraan ketiganya, kemudian memutuskan untuk memilih Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam dengan harga yang disepakati Rp 1,6 miliar. Dan saa itu juga, terdakwa menyampaikan kepada Hariyanto Iskandar, bahwa yang akan membayar adalah Filipus Djab.
“Beberapa hari kemudian, Filipus Djab melunasi pembayaran harga mobil kepada Dealer Toyota PT Kartika Sari dengan cara dua kali angsuran, pertama pada tanggal 19 Mei 2016 sebesar Rp 300 juta, dan kedua tanggal 3 Juni 2016 sebesar Rp 1,3 milliar. Dan pada tanggal 20 Mei 2016, terdakwa memerintahkan Haryanto Iskandar agar nama pemilik dalam STNK dan BPKB mobil tersebut dibuat atas nama perusahaan PT Duta Perkasa Unggul Lestari (PT DPUL), karena terdakwa Eddy Rumpoko ternyata mantan orang PT DPUL,” kata JPU KPK dihadapan Majelis Hakim dalam persidangan.
Kemudian pada tanggal 21 Mei 2016, Yunedi yang merupakan sopir pribadi terdakwa sejak tahun 2008 yang juga anggota TNI AD yang masih aktif itu, lalu mengambil mobil tersebut dari dealer Toyota PT Kartika Sari membawa ke rumah dinas Wali Kota Batu (dalam fakta persidangan, Yunedi ikut menandatangani dokumen pengambilan mobil di daeler. Dan besoknya mobil tersebut digunakan untuk mengantarkan Megawati ke Blitar dengan membuat Nomor Polisi palsu N 507 BZ).
“Pada pertengahan Mei 2016, di ruang rapat Walikota Batu, Eddy Rumpoko memperkenalkan Filipus Djab kepada Edi Setiawan yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Pengadaan dan Distribusi Aset Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Batu sekaligus merangkap sebagai Sekretaris Unit Layanan Pengadaan (ULP) dengan mengatakan, “Ed, Ini teman saya, dan Dia sebagai pemenang lelang Pekerjaan Meubelair, kamu pandu atau arahkan agar pekerjaannya bagus, yang kemudian dijawab oleh Edi Setiawan, siap.,” kata JPU KPK menirukan.
Pada sekitar tahun 2012, terdakwa Eddy Rumpoko berkenalan dengan Fiilipus Djab, seorang pengusaha yang sedang mengurus ijin mendirikan Hotel miliknya yakni Hotel Amarta Hills di Kota Batu. Dan Filipus Djab pun mejadi rekanan di Kota Batu yang mengikuti beberapa proyek pengadaan Meubelair dan seragam kantor, menggunakan CV Amarta Wisesa miliknya dan PT Dailbana Prima Indonesia milik istrinya (dalam persidangan ternyata Esther Tedjakusuma bukan istri Filipus Djab namun tinggal serumah bertahun-tahun).
Pada Mei 2016, terdakwa Eddy Rumpoko ingin memiliki mobil mewah merek Toyota Alphard seri terbaru untuk dipergunakan melayani tamunya yang berkunjung ke Kota Batu. Untuk mewujudkan keinginannya itu, terdakwa Eddy Rumpoko memanggil Filipus Djab ke ruang kerjanya di lantai 5 Gedung Balai Kota Among Tani Kota Batu, dan menyampaikan agar Filipus Djab membayar terlebih dahulu pembelian mobil Toyota Alphard tersebut yang harganya Rp 1.600.000.000, dan sebagai gantinya Eddy Rumpoko akan memberikan proyek-proyek atau paket pekerjaan yang didanani dari APBD Kota Batu, dan permintaan itupun disanggupi oleh Filipus Djab.
Pada tanggal 17 Mei 2016, terdakwa memanggil Filipus Djab dan Haryanto Iskandar selaku Kepala Cabang Dealer Toyota PT Kartika Sari, untuk datang ke ruang kerjanya guna membicarakan type-type terbaru kendaraan Toyota Alphard. Dari pertemuan dan pembicaraan ketiganya, kemudian memutuskan untuk memilih Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam dengan harga yang disepakati Rp 1,6 miliar. Dan saa itu juga, terdakwa menyampaikan kepada Hariyanto Iskandar, bahwa yang akan membayar adalah Filipus Djab.
“Beberapa hari kemudian, Filipus Djab melunasi pembayaran harga mobil kepada Dealer Toyota PT Kartika Sari dengan cara dua kali angsuran, pertama pada tanggal 19 Mei 2016 sebesar Rp 300 juta, dan kedua tanggal 3 Juni 2016 sebesar Rp 1,3 milliar. Dan pada tanggal 20 Mei 2016, terdakwa memerintahkan Haryanto Iskandar agar nama pemilik dalam STNK dan BPKB mobil tersebut dibuat atas nama perusahaan PT Duta Perkasa Unggul Lestari (PT DPUL), karena terdakwa Eddy Rumpoko ternyata mantan orang PT DPUL,” kata JPU KPK dihadapan Majelis Hakim dalam persidangan.
Kemudian pada tanggal 21 Mei 2016, Yunedi yang merupakan sopir pribadi terdakwa sejak tahun 2008 yang juga anggota TNI AD yang masih aktif itu, lalu mengambil mobil tersebut dari dealer Toyota PT Kartika Sari membawa ke rumah dinas Wali Kota Batu (dalam fakta persidangan, Yunedi ikut menandatangani dokumen pengambilan mobil di daeler. Dan besoknya mobil tersebut digunakan untuk mengantarkan Megawati ke Blitar dengan membuat Nomor Polisi palsu N 507 BZ).
“Pada pertengahan Mei 2016, di ruang rapat Walikota Batu, Eddy Rumpoko memperkenalkan Filipus Djab kepada Edi Setiawan yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Pengadaan dan Distribusi Aset Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Batu sekaligus merangkap sebagai Sekretaris Unit Layanan Pengadaan (ULP) dengan mengatakan, “Ed, Ini teman saya, dan Dia sebagai pemenang lelang Pekerjaan Meubelair, kamu pandu atau arahkan agar pekerjaannya bagus, yang kemudian dijawab oleh Edi Setiawan, siap.,” kata JPU KPK menirukan.
Sejak pembelian mobil tersebut, PT Dailbana Prima Indonesia dan CV Amarta Wisesa memenangkan 7 proyek pengadaan di Pemkot Batu, antara lain di Dinas pendidikan, pengadaan batik siswa SD dengan pagu anggaran Rp 1.204.740.000 dengan nilai penawaran Rp 1.170.505.000 pemenang CV Amarta Wisesa,; 2. Pengadaan Batik untuk siswa SMP dengan pagu anggaran Rp 632.100.000, nilai penawaran Rp 614.190.000 pemenang lelang CV Amarta Wisesa,; 3. Dinas Pendidikan pengadaan batik untuk siswa SMA/SMK dengan pagu anggaran Rp 657.370.000, nilai penawaran Rp 640.466.000 pemenang CV Amarta Wisesa,; 4. Di BPKAD pengadaan mebeleur berupa meja dan kursi dengan pagu anggaran Rp 5.010.755.000, nilai penawaran Rp 4.929.404.000 pemenang PT Dailbana Prima Indonesai,; 5. Di Dinas Pendidikan pengadaan Almari Sudut BacaSDN dengan pagu anggaran Rp 2.125.000.000 nilai penawaran Rp 2.033.570.000 pemenang CV Amarta Wisesa,; 6. Di Dinas Pendidikan Belanja seragam bawahan SMA/MA/SMK dengan pagu anggaran Rp 852.372.500 nilai penawaran Rp 851.919.500 pemenang CV Amarta Wisesa, dan ke- 7 di Dinas Pendidikan Belanja seragam bawahan SMP/MTs dengan pagu anggaran Rp 728.612.500 nilai penawaran Rp 710.066.000 pemenang CV Amarta Wisesa
Pada bulan April 2017, Edi Setiawan dan Filipus Djab mengadakan pertemuan diruang kerja Edi Setiawan sebelum proses lelang pengadaan dimulai. Dalam pertemuan tersbut, Filipus menyampaikan akan mengikuti lelang dengan memakai PT Dailbana Prima Indonesia dan CV Amarta Wisesa. Selain itu, Filipus Djab juga menyampaikan kepada terdakwa Eddy Rumpoko, bagaimana cara pelunasan mobil Toyota Alphard. Yang dijawab oleh Eddy Rumpoko, bahwa pelunasan mobil sebesar Rp 650 juta, akan diselesaikan dengan pengadaan TA 2017.
Pada tanggal 23 Mei 2017, setelah Edi Setiawan diangkat menjadi Kepala Bagian Layanan Pengadaan Pemkot Batu lalu menindaklanjuti perintah terdakwa Eddy Rumpoko dengan cara melakukan pembicaraan dengan Filipus Djab, untuk membantu pekerjaan dalam memenangkan lelang pengadaan barang di Pemkot Batu TA 2017, sekaligus membicarakan fee yang harus diberikan kepada terdakwa Eddy Rumpoko sebesar 10 persen, dan untuk Edi Setiawan sebesar 2 persen dari nilai kontrak.
“Walaupun terdakwa tidak mengakui haruslah dikesampingkan, sebab fakta dalam persidangan sudah cukup jelas termasuk keterangan dari Filipus Djab,” ucap JPU KPK.
Pada bulan April 2017, Edi Setiawan dan Filipus Djab mengadakan pertemuan diruang kerja Edi Setiawan sebelum proses lelang pengadaan dimulai. Dalam pertemuan tersbut, Filipus menyampaikan akan mengikuti lelang dengan memakai PT Dailbana Prima Indonesia dan CV Amarta Wisesa. Selain itu, Filipus Djab juga menyampaikan kepada terdakwa Eddy Rumpoko, bagaimana cara pelunasan mobil Toyota Alphard. Yang dijawab oleh Eddy Rumpoko, bahwa pelunasan mobil sebesar Rp 650 juta, akan diselesaikan dengan pengadaan TA 2017.
Pada tanggal 23 Mei 2017, setelah Edi Setiawan diangkat menjadi Kepala Bagian Layanan Pengadaan Pemkot Batu lalu menindaklanjuti perintah terdakwa Eddy Rumpoko dengan cara melakukan pembicaraan dengan Filipus Djab, untuk membantu pekerjaan dalam memenangkan lelang pengadaan barang di Pemkot Batu TA 2017, sekaligus membicarakan fee yang harus diberikan kepada terdakwa Eddy Rumpoko sebesar 10 persen, dan untuk Edi Setiawan sebesar 2 persen dari nilai kontrak.
“Walaupun terdakwa tidak mengakui haruslah dikesampingkan, sebab fakta dalam persidangan sudah cukup jelas termasuk keterangan dari Filipus Djab,” ucap JPU KPK.
“Pada tanggal 23 Agustus 2017 bertempat di kedai roti di Bandara Abdul Rahman Saleh Malang, terdakwa bertemu dengan Filipus Djap yang menanyakan kepada terdakwa, “Pak, untuk fee meubeler ini mau dipotong untuk Si Hitam berapa, Bapak berkenan tunai berapa ?”. Yang di jawab oleh terdakwa, “Udah, Edi Setiawan yang atur”. Selanjutnya, sekitar pukul 13.00 WIB, Filipus Djab menghubungi Edi Setiawan untuk membicarakan penyerahan fee 10 persen dari nilai kontrak pekerjaan pengadaan meubelair sebesar Rp 500 juta,” kata JPU KPK
Dalam pembicaraan tersebut (saat JPU KPK membacakan surat tuntutannya), disampaikan bahwa dari fee Rp 500 juta akan diperhitungkan Rp 300 juta yang sudah dikelaurkan Filipus Dajb untuk pembayaran Si Hitam. Sehingga sisa kekuragan Rp 650 juta setelah dikurangi Rp 300 juta menjadi Rp 350 juta, dan akan diperhitungkan dari pengadaan lainnya pada tahun anggaran 2017 yang dikerjakan oleh Filipus Djap. Selanjutnya sisa uang sejumlah Rp 200 juta diminta oleh terdakwa Eddy Rumpoko untuk diberikan secara tunai, dan Rp 100 juta untuk Edi Setiawan sebagai fee 2 persen yang dijanjikan.
Pada tanggal 24 Agustus 2017 sekitar pukul 10.00 WIB, terdakwa Eddy Rumpoko menghubungi Filipus Djab dan menyampaikan pesan agar tidak melakukan transaksi terlebih dahulu karena sedang dipantau oleh tim Saber Pungli dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, terdakwa berpesan agar Filipus Djab mengingatkan Edi Setiawan terkait hal tersebut.
Pada siang harinya di tanggal 24 Agustus 2017, Filipus Djab dan Edi Setiawan mengadakan pertemuan di rumah makan Java Nine Malang dan menyepakati untuk menggunakan kata sandi undangan untuk uang, Atas untuk mengganti Hotel Amartha Hills, bawah untuk Cafe Java Nani dan Si Hitam untuk mobil Alphard, untuk digunakan dalam setiap komunikasi. Atas saran terdakwa, menunjuk Edi Setiawan sebagai orang tengah yang menjembatani komunikasi antara terdakwa dan Filipus Djap.
“Pada tanggal 15 September 2017, setelah pembayaran pekerjaan meubelair masuk ke rekening BRI atas nama PT Dailbana Prima Indonesia sebesar Rp 4.714.850.250 dari BKAD Kota Batu sekitar pukul 13.49 WIB, terdakwa dihubungi oleh Filipus Djab, yang menyampaikan “Oh Pak, besok saya mau ngantar undangan. Yang dijawab oleh terdakwa, “iya iya saya tunggu ya”. Kemudian dijawab Filipus Djap “he he he. saya kontak Bapak besok ya”. Dan dijawab oleh terdakwa “Nggeh maturnuwun”,” kata JPU KPK menirukannya.
Masih di hari yang sama sekitar pukul 13. 59 WIB, Filipus Djap menghubungi Edi Setiawan, mengajak bertemu di atas untuk menyerahkan undangan. Selain itu Filipus Djap juga menyampaikan, sudah menghubungi terdakwa Eddy Rumpoko akan memberikan undangan secara langsung.
Sabtu tanggal 16 September 2017 sekitar pukul 10.14 WIB, Filipus Djap menelepon Edi Setiawan meminta untuk mengecek keberadaan terdakwa. Atas permintaan tersebut, selanjutnya Edi Setiawan menghubungi Lila Widya Rahajeng, sekretaris pribadi terdakwa dengan menggunakan aplikasi WhatsApp untuk mempertanyakan keberadaan terdakwa. Menurut Lila Widya Rahajeng, bahwa terdakwa berada di rumah dinas, dan selanjutnya Edy Setiawan menyampaikan informasi tersebut kepadaku Filipus Djap
Dalam pembicaraan tersebut (saat JPU KPK membacakan surat tuntutannya), disampaikan bahwa dari fee Rp 500 juta akan diperhitungkan Rp 300 juta yang sudah dikelaurkan Filipus Dajb untuk pembayaran Si Hitam. Sehingga sisa kekuragan Rp 650 juta setelah dikurangi Rp 300 juta menjadi Rp 350 juta, dan akan diperhitungkan dari pengadaan lainnya pada tahun anggaran 2017 yang dikerjakan oleh Filipus Djap. Selanjutnya sisa uang sejumlah Rp 200 juta diminta oleh terdakwa Eddy Rumpoko untuk diberikan secara tunai, dan Rp 100 juta untuk Edi Setiawan sebagai fee 2 persen yang dijanjikan.
Pada tanggal 24 Agustus 2017 sekitar pukul 10.00 WIB, terdakwa Eddy Rumpoko menghubungi Filipus Djab dan menyampaikan pesan agar tidak melakukan transaksi terlebih dahulu karena sedang dipantau oleh tim Saber Pungli dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, terdakwa berpesan agar Filipus Djab mengingatkan Edi Setiawan terkait hal tersebut.
Pada siang harinya di tanggal 24 Agustus 2017, Filipus Djab dan Edi Setiawan mengadakan pertemuan di rumah makan Java Nine Malang dan menyepakati untuk menggunakan kata sandi undangan untuk uang, Atas untuk mengganti Hotel Amartha Hills, bawah untuk Cafe Java Nani dan Si Hitam untuk mobil Alphard, untuk digunakan dalam setiap komunikasi. Atas saran terdakwa, menunjuk Edi Setiawan sebagai orang tengah yang menjembatani komunikasi antara terdakwa dan Filipus Djap.
“Pada tanggal 15 September 2017, setelah pembayaran pekerjaan meubelair masuk ke rekening BRI atas nama PT Dailbana Prima Indonesia sebesar Rp 4.714.850.250 dari BKAD Kota Batu sekitar pukul 13.49 WIB, terdakwa dihubungi oleh Filipus Djab, yang menyampaikan “Oh Pak, besok saya mau ngantar undangan. Yang dijawab oleh terdakwa, “iya iya saya tunggu ya”. Kemudian dijawab Filipus Djap “he he he. saya kontak Bapak besok ya”. Dan dijawab oleh terdakwa “Nggeh maturnuwun”,” kata JPU KPK menirukannya.
Masih di hari yang sama sekitar pukul 13. 59 WIB, Filipus Djap menghubungi Edi Setiawan, mengajak bertemu di atas untuk menyerahkan undangan. Selain itu Filipus Djap juga menyampaikan, sudah menghubungi terdakwa Eddy Rumpoko akan memberikan undangan secara langsung.
Masyarakat Kota Batu pendukung terdakwa Eddy Rumpoko |
Di hari yang sama sekitar pukul 11.00 WIB, Filipus Djab menghubungi Edi Setiawan untuk bertemu di atas. Selanjutnya, sekitar pukul 11.29 WIB, Filipus Djab menghubungi terdakwa dan menanyakkan apakah terdakwa di rumah atau tidak, yang dijawab oleh terdakwa “di rumah belum mandi, belum makan”. lalu Filipus Djab menyampaikan ingin bertemu 4 mata terlebih dahulu karena akan menyampaikan undanga untuk terdakwa. Yang dijawab oleh terdakwa “ya, ya, ya pak”.
“Tanggal 16 September 2017 Sekitar pukul 12.30 WIB, Filipus Djab bertemu dengan Edi Setiawan di halam parkir Hotel Amarta Hills, lalu sekitar pukul 12.45 WIB, Filipus Djap menyerahkan paper bag BRI prioritas berisi uang sebesar Rp 95 juta, sambil mengatakan ini titipannya. Setelah menyerahkan uang kepada Edi Setiawan, Filipus Djap kemudian pergi ke rumah dinas Walikota Batu di Jalan Panglima Sudirman Nomor 98 Kota Batu dengan membawa paper bag BRI prioritas yang berisi uang sebesar Rp 200 juta untuk diserahkan langsung terhadap Eddy Rumpoko, dan sesampainya di rumah dinas Wali Kota Batu saat itu langsung diamankan oleh KPK,” ungkap JPU KPK
Sehingga menurut JPU KPK, bahwa perbuatan terdakwa Eddy Rumpoko diancam pidana penjara sebagaiaman dalam pasal 12 huruf a UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHAP
Dari fakta - fakta persidangan, JPU KPK meminta Majelis Hakim untuk menghukum terdakwa Eddy Rumpoko dengan hukuman pida penjara 8 (Delapan) tahun, denda sebesar Rp 600 juta subsidair bulan kurungan. Selain itu, JPU KPK juga meminta agara terdakwa dihukum dengan pencabutan hak untuk dipilih dan memili dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah terpidana seleseai menjalani pidana pokok.
Anehnya, Majelis Hakim mengatakan dalam pertimbangannya, bahwa unsur memebrikan suap berupa uang sebesar Rp 200 juta tidak terbukti. Pasal 12 huruf a UU Korupsi yang dikenakan JPU KPK dalam surat tuntutannya terhadapat terdakwa, menurut Majelis Hakim tidak terbukti dan haruslah dibebaskan.
Yang lebih anehnya lagi, menurut Majelis Hakim bahwa terdakwa Eddy Rumpoko tidak terbukti menerima uang suap sebesar Rp 200 juta. Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa Eddy Rumpoko yang pada saat KPK melakukan penangkapan sedang mandi, dan tidak mengetahui undangan alais uang yang hedak diatar Filipus Djab saat itu.
Hal itu diucapkan Majelis Hakim dalam persidangan dengan agenda pembacaan putusan dengan terdakwa Eddy Rumpoko ya dan Edi Setiawan (perkara terpisah) yang digelar dalam 2 session dengan dihadiri puluhan simpatisan mantan Wali Kota Batu termasuk dari organisasi putra putri TNI Polri, pada Jumat, 27 April 2018.
Dalam amar putusan Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa Eddy Rumpoko terbukti menerima hadiah berupa mobil Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam dengan harga yang disepakati Rp 1,6 miliar dari Filipus Djab.
Majelis Hakim pun menjerat terdakwa Eddy Rumpoko dengan pasal subsider dalam surat dakwaan, yakni pasal 11 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHAP.
“Mengadili; Menyaatakan bahwa terdakwa Eddy Rumpoko terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsider; Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp 300 juta; Bilamana denda tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 3 bulan; Selain itu, menghukum terdakwa dengan pencabutan hak untuk dipilih dan memili dalam jabatan publik selama 3 tahun,” ucap Ketua Majelis Hakim.
Terkait barang bukti berupa satu unit mobil Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam dan uang sebesar Rp 295 juta, dalam putusan Majelis Hakim dirampas untuk negara.
Sementara dalam persidangan berikutnya dengan terdakwa Edi Setiawan dalam kasus yang sama, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan, denda sebesar Rp 100 juta subsidair 1 bulan kurungan. Hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap anak buah Eddy Rumpoko ini juga tergolong ringan dari tuntutan JPU KPK, yakni 6 tahun penjara.
Atas putusan Majelis Hakim, terdakwa Eddy Rumpoko yang didampingi tim Penasehat Hukumnya Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra dkk mapun JPU KPK mengatakan pikir-pikir.
Usai peridangan, terkait putusan Majelis Hakim, JPU KPK Ronald Ferdinand Worontika kepada media ini mengatakan, bahwa ada kesalahan penerapan pasal, sehingga perlu untuk dibahas lebih lanjut dengan melakukan upaya hukum banding. Namun demikian, JPU KPK Ronald mengatakan tetap menghargai putusan tersebut.
“Ada kesalahan dalam penerapan pasal, namun kami tetap menghargai putusan Majelis Hakim. Terkait dikatakan terdakwa tidak terbukti menggerakan, jelas bahwa ada Edi Setiawan yang diperintah terdakwa untuk membantu Filipus Djab, dan ada pemberian mobil dari Filipus Djab. Menurut kami ini sudah jelas ada niat untuk menggerakkan orang lain untuk melakukan. Walau kami tadi mengatakan pikir-pikir, sudah jelas kami akan banding karena putusan Majelis Hakim tadi tidak ada separoh dari tuntutan,” kata JPU KPK Ronald.
Saat ditanya kasus tersangka baru dan kasus TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) terhadap terdakwa Eddy Rumpoko, JPU KPK Ronal mengatakan, masih mempelejari dan mungkin bisa dilakukan pengembangan baru.
“Kalau kasus TPPU masih ditangani tapi saya tidak berani mengatakan lebih lanjut karena ada hal – hal yang rahasia. Kalau tersangka baru, bisa jadi ada pengembangan,” kata JPU KPK Ronal. (Redaksi)
“Ada kesalahan dalam penerapan pasal, namun kami tetap menghargai putusan Majelis Hakim. Terkait dikatakan terdakwa tidak terbukti menggerakan, jelas bahwa ada Edi Setiawan yang diperintah terdakwa untuk membantu Filipus Djab, dan ada pemberian mobil dari Filipus Djab. Menurut kami ini sudah jelas ada niat untuk menggerakkan orang lain untuk melakukan. Walau kami tadi mengatakan pikir-pikir, sudah jelas kami akan banding karena putusan Majelis Hakim tadi tidak ada separoh dari tuntutan,” kata JPU KPK Ronald.
Saat ditanya kasus tersangka baru dan kasus TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) terhadap terdakwa Eddy Rumpoko, JPU KPK Ronal mengatakan, masih mempelejari dan mungkin bisa dilakukan pengembangan baru.
“Kalau kasus TPPU masih ditangani tapi saya tidak berani mengatakan lebih lanjut karena ada hal – hal yang rahasia. Kalau tersangka baru, bisa jadi ada pengembangan,” kata JPU KPK Ronal. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :