0
Sutiaji (kiri) dan terdakwa Moch. Anton
#JPU KPK : Terdakwa mengakui adanya permintaan uang THR dan 1 persen untuk APBD murni yang dibahas di Rapat Koordinasi#
beritakorupsi.co - Moch. Anton dan Sutiaji, ibarat “sendok dan garpu” yang saling berdampingan sebagai pemimpin bagi masyarakat Kota Malang. Sebab Anton sebagai Wali Kota dan Sutiaji Wakilnya. Tapi sebelumnya, kedua pria ini adalah sama-sama tokoh di NU Kota Malang, walaupun profesi keduanya berbeda.

Selain tokoh NU ditingkat Kecamatan, Anton adalah seorang pengusaha. Masyarakat tahu dong yang namanya pengusaha. Sedangkan Sutiaji, selain tokoh NU dengan posisinya diatas Anton, adalah politikus PKB yang duduk di kursi DPRD Kota Malang dengan jabatan Ketua Fraksi. Masyarakat juga tahu kan yang namanya anggota Dewan yang dipilih rakyakat.

Tahu 2013 menjelang pemilihan Wali dan Wakil Wali Kota Malang, Kedua pria ini sama-sama dicalonkan Partai yang didirikan (alm) Presiden RI ke- 4. Ibarat “gayung bersambut”, masyarakat Kota Malang pun ternyata mendukung keduanya untuk duduk dikursi singgahsana  Balai Kota Malang sebagai orang nomor 1 dan 2 dalam kurun waktu 5 lima tahun sejak 2013 hingga 2018.

Namun sayang, ternyata keharmonisan kedua pemimpin masyarakat Kota Malang ini tidak berjalan baik. Sehingga untuk pencalonan kedua kalinya sebagai Wali Kota Malang periode 2018 - 2023 dalam Pilkada tahun 2018 pun tidak lagi seperti “sendok dan garpu, melainkan ibarat air dan minyak hingga bencana datang melanda” Kota Malang sebelum masa jabatan Anton sebagai Wali Kota berakhir.

Sebab, Moch. Anton selaku Wali Kota, Jarot Edy Sulistyono selaku Kepala Dinas PU (sudah divonis pidana penjara 2 tahun dan 8 bulan selaku penyuap) bersama 19 orang anggota DPRD Kota Malang yang terdiri dari Ketua Moch. Arif Wicaksono (juga sudah divonis pidana 5 thn penjara selaku penerima suap) dan 3 Wakil Ketua, 4 Ketua Komisi 8 Ketua Fraksi serta 3 anggota  DPRD Kota Malang dipepenjarakan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena terjerat kasus suap menyuap yang disebut dengan istilah uang pokir (pokok-pokok pikiran) sebear Rp 700 juta dan uang “sampah” yang masing-masing anggota Dewan menerima sebesar Rp 5 juta dalam pembahasan APBD-P Kota Malang TA 2015, serta uang “suap” sebesar 1 persen dari total anggaran APBD murni TA 2015 saat pembahasan tahun 2014 untuk anggota DPRD Kota Malang.

Kemudian yang terpilih sebagai Wali Kota Malang untuk periode 2018 - 2023 dalam Pilkada tanggal 27 Juni 2018 adalah Sutiaji bersama Wakilnya Sofyan Edi Jarwoko yang mangalahkan pasangan Moch. Anton bersama Samsul Mahmud, dan Ya’qud Ananda Gudban (dipenjara sebagai tersangka) dengan Wanedi.

Ketidak harmonisan kedua pemimpin masyarakat Kota Malang ini terungkap di persidangan dalam kasus perkara suap APBD-P Kota Malang dengan terdakwa Moch. Anton, saat JPU KPK Arif Suhermanto dkk menghadirkan Sutiaji sebagai saksi.

Sementara terdakwa Moch. Anton yang didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Haris Fajar Kustaryo dkk, mengadirkan 3 orang saksi yang meringankan, dan 1 diantaranya adalah tokoh NU Kota Malang. Saksi yangdihadirkan itu adalah Sukirno (mantan Kasubag Perundangan DPRD Kota Malang), KH. Hamzawi (mantan Dosen UIN Malang), dan Sofian (pengusaha Travel Umroh di Kota Malang). Persidangan yang diketuai Majelis Hakim H.R. Unggul Warso Murti  digelar dalam 3 session, pada Juamat, 20 Juli 2018.

Session pertama adalah mendengarkan keterangan saksi Sutuaji, kemuidan session kedua keterangan saksi yang dihadirkan pihak terdakwa, dan session ketiga lanjut dengan agenda pemeriksaan terdakwa Moch. Anton.

Kehadiran Sutiaji dipersidangan sebenarnya atas “permohanan” dari pihak terdakwa. Karena beberapa saksi dari Ketua Fraksi DPRD Kota Malang termasuk teradakwa sendiri mengatakan, kalau Sutiaji ikut dalam pertemuan antara Ketua Fraksi, Sekda Kota Malang Sucipto Wiyono dan Wali Kota Moch. Anton di ruang Ketua DPRD Kota Malang Moch. Arif Wicaksono, terkait permintaan uang “suap” yang disebut dengan uang pokir dalam pembahasan Perubahan APBD. Walaupun Moch. Arif Wicaksono (terpidana) dengan tegas mengatakan kalau Sutiaji tidak ikut dalam pertemuan diruangannya.

Pada tanggal 6 Juli 2015, sebelum dimulainya rapat paripurna dengan agenda penyampaian pendapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Malang, dan pendapat Fraksi terhadap konsep kesepakatan bersama antara Pemkot Malang dengan DPRD Kota Malang tentang kebijakan umum anggaran (KUA), dan PPAS (Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015, terdakwa Moch. Anton melakukan pertemuan dengan Moch. Arif Wicaksono, Suprapto bertempat diruang transit rapat paripurna DPRD Kota Malang yang dihadiri oleh Sutiaji (Wakil Wali Kota), Cipto Wiyono (Sekda) dan Jarot Edy Sulistiyono (Kepala Dinas PU).

Dalam persidangan (Jumat, 20 Juli 2018), kepada Majelis Hakim, Sutiaji mengatakan kalau dirinya lupa, apakah hadir dalam rapat membahas Perubahan APBD. Karena menurutnya, hadir atau tidak, dirinya tidak begitu “berarti”. Bahkan Sutiaji pun mengatakan, fotonya sebagai Wakil Wali Kota Malang tidak ada terpasang di setiap Kantor Kelurahan Kota Malang. Ada apa geranagan ?.

Hal itu dikatakan Wali Kota Malang terpilih Sutiaji, menjawab pertamyaan JPU KPK mapun tim  Penasehat Hukum terdakwa, Haris Fajar Kustaryo dkk. Karena Sutiaji lebih banyak menjawab lupa, Haris Fajar Kustaryo pun mengakhiri pertanyaannya.

Ada yang menarik dalam persidangan, saat terdakwa Moch. Anton menanggapi keterangan mantan Wakilnya yang tak lama lagi akan dilantik menjadi Wali Kotanya. Menariknya ialah, terdakwa Anton menceritakan, kalau dirinya sempat akan mengundurkan diri sebagai Wali Kota, karena dirinya tidak dianggap sebagai Wali Kota. Namun dibantah Sutiaji dengan mengatakan bahwa fotonya sebagai Wakil Wali Kota tidak ada terpasang di Kantor Kelurahan Kota Malang.

Baru kali ini ada Wali Kota hendak mengundurkan diri karena tidak dianggap sebagai Wali Kota. Pada hal, Wali Kota/Bupati adalah pembuat kebijakan atau pemegang mandate tertinggi diaman dia sebagai Wali Kota/Bupati.

Sementara dalam session kedua dalam sidang yang sama dengan saksi yang dihadirkan pihak terdakwa Moch. Anton, yaitu Sukirno (mantan Kasubag Perundangan DPRD Kota Malang), KH. Hamzawi (mantan Dosen UIN Malang), dan Sofian (pengusaha Travel Umroh di Kota Malang).

Kepada Majelis Hakim, Sukirno mengatakan bahwa pada tanggal 6 Juli, dirinya melihat Sutiaji berada di ruang transit gedung DPRD Kota Malang sebelum rapat paripurna dengan agenda penyampaian pendapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Malang, dan pendapat Fraksi terhadap konsep kesepakatan bersama antara Pemkot Malang dengan DPRD Kota Malang tentang kebijakan umum anggaran (KUA), dan PPAS (Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015, dan 2 menit kemudian Wali Kota Moch. Anton tiba.

Kasubag Perundangan DPRD Kota Malang itu mengatakan kepada Majelis Hakim, tak lama kemudian pihak protokoler DPRD Kota Malang menyuruh Moch. Anton masuk ke ruang Ketua DPRD Kota Malang Moch. Arif Wicaksono. Tetapi saksi Sukirno tidak mengetahui apakah Sutiaji ikut atau tidak. Namum menurutnya, Sutiaji tidak dilihatnya lagi berda diruang transit. Kemanakah Sutiaji ? tidak ada satu saksi pun yang tahu.

Sedangkan saksi KH. Hamzawi mengatakan, bahwa Anton dan Sutiaji adalah sama-sama pengurus di NU Kota Malang. Sehingga pada saat Pilwali (Pemilihan Wali) Kota Malang tahun 2013, NU maupun PKB mengusung keduanya sebagai calon dengan memutuskan, Moch. Anton sebagai calon Wali Kota Malang, yang kemudian berhasil memenangkan pemilihan Wali Kota Malang tahun itu walaupun tidak mulus hingga akhir jabatan Moch. Anton yang akrab disapa Abah Anton.

Menurut JPU KPK Arih Suhermanto, bahwa terdakwa mengakui adanya permintaan uang dari pihak legislatif (DPRD) kepada eksekutif (Pemerintah Kota Malang) dalam pertemuan diruang Ketua DPRD Kota Malang, pada tanggal 6 Juli 2015. Namun menurut JPU KPK Arif Suhermanto seperti yang disampaikan terdakwa dalam persidangan, permintaan itu adalah THR (Tunjagan Hari Raya). Karena memang saat itu tepat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Jadi istilah THR pun menjadi alasan yang tepat.

“Tadi langsung pemeriksaan terdakwa. Terdakwa mengakui ada permintaan THR,” kata JPU KPK Arif Suhermanto kepada wartawan media ini seusai persidangan.

Pada hal, sejak Jarot dan Arif disidangkan sebagai terdakwa dalam kasus yang sama dengan Moch. Anton beberapa waktu lalu, terdakwa maupun beberapa angggota DPRD Kota Malang yang kini menjadi pesakitan sebagai tersangka serta beberapa anggota DPRD Kota Malang yang belum jadi tersangka mengatakan tidak ada perimuntaan uang pokir atau THR. Bahakan mengatakan tidak menerima, pada hal KPK telah mengantongi bukti kuat kalau semua anggota DPRD Kota Malang yang berjumlah 45 orang itu menerima uang pokir.

Saat wartawan media ini menanyakkan JPU KPK Arif Suhermanto, terkait uang sebesar 1 persen dari total jumlah anggran APBD Kota Malang TA 2015 untuk anggota DPRD Kota Malang dalam pembahasan APBD murni tahun 2014, terdakwa mengkui. Namun menurut JPU KPK seperti yang disampaikan terdakwa, hal itu dibahas dalam rapat Koordinasi, namun terdakwa tidak mengetahui bagaiaman teknis pelaksanaannya.

“Mengakui juga, dan dibahas dalam Rakor. Namun terdakwa tidak mengetahui bagaimana teknis pelaksanaannya,” ujar JPU KPK Arif.

Terkait istilah-istilah atau kata kunci untuk permintaan dan atau pemberian uang “haram” bagi anggota DPRD mapun pejabat lainnya yang terjerat dalam kasus Korupsi, tidak hanya terjadi di DPRD Kota Malang, namun terjadi juga di daerah lainnya seperti di Kota Mojokerto ada sitilah 7 sumur. Di Nganjuk ada istilah Syukuran, di Kota Batu ada si hitam untuk Mobil Aphart, Atas untuk Hotel, Bahwa untuk Restoran, dan undangan untuk uang. Sedangkan di Komis B DPRD Jawa Timur ada istilah sarung dan undangan untuk uang komitmen fee dari 10 Dinas sebagai mitra kerja Komisi B. Sedangkan di Dinas Kesehatan Jombang ada istilah makan siang untuk uang pemotongan dana kapitasi puskesmas.

Dan Istilah atau kata kunci lainnya mungkin masih banyak terdapat dari para pejabat yang terjerat kasus Korupsi yang ditangani KPK di Kabupten/Kota yang ada di Indonesia. Sedangkan kasus korupsi yang tertangkap tangan oleh pihak kepolisian ataupun Kejaksaan, kata kunci atau istilah yang dipakai oleh para tersangka/terdakwa belum pernah ada. Apakah karena yang tertangkap tangan itu hanya si penerima ? atau yang tertangkap tangan itu bukan karena hasil sadapan melainkan laporan ???. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top