0
Wali Kota Malang, Moch. Anton


#Terkait Bagi-bagi uang “Pokir dan uang sampah”, Wali Kota Malang dan 18 Anggota DPRD Kota Malang Dipenjarakan#



beritakorupsi.co - Moch. Arif Wicaksono, selaku Ketua DPRD Malang periode 2014 – 2019 yang terjerat dalam pusaran kasus Korupsi suap uang “Pokir” atau pokok-pokok pikiran sebesar Rp 700 juta dalam pembahasan Perubahan APBD TA 2015 yang diajukan Pemkot Malang untuk disetujui DPRD Kota Malang, sudah dituntut pidana penjara selama 7 tahun oleh JPU KPK, pada Selasa, 8 Mei 2018.

Terdakwa Moch. Arif Wicaksono dijerat sebagai penerima suap, tang diatur dan diancam dalam pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dan terdakwa ini pun tinggal menunggu “suara palu” Majelis Hakim yak tak akan lam lagi menentikan nasib Arif di sebagi warga baru di Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas,

Setelah terdakwa Moch. Arif wicaksono dituntut pidana penjara selama 7 tahun karena perbuatannya menerima uang suap, kini giliran Moch. Anton selaku Wali Kota Malang sekaligus sebagai pemberi suap, dan 18 anggota DPRD Kota Malang yang turut menerima serta menikmati uang “haram” itu, menuggu diliran untuk diadili dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya.
Gudban dan Wali Kota Malang, Moch. Anton (Keduanya calon Wali Kota Malang)
Menunggu giliran karena Moch. Anton dan 18 anggota DPRD Kota Malang diantaranya Yaqud Ananda Qudban (Ketua Fraksi Hanura-PKS sekaligus salah satu calon Wali Kota Malang dalam Pilkada 2018), Suprapto (Ketua Fraksi PDIP), H.M. Zainudin (Wakil Ketua DPRD Kota Malang/PKB), Sahrawi (Ketua Fraksi PKB), Salamet (Ketua Fraksi Gerindra), Wiwik Heri Astuti (Wakil Ketua DPRD Kota Malang/Partai Demokrat), Mohan Katelu (Ketua Fraksi PAN), Sulik Lestyowati (Ketua Komisi A/Partai Demokrat), Abdul. Hakim (Ketua DPRD/PDIP), Bambang Sumarto (Ketua Komisi C/Partai Golkar), Imam Fauzi (Ketua Komisi D/PKB), Syaifur Rusdi (Fraksi PAN), Tri Yudiani (Fraksi PDIP), Heri Puji Utami (Ketua Fraksi PPP-Nasdem), Heri Subianto (Ketua Fraksi Demokrat), Rahayu Sugiarti (Wakil Ketua DPRD/Partai Golkar), Sukarno (Ketua Fraksi Golkar) serta Abdurachman dari Fraksi PKB masih berada ditahanan gedung Merah Putih KPK Jakarta.

Selain Moch. Arif Wicaksono, Moch. Anton dan 18 anggota DPRD Kota Malang ini, ada dua lagi terdak dan 1 sudah di Vonis, yaitu Jarot Edi Sulistiyono Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (PUPPB), sudah dinyatakan bersalah selaku pemberi suap dan divonis pidana penjara selama 2 tahun dan 8 bulan, pada 3 April 2018.

Sementara Hendarwan M, selaku Komisiaris PT Enfys Nusantara Karya (PT ENK) yang bergerak dibidang konstruksi (kontraktor), yang diduga memberikan “uang suap” kepada Moch. Arif Wicaksono selaku ketua DPRD Kota Malang sebesar Rp 250 juta pada tahun 2015 lalu, terkait pekerjaan proyek jembatan Kedungkandang Kota Malang yang berkaitan dengan pembahsan Perubahan APBD TA 2015 Kota Malang, saat ini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya.
Beberapa anggota DPRD Kota Malang saat menjadi saksi untuk terdakwa Jarot Edi Sulistiyono
Kasus Korupsi pembahasan APBD di Kota Malang, menjadi kasus terbesar di Jawa Timur sejak Pengadilan Tikpikor diresmikan di Jawa Timur dibahwa Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Surabaya pada tanggal 17 Desember 2010 lalu, karena menyeret puluhan anggota DPRD dan beberapa orang dari instansi pemerintah serta pihak swasta.

Bahkan, kasus korupsi suap ABPD dan proyek di Kota Malang ini tak jauh beda dengan kasus suap OTT lainnya yang yang ditangani KPK di Jawa Timur sejak Maret 2017 hingga Februari 2018. Apakah ini menandakan “ketidak mampuan” aparat pengak hukum (APH) di Jawa Timur dalam pemberantasan Korupsi yang melibatkan Kepala Daerah ?

Sebab, kasus suap APBD Kota Malang bukan hasil Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan oleh KPK, melainkan hasil penyelidikan dan penyidikan tim penyidik KPK. Kasus yang sama juga dilakukan oleh KPK terhadap terpidana 6 tahun penjara Bambang Irianto yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Madiun, yang terjerat dalam kasus suap, gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Pada hal, Kejari Madiun dan Kejati Jatim sudah pernah melakukan penyelidikan terhadap kasus dugaan Korupsi pembangunan Pasar Besar Madiun (PBM) yang menyeret Bambang Irianto pada tahun 2014.

Anehnya, kasus itu pun “hilang ditengah jalan antara Madiun dan Surabaya”. Bambang Irianto pun “aman dan nyaman” saat itu. Namun begitu KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan, hasilnya pun spektakuler. Uang hasil gratifikasi yang dipungut dari seluruh SKPD atau OPD se-Kota Madiun serta dari pihak-pihak lainnya yang berjumlah puluhan milliran dan uang itupun disita KPK.

Yang lebih anehnya lagi, uang “haram” itu pun dibagi-bagikan Bambang Irianto kepada pejabat Forkopinda (Forum Pimpinan Kepala Daerah) di Kota Madiun. Namun KPK juga “enggan untuk menyeret” pejabat Forkopinda Kota Madiun itu ke Pengadilan Tipikor walau hanya sebagai saksi, agara masaryakat dapat mengetahui bahwa KPK tak pandang bulu dalam penegakan hukum terkait pemberantasan Korupsi, karena semua sama dimata hukum.

Selain di Malang dan Madiun yang melibatkan Kepala Daerah yang masih aktif, KPK juga menahan Bupati Mojokerto, terkait kasus Korupsi gratifikasi yang nilainya miliaran. Dalam kasus ini KPK juga melakukan penyelidikan dan penyidikan sebelum akhirnya menetapkan dan menahan Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasha, yang berbeda dengan penetapan tersangka terhadap Wali Kota Mojokero karena bermula Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan KPK terhadap Ketau dan 2 Wakil Ketu DPRD Kota Mojkerto bersama Kepala Dinas PU.

Sementara kasus suap Ketua DPRD Kota Malang terkait pembahasan Perubahan APBD Kota Malang TA 2015, sepertinya masih menyeret beberapa orang lainnya. Sebab, dalam surat dakwaan JPU KPK terhadap terdakwa Jarot mapun Arif, menyebutkan beberapa nama. Diantaranya Cipto Wiyono (Sekda), Teddy dan selruh anggota DPRD Kota Malang yang berjumlah 45 orang itu turut menerima uang “pokir” dan uang “sampah” yang jumlahnya masing-masing sebesar Rp 17.500.000 per orang seperti keterangan Subur Triyono (anggota DPRD dari Fraksi PAN) dan Suprato di persidangan.

 Sementar dalam surat dakwaan JPU KPK terhadap terdakwa Hendarwan, juga menyebutkan beberapa nama diantaranya Erik Armando Talla. Sementara dalam persidangan yang terungkap, bahwa salah seoarang wartawan Rada Malang Group Jawa Pos yaitu Lazuardi Firdaus sebagai oarbg yang mempertemukan Erik Armando Talla dengan Ketua DPRD Kota Mlaang. Selain mempertemukan, Lazuardi Firdaus turt dalam pertemuan antara Erik Armando Talla dengan Ketua DPRD Kota Malang disebuah Hotel di Malang dan membahas proyek Jemabatan Kedungkandang. Dan Lazuardi Firdaus pun menerima uang sebesar Rp 10 juta dari Ketua DPRD Kota Malang dan Rp 5 juta dari Erik Armando Talla.

Fakta lain yang terungkap dalam kasus ini adalah, penerimaan uang sebesar Rp 1,8 milliar pada tahun 2015  oleh Sekda Sufiyan dari Hendarwan dkk, sebagai pengganti kerugian pembangunan proyek Kedungkandang tahun 2012 yang magkrak oleh kontraktor sebelumnya. Pada hal, uang pengganti kerugian negara dalam proyek tersebut sudag dibayar oleh piha kontraktor ke Kas Daerah Kota Malang.

Terakit hal ini, menurut JPU KPK kepada media ini mengatakan, menunggu perkara Moch. Anton disidangkan.

“Nanti masih menunggu perkara lainnya disidangkan. Ini kan sudah mau tuntutan,” kata JPU KPK seusai sidang pemeriksaan terdakwa Hendarwan, Selasa, 8 Mei 2018.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top