#Keterlibatan pihak-pihak yang memiliki kaitan perlu terus didalami#
Jakarta, beritakorupsi.co - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan anggota DPR RI Eni Saragih sebagai tersangka penerima suap. Penetapan tersangka berkaitan dengan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. KPK harus terus dalami keterlibatan pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan proyek tersebut.
Eni yang merupakan politikus partai Golkar dicokok melalui operasi tangkap tangan (OTT) di rumah Menteri Sosial, Idrus Marham, pada Jumat, 13 Juli 2018 lalu. Dari operasi tersebut KPK menyita uang sebesar Rp 500 juta. Uang tersebut diduga merupakan pemberian dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.
Uang diduga diberikan untuk mempermulus proses penandatanganan kerjasama pembangunan PLTU Riau-1, dan ditengarai adalah bagian dari komitmen fee 2,5 persen dari total nilai proyek yang diterima Eni sebesar Rp 4,8 miliar, dan KPP pun turut menetapkan Johannes Kotjo sebagai tersangka.
Penangkapan Eni yang dilakukan oleh KPK adalah ujung rangkaian operasi yang sebelumnya dilakukan. Dari hasil penangkapan itu, KPK telah menetapkan 9 (Sembilan) tersangka dari 12 orang yang diamankan, diantaranya terdiri dari anggota DPR, staf ahli, swasta, dan supir.
Eni dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP digunakan dalam penanganan tindak pidana yang melibatkan lebih dari satu orang.
PLTU Riau-1 yang kini menjadi sorotan adalah proyek pembangkit listrik berkapasitas 2 x 300 megawatt. PLTU Riau-1 adalah proyek penunjukkan langsung kepada anak perusahaan PLN, yaitu PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB), kemudian konsorsium proyek adalah Blackgold Natural Resources, sebuah perusahaan batubara multinasional, PT Samantaka Batubara yang merupakan anak perusahaan Blackgold, PT PLN Batubara, PT Pembangkitan Jawa-Bali, dan China Huadian Engineering Co. Ltd. (CHEC). Nilai investasi PLTU Riau-1 sendiri menurut Direktur Utama PLN Sofyan Basir sebesar US$ 900 Juta. PLN memiliki saham sebesar 51 persen dari proyek tersebut.
Merespon hal-hal tersebut, ICW meminta KPK untuk segera menuntaskan kasus PLTU Riau-I. KPK perlu menelusuri keterlibatan pihak-pihak yang memiliki keterkaitan terhadap PLTU Riau-I. Johannes Kotjo diketahui ialah salah satu orang terkaya di Indonesia. Tahun 2016 lalu, ia masuk dalam jajaran 150 orang terkaya RI versi majalah Globe Asia. Jumlah kekayaannya diketahui mencapai US$ 267 juta atau setara dengan Rp 3,7 triliun.
Laporan majalah Tempo pada tahun 2000 juga menunjukkan, kedekatan Johannes dengan Keluarga Cendana. Bisnis-bisnis milik Bambang Trihatmodjo banyak dijalankan olehnya dan tersebar di berbagai negara.
Eni Saragih diketahui aktif dalam berbagai sayap organisasi Partai Golkar. Wakil Ketua Komisi Energi DPR tersebut juga pernah menjabat sebagai komisaris di dua perusahaan energi, yaitu PT Raya Energi Indonesia dan PT Nugas Trans Energi. Suami Eni, Muhammad Al Khadziq adalah Bupati Temanggung terpilih, dan turut diamankan ketika Eni dicokok oleh KPK.
Langkah KPK memeriksa kantor PLN, PT PJB, dan bahkan rumah Direktur Utama PLN Sofyan Basir perlu diapresiasi. Kendati belum tentu terlibat dalam PLTU Riau-I, KPK harus terus mendalami keterkaitan Sofyan Basir dan PLN dengan proyek tersebut. Sejauh ini tercatat sebanyak tiga Direktur PLN telah terjerat kasus korupsi.
Adanya keterkaitan perusahaan batubara dengan proyek PLTU Riau-I juga penting untuk diperhatikan. ICW telah mengidentifikasi pemilik sebenarnya/penerima manfaat (Beneficial Owner) dari 10 perusahaan besar batubara di Indonesia dan menemukan nama-nama orang terkaya dan politikus di Indonesia. Oleh sebab itu penting untuk menelusuri pemilik sebenarnya dari perusahaan-perusahaan dan kaitannya dengan kasus PLTU Riau-1.
Bukan tak mungkin pihak lain dengan nama besar memiliki keterkaitan, baik itu berasal dari pemerintah, BUMN, swasta maupun lainnya.
Kasus PLTU Riau-I juga menunjukkan pentingnya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek-proyek infrastruktur. Tanpa adanya pengawasan yang baik, celah untuk melakukan praktik-praktik korupsi dalam pembangunan proyek infrastruktur sangat terbuka lebar. Evaluasi dan memperketat pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur harus segera dilakukan. (*)
Sumber : Humas ICW (Indonesia Corruption Watch)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :