0
Terdakwa Oepoyo Sarjono

#Terkait kasus Korupsi PT PWU sebesar Rp 11.071.914.000 yang melibatkan terdakwa Dahlan Iskan dan Wishnu Wardhana#



beritakorupsi.co – Jumat, 11 Mei 2018, terdakwa Oepoyo Sarjono selaku Direktur Utama (Dirut) PT Sempulur Adi Mandiri (PT SAM) dituntut pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan oleh tim Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) dan Kejari Surabaya, dalam kasus Korupsi jilid II, penjualan asset daerah Pemda Jatim yang dikelola oleh PT  Panca WIra Usaha (PWU) pada tahun 2003 lalu, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 11.071.914.000.

Terdakwa Oepoyo Sarjono selaku pembeli asset PT PWU dijerat pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jonckto pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHPidana.

Surat tuntutan itu dibacakan oleh JPU Ferry dkk dari Kejari Surabaya di ruang sidang Sari Pengadilan Tipikor Surabaya yang diketuai H.R. Unggul Warso Murti, sementara terdakwa Oepoyo Santoso didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Syamsul Huda Yudha, Yudi Rhisnandi, Hawit Guritno dan Gatra Yanda dari Jakarta.

Dalam kasus Jilid II ini, Kejati Jatim menetapkan 2 tersangka/terdakwa, yaitu Oepoyo Santoso (Dirut PT SAM) dan Sam Santoso selaku Direktur PT SAM. Oepoyo Santoso dan Sam Santoso  “ditudh” selaku pembeli pembeli Dua asset milik Pemprov. Jatim yang terletak di Kediri dan Tulungagung. Kedua aseet tersebut di kelola dan dijual oleh PT Panca Wira Usaha (PT PWU) dibawah kepemimpinan terdakwa Dahlan Iskan selaku Dirut PT PWU yang juga Bos Media Harian Jawa Pos Group serta mantan Menteri BUMN dan sudah di Vonis 2 Tahun Penjara di Pengadilan Tipikor Suarabaya, lalu dibebaskan Hakim Penadilan Tinggi Jatim. Saat ini JPU melakukan upaya hukum Kasasi, dan Wishnu Wardana, selaku Ketua Tim penjualan asset, (di Vonis 3 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Suarabaya. Namun Hakim PT memberinya “bonus” menjadi 1 tahun sehingga JPU juga melakukan upaya hukum Kasasi).

Namun dalam jilid II ini yang diadili hanya Oepyo Santoso, sementara Sam Santoso sipengusaha  Keramik terbesar di Asia, hingga saat ini belum disidangkan sama sekali, dengan alasan bahwa tersangka Sam Santoso sedang terbaring di Rumah Sakit Mitra Keluarga Surabaya.

Namun JPU maupun Majelis Hakim tidak melakukan upaya lain, seperti cek and ricek ke Rumah Sakit Mitra Keluarga Surabaya untuk melihat Kondisi tersangka agar kasus Koruspi ini lebih terang benderang. Sebab menurut terdakwa Oepoyo Sarjono, bahwa yang lebih berkuasa di PT SAM adalah tersangka Sam Santoso selaku pemilik sham terbesar.

Sebab tak sedikit pejabat maupun pengusaha yang berstatus tersangka Korupsi menggunakan “senjata mutahir” yaitu sakit saat dirinya hendak diperiksa atau diadili di Pengadilan Tipikor untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sementara dalam surat tuntutan JPU menyatakan, bahwa penjualan asset PT PWU tidak sesuai dengan prosedur. Hal inipun sesuai dengan putusan Majelis Hakim pada persidangan sebelumnya dengan terdakwa Dahlan Isakan. Majelis Hakim menyatakan saat itu, seharusnya nilai penjualan untuk asset berupa tanah dan bangunan yang terletak di Tulungagung, seluas 24 ribu meter lebih sebesar Rp 10.086.848.000, namun dijual dengan harga Rp 8.750.000.000. Sementara asset di Kediri, berupa tanah dan bangunan seluas 32.492 meter dijual dengan harga Rp 17 milliar lebih, yang seharusnya dijual berdasarkan harga NJPO sebesar Rp 24 milliar lebih. Sehingga terjadi selisih harga senilai Rp 11.071.914.000 yang menguntungkan Oepoyo Sarjono dan Sam Santoso selaku pribadi. Sebab PT Sempulur Adi Mandiri pada saat terjadinya transaksi, belum mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.

“Bahwa perbuatan terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 3 junckto pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jonckto pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHPidana,” ucap JPU

“Menuntut; Meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya yang memeriksa, mengadili perkara ini untuk menyatakan terdakwa Oepoyo Sarjono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan subsidair; Menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa dengan pidan penjara selama 1 tahun dan 6 bulan, denda sebesar Rp 100 juta. Apabila terdakwa tidak membayar, maka diganti kurungan selama 3 bulan; Menyatakan barang bukti berupa uang sebesar Rp 2.095.457.000 dirampas untuk negara,” ucap JPU diakhir surat tnututannya.

Terkait tuntutan JPU, Ketua Majelis Hakim menyarankan agar terdakwa menyampaikan pembelaan (Pledoi)-nya maupun melalui PH terdakwa. PH terdakwa pun memohon kepada Majelis untuk menyampaikan Pledoi pada sidang pekan depan.

Kepada media ini, PH terdakwa mengatakan, akan menyampaikan Pledoinya dalam persidangan yang akan datang. Namun saat ditanya, apakah pernah mengajukan kepada Majelis Hakim untuk mengecek kondisi tersangka Sam Santoso ke Rumah Sakit atau menghadirkan dokter yang memeriksa tersaka, sejauh mana kondisi kesehatan tersangka Sam Santoso yang sebenarnya. Namun menurut PH terdakwa, bahwa hal itu akan sia-sia. Menurutnya itu adalah tanggungjawab JPU.

Menurut PH terdakwa, kondisi tersangka Sam Santoso dalam keadaan sakit sudah disampaikan oleh PH tersangka dalam persidangan dengan menunjukkan surat keterangan dokter.

“Tidak pernah, karena akan sia-sia hanya membuang energy, itu kan hak JPU. Tapi PH tersangka sudah menyampaikan secara langsung dipersidangan. Jadi kalau dokternya dipanggil ia sama aja kan,” kata PH terdakwa.

Fakta Persidangan Jilid I

Selasa 17 Januari 2017, Lima orang saksi selaku panitia lelang pelepasan asset dihadirkan JPU, diantaranya, M Sulkhan, staf PT PWU; Budi Raharjo, mantan staf keuangan PT PWU dan Emilia Aziz, mantan staf personalia PT PWU yang menjadi Sekretaris Panitia lelang, Johanes Dasikan dan Suhadi.

Dalam fakta persidangan saat itu terungkap. Ternyata sudah ada pembayaran sebelum penjualan asset di Tulungangung. Pembayaran pada tanggal 3 Juni 2003, sementara pembukaan dokumen lelang baru pada tanggal 18 Juni 2003. Empat perusahaan sebagai peserta lelang, salah satu diantanya adalah PT Sempulur sekaligus sebagai pemenang lelang dengan nilai penawaran sebesar Rp 8 milliar. Untuk operasional panitia lelang sebesar Rp 510 juta. Setiap panitia memperoleh honor antara 1 hingga 1,5 juta rupiah, kecuali Emilia Aziz, selaku Sekretaris Panitia lelang memperoleh honor sebesar Rp 5 juta.

Emilia Aziz menjelaskan kepada Majelis saat itu, bahwa dirinya menerima dokumen dari terdakwa Wisnu. Sementara menurut terdakwa Wisnu Wardhana, saat ditemui media ini dari balik jeruji besi ruang tahanan Pengadilan Tipikor menjelaskan, tidak pernah memberikan dokumen apapun kepada Emilia. “Nanti pada saatnya, saya akan minta di kroscek dipersidangan. Ke Notaris saya juga tidak tahu, pembayarannya pun sya tidak tahu,” kata Wisnu dari balik jeruji besi.

Pada Jumat, 20 Januari 2017, JPU menghadirikan 6 orang saksi ke Persidangan namun yang hadir hanya 4 saksi, diataranya Suhardi, mantan Direktur Keuangan PT PWU; Sustri Handayani, Kasir PT PWU; Supratiwi; dan Sugeng Hinarjo (sidang terpisah), bagian administrasi keuangan PT Kuda Laut Emas. Sementara saksi Ir. Sofian Lesmanto termasuk Dr. Sam Santoso, tak tampak di gedung pengadil orang-orang yang diduga merugikan keuangan negara alias Koruptor.

Dari keterangan saksi ini hampir sama dengan keterangan sebelumnya, yakni adanya pembayaran sebelum penjualan. Dihadapan Majelis Hakim terungkap, bahwa Direktur Keuangan telah menerima pembayaran berupa BG sebesar Rp 8 milliar pada tanggal 30 Agustus 2003. Pada hal, RUPS tentang persetujuan pelepasan asset baru pada tanggal 3 Sepetember 2003.

Saat JPU maupun Majelis Hakim melontarkan pertanyaan kepada Suhardi, yang sudah 10 tahun menjabat sebagai Direktur Keuangan ini, “penyakit” lupa tak luput dari ingatannya, karena memang belum ada ahli kesehatan yang menemukannya. Sehingga saksi pun tak bisa menjelaskan Perda No 5 tahun 1999 tentang penggabungan Lima perusahaan Daerah, pasal 14 yang berbunyi; penjualan asset dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan DPRD.

pada persidangan saat itu ada terungkap, pada saat anggota Majelis Hakim Dr. Andriano, menanyakkan saksi Suhardi, terkait pembayaran senilai 8 milliar rupiah berupa BG, namun dalam dokumen tercantum sebesar Rp 8,250 M. sehingga ada selisih senilai 250 juta.

Inilah yang dipertanyakkan anggota Majelis Hakim kepada saksi. “ Bagaimana pertanggungjawabannya dan bagaimana hasil audit yang dilakukan oleh angkutan publik. Kalau ini yang audit BPK, inilah temuan,” tanya Hakim Dr. Andriano. “Bagaimana, apakah angkutan publiknya dijadikan saksi ?,” Tanya Hakim angota ini pada JPU saat itu.

Tidak hanya itu. JPU juga menanyakkan terkait pengeluarana dana dari PT PWU sebesar 8 juta rupiah untuk pembayaran pajak PBB, pada hal pajak PBB dibayar oleh pembeli. Suhardi hanya menjelaskan seputar adanya hasil RUPS.

“Ini kan sudah PT jadi UU PT. Kalau sudah ada persetujuan RUPS, sudah sah. unsur kehati-hatian kita sudah minta persetujuan DPRD, tapi nggak berani, lalu melempar ke Gubernur. Kalau asset itu membebani supaya dijual. DPRD dan Gubernur tidak masuk ke PT. Proses kita lakukan kalau ada RUPS bukan dari Gubernur,” kata Suhardi kepada Majelis.

Anehnya, mantan anak buah terdakwa Dahlan Iskan ini semasa di PT PWU, tidak tau SOP penjualan kecuali hanya mendengar. Jawaban lupa sering terucap dari saksi Suhadi. Yang lebih anehnya lagi, saat Ketua Majelis Hakim menanyakkan tentang pengertian disetuji terkait hasil RUPS sesudah ada pembayaran.

“Apa pengertian saksi tentang disetuji. Apakah disetuji setelah di jual atau disetujui sebelum penjualan ?,” Tanya Ketua Majelis. “Kalau dijual baru disetujui, itu salah,” kata saksi Suhardi tegas.

Selasa, 24 Januari 2017, JPU kembali menghadirkan 4 (Empat) orang saksi diantaranya, M. Mahfud, Kepala Biro Hukum; Emi Risnawati, Kasubag Penghapusan Aset Biro Perlengkapan; Samsudin selaku Kasubag BUMD Biro Perekonomian  (Ketiganya dari Pemrov. Jatim) dan Yantiningsih, selaku Appraisal dari PT Satya Tama Graha selaku Kapala Cabang.

Ketiga saksi dari Pemrov ini adalah sebagai Tim Restrukturisasi asset sesuai SK yang dibuat oleh PT PWU. Namun dihadapan Majelis Hakim, Ketiga saksi tidak pernah menerima SK yang dimaksud. Ketiga saksi selaku pejabat Pemrov. Jatim ini lebih “diserang penyakit” lupa pula. Apakah lupa benaran atau memang pura-pura lupa karena ada “tekanan” ?

Yang anehnya, M. Mahfud, selaku Kepala Biro Hukum Pemprov Jatim, tidak mengetahui luas asset yang dijual oleh PT PWU. M. Mahfud lebih banyak menjawab tidak tahu. Namun Ia (Mahfud) menjelaskan, bahwa PT PWU adalah penggabungan dari Lima perusahaan daerah berdasarkan Perda Nomor 5 tahun 1999.

“PT PWU adalah penggabungan dari Lima perusahaan daerah berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1999,” kata Mahfud.

Sementara Yantiningsih, selaku Appraisal dari PT Satya Tama Graha selaku Kapala Cabang menjelaskan dihadapan Majelis Hakim, bahwa dokumen yang dikeluarkan oleh PT Satya Tama Graha untuk kepentingan Managemen. Dan apa bila dipergunakan oleh pihak lain, harus mendapat persetujuan perusahaan yang dipimpinnya.

“Itu hanya untuk Managemen PT PWU,” kata saksi kepada Majelis.

 Sementara...........

Dalam BAP Sam Santoso, yang dibacakan JPU dalam persidangan saat itu menjelaskan, bahwa dirinya bertemu dengan Dahlan Iskan di Graha Pena, Jalan A. Yani Surabaya, kantor Jawa Pos untuk menanyakkan terkait informasi penjulan sebidang tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten Kediri dan Tulungagung.

Beberapa hari kemudian, Sam Santoso menemui Dahlan Iskan di Graha Pena, menyampaikan penawarannya untuk asset di Kediri senilai Rp 17 milliar, dan Tulungagung senilai Rp 8,750 milliar. Dari penawaran Sam Santoso, Dahlan Iskan tidak langsung menyetuji saat itu juga, melainkan menunggu beberapa hari.

Pertemuan antara Sam Santoso, Dahlan Iskan dan Wishnu Wardhana menghasilkan kesepakatan nilai asset PT PWU di Kediri dan Tulangagung, diperkirakan sekitar awal Mei 2003, yang merujuk pada pembayaran aset di Kediri senilai Rp 17 miliar pada 3 Juni 2003.

Sementara itu, Sam Santoso baru melakukan pembayaran asset di Tulungagung senilai Rp 8,75 miliar pada tanggal 30 Agustus 2003, sedangkan penawaran untuk aset di Tulungagung baru dibuka sekitar taggal 8 September 2003. Dari keterangan Sam Santoso di BAP, bahwa kesepakatan jual-beli asset telah dilakukan jauh sebelum proses lelang atau penawaran dibuka.

Selain keterangan Sam Santoso yang dibacakan, JPU juga membacakan keterangan saksi Imam Utomo mantan Gubernur Jawa Timur, karena tidak bisa hadir dalam persidangan dengan alasan sakit.

Imam Utomo mengakui dalam BAP-nya, ada surat dari DPRD Jatim yang ditujukan ke Dirut PT PWU. Dan Dia (Imam Utomo) menjelaskan dalam BPA-nya, tidak pernah mengeluarkan Surat Keputusan tentang persetujuan pelepasan asset PT PWU Jatim. Surat yang pernah dikeluarkan Imam Utomo, menindaklanjuti surat dari Ketua DPRD Jatim.

Kasus ini pun masih menggelitik. Apakah penyidik Kejati Jatim hanya menyeret 4 tersangka/terdakwa (Wishnu Wardana, Dahlan Iskan, Oepojo Sarjono dan Sam Santoso) dalam pelepasan asset milik Pemprov Jatim ini ? Lalu bagaimana dengan panitia lelang yang menerima honor dan menandatangani dokumen namun tidak melaksanakan tugasnya ? Apakah panitia lepas tanggung jawab hukum karena kasus ini sudag diadili ?

Dalam Putusan Majelis Hakim Tanggal 21 April 2017

Majelis Hakim menyatakan, bahwa benar pada bulan Agustus 2003, terdapat 5 penawar yang memasukkan surat penawarannya, seolah-olah proses lelang sudah berlangsung. Sebelum dibuka penawaran lelang, pada tanggal 30 Agustus 2003, sudah dilakukan pembayaran oleh Sam Santoso berupa BG yang jatuh tempo pada tanggal 23 September 2003. Semua uang tersebut masuk ke PT PWU tanggal 25 September 2003.

Sehingga Majelis Hakim menyatakan, adanya rekayasa lelang mulai dari kesepakatan harga, dan pembayaran pada tanggal 30 Agustus 2003. Pada hal, persetujuan RUPS baru dilakukan pada tanggal 3 September 2003, dan taksiran harga dari lembaga terkait baru dilakukan sekitar pertengahan Oktober 2003, setelah dilakukan transaksi dan pembayaran atas asset yang terletak di Kediri dan Tulungagug. Dan negoisasi kedua, harga penjualan asset yang oleh Wishnu Wardana selaku penjual, dengan calon pembeli yang diwakili oleh Sam Santoso, baru dilakukan pada tanggal 16 Oktober 2003.

Pada hal, pembayaran sudah dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2003. Penanda tanganan Akte No 39 tentang pembatalan atas Akte No 5 dan 6 tentang Akte jual beli, yang ditanda tangani oleh terdakwa Dahlan Iskan selaku penjual asset milik PT PWU Jatim dengan Oepoyo Sarjono dan Sam Santoso selaku pembeli setelah dilakukannya pembayaran.

Menurut Majelis Hakim bahwa, pelepasan aseet di dua tempat tesebut seluas ribuan meter persegi berupa bangunan dan tanah, tidak sesuai dengan prosedur diantaranya, harga penjualan dibawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), tidak melibatkan tim penilai hara tanah (Appraisal), tidak melalui proses lelang, tidak membuat pengumuman di media nasional berbahasa Indonesia, sudah ada pembayaran sebelum jadwal pembukaan lelang dan pelaksanaan RUPS (rapat umum pemegang saham) serta penandatanganan Akte jual beli antara Dahlan Iskan dengan Sam Santoso, Direktur PT Sempulur Adi Mandiri (PT SAM) dan kemudian Akte tersebut dibatalkan setelah adanya pembayaran. Penanda tanganan Akte tersebut di kantor Dahlan Iskan di Graha Pena, Jalan Ahmat Yani Surabaya bukan di kantor Notaris.

Sehingga, 5 Majelis Hakim diataranya, Hakim Tahsin, selaku Ketua Majelis dengan dibantu 4 Hakim anggota antara lain, H.R. Unggul Warsomukti. S.H., M.H; DR. Andriano., S.H., M.H; Samhadi. S.H., M.H dan Sanghadi. S.H, sepakat menyatakan bahwa, terdakwa Dahlan Iskan selaku Dirut PT PWU, bersama-sama dengan Wishnu Wardana selaku Ketua Tim Pelepasan asset, adalah perbuatan yang sewenang-wenang, karena jabatan yang melekat pada dirinya.

“Mengadili; Menyatakan terdakwa Dahlan Iskan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan subsidair. Menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 2 tahun denda sebesar Rp 100 juta. Bilamana terdakwa tidak membayar, maka diganti dengan kurungan selama 2 bulan. Memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan kota,” ucap Ketua Majelis.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top