Terdakwa Taufiqurrahman |
Bupati Nganjuk Taufiqurrahman sebesar Rp 1,3 M
- Taufiqurrahman sudah tersangka dalam kasus TPPU, dan
tersangka lain bisa jadi bertambah
beritakorupsi.co – Jakasa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menuntut 10 tahun pidana penjara terhadap Taufiqurrahman, mantan Bupati Nganjuk dalam kasus Korupsi suap jual beli jabatan yang terjaring dalam Opreasi Tangkap Tangan (OTT) oleh tim penyidik KPK, pada tanggal 24 Oktober 2017 lalu.
Tuntutan itu diucapkan oleh JPU KPK Fitroh Rohcahyanto, Ahmad Burhanudin, Herry BS Ratna Putra, Arif Suhermanto, Ni Nengah Gina Saraswati, Andhi Kurniawan dan Dame Maria Silaban saat membacakan surat tuntutannya dalam persidangan di ruang sidang Candra Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Suraba dengan Ketau Majelis Hakim I Wayan Sosisawan. Sementara terdakwa Taufiqurrahman didampingi Penasehat Hukumnya Dr. Soesilo Aribowo dkk dari Jakarta Selatan, pada Jumat, 18 Mei 2018.
Sebelumnya, Taufiqurrahman sempat mengalahkan dan “menjebolkan tahanan” KPK melalui sidang Pra Peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal tahun 2017, karena dirinya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan Korupsi, dan baju orange sebagai “baju kebesaran” bagi para Korupotor itu pun gagal melekat dibadannya.
Anehnya, mantan orang Nomor 1 di Kabupaten Nganjuk itu tak menjadikan kejadian itu sebagai pelajaran. “Pengalaman adalah guru yang paling berharga !”, ungkapan ini pun sepertinya tak berlaku bagi Taufiqurrahman. Baju seragam berwarna Orange bagi para Koruptor yang dibeli negara melalui KPK akhirnya melekat juga dibadan Taufiqqurrahman.
Sebab ditahun yang sama, yaitu pada tanggal 24 Oktober 2017, Taufiqurrahman ditangkap oleh KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) karena ketahuan menerima uang suap. Saat itu, KPK mengamankan sebanyak 20 orang dalam dua tempat, yakni di Jakarta sebanyak 12 orang terdiri dari Bupati Nganjuk Taufiqurrahman termasuk ajudannya, Ibnu Hajar (Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nganjuk), Suwandi (Kepala SMPN 3 Ngronggot Nganjuk), seorang wartawan, Ita Triwibawati (istri Bupati Nganjuk yang menjabat selaku Sekda Kabupaten Jombang) bersama ajudannya, J (Sek Cam Tanjung Anom), SA (salah seorang Lurah di Nganjuk yang bakal maju bersama Ita Triwibawati dalam Pilbup Kabupaten Nganjuk, S (mantan Kepala Desa), dan BS (supir) dengan barang bukti berupa uang sebesar Rp 150 juta di Hotel Brobudur, Jalan Lapangan Banteng Selatan Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Sementara di Nganjuk KPK mengamankan sebanyak 8 orang, antara lain Harjanto (Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk), SUR (Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dispendikbud Kabupaten Nganjuk), CSE (Kabid Dispendikbud Kabupaten Nganjuk), TFY (Direktur RSUD Kertosono), OHP (ajudan Bupati Taufiqurrahman), T (Kepala Sekolah SMPN 1 Tanjung Anom), SUT (Kepala Sekolah SMPN 5 Nganjuk) dan SUM (supir mobil rental).
Dalam penyidikan, KPK hanya menetapkan 5 tersangka yaitu Taufiqurrahman (Bupati), M. Bisri (Kabag Umum RSUD Nganjuk), Harjanto (Kadis Dinas Lingkungan Hidup), Ibnu Hajar (Kepala Dinas Pendidikan), Suwandi (Kepala SMPN 3 Ngronggot)
M. Bisri dan Harjanto dinyatakan terbukti bersalah selaku penyuap sekaligus “pengepul” atau mengunpulkan uang syukuran alias uang suap dari hasil jual beli jabatan di Kabupaten Ngajuk. Keuduanya dijerat pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tindak Pidana Korupsi dengan pidana penjara masing-masing selama 2 tahun.
sedangkan Ibnu Hajar dan Swandi juga dinyatakan terbukti bersalah tetapi bukan sebagai penyuap, melainkan sebagai penerima suap lalu diserahkan ke Bupati Taufiqurrahman. Ketiga orang ini dijerat dengan pasal 12 huruf b UU Tindak Pidana Korupsi. Ibu Hajar divonis 6 tahun dan 6 bulan, dan Suwandi dihukum 4 tahun penjara.
Kini tinggallah Taufiqurrahman menanti “suara palu” Majelis Hakim untuk menentukan berapa lama Ia akan menjadi warga baru, penghuni Hotel Prode alias Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) yang pengap dan berteralis besi tanpa ada fasilitas yang serba Lux. Tidak hanya itu, makanan pun tidak sesedap dan senikmat yang dirasakan Taufiqurrahman “dialam bebas”.
Dalam perisidangan (Jumat, 18 Mei 2018), JPU KPK menyatakan bahwa Taufiqurrahman selaku Bupati Nganjuk dianggap melakukan ataun turut melakukan beberapa perbuatan kejahatan, menerima uang yang totalnya sebesar Rp 1.355.000.000 melalui Ibnu Hajar, Suwandi, Joni Tri Wahyudi, Nurrosid Hussein Hidayat dan Budiono. Pada hal, diketahui atau patut diduga bahwa hadiah (uang) tersebut sebagai kompensasi atas promosi/mutasi beberapa pegawai Pemkab Nganjuk, diantaranya Harjanto, Muhammad Bisri, Teguh Sujatmika, Tien Farida Yani, Suroto, Sutrisno dan Sugito serta beberapa pegawai lainnya se-Kabupaten Nganjuk.
JPU KPK pun membeberkan kronologis sumber uang sebesarn Rp 1.355.000.000 yang diterima Taufiqurrahman
Berawal pada tahun 2008, saat terdakwa menjabat Bupati Nganjuk untuk periode 2008 - 2013 yang Kemudian terpilih lagi untu periode ke II yaitu 2013 – 2018. Dan untuk melanjutkan kepimpinannya, terdakwa berencana mencalonkan istrinya Ita Triwibawati untuk mengikuti pencalonan Bupati Nganjuk untuk periode 2018 – 2023 dengan mendekati PDIP.
Dalam fakta persidangan terungkap, bahwa keberangkatan Taufiqurrahaman bersama istrinya ke Jakarta adalah untuk menemui pengurus DPP PDIP terkait pencalonan Ita Triwibawati sebagai salah astu calon Bupati Ngajuk. Namun nasib sial yang diamali karena KPK keburu menangkapnya sbelum keinginannya terwujud.
Dalam rangka sosialisasi atas rencana tersebut, lanjut JPU KPK dalam surat tuntutannya, terdakwa meminta bantuan beberapa pegawai Kabupaten Nganjuk yang dianggap memiliki loyalitas terhadap dirinya, diantaranya Ibnu Hajar dan Suwandi.
JPU KPK menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan dana operasional atas sosialisasi rencana pencalonan istri terdakwa sebagai calon Bupati Nganjuk sekaligus sebagai biaya operasional pribadi. Pada awal tahun 2017, terdakwa meminta Ibnu Hajar dan Suwandi untuk mengumpulkan uang “syukuran” dari beberapa pegawai di lingkungan Pemkab Nganjuk yang telah mendapat promosi/mutasi jabatan, diantaranya Muhammad Bisri yang diangkat menjadi Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk, Haryanto sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Tien Farida Yeni sebagai Direktur RSUD Kertosono Nganjuk, Teguh Sujatmika diangkat sebagai Kepala Sekolah SMPN 1 Tanjung Anom, Suroto mutasi jabatan sebagai Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Nganjuk, Sutrisno yang semula Kepala SMP Negeri 5 Nganjuk dipromosikan sebagai Pengawas Sekolah SMP, dan Sugito sebagai Kepala sekolah SMP Negeri 2 Sawahan Kab. Nganjuk.
Atas perintah terdakwa Taufiqurrahman, Ibnu Hajar dan Suwandi kemudian mengumpulkan uang syukuran dari beberapa pegawai tersebut, diantaranya penerimaan uang dari Haryanto sebesar Rp 80 juta.
Pada akhir tahun 2016, terdakwa mengangkat Haryanto menjadi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk, yang sebelumnya menjabat sebagai staf ahli. Sekitar bulan April 2017 setelah pelantikan, terdakwa memanggil Haryanto melalui Sudrajat selaku Kepala Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Nganjuk untuk datang ke rumah pribadi terdakwa di Mojosari Jombang.
Kemudian Haryanto datang bersama Wisnu Anang Prabowo Kepala Bidang Pengelolaan Sampah pada Dinas Lingkungan Hidup. Dalam pertemuan itu, terdakwa meminta uang syukuran sebesar Rp 500 juta kepada Harianto sebagai kompensasi atas pelantikannya sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup.
Selanjutnya, terdakwa Taufiqurrahman meminta Ibnu Hajar mengambil uang syukuran sebesar Rp 200 juta dari Haryanto. Ibnu Hajar kemudian menghubungi Harianto dan menyampaikan permintaan terdakwa, lalu Haryanto meminta Wisnu Anang Prabowo menyiapkan uang syukuran, tetapi yang terkumpul hanya sebesar Rp 80 juta rupiah, yang kemudian oleh Harianto diserahkan kepada Ibnu Hajar di rumah Haryanto, Jln. DI Panjaitan 1 No 18 Kelurahan Payaman, Kecamatan Nganjuk Kabupaten Nganjuk, dan selanjutnya Ibnu Hajar menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa.
Penerimaan uang sebesar Rp 50 juta. Pada tanggal 23 Oktober 2017, terdakwa Taufiqurrahman melalui Suwandi selaku Kepala SMP Negeri 3 Ngronggot sebagai orang kepercayaannya, meminta Haryanto agar disiapkan uang syukuran sebesar Rp 200 juta, untuk kegiatan terdakwa di Jakarta. Uuntuk memenuhi permintaan tersebut, Haryanto menghubungi Wisnu Anang Prabowo agar menyiapkan uangnya. Lalu pada tanggal 24 Oktober 2017, uang yang terkumpul sebesar Rp 50 juta yang berasal dari Wisnu Anang Prabowo sebesar Rp 15 juta, Sumadi selaku Kasi Dinas Pengelolaan Sampah sebesar Rp 10 juta, Arif selaku rekanan Dinas Lingkungan Hidup sebesar 15 juta rupiah, dan Okta juga rekanan Dinas Lingkungan Hidup sebesar 10 juta rupiah. Setelah uang terkumpul sebesar Rp 50 juta, Haryanto menyerahkan kepada Suwandi melalui Sumadi di depan sekolah SMP Negeri 2 Nganjuk, Jln Wilis No 44 kelurahan Kramat Nganjuk.
Penerimaan uang sebesar Rp 200 juta. Selain menerima uang melalui Suwandi dan Ibnu Hajar, pada bulan Mei 2017, terdakwa Taufiqurrahman juga menerima uang syukuran melalui Nurrosid Husein Hidayat sebesar Rp 100 dari Haryanto melalui Wisnu Anang Prabowo di sekitar RSUD Kertosono. Masih di bulan yang sama, ternyata terdakwa juga menerima uang syukuran melalui Budiono sebesar Rp 100 juta dari Haryanto melalui Wisnu Anang Prabowo di rumah Budiono di Desa Sukorejo, Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk.
Penerimaan uang dari Muhammad Bisri; pada tanggal 24 Mei 2017, terdakwa mengangkat Muhammad Bisri dari jabatan Kepala Bidang Perencanaan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk eselon 3B menjadi Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk dengan eslon yang sama, serta mengangkat para pegawai sebagaimana formasi yang diajukan oleh Muhammad Bisri.
Atas promosi/mutasi Muhammad Bisri dan beberapa pegawai tersebut, terdakwa telah meminta dan menerima uang syukuran dari Muhammad Bisri yakni; 1. Antara bulan Juli sampai dengan Agustus 2017, bertempat di rumah M. Bisri di Jln Semeru Gang 1 RT 3 RW 1 Desa Tanjungrejo, Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk, diterima oleh Joni Tri Wahyudi sebesar Rp 200 juta yang kemudian diserahkan Joni Tri Wahyudi kepada terdakwa Taufiqurrahman di Pendopo Kantor Bupati Nganjuk.
Kemudian pada tanggal 12 Oktober 2017 bertempat di Hotel Luminor Surabaya di Jln Jemursari No 206 Surabaya, diterima oleh Suwandi sebesar Rp 100 juta. Pada tanggal 15 Oktober 2017 bertempat di rumah M. Bisri, pada tanggal 17 Oktober 2017 bertempat di RSUD Nganjuk, Jln DDr. Soetomo 602 Kabupaten Nganjuk, diterima Suwandi sebesar 50 juta.
Penerimaan uang dari Teguh Sujatmika. Bahwa setelah Teguh Sijatmika diangkat menjadi Kepala SMPN 1 Tanjunganom, Ia sering ditemui Suwandi dan meminta uang syukuran untuk keperluan terdakwa. Namun Teguh Sujatmika ragu untuk memberikan uang kepada Suwandi, karena sepengetahuan Teguh Sujatmika, yang merupakan orang dekat terdakwa adalah Ibnu Hajar yang sering diajak pergi bersama terdakwa. Selanjutnya, pada tanggal 1 Oktober 2017, Teguh Sujatmika bertempat di rumah Ibnu Hajar, mengkonfirmasi sekaligus menyerahkan uang kepada terdakwa melalui Ibnu Hajar sebesar Rp 110 juta.
Penerimaan uang dari Tien Farida Yani, terkait pengangkatannya menjadi Direktur RSUD Kertosono Nganjuk. Pada sekitar bulan Oktober 2017, Tien Farida Yani ditelepon oleh Muhammad Bisri yang saat itu bersama Suwandi, dan menyampaikan bahwa terdakwa meminta uang syukuran sebesar Rp 150 juta dengan menggunakan istilah satu setengah meter.
Beberapa hari kemudian masih di bulan Oktober 2017, Suwandi menelpon Tien Farida Yani dan menyampaikan akan ke rumahnya (Tien Farida Yani) terkait permintaan satu setengah meter tersebut. Selanjutnya Tien Farida Yani, bertempat di Klinik Kesehatan di Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk, hanya memberikan uang sebesar Rp 30 juta yang bersumber dari uang jasa pelayanan yang diterima Tien Farida Yani dari RSUD Kertosono, dan uang tersebut diserahkan langsung kepada Suwandi untuk diserahkan kepada terdakwa.
Penerimaan uang dari Suroto. Terdakwa Taufiqurrahman melalui Ibnu Hajar dan Suwandi, meminta dan menerima uang syukuran yang seluruhnya sebesar Rp 425 juta dari Suroto selaku Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk. Penerimaan uang tersebut dilakukan oleh terdakwa secara bertahap yaitu sebagai berikut;
Pada awal tahun 2017, bertempat di rumah dinas Bupati Nganjuk, diterima Suwandi uang sebesar Rp 50 juta terkait tidak dimutasikannya Suroto pada periode sebelumnya. Lalu pada sekitar akhir Maret 2017, bertempat di rumah Ibnu Hajar, diterima Ibnu Hajar sebesar Rp 305 juta dari Suroto, dan uang tersebut dikumpulkan oleh Suroto dari Sony, Sarwo, Prabowo, Murtajih, Sri Utami dan Fani, terkait promosi jabatan di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk. Kemudian pada sekitar tanggal 24 Oktober 2017, bertempat di depan kantor Dinas Pendidikan Nganjuk, Suwandi menerima uang syukuran sebesar Rp 40 juta terkait promosi Sutrisno dari Kepala Sekolah SMP Negeri 5 Nganjuk menjadi pengawas sekolah SMP.
Penerimaan uang dari Cahaya Sarwo Edi sebagai Kepala Bidang Ketenagaan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk. Ibnu Hajar meminta Cahya Sarwo Edi untuk membantu mengumpulkan uang syukuran untuk kepentingan terdakwa. Pada akhir Juni 2017 bertempat di Kantor Dinas Pendidikan, Ibnu Hajar menerima uang sebesar Rp 60 juta dari Cahya Sarwo Edi terkait promosi jabatan Sugito menjadi kepala sekolah SMP Negeri 2 Sawahan.
Dari uang syukuran yang terkumpul melalui Ibnu Hajar dan Suwandi, sebagian telah diserahkan kepada terdakwa, dan sebagian lagi masih di tangan keduanya.
Pada tanggal 24 Oktober 2017, saat terdakwa Taufiqurrahman berada di Jakarta dalam rangka melakukan pendekatan ke DPP PDIP atas rencana pencalonan istrinya sebagai Calon Bupati Nganjuk periode berikutnya, sehingga terdakwa memerintahkan Ibnu Hajar dan Suwandi melalui Nurrosyid Husein Hidayat agar menyusul ke Jakarta guna menyerahkan uang syukuran dimaksud.
Atas perintah tersebut, Suwandi dan Ibnu Hajar pun menyusul ke Jakarta menemui terdakwa di Hotel Borobudur Jalan Lapangan Banteng Selatan, Pasar Baru, Jakarta Pusat dengan membawa uang syukuran yang masing-masing sebesar Rp 150 juta, yang dimasukkan ke dalam tas ransel hitam lalu diserahkan kepada terdakwa Taufiqurrahman.
Dan beberapa saat setelah uang syukuran tersebut diterima terdakwa dari Ibnu Hajar dan Suwandi, Ketiganya pun langsung diamankan petugas KPK.
“Perbuatan terdakwa Taufiqurrahman sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 huruf b UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 65 ayat (1) KUHAP,” ucap JPU KPK.
“Menuntut; Meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya yang mengadili dan memeriksa perkara ini untuk; Menyatakan terdakwa Taufiqurrahman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan supsider; Menjatuhkan hukuman berupa hukuman pidan penjara selama 10 tahun, denda sebesar Rp 600 juta. Bila mana terdakwa tidak membayar maka diganti kurungan selama 6 bulan,” kata JPU KPK dakhir surat tuntannya.
Atas surat tuntutan JPU KPK, Ketu Majelis Hakim Iwayan Sosisawan memberikan waktu sepekan bagi terdakwa maupun penasehat hukumnya untuk menyampaikan Pledoi atau pembelaan.
“Saudara dituntut 10 tahun penjara, denda sebesar 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Saudara berhak untuk menyampaikan Pembelaan. Majelis memberikan waktu 1 minggu ia,” ucap Hakim Iwayan.
Usai persidangan. JPU KPK Arif Suhermato terkait beberapa orang yang terlibat dalam kasus suap terdakwa Taufiqurrahman dari hasil jual beli jabatan mengatakan, untuk sementara KPK lebih focus kasus Taufiqurrahaman dalam kasus TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), dimana Taufiqurrahman sudah menjadi tersangka, namun belum P21 (Berkas lengkap).
“Saat ini kita lebih focus dalam perkara lain yaitu TPUU. Dia (Taufiqurrahman) sudah tersangka tapi belum P21 karena masih ada bukti-bukti lain yang dilengkapi,” ucap JPU Arif.
Saat ditanya, berapa jumlah kekayaan terdakwa dalam kasus TPPU yang sudag disiata KPK. JPU KPK Arif tak mau menyebutkannya, alasannya karena bersifat rahasia. “Belum bisa kami jelaskan,” lanjutnya.
Saat didesak, apakah masih tersangka baru dalam kasus suap terdakwa Taufiqurrahman termasuk dr. Tien Farida dan Ita ?. JPU KPK Arif secara tidak langsung mengatakan bisa jadi ada pengembangan, tetapi saat ini lebih mengutamakan kasus TPPU tersangka Taufiqurrahman.
“Nanti, saat ini kita masih lebih mengutamakan yang TPPU dulu. Memang Tien Farida dan Ita, akan kita pertimbangkan kalau cukup bukti permulaan,” ucap Arif. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :