2
#Eddy Rumpoko dituntut 8 tahun penjara dan pencabutan hak politiknya selama 5 tahun oleh JPU KPK, keran menerima mobil Alphard berwarna hitam dan uang Rp 200 juta dari Filipus Djab#
Terdakwa Eddy Rumpoko
beritakorupsi.co – Tak banyak terdakwa yang terseret dalam lingkaran hitam kasus Korupsi mengakui kesalahan dan minta maaf, atas apa yang dilakukannya  dihadapan Majelis Hakim dalam persidangan, daintaranya terdakwa Eddy Rumpoko.

Karena “Si Hitam” alias mobil mewah merek Toyota New Alphard Type 3.5 Q A/T tahun 2016 warna hitam, dan  “undangan” alias uang sebesar Rp 200 juta yang diterima Eddy Rompoko saat menjabat sebagai Wali Kota Batu dari Filipus Djab seorang pengusaha, yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK pada tanggal 16 Septemberi 2017 lalu, kemudian dituntut pidana penjara selama 8 tahun serta pencabutan hak politiknya 5 tahun, minta dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, pada Selasa, 17 April 2018.

Dalam kasus ini, KPK mengamankan 3 orang dan barang bukti berupa uang suap sejumlah Rp 295 juta dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada tanggal 16 September 2017 sekitar pukul 12.30 WIB. Ketiga orang itu ialah Edi Setiawan selaku Kepala Bagian  Unit Layanan Pengadaan (Kabag ULP) Kota Batu dengan barang bukti berupa uang sebesar Rp 95 juta. Menyusul kemudian KPK mengamankan Filipus Djab, Direktur CV Amarta Wisesa (sudah divonis 2 tahun penjara selaku pemberi suap pada tanggal 22 Januari 2018) bersama Eddy Rumpoko di rumah dinasnya dengan barang bukti uang Rp 200 juta, bagian dari harga mobil mewah merek Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam Rp 1,6 milliar yang sudah diberikan Filipus Djab terhadap Eddy Rumpoko sebelumnya.

Persidangan yang digelar hari ini (17 April 2018) adalah agenda pembacaan Pledoi (Pembelaan) oleh terdakwa Eddy Rompoko dan Edi Setiwan yang berlangsung dalam 2 session dengan Majelis Hakim yang sama. Terdakwa Eddy Rumpoko terlebih dahulu membacakan pembelaannya.

Dalam persidangan, permintaan bebas itu disampaikan langsung oleh terdakwa Eddy Rompoko dengan didampingi Penasehat Hukumnya Prof. Yusril Ihza Mahendra dkk dihadapan Majelis Hakim yang diketuai H.R. Unggul Warso Mukti, saat membacakan pembelaannya di ruang sidang Candra Pengadilan Tipikor Surabaya dan dihadiri JPU KPK Ronald Ferdinand Worontika dkk.

Anehnya, dalam surat pembelaan (Pledoi) yang dibacakan terdakwa Eddy Rumpoko, suami dari Wali Kota Batu saat ini Dewanti Rumpoko mengatakan tidak megenal Filipus Djab, serta tidak pernah bertemu. Yang lebih anehnya lagi, Eddy Rumpoko tidak mengakui terkait mobil mewah merek Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 dan uang yang diterimanya dari Filipus Djab.

Selain itu, terdakwa Eddy Rumpoko mengatakan,  istilah atas untuk Hotel baru diketahuinya dalam persidangan. Terdakwa Eddy Rompoko justru menuduh Filipus Djab yang sengaja menyeretnya dalam kasus yang mengantarnya kebalik jeruji besi alias penjara. Dakwaan mapun JPU KPK tak satu pun yang diakui terdakwa.

“Saya tidak meneganl Filipus Djab, dia senagaja menyeret saya dalam kasus ini. Istilah atas untuk Hotel pun baru saya tau dalam persidangan ini” kata terdakwa dengan suara lembut.

Aneh memang bila terdakwa tidak mengakui sama sekali apa yang didakwakan JPU KPK, sementra dalam fakta persidangan baik keterangan Filipus Djab, Edi Setiawan dan Junaedi termasuk hasil percakapan melalui WhastApp yang ditunjukkan JPU KPK terungkap, adanya pembicaraan tentang mobil dan uang.


Keterangan Junaedi, anggota TNI AD yang menjadi supir (Driver) terdakwa sejak 2008 dihadapan Majelis Hakim mengatakan, kalau dirinya diperintah terdakwa untuk mengambil mobil ke deler dengan menandatangani dokumen pengambilan, namun Junaedi tidak tahu siapa yang membayar. Terakit pembayaran mobil, terdakwa Eddy Rumpoko juga mengakui tidak membayar.

Lalu apakah mobil itu diambil begitu saja sesuai selera terdakwa tanpa harus membayar harga mobil ke pemiliknya ? Atau pemilik deler akan memberikan begitu saja terhadap terdakwa karena Wali Kota melalui suruhannya tanpa harus membayar ?.

“Untuk itu saya mohon agar saya dibebaskan,” ucap terdakwa memohon.

Dalam surat pembelaannya pun, terdakwa menyebut almarhum orang tuanya mantan anggot TNI sebagai pahlawan yang dikenal di  Kota Batu. Sebelum mengakhiri pembelaannya, terdakwa meminta ijin kepada Majelis Hakim untuk memutar Video tentang keberhasilnya selama 10 tahun menjabat sebagai Wali Kota Batu, yang sudah disiapkan oleh tim Penasehat Hukumnya dengan memasang monitor raksasa di ruang persidangan.

Sementara dalam persidangan selanjutnya dengan terdakwa Edi Setiawan yang didampingi Penasehat Hukumnya dari LBH YLKI (Yayasan Legundi Keadilan Indonesia) juga menyampaikan pembelaannya dihadapan Majelis Hakim.

Terdakwa Edi Setiawan selaku bawahan dari Eddy Rumpoko ternyata lebih gentlemen dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya terkaut kasus yang menyeretnya ke pusaran Korupsi suap, walau terasa pahit hukumnya adalah wajib. Itulah yang disampaikannya dalam pembelaannya dihadapan Majelis Hakim.

Terdakwa Edi Setiawan mengakui, bahwa untuk memenangkan PT Dailbana Prima Indonesia milik Esther Tedjakusuma, istri terpidana Filipus Djab (dalam persidangan ternyata Esther Tedjakusuma bukan istri Filipus Djab namun tinggal serumah bertahun-tahun) dalam pengadaan meubelair Tahun 2017 senilai Rp 5,4 milliar adalah atas perintah Eddy Rumpoko. Sekalipun mendapat perintah, terdakwa Edi Setiawan tetap melaksanakan proses pengadaan sesuai dengan  peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan hasil pengadaan tersebut tidak ada menimbulkan kerugian negara sesuai hasil audit pemeriksaan baik tim pemeriksa hasil pekerjaan (TPHP), tim pengawalan pelaksanaan pembangunan pemerintah daerah (TP4D) yang terdiri dari  unsur Kepolisian, Kejaksaan, Inspektorat maupun BPK RI.

“Program pengadaan meubelair Tahun 2017 adalah program lanjutan tahun 2016 yang menuntut adanya keserasian barang hasil pengadaan yang sebisa mungkin sama dan sesuai dengan Grand desain interior Balai Kota Among Tani yang sudah dijalankan sejak tahun 2016. Perintah untuk menyarankan pemenangan lelang pengadaan kepada Filipus Djap, benar dari Walikota Batu kepada saya, namun perintah tersebut saya sikapi secara normatif sehingga proses pengadaan tetap berjalan sesuai kaidah standar minimal peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan hasil pengadaan tersebut dinilai baik oleh tim pemeriksa hasil pekerjaan (TPHP), tim pengawalan pelaksanaan pembangunan pemerintah daerah (TP4D) yang terdapat unsur Kepolisian, Kejaksaan, Inspektorat maupun BPK RI tidak menemukan adanya kesalahan atau penyimpangan maupun kerugian negara,” ucap terdakwa membacakan pembelaannya.
Foto atas, Edi Setiawan (kiri) dan Eddy Rumpoko, Ester dan Filipus Djab (foto bawah/ Dok. BK)
Namun demikian, terdakwa keberatan atas dakwaan dan tuntutan JPU terkait fee 2 persen yang diberikan Filipus Djab kepada terdakwa Edi Setiawan. Alasannya, apa yang disampaikan Filipus tidak didukung alat bukti. Terdakwa justru menyebutkan hasil penyadapan percakapan terdakwa Edi Setiawan dengan Filipus Djab. Fee 2 persen hanya menurut Filipus Djab tanpa ada tanggapan dari terdakwa, termasuk niat Filipus Djab untuk memberikan fee kepada Aparan Penegak Hukum (APH) seperti Kejaksaan dan Kepolisian, selain kepada Inspektorat, wartawan dan LSM.

“Uang sebesar Rp 95 juta atau fee 2 persen persen yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai proyek bagi saya/panitia lelang adalah pernyataan sepihak Filipus yang tidak memiliki bukti dan saksi bahkan bertentangan dengan alat bukti petunjuk resmi berupa rekaman penyadapan pembicaraan yang dilakukan oleh KPK sendiri,” ungkap terdakwa

“Percakapan telepon pada tanggal 15 Agustus 2017 jam 10 : 08 : 37 pada menit 00 : 04 : 20, Philips : “Teman-teman punya, yang ke……Pak Edi punya, saya tetap ada kontribusi ke Pak Edi”. lalu dibalas oleh terdakwa Edi Setiawan: “Aduh ndak usah mikir Saya di Pak yang penting lunas dulu saya terbebani”. Lalu percakapan telepon pada tanggal 23 Agustus 2017 jam 13. 18.2 13 mulai menit ke 00 : 05 : 32. Philips: “Dua untuk APH (Aparat Penegak Hukum),  Nah itu kita perlu duduk sama-sama pak, Nah kira-kira untuk teman-teman yang itu kita anggarkan berapa ya, pak. Tolong diskusikan yang untuk teman-teman itu baju hijau, coklat, BPK RI, LSM, wartawan dan siapa lagi itu, saya kapok dipanggil-panggil kayak waktu itu lagi, entar yang ini pak, yang teman-teman dari Kejaksaan ama Kepolisian, saya titipkan ke Pak Edi Setiawan aja deh pak,”. ungkap terdakwa menirukan percakapan itu.

“Dapatkah disebutkan keadilan, jika pelaku utama dan penikmat kejahatan dituntut hukuman yang sama atau mirip dengan seorang ASN yang terpaksa dipaksa melakukan pekerjaan dalam sebuah sistem yang sudah terpola sedemikian rupa ?,” ujat terdakwa dengan bertanya.

Sebagai kesatria, terdakwa Edi Setiawan tidak meminta bebas kepada Majelis Hakim atas tuntutan pidana penjara 6 tahun oleh JPU KPK . Terdakwa mengakui kesalahan dan penyesalan yang mendlaam serta menyerahkan sepenuhnya kepada ‘Marwah Tuhan” untuk menjatuhkan hukuman yang harus dijalaninya.

“Apa yang saya utarakan itu tidak dimaknai sebagai bentuk perlawanan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum, karena mengungkapkan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah meski terasa pahit hukumnya adalah wajib. Dengan penuh kesadaran dan penyesalan yang dalam, saya menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim selaku wakil Tuhan dalam pengadilan di dunia ini, untuk menilai dan mempertimbangkan ungkapan hati nurani saya ini dalam membuat keputusan yang seadil-adilnya hukuman yang harus saya jalani,” kata terdakwa.

Usai sudah giliran JPU KPK membacakan dakwaan, menghadirkan saksi-saksi dan membacakan tuntutan pidanya terhadap terdakwa, serta terdakwa pun sudah menyampaikan pembelaannya. Tinggal giliran Majelis Hakim untuk mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta dalam  persidangan termasuk keyakinan Majelis Hakim sendiri, yang akan dibacakan dalam persidangan pekan depan.

Usai persaingan. JPU KPK kepada wartawan media ini mengatakan, bahwa apa yang disampaikan terdakwa Eddy Rumpoko sama sekali tidak mengakui, pada hal bukti dan saksi jelas terungkap dalam persidangan.

“Intinya tadi, terdakwa tidak mengakui sama sekali perbuatannya. Tapi fakta dipersidangan sudah jelas,” kata JPU KPK Ronald.

Kasus ini berawal pada sekitar tahun 2012, terdakwa Eddy Rumpoko berkenalan dengan Fiilipus Djab, seorang penusaha yang sedang mengurus ijin mendirikan Hotel miliknya yakni Hotel Amarta Hills di Kota Batu. Dan Filipus Djab pun mejadi rekanan di Kota Batu yang mengikuti beberapa proyek pengadaan Meubelair dan seragam kantor, menggunakan CV Amarta Wisesa miliknya dan PT Dailbana Prima Indonesia milik istrinya (Esther Tedjakusuma).

Pada Mei 2016, terdakwa Eddy Rumpoko berkeinginan untuk memiliki mobil mewah merek Toyota Alphard seri terbaru untuk dipergunakan melayani tamunya yang berkunjung ke Kota Batu. Untuk mewujudkan keinginannya, terdakwa kemudian memanggil Filipus Djab ke ruang kerjanya di lantai 5 Gedung Balai Kota Among Tani Kota Batu, dan menyampaikan keinginannya agar Filipus Djab membayar terlebih dahulu harga pembelian mobil Toyota Alphard tersebut yang harganya Rp 1.600.000.000.

Dalam pertemuan itu, terdakwa menyampaikan, sebagai gantinya akan memberikan proyek-proyek atau paket pekerjaan yang bersumber dari APBD pemerintah Kota Batu kepada, dan permintaan itupun disanggupi oleh Filipus Djab.

Pada tanggal 17 Mei 2016, terdakwa memanggil Filipus Djab dan Haryanto Iskandar selaku Kepala Cabang Dealer Toyota PT Kartika Sari, untuk datang ke ruang kerjanya guna membicarakan type-type terbaru kendaraan Toyota Alphard. Dari pertemuan dan pembicaraan ketiganya,  kemudian memutuskan untuk memilih Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam dengan harga yang disepakati Rp 1,6 miliar. Dan saa itu juga, terdakwa menyampaikan kepada Hariyanto Iskandar, bahwa yang akan membayar adalah Filipus Djab sementara mobil untuk terdakwa sendiri.

Beberapa hari kemudian, Filipus melunasi pembayaran harga mobil dengan cara dua kali angsuran, yaitu pada tanggal 19 Mei 2016 sebesar Rp 300 juta dan pada tanggal 3 Juni 2016 sebesar Rp 1,3 milliar kepada Dealer Toyota PT Kartika Sari.

Pada tanggal 20 Mei 2016, terdakwa memerintahkan Haryanto Iskandar. agar nama pemilik yang tercantum dalam surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan BPKB mobil Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam itu, dibuat atas nama perusahaan PT Duta Perkasa Unggul Lestari (PT DPUL), walau tanpa persetujuan terlebih dahulu atau tanpa diketahui oleh pihak PT DPUL.

Selanjutnya, pada tanggal 21 Mei 2016, Junedi yang merupakan sopir terdakwa mengambil mobil tersebut dari dealer Toyota PT Kartika Sari dan kemudian menyimpannya di rumah dinas Wali Kota Batu.

Pada pertengahan Mei 2016, sebelum dimulai rapat dengan Kepala Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) di ruang rapat Walikota Batu, memperkenalkan Edi Setiawan yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Pengadaan dan Distribusi Aset Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Batu yang sekaligus merangkap sebagai Sekretaris Unit Layanan Pengadaan (ULP) kepada Filipus Djab.

Setelah rapat selesai, terdakwa menyampaikan terhadap Edi Setiawan, “Ed, Ini teman saya, dan Dia sebagai pemenang lelang Pekerjaan Meubelair, kamu pandu atau araahkan agar pekerjaannya bagus, yang kemudian dijawab oleh Edi Setiawan, siap.

Selanjutnya setelah pertemuan terakhir di puncak menemui Edi Setiawan di lobi ruang kerja terdakwa dan memperkenalkan perusahaannya yakni PT Dailbana  Prima Indonesia serta meminta agar Edi Setiawan membantu pekerjaannya dalam pengadaan meubelair. Selain itu, di akhir bulan Mei 2016 Filipus Djab juga memberitahu ke Setiawan bahwa dirinya telah memberikan terdakwa mobil Toyota New Alphard.

Sejak pembelian mobil tersebut pada tahun 2016, melalui PT Dailbana Prima Indonesia dan CV Amarta Wisesa telah memenangkan 7 pengadaan barang di pemerintahan Kota Batu, antara lain di Dinas pendidikan, pengadaan batik siswa SD dengan pagu anggaran Rp 1.204.740.000 dengan nilai penawaran Rp 1.170.505.000 pemenang CV Amarta Wisesa

2. Pengadaan Batik untuk siswa SMP dengan pagu anggaran Rp 632.100.000, nilai penawaran Rp 614.190.000 pemenang lelang CV Amarta Wisesa,; 3. Dinas Pendidikan pengadaan batik untuk siswa SMA/SMK dengan pagu anggaran Rp 657.370.000, nilai penawaran Rp 640.466.000 pemenang CV Amarta Wisesa; 4. Di BPKAD pengadaan mebeleur berupa meja dan kursi dengan pagu anggaran Rp 5.010.755.000, nilai penawaran Rp 4.929.404.000 pemenang PT Dailbana Prima Indonesai,; 5. Di Dinas Pendidikan pengadaan Almari Sudut BacaSDN dengan pagu anggaran Rp 2.125.000.000 nilaipenawaran Rp 2.033.570.000 pemenang CV Amarta Wisesa.

6. Di Dinas Pendidikan Belanja seragam bawahan SMA/MA/SMK dengan pagu anggaran Rp 852.372.500 nilai penawaran Rp 851.919.500 pemenang CV Amarta Wisesa, dan 7. Di Dinas Pendidikan Belanja seragam bawahan SMP/MTs dengan pagu anggaran Rp 728.612.500 nilai penawaran Rp 710.066.000 pemenang CV Amarta Wisesa.
Terdakwa Eddy Rumpoko (kanan) dan Sekretaris pribadinya Lila
Pada tanggal 3 Januari 2017, Edi Setiawan selaku pelaksana tugas kepala bagian layanan pengadaan (BLP) Sekda Kota Batu, berdasarkan surat perintah melaksanakan tugas Nomor 800/10/PLT.01/422.203/2017. Setelah Edi Setiawan ditunjuk sebagai kepala BLP, kemudian terdakwa menyampaikan terhadap Edi Setiawan bahwa perusahaan teman-temannya bagus serta memerintahkan Edi Setiawan agar mengondisikan supaya perusahaan tersebut dapat memenangkan dalam proses pengadaan di Kota Batu TA 2017.

Pada bulan April 2017, Edi Setiawan dan Filipus Djab mengadakan pertemuan diruang kerja Edi Setiawan sebelum proses lelang pengadaan dimulai. Dalam pertemuan tersbut, Filipus menyampaikan akan mengikuti lelang dengan memakai PT Dailbana Prima Indonesia dan CV Amarta Wisesa. Selain itu, Filipus Djab juga menyampaikan kepada terdakwa Eddy Rumpoko, bagaimana cara pelunasan mobil Toyota Alphard.  Yang dijawab oleh Eddy Rumpoko, bahwa pelunasan mobil sebesar Rp 650 juta, akan diselesaikan dengan pengadaan TA 2017.

“Silakan aja, teknisnya silahkan diatur dengan Edi Setiawan. Terdakwa Eddy Rumpoko pun kemudian memanggil Edi Setiawan yang ada saat itu untuk melaporkan rencana kegiatan pengadaan pemerintah Kota Batu. Selalanjutnya terdakwa mengatakan terhadap Edi Setiawan agar membantu Filipus Djab yang di jawab Edi Setiawan, Siap,” ucap JPU menirukan perkataan terdakwa terhadap Filipus Djab dan Edi Setiawan.

Pada tanggal 23 Mei 2017, terdakwa mengangkat Edi Setiawan sebagai pejabat definitif Kepala Bagian Layanan Pengadaan Pemerintah Kota Batu. Kemudian Edi Setiawan menindaklanjuti perintah terdakwa dengan cara melakukan pembicaraan dengan Filipus Djab, untuk membantu pekerjaan dalam memenangkan lelang pengadaan barang di pemerintah kota Batu TA 2017, sekaligus membicarakan fee yang harus diberikan kepada terdakwa, yakni sebesar 10% dan untuk Edi Setiawan sebesar 2% dari nilai kontrak.

Pada TA 2017, Pemerintah Kota Batu mengadakan pengadaan pekerjaan belanja modal dan peralatan mesin meubelair di BKAD dengan pagu anggaran sebesar Rp 5.440.000.000.

Pada tanggal 14 Mei 2017, BKAD Kota Batu mengadakan lelang pengadaan pekerjaan belanja modal peralatan dan mesin pengadaan meubelair dengan nilai Pagu anggaran sebesar Rp 5.440.000.000.

Pada tanggal 31 Mei 2017, PT Delta Prima Indonesia ditetapkan sebagai pemenang setelah dilakukan evaluasi penawaran peserta lelang terlebih dahulu dengan nilai penawaran Rp 5.265.315.000. Penentuan PT Dailbana Prima Indonesia sebagai pemenang karena memenuhi minimum persyaratan administrasi dan biaya kualifikasi. Sedangkan peserta lainnya tidak memenuhi syarat teknis, diantaranya tidak melampirkan sertifikat-sertifikat sebagaimana persyaratan dalam lelang yang sengaja dibuat oleh panitia sebagai persyaratan khusus.

Setelah Filipus Djap mengetahui PT Dailbana Prima Indonesia ditetapkan sebagai pemenang lelang, kemudian menghubungi Aang Thandra, agar segera mempersiapkan produksi. Selanjutnya Ang Tjandra menghubungi supplier lain yang bekerja sama dengan PT Dailbana Prima Indonesia, yakni PT Sentratama Global Solusindo, PT Agra Jaya dan PT Wahaya Lentera Raya untuk segera berproduksi, yang hasilnya kemudian dikirimkan PT Dailbana Prima Indonesia ke Balai Kota Among Tani.

Dua pengadaan pekerjaan belanja pakaian dinas dan atribut pada BKAD pemerintah Kota Batu tahun 2017, sekitar Maret 2017 Edi Setiawan bertemu dengan Fitria Dewi Kusumawati selaku PPK BKAD di ruang kerjanya dan mengatakan, bahwa terdakwa Eddy Rumpoko tidak cocok dengan contoh yang diperoleh dari pasar.

Selanjutnya Edi Setiawan menghubungi Filipus Djab terkait pengadaan kain seragam pemerintah Kota Batu TA 2017, dan untuk itu ia (Filipus Djab) meminta agar Hendra Setiawan berkoordinasi dengan Edi Setiawan. Beberapa hari kemudian, Hendra Setiawan menemui Edi Setiawan di ruang kerjanya. Edi Setiawan memanggil Fitria Dewi Kusumawati ke ruang kerjanya dan mengatakan, bahwa terkait dengan pengadaan kain seragam agar berhubungan dengan Hendra Setiawan yang akan menjadi penyedia kain seragam.

Hendra Setiawan Beberapa hari kemudian menemui Fitria Dewi Kusumawati dan Edi Setiawan sambil menyerahkan contoh kain hitam. Selanjutnya Edi Setiawan memerintahkan Fitria Dewi Kusumawati untuk segera uji ke laboratorium pengujian Balai Besar tekstil di Bandung, dan menjadikan hasil ujian tersebut sebagai sertifikasi barang dalam dokumen persyaratan lelang.

Pada bulan Mei 2017, Fitria Dewi Kusumawati kemudian menyerahkan dokumen kelengkapan tersebut ke bagian layanan pengadaan untuk melakukan pelelangan dalam pelaksanaan lelang gagal. karena tidak ada peserta lelang yang memenuhi persyaratan teknis terkait ISO dan SNI

Pada bulan Mei 2017, terdakwa menyampaikan kepada Edi Setiawan, agar pengadaan meubelair dimenagkan oleh Filipus Djab.

Pada tanggal 21 Agustus 2017 sekitar pukul 05.13 WIB, Edi Setiawan memberitahu Fitria Dewi Kusumawati dan Pokja V, akan melakukan pembuktian kualifikasi-kualifikasi dengan mendatangi pabrik yang memberikan dukungan kualifikasi. Terkait hal tersebut, Filipus Djab meminta Edi Setiawan berhubungan dengan Hendra Setiawan

Pada tanggal 29 Agustus 2017, CV Amarta Wisesa ditetapkan sebagi pemenang lelang pengadaan pekerjaan belanja pakaian dinas dan atributnya belanja kain untuk pakaian ASN atasan putih dan bawahan hitam denagan pagu anggaran sebesar Rp 1.490.000,000 dengan nilai penawaran Rp 1.488.370.000, karena dianggap memenuhi persyaratan yang dibuat oleh panitia diantaranya  syarat administrasi, biaya dan kualifikasi, sedangkan peserta lainnya tidak memenuhi syarat teknis diantaranya hasil uji lab sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan.

Berkenaan dengan pelaksanaan pengadaan pekerjaan belanja modal peralatan dan mesin untuk pengadaan mobiler serta pengadaan pekerjaan belanja pakaian dinas dan atribut pada BPKAD Kota Batu TA 2017 tersebut, pada tanggal 5 agustus 2017 sekitar pukul 10.00 WIB, Filipus Djab  menghubungi Edi Setiawan melalui Smart Phone membahas meneganai komitmen fee Kedua  pengadaan tersebut, maka hutang pembelian mobil Toyota New Alphard untuk terdakwa dapat dilunasi. Sehingga Filipus Djab meminta bantuan Edi Setiawan untuk mempercepat pembayaran kedua proyek tersebut.

Pada tanggal 23 Agustus 2017 bertempat di kedai roti di Bandara Abdul Rahman Saleh Malang, terdakwa bertemu dengan Filipus Djap yang menanyakan kepada terdakwa, “Pak, untuk fee meubeler ini mau dipotong untuk Si Hitam berapa, Bapak berkenan tunai berapa ?”. Yang di jawab oleh terdakwa, “Udah, Edi Setiawan yang atur”. Selanjutnya, sekitar pukul 13.00 WIB, Filipus Djab menghubungi Edi Setiawan, terkait dengan pekerjaan pengadaan meubelair yang harus diserahkan sebesar 10% dari nilai kontrak yakni sejumlah Rp500 juta.

Dalam pembicaraan tersebut disampaikan bahwa, dari fee Rp 500 juta, akan diperhitungkan Rp 300 juta untuk bagaian uang yang sudah dikelaurkan Filipus Dajb untuk pembayaran Si Hitam. Sehingga sisa kekuragan Rp 650 juta, setelah dikurangi uang sebesar Rp 300 juta  menjadi Rp 350 juta, dan akan diperhitungkan dari pengadaan lainnya pada tahun anggaran 2017 yang dikerjakan oleh Filipus Djap. Selanjutnya sisa uang sejumlah Rp 200 juta diminta oleh terdakwa untuk diberikan secara tunai. Selain itu, juga menyampaikan akan memberikan uang sejumlah 100 juta untuk Edi Setiawan.

Pada tanggal 24 Agustus 2017 sekitar pukul 10.00 WIB, terdakwa menghubungi Filipus Djab dan menyampaikan pesan agar tidak melakukan transaksi terlebih dahulu karena sedang dipantau oleh tim Saber Pungli dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, terdakwa berpesan agar Filipus Djab mengingatkan Edi Setiawan terkait hal tersebut.

Pada siang harinya di tanggal 24 Agustus 2017, Filipus dan Edi Setiawan mengadakan pertemuan di rumah makan Java Nine Malang dan menyepakati untuk menggunakan kata sandi “undangan” untuk uang fee, sandi “atas” untuk Hotel Amartha Hills, dan sandi “bawah” untuk  Cafe Java Nani dan istilah Si Hitam sebagai pengganti Alphard, yang akan digunakan dalam setiap komunikasi dengan Edi Setiawan dan terdakwa serta disepakati. Atas saran terdakwa, menunjuk Edi Setiawan sebagai orang tengah yang menjembatani komunikasi antara terdakwa dan Filipus Djap.

Pada tanggal 6 September 2017, ketika sedang melayat di rumah almarhum Suparto, selaku Sekda Kota Batu, terdakwa diberitahu oleh Filipus Djab, bahwa pengadaan meubelair akan segera dibayarkan, sehingga Filipus Djap meminta ijin kepada terdakwa akan menggunakan bagian dari fee 10% yakni sebesar Rp 300 juta sebagai pelunasan pembelian mobil Toyota New Alphard, hinggap Filipus Djab hanya akan memberikan uang secara tunai sebesar Rp 200 juta kepada terdakwa.

Filipus Djap kemudian menanyakan fee tersebut akan diserahkan kepada siapa, dan dijawab oleh terdakwa agar diserahkan langsung kepada terdakwa. Dan pada sore harinya Filipus Djab  memberitahukan hasil pembicaraannya dengan terdakwa kepada Edi Setiawan, dan meminta agar dibantu mempercepat pembayaran pengadaan meubelair.

Pada tanggal 15 September 2017, setelah pembayaran pekerjaan meubelair masuk ke rekening BRI atas nama PT Dailbana Prima Indonesia sebesar Rp 4.714.850.250 dari BKAD Kota Batu sekitar pukul 13.49 WIB, terdakwa dihubungi oleh Filipus Djab, yang menyampaikan “Oh Pak, besok saya mau ngantar undangan. Yang dijawab oleh terdakwa, “iya iya saya tunggu ya”. Kemudian dijawab Filipus Djap “he he he. saya kontak Bapak besok ya”. Dan dijawab oleh terdakwa “Nggeh maturnuwun”.

Masih di hari yang sama sekitar pukul 13. 59 WIB, Filipus Djap menghubungi Edi Setiawan mengajak bertemu di atas (Hotel Amartha Hills) untuk menyerahkan undangan (uang fee) kepada Edi Setiawan. Selain itu Filipus Djap juga menyampaikan sudah menghubungi terdakwa Eddy Rumpoko, bahwa besok Filipus Djab hendak memberikan undangan kepada terdakwa, dan terdakwa meminta agar diserahkan langsung kepadanya.

Sabtu, 16 September 2017 sekitar pukul 10.14 WIB, Filipus Djap menelepon Edi Setiawan meminta untuk mengecek keberadaan terdakwa. Atas permintaan tersebut, selanjutnya Edi Setiawan menghubungi Lila Widya Rahajeng, sekretaris pribadi terdakwa dengan menggunakan aplikasi WhatsApp, mempertanyakan keberadaan terdakwa. Menurut Lila Widya Rahajeng, bahwa terdakwa berada di rumah dinas, dan selanjutnya Edy Setiawan menyampaikan informasi tersebut kepadaku Filipus Djap
Saksi Kopral Satu (AD) Junaidi saat diperlihatkan barang bukti terkait mobil Toyota Alphard
Di hari yang sama sekitar pukul 11.00 WIB, Filipus Djab menghubungi Edi Setiawan untuk bertemu di Hotel Amarta Hills. Selanjutnya, sekitar pukul 11.29 WIB, Filipus Djab  menghubungi terdakwa dan menanyakkan apakah terdakwa di rumah atau tidak, yang dijawab oleh terdakwa “di rumah belum mandi, belum makan”. lalu Filipus Djab menyampaikan ingin bertemu 4 mata terlebih dahulu karena akan menyampaikan undanga untuk terdakwa. Yang dijawab oleh terdakwa “ya, ya, ya pak”.

Sekitar pukul 12.30 WIB, Filipus Djab bertemu dengan Edi Setiawan di Hotel Amarta Hills, lalu sekitar pukul 12.45 WIB, Filipus Djap menyerahkan paper bag BRI prioritas berisi uang sebesar Rp 95 juta kepada Edi Setiawan di halaman parkir Hotel Amarta Hills, sambil mengatakan “ini titipannya’. Selain itu, Filipus Djab mengatakan kepada Edi Setiawan, “kantor yang satu ini punya Pak Bos”.

Setelah menyerahkan uang kepada Edi Setiawan, Filipus Djap kemudian pergi ke rumah dinas Walikota Batu di Jalan Panglima Sudirman Nomor 98 Kota Batu. Filipus Djap selanjutnya membawa paper bag BRI prioritas yang berisi uang sebesar Rp 200 juta yang akan diserahkan bagi terdakwa.

Namun sial bagi si Filipus Djab dan Eddy Rumpoko, karena tidak berapa lama kemudian datanglah petugas KPK lalu mengamankan Filipus Djap, terdakwa dan Edy Setiawan serta barang bukti berupa uang. (Redaksi)

Posting Komentar

  1. Enak ya udh maling uang rakyat dan ketangkep eh minta di bebaskan dasar memang koruptur kelas kakap berjiwa mafia tdk punya hati nurani dan ga tau malu masak gitu msh pantas di bela dan sok jadi pahlawan buat wong batu yg ga ngerti aja di bodohin terus....

    BalasHapus
  2. Enak ya udh maling uang rakyat dan ketangkep eh minta di bebaskan dasar memang koruptur kelas kakap berjiwa mafia tdk punya hati nurani dan ga tau malu masak gitu msh pantas di bela dan sok jadi pahlawan buat wong batu yg ga ngerti aja di bodohin terus....

    BalasHapus

Tulias alamat email :

 
Top