0
Pemohon PK terpidana Saiful Anwar (kiri) saat membacakan memori PK
#Pemohon PK mengatakan dalam memori PK-nya; Persidangan tidak mewakili kejadian yang sebenarnya karena JPU KPK tidak menghadirkan Ashanty, dan TNI AL sebagai penerima Dana Komando#

beritakorupsi.co - Sejak tahun 2012 - 2017 lalu, Saiful Anwar adalah mantan Direktur Desain dan Teknologi, merangkap Direktur Keuangan PT PAL (Penataran Angkatan Laut), perusahaan kapal terbesar kebanggan Indonesia, saat ini berstatus terpidana 4 tahun penjara, dan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IA Khusus Surabaya, Porong, Sidoarjo Jawa Timur,  sejak Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya memvonisnya, pada Senin, 18 Desember 2017.

Terpidana Saiful Anwar, M. Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT PAL dan Arif Cahyana, General Manager PT PAL tertangkap tangan KPK bersama Agus Nugroho (Direktur Umum PT Perusa Sejati), pada tanggal 30 Maret 2017.

Di tanggal 30 Maret 2017, tim KPK melakukan tangkap tangan terhadap Arif Cahyana dan Agus Nugroho (Direktur Umum PT Perusa Sejati, dan sudah di Vonis 2 tahun pejara dari tuntutan JPU KPK 2,6 tahun pada Juli lalu), beberapa saat setelah Arif Cahyana menerima uang sebesar USD25.000 dari Agus Nugroho, di kantor PT Perusa Sejati di Jakarta. Setelah KPK melakukan tangkap tangan terhadap keduanya, kemudian keesokan harinya tim KPK mengamankan Firmansyah Arifin dan Saiful Anwar.

Dari fakta persidangan yang berlangsung sejak tanggal 14 Agustus (Sidang dakwaan) hingga 18 Desember 2017 (sidang putusan) terungkap, penangkapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Agus Nugroho, terkait penyerahan uang Cash Back sebesar USD25.000 atau setara dengan nilai rupiah sebesar Rp325 juta. Uang itu berasal dari Liliosa AAvedra (Anday) pemilik perusahaan Ashanty Sales Incoporation untuk Direksi PT PAL melaui Kirana Kotama pemilik PT Perusa Sejati, dan dari Kirana Kotama memerintahkan Agus Nugroho untuk menyerahkannya ke Direksi PT PAL melalui Arif Cahyana (General Manager PT PAL).

Ashanty Sales Inc. adalah salah satu perusahaan di Fhilipina yang menjadi agen PT PAL untuk mendapatkan proyek pembangunan 2 kapal perang jenis SSV (Strategic Sealift Vessel) milik pemerintah Fhilipina. Sementara PT Perusa Sejati adalah sebagai perwakilan Ashanty Sales di Indonesia. PT Perusa Sejati sebelumnya bergerak dibidang penyediaan alat-alat (Spare part) pesawat terbang.

Sebagai Agen PT PAL, Ashanty Sales memperoleh fee agen sebesar 3,5 persen dari nilai kontrak 2 kapal SSV milik pemerintah Filipina sebesar USD86.987.832,5. Dan 1,25 persen dari nilai kontrak 2 kapal SSV itu adalah sebagai uang cash back adalah uang PT PAL sendiri yang digabungkan ke fee agen Ashanty Sales yang menjadi chas back PT PAL, sehingga totalnya menjadi 4,75 persen atas persetujuan rapat BOD (Board Of Directors) atau seluruh Direksi PT PAL.

Terpidana 2 tahun Agus Nugoroho (Mantan Direktur Umum PT Perusa Sejati)
Dalam persidangan terungkap pula, bahwa uang sebesar USD25.000 yang diterima Arif Cahyana dari Agus Nugroho pada tanggal 30 Maret 2017, adalah termin ke 2 dari total uang Cash Back 1,25 persen dari nilai kontrak 2 kapal SSV milik pemerintah Filipina sebesar USD86.987.832,5. Sementara termin pertama sudah diterima sebelumnya oleh pihak PT PAL pada tahun 2015, yang jumlahnya USD163.000 atau setara dengan nilai rupiah sejumlah Rp 2.119.000.000.

Yang terungkap dalam persidangan, bahwa uang chas back 1,25 persen tersebut adalah uang PT PAL sendiri yang dititipkan dalam perjanjian fee angen antara PT PAL dengan Ashanty Sales. Kemudian, Shanty Sales mengembalikannya ke PT PAL pada saat pembayaran termin pembangunan 2 kapal SSV  tersebut. Dan tidak hanya itu, dalam dokumen pembangunan kapal perang Philipina itu, juga terdapat Dana Komando yang besarnya USD250.000 atau setara dengan nilai rupiah Rp3.250.000.000.

Menurut para terdakwa saat itu (sekarang terpidana), hal itu dilakukan untuk keperluan pembayaran Dana Komando ke Mabes TNI AL di Cilangkap yang tidak ada bukti pembayaran maupun penerimaan, sehingga seolah-olah pengeluaran keuangan PT PAL tidak ada masalah saat dilakukan audit oleh lembaga terkait.

Heri Suanto (mantan Direktur Utama PT PAL), Edi Widarto (mantan Direktur Produksi PT PAL yang saat ini menjabat Dirut PT IKI), Turitan (Direktur Pembangunan) dan Cornelius Asmono (bagian Akutansi)
Dan tidak hanya itu. Beberapa saksi dari PT PAL yang dihadirkan JPU KPK kepersidangan maun para terdakwa sendiri mengungkapkan, untuk memenuhi Dana Komando, PT PAL juga melakukan penitipan uang cash back ke beberapa Vendor atau Sub Kontraktor yang mengerjakan HARKAN (perbaikan dan pemeliaraan) kapal milik TNI AL. Bahwa Dana Komando wajib dibayarkan terlebih dahulu oleh PT PAL ke Mabes TNI AL untuk memperlancar termin pembayaran setiap ada pembangunan kapal maupun pegerjaan HARKAN milik TNI AL. Hal ini pula terungkap dalam amar putusan Majelis Hakim.

Menurut saksi maupun ke- 3 terdakwa mengatakan dihadapan Majelis Hakim, bahwa uang sebesar USD250.000 dan USD163.000 (USD413.000) atau setara dengan nilai rupiah sebsar Rp5.369.000.000 sudah disetorkan sbagai Dana Komando ke Pekas Pusku Mabes TNI AL di Cilangkap. Apapun yang diungkapkan beberapa saksi terutama terdakwa, terkait uang cash back untuk memenuhi kewajban Dana Komando, Majelis Hakim tetap menyatakan bahwa terdakwa (Firmansyah Arifin, Saiful Anwar dan Arif Cahyana) terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi.


Senin, 18 Desember 2017, dalam persidangan dengan agenda pembacaan surat putusan oleh Majelis Hakim yang diketuai Hakim H. Tahsin dengan dibantu 2 Hakim Ad Hock Dr. Andriano dan Dr. Lufsiana menyatakan, bahwa terdakwa M. Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama (Dirut) PT PAL, Saiful Anwar Direktur Desain dan Teknologi yang merangkap Direktur Keuangan PT PAL, dan Arif Cahyana selaku Kepala Perbendaharaan PT PAL terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama, sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 12 huruf b  dan pasal 12 huruf B ayat (1) jo pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. 
Didik Subiantoro, Taufik, Sri Utami dan Muspiadi (mantan Direktur Pengembangan Usaha PT PAL).
Ketiga terdakwapun (M. Firmansyah Arifin, Saiful Anwar dan Arif Cahyana) dihukum penjara masing-masing selama 4 (Empat) tahun, dan denda sebesar Rp 200 juta atau kurungan 2 bulan. Putusan Majelis Hakim ini lebih ringan 1 tahun dari tuntutan JPU KPK, yang menuntut para terdakwa masing-masing pidana penjara selama 5 tahun, denda sebesar Rp 250 juta atau kurungan selama 6 bulan.

Dalam putusan Majelis Hakim ini tidak seperti saat pemeriksaan saksi-saksi, dimana Majelis Hakim terlihat tegas mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada puluhan saksi yang dihadirkan JPU KPK dalam persidangan. Bahkan Majelis Hakim memerintahkan JPU KPK dalam persidangan dengan terdakwa Agus Nugroho untuk mengajukan bukti-bukti ke Presiden, agar dapat menyita dana PT PAL di BRI Cabang Cilangkap sebesar Rp 5 milliar yang diblokir oleh Mabes TNI AL karena PT PAL belum melunasi Dana Komando.

Tidak hanya disitu. Majelis Hakim juga sempat memerintahkan JPU KPK untuk memeriksa rekanan yang menjadi Subkontrak di PT PAL terkait pengerjaan HARKAN (perbaikan dan pemiliharaan) kapal milik TNI AL. Namun entah mengapa, dalam putusan Majelis Hakim tidak menyebutkan siapapun yang turut bertanggung jawab terkait penerimaan uang Cash Back sebesar 1,25 persen dari total nilai anggaran pembangunan 2 kapal SSV milik negara Fhilipina itu, dan pembayaran Dana Komando yang tidak ada aturan hukumnya pun sepertinya “sah” bagi si penerima

Memang, dalam surat tuntutan JPU KPK juga tidak menyebutkan keterlibatan pihak lain dalam penentuan jumlah fee agen kepada Ashanty Sales dari 3,5 persen menjadi 4,75 persen, dimana 1,25 persen sebagai dana Cash Back untuk PT PAL. Pada hal, penentuan besaran fee agen dan dana Cash Back adalah hasil rapat BOD (Board Of Directors) atau seluruh Direksi PT PAL.

Anehnya, JPU KPK justru menghadirkan ahli hukum pidana dari pada menghadirkan saksi fakta,  yakni Ashanty Sales selaku agen PT PAL di  Philipina dalam pembangunan 2 kapal perang milik pemerintah Philipina, dan Kirana Kotama pemilik perusahaan PT Perusa Sejati selaku perwakilan Ashanty Sales di Indonesia, yang saat ini berada di Amerika Serikat, sebab uang yang disebut chas back sekaligus menghantarkan ketiga pejabat perusahaan plat merah itu dalah berasal dari  Ashanty Sales ke Kirana Kotama, kemudian dari Kirana Kotama ke Agus Nugroho dan berakhirlah ditangan Arif Cahyana sebelum sapai ke tangan Direksi PT PAL karena Agus dan Arif tertangkap Tangan KPK pada tanggal 30 Maret 2017.


Pada hal, menurut JPU KPK, Kirana Kotama sudah ditetpakan sebagai tersangka. Namun diakui, sulit  untuk menghadirkan pengusaha yang dulu bergerak dibidang penyidiaan spare part (alat-alat) pesawat terbang itu.

Apakah status tersangka Kirana Kotama hanya ibarat “gelar” hingga akhir hayat ? Tidak ada yang tau kecuali KPK sendiri. Yang jelas, banyak pihak “tertawa” menyaksikan 2 Direksi dan 1 GM di perusahaan Kapal terbesar di Indonesia yang saat ini meringkuk di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Porong, Sidoarjo Jawa Timur selama 4 tahun kedepan.

Dari fakta persidanagan, chas back 1,25 persen tersebut adalah uang PT PAL sendiri yang dititipkan dalam perjanjian fee angen antara PT PAL dengan Ashanty Sales. Kemudian, Shanty Sales mengembalikannya setelah dilakukan pembayaran pembangunan kapal tersebut. Dan tidak hanya itu, dalam dokumen pembangunan kapal perang Philipina, juga terdapat Dana Komando yang besarnya USD 250 ribu Dollar.

Uang chas back itulah yang dikembalikan oleh Ashanty Sales melalui Kirana Kotama, dan Kirana Kotama ke ke Agus Nugroho selaku Direktur Umum PT Perusa Sejati (sudah divonis 2 tahun penjara dari 2,6 tahun tuntutan JPU KPK ). Atas perintah Kirana Kotama, kemudian Agus Nugroho menyerahkannya ke PT PAL melalui Arif Cahyana, sekaligus menghantarkan mereka ke balik jeruji besi alias penjara setelah terlebih dahulu ditangkap tim KPK dalam Operasi Tangkap Tangan, pada akhir Maret lalu.

Mengapa keputusan Direksi yang dianggap tidak sesuai dengan aturan terkait fee agen dari 3,5 persen menjadi  mejadi 4,75 persen dan 1,25 persen dari itu adalah sebagai cash back untuk Direksi PT PAL hanya menjadi tanggung jawab 3 terdakwa, sementara beberapa Direksi lainnya bebas?

Mengapa JPU KPK maupun Majelis Hakim tidak menyebutkan penerima Dana Komando turut bertanggung jawab, karena pembayaran dan penerimaan Dana Komando tidak ada aturannya,  apalagi tidak ada bukti pembayaran serta bukti penerimaan? Tapi bisa jadi, JPU KPK maupun Majelis Hakim “tak berani” dengan berbagai pertimbangan.



 Sidang PK terpidana Saiful Anwar

Saat ini, terpidana Saiful Anwar mengajukan PK ke Mahkamah Agung RI di Jakarta melalui Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, atas vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap dirinya, terkait kasus yang menjeratnya yakni penerimaan uang Cash Back sebesar USD25.000 atau setara dengan nilai rupiah sebesar Rp325 juta pada tanggal 30 Maret 2017. Uang itu berasal dari Liliosa AAvedra (Anday) pemilik perusahaan Ashanty Sales Incoporation untuk Direksi PT PAL melaui Kirana Kotama pemilik PT Perusa Sejati, dan dari Kirana Kotama memerintahkan Agus Nugroho untuk menyerahkannya ke Direksi PT PAL melalui Arif Cahyana (General Manager PT PAL). Sementara terpidana M. Firmansyah Arifin dan terpidana Arif Cahyana belum mengajukan PK

Pada Senin, 30 Juli 2018 adalah sidang pertama PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan pemohon PK yakni Saiful Anwar, digelar di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya dengan Ketua Majelis Hakim Rochmat, dan dihadiri JPU KPK Agus.

Dalam persidangan yang berlangung, memori PK sebanyak 2 lembar kertas HVS itu dibacakan sendiri oleh Saiful Anwar selaku pemohon PK tanpa didampingi Penasehat Hukum atau Kuasa Hukumnya, seperti lazimnya terpidana lainnya saat mengajukan PK atas putusan pidana yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap diri si terpidana selaku pemohon PK.

Saat membacakan memori PK, pemohon PK terpidana Saiful Anwar tak menunjukkan bukti atau novum baru maupun ahli yang diajukannya ke prsidangan. Pemohon PK pun bukan tidak mengakui kesalahannya, melainkan pasal yang diterapkan JPU KPK maupun Majelis Hakim terhadap dirinya, yaitu pasal 12 huruf b dan pasal 12 huruf B Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. 

Menurutnya, pasal yang harusnya dikenakan sesuai dengan keterangan saksi ahli pakar hukum pidana yang saat itu dihadirkan JPU KPK maupun dari terdakwa sendiri dalam persidangan adalah pasal 3. Pemohon PK juga mengatakan, bahwa dalam proses persidangan pihak yang sangat penting yaitu Ashanty dan TNI AL tidak dihadirkan oleh KPK. Oleh sebab itu proses persidangan tidak mewakili kejadian yang sebenarnya.

Menurt pemohon PK, kalau perkara ini digelar secara lengkap dengan menghadirkan pihak TNI AL, maka sebenarnya posisi PT PAL adalah pemberi dan TNI AL sebagai penerima. Alasan pemohon PK adalah, uang yang diterima dari mitra kerja seperti subkontraktor maupun Ashanty adalah uang PT APL sendiri yang dititipkan, dengan cara memark up dari kontrak kerja dengan mitra kerja agar ada dasar pengeluaran uang.

Sebab uang untuk dana komando yang sudah diserahkan tidak ada tanda terima dari TNI AL. Pemohon PK mengajukan Peninjauan Kembali yang didasarkan oleh kekilafan atau suatu kekeliruan yang nyata, yang didukung oleh alasan fomil yaitu pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Pemohon PK terpidana Saiful Anwar saat membacakan memori PK-nya mengatakan, sudah berlangsung sejak lama apabila melaksanakan proyek dari TNI AL, maka harus menyiapkan dan menyerahkan dana komando sebesar 2% sampai dengan 8% dari nilai kontrak. Penyerahan Dika tanpa disertai tanda terima oleh TNI AL. Kegiatan penyiapan dan penyerahan DK  merupakan aksi Korporasi yang diamini oleh seluruh Direksi dan Komisaris, bahkan diketahui oleh Deputi Menteri BUMN Bidang Pertambangan Industri Strategis dan Media.

Dalam rangka mendukung dasar pengeluaran uang untuk DK, maka PT PAL menitipkan kepada mitra kerja dengan cara melakukan mark up atas nilai perjanjian kerja yang telah disepakati. Uuang titipan yang diterima kembali dari mitra kerja maupun yang disalurkan untuk DK dicatat oleh manager keuangan, dan tidak terbukti uang tersebut dipakai untuk kepentingan pribadi pemohon PK. Menurut ahli, penggunaan pasal 11 dan pasal 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah tidak tepat, karena uang yang diterima dari mitra kerja adalah bukan uang mereka, tetapi uang PT PAL sendiri yang dititipkan. Jadi bukan sebagai definisi suap adalah uang yang berasal dari pemberi? Pasal yang tepat adalah pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Seusai pemohon PK membacakan memori PK-nya, Majelis Hakim menentukan sidang berikutnya hanya penandatanganan berita acara persidangan, dan selanjutnya perkara PK atas nama pemohon PK terpidana Saiful Anwar akan dikrim ke Mahkamah Agung RI di Jakarta.


"Minggu denpan agendanya hanya penandatanganan BA (Berita Acara) Sidang, sudah itu dikirik ke Jakarta. Ini pemeriksaan saksi atau bukti seperti dalam sidang biasanya, karena pemohon tidak mengajukan," kata JPU KPK Agus seusai sidang

 Tanggapan JPU KPK saat sidang terdahulu
Sementara, saat itu seusai persidangan (18 Desember 2017), wartawan media ini menayakan terkait pihak-pihak yang turut bertanggung jawab dalam kasus yang menyeret 3 Direksi PT PAL, JPU KPK Mungki Hadi Pratikto mengatakan tidak ada.

“Untuk sementara waktu yang tercatat dalam penganan kami tidak ada untuk sementara waktu,” jawab JPU KPK Mungki.

“Untuk sementara waktu, tapi ada kemungkinan ?,” tanya wartawan media kemudian

“Kami tentunya tidak dapat menyampaikan apa yang belum pasti,” jawab JPU KPK Mungki.
Saat ditanya lebih lanjut terkait fee agen dari 3,5 persen menjadi 4,75 persen atas hasil rapat BOD, apakah hanya menjadi tanggung jawab ke- 3 terdakwa ?. Menurut JPU KPK Mungki mengatakan, perlu mencari bukti.

“Fakta, bahwa disampaikan dibahas BOD yang disampaikan oleh beberapa orang disini (persidangan) dan mereka para terdakwa, hal tersebut merupakan yang mungkin nanti dipertimbangkan. Tentunya apa yang disampaikan para terdakwa, hal tersebut perlu dicari fakta lain yang dapat mendukung fakta yang disampaikan para terdakwa. Jadi tidak serta merta semua fakta yang terungkap dalam hal ini harus kita sampaikan adalah benar. Setiap fakta tersebut mempunyai nilai pembuktian, seberapa jauh nilai pembuktiannya,” kata JPU KPK Mungki.

Sementara terkait cash back 1,25 persen dari nilai kontrak 2 kapal milik Fhilipina yang diputuskan rapat BOD maupun Dana Komando, JPU KPK ini mengatakan, fakta tersebut mempunyai nilai pembuktian seberapa jauh nilai pembuktiannya berdasarkan bukti.

Memang sulit untuk JPU KPK “menyeret” sipenerima Dana Komando karena tidak ada bukti setor alias bukti terima. Kecuali hanaya keterangan saksi dari Direksi PT PAL maupun para terdakwa yang mengatakan, bahwa fee agen dan uang cash back adalah hasil rapat Direksi untuk memenuhi kewajiban Dana Komando ke Mabes TNI AL. Hal ini jga terungkap dalam surat dakwaan JPU KPK.


      Pembelaan Terdakwa/Terpidana 
M. Firmansyah Arifin dalam persidangan
Pada hal menurut terdakwa, secara struktural para Direksi, General Manager PT.PAL tahu dan ada yang terlibat langsung dalam praktek pengumpulan dan penyetoran Dana Komando tersebut. Bahkan semua Komisaris PT PAL dan Pejabat Kementrian BUMN setingkat Deputi pun tahu akan praktek Dana Komando.

Pada persidangan saat terdakwa membacakan Pledoi (pembelaan atas tuntutan JPU KPK) menyebutkan, Dana Komando dan Dilemanya diungkapkan terdakwa M. Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero), dan Saiful Anwar selaku Direktur Desain dan Teknologi yang merangkap sebagai Direktur Keuangan PT PAL, pada 8 Desember 2017.

Kepada Majelis Hakim terdakwa M. Firmansyah Arifin mengatakan, "Suatu kenyataan yang tidak kami pungkiri, bahwa dalam setiap transaksi dengan TNI-AL baik untuk transaksi pembangunan kapal baru maupun transaksi pemeliharaan dan perbaikan kapal (Harkan), senantiasa di ikuti dengan penyetoran Dana Komando (DK) oleh PT PAL ke Pekas Kupus TNI-AL atau ke Pusku Kementrian Pertahanan. Praktek kegiatan permintaan dan penyetoran Dana Komando ini sudah berlangsung lama sejak tahun 2000 (sesuai BAP Turitan Indaryo, saat ini sebagai Direktur Pembangunan Kapal PT.PAL). Di PT PAL, yang mengendalikan dan bertanggung jawab atas  pengumpulan Dana Komanda adalah Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha (PPU), dan di rencanakan serta dilaksanakan oleh Divisi Bisnis dan Pemasaran, dibantu oleh beberapa divisi terkait lainnya seperti Divisi Logistik, Divisi Harkan dan sebagainya.

Besaran Dana Komando, lanjut Firmansyah Arifin, itu bervariasi antara 2 pesen sampai dengan 8 persen, bersifat fixed (tidak negotiable) dan sudah ditentukan oleh pihak TNI-AL dan atau Kemenhan dari awal.  Dengan kondisi seperti ini, maka Divisi Bisnis dan Pemasaran secara otomatis akan memasukkan besaran Dana Komando tersebut dalam Cost Structure suatu proyek. Dengan demikian, masing-masing proyek itu sudah memiliki alokasi Dana Komandonya. Dana Komando itu sendiri harus disiapkan sedini mungkin, karena harus disetorkan tunai di awal/ mendahului sebelum penerimaan pembayaran uang muka dan atau termin pembayaran suatu proyek dari Pekas Kupus TNI- AL atau  dari Pusku Kemhan. Selain itu permintaan Dana Komando tersebut tidak disertai Invoice Penagihan dan sebaliknya penyetoran Dana Komando tidak disertai Bukti Penerimaan sehingga tidak ada tanda bukti apapun yang dimiliki oleh PT.PAL.

 Karena harus disetor sebelum penerimaan uang muka, menyebabkan Divisi Perbendaharaan (Divisi Treasury) PT.PAL harus mencarikan Dana Talangan yang biasanya diambilkan dari proyek lain yang sudah ada terlebih dahulu, dan pada gilirannya nanti dana talangan tersebut dikembalikan lagi ke proyek yang meminjamini.

Disisi lain, lanjut Firmansyah, karena tidak ada tanda bukti penerimaan (kwitansi) dari Pekas Kupus TNI atas penyetoran Dana Komando tersebut, maka Divisi Bisnis dan Pemasaran melakukan pengelolaan secara Extra Countable yakni dengan cara "menitipkan" sejumlah dana ke Surat Perintah Kerja (SPK) atau kontrak kerja beberapa subkontraktor atau mitra kerja, misalnya : Marketing Agent. Pada saat SPK tersebut dibayar oleh PT.PAL maka  dana yang "dititipkan" tersebut akan dikembalikan oleh para subkontraktor atau mitra kerja tersebut ke PT.PAL. Dana-dana yang dikembalikan tersebut selanjutnya disimpan di dalam brankas PT.PAL dibawah kontrol Departemen Manajemen Kas - Divisi Perbendaharaan PT.PAL.

Contoh konkrit dari penjelasan kami diatas adalah yang terjadi pada proyek Kapal Cepat Rudal (KCR) dan Tug Boat 2400 HP (TB). Kedua proyek ini adalah pesanan Mabes TNI-AL (cq Disadal). Tanda tangan proyek tersebut dilaksanakan oleh Direktur Utama sebelum saya dengan besaran Dana Komando yang harus disetor sebesar 4% dari total nilai proyek, yaitu senilai Rp. 18,12 Miliar. Untuk memenuhi Dana Komando tersebut, Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha PT.PAL yakni Eko Prasetyanto mengusulkan agar dana tersebut "dititipkan" ke Ashanty Sales Inc yang saat itu adalah sebagai Marketing Agent proyek SSV Philipina. Jumlah dana yang "dititipkan" tersebut adalah senilai 1,25 persen dari total kontrak proyek SSV atau setara dengan nilai Rp. 14.134.250.000. Dana titipan tersebut akan di cashback-kan oleh Ashanti Sales Inc ke PT.PAL sesuai dengan termin pembayaran yang telah disepakati dengan Ashanti Sales Inc. Usulan ini diputuskan dan disetujui dalam suatu Rapat Direksi yang dihadiri oleh seluruh anggota Direksi. Sehingga keputusan ini merupakan keputusan yang bersifat kolektif kolegial, bukan keputusan saya selaku Dirut semata.

Dan yang perlu kami tegaskan bahwa dana  yang dititipkan ke Ashanti Sales Inc. tersebut memang benar-benar diperuntukkan untuk membayar Dana Komando ke Mabes TNI-AL untuk proyek KCR dan TB. Dalam persidangan juga telah terungkap fakta bahwa PT. PAL melalui Direktur Keuangan PT PAL yaitu Imam Sulistyanto, telah melakukan penyetoran senilai USD250.000 dan USD 163.000 (total setara Rp. 5,3 Miliar) dari jumlah Rp. 18,12 Miliar yang harus disetorkan ke Mabes TNI-AL.

Dana yang diterima oleh PT.PAL dari Ashanti Sales Inc. tersebut benar-2 disetorkan ke Mabes TNI-AL melalui Pekas Kupus dan tidak ada serupiahpun yang digunakan untuk kepentingan saya pribad. Sedangkan dana senilai USD25.000 ( setara Rp. 325 juta ) yang diterima oleh Arif Cahyana dan akhirnya terjaring OTT oleh KPK, itupun merupakan bagian dari dana yang "dititipkan" ke Ashanti Sales Inc. untuk membayar Dana Komando proyek KCR & TB.

Dengan demikian apa yang didakwakan oleh JPU kepada saya bahwa porsi 1,25 persen yang di cashback-kan oleh Ashanti Sales Inc. tersebut adalah hadiah kepada saya dan Direksi lainnya adalah tidak benar. Untuk proyek-proyek Harkan, proses pengumpulan Dana Komando pada prinsipnya sama dengan proyek-proyek pembangunan kapal baru, dan biasanya "dititipkan" kepada para subkontraktor terdaftar di PT PAL (inhouse subkontraktor). Kegiatan pengumpulan dan penyetoran Dana Komando Harkan ini sudah demikian terstruktur dan sismatis baik itu di PT PAL maupun di TNI AL, serta sudah berlangsung lama jauh sebelum saya menjabat sebagai Dirut di PT PAL.

Sedemikian terstruktur dan sistematisnya, sehingga kegiatan pengumpulan dan penyetoran Dana Komando Harkan ini bisa berjalan secara Autopilot tanpa ada campur tangan dari Direksi sekalipun.Terus terang, saya sendiri baru tahu mekanisme pengumpulan dan penyetoran Dana Komando Harkan ini setelah OTT, sebelumnya saya hanya dilapori bahwa penyetoran Dana Komando Harkan tersebut berjalan dengan lancar dan itu juga terbukti dengan tidak adanya teguran yang serius dari TNI AL kepada Dirut PT PAL karena belum menyetor Dana Komando tersebut.

Jadi dana-dan yang "dititipkan" kepada para subkontraktor PT PAL itu betul-betul di peruntukkan untuk membayar Dana Komando Harkan. Seluruh dana-dana tersebut dikumpulkan di brankas di Divisi Perbendaharaan PT PAL. Praktek penyetoran Dana Komando itu sendiri, sudah berlangsung lama jauh sebelum saya masuk di PT PAL, demikian juga semua saksi yang diajukan dalam persidangan menyatakan hal yang sama.

Saya sebagai Direktur Utama baru (saya adalah satu-satunya Direktur yang berasal bukan dari internal PT PAL), sangat mengalami kesulitan untuk menghindari dan menghentikan prakte Dana Komando tersebut. Secara struktural para Direksi, para General Manager dan para Manajer PT.PAL tahu dan ada yang terlibat langsung dalam praktek pengumpulan dan penyetoran Dana Komando tersebut. Bahkan para semua Komisaris PT.PAL dan Pejabat Kementrian BUMN setingkat Deputi pun tahu akan praktek Dana Komando ini.

Bisa dibilang praktek Dana Komando ini sudah berlangsung lama, masif, terstruktur dan sistematis maka dalam keadaan yang sudah seperti itu, siapapun yang menjadi Direktur Utamanya, pasti tidak akan mampu menghindarinya. Manakala penyetoran Dana Komando ini tidak dilakukan, bisa dipastikan termin pembayaran proyek akan mengalami kemacetan dan pada gilirannya nanti akan berdampak buruk pada kinerja perusahaan dan juga akan berefek negatif kepada  Customer dan Perbankan. Bukan itu saja, peluang untuk mendapatkan proyek-proyek berikutnya pasti akan tertutup. Terus terang hal seperti ini sudah diluar kemampuan kami untuk menghentikannya. Kami betul-betul berada dalam situasi yang sangat dilematis.

Sekali lagi kami tegaskan bahwa dana-dana yang "dititipkan" kepada para vendor (dalam hal ini ke Ashanti Inc Philipina dan para inhouse subkontraktor) dihimpun dan seluruhnya disetorkan sebagai setoran Dana komando, tidak ada serupiah pun yang masuk/ dipergunakan untuk kepentingan pribadi saya.

Kejadian OTT oleh KPK ini, rupanya berdampak positif terhadap praktek penyetoran Dana Komando tersebut. Secara seketika penyetoran Dana Komando tersebut berhenti total, tidak ada lagi permintaan Dana Komando. Semoga hal yang baik ini akan terus berlanjut. Setelah kejadian OTT ini, akhirnya kami menyadari bahwa kegiatan penghimpunan dana untuk kebutuhan Dana Komando, yakni menitipkan sejumlah dana kepada para vender dan marketing agen dengan cara me-mark-up nilai kontrak dan SPK adalah suatu tindakan yang salah dan melawan hukum yaitu tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta PERMEN BUMN dan Surat Edaran Menteri BUMN tentang Kode Etik dan penegakan Citra BUMN bersih

Bahwa dengan mengacu pada fakta-fakta persidangan dan berkas-berkas yang ada bahwa dana-dana yang diterima tersebut sebenarnya adalah dana yang berasal dari PT PAL dan dititipkan kepada para vendor dan Marketing Agent, kemudian di cash back kan ke PT PAL kembali, dihimpun dan selanjutnya disetorkan sebagai dana komando ke Pekas Kupus TNI AL. Bahwa dana-dana yang di cash back kan ke PT PAL tersebut, seluruhnya dikumpulkan di brankas Divisi Perbendaharaan (Divisi Treasury) PT PAL dan pada gilirannya disetorkan ke Pekas Pukus TNI-AL, dengan demikian tidak ada serupiahpun yang diperuntukkan untuk kepentingan diri saya sendiri.

Bahwa kegiatan penyetoran Dana Komando ke Pekas Kupus TNI AL sudah berlangsung sejak dulu, terstruktur, sistematis dan keberadaannya diketahui oleh seluruh Direksi, Komisaris bahkan oleh Kedeputian Industri Strategis Kementerian BUMN. Bahwa kami tidak mampu menolak permintaan Dana Komando ini, sebab bila tidak dipenuhi, maka termin-termin pembayaran atas proyek-proyek yang sedang kami kerjakan tidak akan dibayarkan, bahkan lebih jauh dari itu, PT PAL tidak akan diberi proyek dan bila hal-hal tersebut terjadi akan berakibat fatal bagi PT PAL. PT PAL akan kekurangan atau tidak punya proyek sama sekali, ini berarti operasional perusahaan PT PAL akan berhenti.

Bahwa, saya selama ini sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan sampai tahap persidangan, sudah berusaha untuk kooperatif, menyampaikan hal-2 yang saya ketahui, tidak berbelit-belit dan memberikan keterangan apa adanya. Dengan memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang kami sebutkan diatas, maka kami berharap Majelis Hakim Yang Mulia dapat memberikan hukuman yang seringan-ringannya.

Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim  yang telah memimpin persidangan ini dengan penuh kesabaran, kearifan dan bijaksana, sehingga persidangan dapat berjalan dengan baik dan penuh wibawa. Saya juga mohon maaf, bilamana ada hal-hal yang kurang berkenan dan tidak ada terlintas sedikitpun dibenak saya untuk mempersulit jalannya persidangan".


          Pembelaan Terdakwa/Terpidana 
          Saful Anwar dalam persidangan
Sementara dalam pembelaan yang disampaikan terdakwa Saiful Anwar mengatakan, "Pada semester II tahun 2013, PT PAL Indonesia (Persero) mengikuti tender internasional membangun 2 unit Strategic Sealift Vessel (SSV) untuk Angkatan Laut Filipina. Alhamdulillah dengan dukungan banyak pihak seperti Kementerian Pertahanan RI, TNI AL dan Kedutaan Besar di Filipina, PT PAL Indonesia bisa memenangkan tender internasional ini. Kemudian tepat 2 tahun setelah kontrak, pada Mei 2016 PT. PAL Indonesia menyerahkan SSV kapal pertama kepada Angkatan Laut Filipina di Manila.

Membangun kapal sebesar SSV dalam 2 tahun termasuk menyiapkan desain dan pengadaan material serta kegiatan produksi adalah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya di PT. PAL Indonesia. Bahkan tenaga ahli asing dari Belanda yang berada di PT. PAL Indonesia yang saat itu bersama PT. PAL Indonesia membangun kapal perang Perusak Kawal Rudal untuk TNI AL hampir tidak percaya atas capaian PT. PAL Indonesia ini.

Begitu pula 3 unit Kapal Cepat Rudal (KCR) kami selesaikan tepat waktu di tahun 2014, sebelum HUT TNI tanggal 5 Oktober 2014. Ketiga KCR ikut Sailing pass pada HUT TNI tersebut di Armada Timur. Kapal Perusak Kawal Rudal pertama yang dibangun di PT. PAL Indonesia bersama DSNS Belanda juga diselesaikan tepat waktu.

Perlu diketahui bahwa Desain Kapal Cepat Rudal 60 m ini mendapat penghargaan InovasiTeknologi dari Menteri Riset dan Teknologi pada tahun 2015.  Pencapaian keberhasilan ini sangat berharga bagi kami saat itu, karena hal ini menjadi energi baru bagi SDM PT. PAL Indonesia. Peranan SDM dalam industri manufaktur sejatinya mempunyai peranan penting. Dinamika bisnis yang terjadi harus dapat dihadapi agar perusahaan tetap going concern, terutama adalah kewajiban membayar gaji karyawan. Apalagi PT PAL berada dalam Kawasan Armada Timur TNI AL tidak boleh terjadi aksi demo dan keributan.

Pengeluaran rutin per-bulan untuk gaji karyawan dan biaya operasional rata-rata sebesar kurang lebih Rp. 20 miliar harus dapat disediakan oleh manajemen. Belum termasuk pembayaran hutang ke bank dan subkontraktor sekitar Rp. 6 miliar, selain belanja material dan jasa untuk kebutuhan proyek. Disinilah tugas utama kami sebagai Direksi untuk menjaga perusahaan tetap berjalan dengan baik.

Perkara yang kami hadapi dan yang dituduhkan kepada kami adalah bagian dinamika dari bisnis yang harus kami jalani. Pemberian dana komando kepada setiap proyek TNI AL adalah kewajiban yang sudah ada sebelum saya menjadi Direksi. Hal ini juga sudah diketahui oleh Komisaris dan Deputi Menteri BUMN bidang Industri Strategis dan Media. Oleh sebab itu kegiatan penyiapan Dana Komando adalah aksi korporasi dimana semua direksi ikut terlibat dan sistem bisnis dengan TNI AL semacam inilah yang tidak dapat kami hindari.

Persoalan sederhananya adalah bagaimana kami mengeluarkan uang untuk dana komando yang tidak ada tanda terimanya. Dalam fakta persidangan, uang yang kami terima dari Ashanti maupun sub kontraktor adalah uang milik PT. PAL Indonesia sendiri yang dititipkan, bukan uang milik Ashanti maupun sub kontraktor yang kami ambil. Selain itu tidak ada satu rupiah pun dari uang tersebut saya ambil untuk kepentingan pribadi.

Sejak saya ditugaskan untuk merangkap jabatan sebagai Direktur Keuangan pada tanggal 5 Oktober 2016, maka dengan sendirinya persoalan Dana Komando harus ikut saya tangani. Ironisnya hal inilah yang menghantarkan saya kepenjara. Padahal sekali lagi ini adalah aksi korporasi yang telah berlangsung dan dilakukan sejak lama oleh Direksi sebelum kami, dan ketika saya belum menjabat sebagai Direktur Desain dan Teknologi maupun Direktur Keuangan, semata-mata saya lakukan adalah untuk kepentingan perusahaan yang diketahui bersama dan disetujui dalam rapat BOD.

Saya berharap dan berdoa, semoga Majelis Hakim yang mulia dan Jaksa Penuntut Umum yang saya hormati, dengan hati yang bersih selama persidangan dapat memahami persoalan yang kami hadapi.

Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan beberapa hal sebagai berikut : Permintaan maaf dan penyesalan saya kepada Menteri BUMN karena saya tidak dapat menjalankan amanah dengan baik, akibat ketidakberdayaan saya melawan sistem yang ada; Permintaan maaf dan penyesalan saya kepada istri dan ketiga anak saya, sehingga mereka ikut menderita atas kejadian ini. Selain itu saya juga berterimakasih kepada mereka yang tetap setia untuk terus memberi dukungan dan semangat kepada saya.

Bahwa pekerjaan yang saya lakukan sehingga saya menjadi terdakwa dalam perkara ini sebenarnya adalah aksi korporasi untuk kepentingan perusahaan. Tidak ada satu sen pun dari dana yang dikumpulkan tersebut untuk kepentingan pribadi saya. Terkait tuduhan kepada saya menggunakan untuk kepentingan pribadi adalah sungguh merupakan fitnah yang keji karena tidak sesuai dengan fakta persidangan

Ketika saya harus berjuang menghadapi perkara ini, dengan bersusah payah saya harus menyelesaikan sendiri secara pribadi. Sedikitpun tidak ada bantuan dari perusahaan (PT. PAL Indonesia), dimana saya sudah bekerja mengabdi lebih dari 32 tahun.

Saya memohon kepada yang mulia Majelis Hakim, jika memang saya harus dinyatakan bersalah, maka mohon untuk dijatuhkan hukuman yang seringan ringannya dan mohon untuk dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Permohonan maaf saya bila dalam persidangan ada sikap, tindakan dan tutur kata yang tidak berkenan"
(Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top