0
Foto atas searah jarum jam, Penta, Agus Hadi Utomo, Elisa, Frederick, Aizal dan Haryadi (atas) dan Frederick (kiri) dan Firmansyah Arifin (foto bawa)
#Ketua Majeli Hakim memerintahkan JPU untuk mengembangkan keterangan saksi Frederick# 

beritakorupsi.co - “Ada udang dibalik batu”. Peribahasa ini sepertinya ada tepatnya dalam kasus dugaan Korupsi proyek fiktif antara PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero) dengan PT Berdikari Petro pada tahun 2009 - 2011 lalu.

Sebab batunya jelas namun udangnya belum terungkap, apakah udang Barong (Panulirus sp), udang galah (giant river prawn) atau udang lainnya. Sehingga ukurannya pun belum diketahui pasti. Untuk mengungkap inilah perlu keseriusan terutama kerja keras serta kerja sama yang baik.
Dan dalam kasus dugaan Korupsi proyek fiktif pada pekerjaan tengki pendam penyimpanan dan penyaluran Bahan Bakar Minya (BBM) di Jobber, Muara Sabak Jambi antara PT DPS  dengan PT Berdikari Petro pada tahun 2009 - 2011 lalu terdakwa dan kerugian negara pun ada, yakni 4 Direksi di perusahaan berplat merah dibawah naungan Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yaitu Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama (Dirut), Nana Suryana Tahir (Direktur Administrasi dan Keuangan),  I Wayan Yoga Djunaedi (Direktur Produksi) dan Muhammad Yahya selaku Deriktur Pemasaran dan Pengembangan (perkara masing-masing terpisah) dengan kerugian keuangan negara sebesar US$ 3,963,725 atau setara dengan nilai rupiah sejumlah Rp 35.063.047.625 (Tiga puluh Lima milliar Enam puluh Tiga juta Empat puluh Tujuh ribu Enam ratus Dua puluh Lima rupiah).

Sehingga dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim pun memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agug (Kejagung) RI dan JPU dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak, Surabaya untuk  mengembangkan keterangan Frederick, yang boleh dibilang adalah salah satu saksi kunci terjadainya hubungan kerja diantara dua perusahaan yaitu PT Dok dan Perkapalan Surabaya (PT DPS) dengan PT Berdikari Petro (Gembong Primadjaya selaku Direktur Utama).

Pada Senin, 9 Juli 2018, dalam sidang yang berlangsung di ketuai Majleis Hakim I Wayan Sosisawan, dengan agenda mendengarkan keterangan 6 orang saksi untuk ke- 4 terdakwa yang dihadirkan JPU, diantaranya Frederick (“siluman”), Agus Hadi Utomo selaku Project monitoring (Konsultan rekanan) dan 4 orang dari PT Dok yaitu Penta (Keuangan dan saat ini menggantikan posisi terdakwa Nana Suryana Tahir), Elisa (Administrasi), Aizal dan Haryadi.

Kepada Majelis Hakim saksi Frederick menjelaskan, bahwa dirinyalah yang memperkenalkan proyek tengki pendam di Jobber, Muara Sabak Jambi dan membawa Wong Cheng Lim dari pihak Zhang Hong Pte Ltd, sebuah perusahaan di Singapur ke PT DPS. Menurut saksi Fredrick, bahwa PT DPS punya masalah dengan perusahaan Singapur itu terkait proyek kapal.

“Beberapa teman-teman dari Surabaya ini minta tolong dipanggilkan Pak Wong (Wong Cheng Lim). Sebenarnya saya sudah malas karena mereka sendiri (PT DPS) punya masalah di Singapur. Dalam beberpa pertemaun ditanya bagaimana penyelesaiannya, ia saya bilang tanya aja Pak Waong,” jawab saksi

“Posisi sauadar di AE Marine sebagai apa ?,” tanya Majelis Hakim kemudian dan dijawab sakis tidak ada, namun mengakui hanya sebaugai supervisor di Zhang Hong, dan itu pun menurut saksi karena Albert. Albert inilah salah satu “siluman” dalam kasus yang menyeret 4 Direksi perusahaan BUMN yang beralamat di Tanjun Persak, Suarabaya ini ke penjara.

“Nggak ada Pak,  di Zhang Hong hanya sebagai Supervisor, itu pun kaerena Albert yang dicantumkan seperti itu,” jawab saksi ini dengan menyakahkan Albert. 
Majelis Hakim pun langsung bertanya terhadap saksi tentang sosok si Albert dan alamatnya, serta kaitannya dengan si Wong Cheng Lim. Namun saksi ini menjawab, bahwa Albert adalah temannya Wong Cheng Lim, namun saksi tidak tau dimana alamatnya. Sementara alamat si Wong Cheng Lim juga tidak diketahuin. Anehnya, saksi tau kalau rumahnya sudah dijual.

“Albert ini temannya Pak Wong. Pada waktu awal proyek ini dibicarakan di Singapur ada Albert. Posisi Albert di Zhang Hong adalah sebagai Eksektive Directur,” jawab Frederick.

Saat ditanya posisi saksi (Frederick) di dua perusahaan Singapur itu, saksi hanya mengatakan tidak ada dan hanya berteman biasa. Majelis Hakim pun tidak percaya. Karena keterangan saksi diawal mengakui bahwa saksilah yang membawa proyek tengki ini ke PT Dok, yang kemudian di subkontrakkan oleh PT DPS ke AE Marine Pte Ltd, dimana saksi ternyata saudara sebagai konsultan

“Apa kaitannya Zhang Hong Pte Ltd, AE Marine Pte Ltd dengan Cheng Lim ?,” tanya Majelis Hakim lagi.

Ternyata jawaban saksi inilah yang membuat Hakim marah. Sebab sejak awal, saksi lebih banyak menjwab lupa dan tidak tahu. Namun terkadang saksi dapat menjelaskan tentang dua perusahaan asal Siangapur itu maupun masalah bisnis dengan PT DPS termasuk proyek tengki pendam. Menurut saksi, bahwa pemilik perusahaan Zhang Hong Pte Ltd dan AE Marine Pte Ltd adalah Cheng Lim.

“Cheng Lim ini kebetulan orangnya sama di dua perusahaan itu,” jawab saksi

“Anda ini ada dimana-mana, dari hulu ke hilir. Mulai dari memperkenalkan proyek tengki ini  sampai dengan PT Dok mensubkontrakkan ke situ (AE Marine Pte Ltd). Sepertinya saudara pelimpahan yang banyak dan berat. Sebaliknya jawaban saudara tidak tau dan lupa. Sebetulnya apa peran saudara disitu ?,” tanya anggota Majelis Hakim Dr. Andriano, namun di jawab saksi tidak ada.

Atas keterangan saksi inilah, sehingga Majelis Hakim memerintahkan JPU untuk mendalami atau “memeriksa” saksi lebih dalam lagi. Apakah akan dimintakan pertanggung jawab hukum ?

“Jangan didiamin seperti ini. Saudara Jaksa bisa lihat benang merahnya disini, harus tuntas ini,” kata Majelis Hakim kepada JPU

Perintah Majelis Hakim terhadap JPU terkait keterangan saksi Frederick bukan tidak beralasan. Keberadaan saksi Frederick dalam kasus ini sepertinya tahu banyak dan bisa jadi terlibat. Namun tergantung JPU ataupun penyidik yang sejak awal menangani kasus ini. Sebab keterangan saksi, bisa jadi sudah terungkap dalam penyidikan awal, sementara dalam persidangan hanyalah prosedur dalam proses hukum.

Dari keterangan saksi Frederick dalam persidangan terungkap beberapa hal, diantanranya sosok si Albert serta alamatnya, tidak adanya kontrak pekerjaan, pemasalahan bisnis/pekerjaan antara PT DPS dengan perusahaan Singapur, keberadaan alamat Wong Cheng Lim maupun proyek tengki pendam termasuk posisi saksi sendiri yang ternyata adalah sebagai konsultan di AE Marine Pte Ltd dan supervisor di Zhang Hong Pte Ltd.

Sementara keterangan saksi Agus Hadi Utomo selaku Project monitoring (Konsultan rekanan) mengatakan, bahwa dirinya tidak mengetaahui siapa yang membuat progres pekerjaan seakan-akan mencapai 25 persen.

Sebeb, pada bulan Desember 2010 Joedy Punggih H selaku senior Manager engineering bersama dengan Agus Hadi Utomo selaku Project monitoring, diduga membuat progres fisik fiktif sebesar 25% atas pekerjaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, seolah-olah di lapangan sudah ada pekerjaan dengan progress sebesar 25%.  Dan kemudaian Muhammad Yahya selaku Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha membuat Debet Nota Invoice kepada PT Berdikari Petro Nomor 28/DPS-F1/10 tanggal 30 Desember 2010 dengan nilai Rp 52.247.000.000, dengan mengacu kepada bobot fiktif tersebut seolah-olah PT DPS akan melakukan penagihan kepada PT Berdikari Petro yang tujuannya progres dan invoice tersebut digunakan oleh terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya untuk dijadikan pengakuan pendapatan perusahaan. Sehingga para Direksi PT DPS mendapatkan tantiem atau bonus akhir tahun terhadap prestasi kerja PT DPS atas pekerjaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi.

“Saya tidak tau,” jawab saksi.

Sementara dari keterangan Penta (Keuangan dan saat ini menggantikan posisi terdakwa Nana Suryana Tahir), Elisa (Administrasi) terungkap, bahwa pembayaran yang dilakukan oleh PT DPS ke AE Marine Pte Ltd yang diketahiunyan belakangan mengatakan tidak ada kontrak dan hanya berdasarkan Invois.

Tidak hanya itu. Proyek pembuatan 2 unit kapal juga mengalami kerugian di PT DPS. Pembayaran dua kapal tersebut dilakukan pada tahun 2011 dan 2012 terdakwa tidak lagi di PT DPS dan diganitikan oleh saksi.

Pembayaran yang diterima oleh AE Mariane Pte Ltd dari PT DPS tersebut tujuannya bukan untuk pembayaran pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, melainkan digunakan untuk menutupi kekurangan pembelian bahan material pembuatan Dua kapal tanker milik PT Pertamina kepada Zhan Hong Pte Ltd sebesar UD$ 3,830,150 sebagaimana surat Protocol of agreement nomor 180/BA/DS/9/III/11 tanggal 19 September 2011 antara PT DPS  dengan yang Zhang Hong Pte Ltd dan AE Marine Pte Ltd yang ditandatangani oleh Muhammad Yahya dari pihak PT DPS, dan Wong Cheng Lim dari pihak Zhang Hong Pte Ltd serta Chia Lee Mee dari pihak AE Marine Pte Ltd.

“Pembayaran hanya berupa Invois. Belakangan baru saya tau. Kalau pembuatan kapal mengalami kerugian,” jawab saksi.

Dari kasus ini, selain dugaan proyek fiktif juga terjadi pengalihan anggaran yang seharusnya PT DPS melakukan pembayaran ke PT Berdiakri Petro sesuai kontrak proyek pekerjaan tangki pendam di Muara Sabbak, Jambi. Namun dalam faktanya justru PT PDS melakukan pembayaran ke  AE Marine Pte Ltd yang juga tanpa dokumen kontrak.

Seperti yang diberitakan sebelumnya. Pada tahun 2010, Gembong Primadjaya selaku Direktur PT Berdikari bertemu dengan Frederick dan Luke L. Tumboimbela. Dalam pertemuan tersebut, Frederick maminta Gembong primajaya untuk datang ke PT Dok dan Perkapalan Surabaya.

Selanjutnya, M. Firmansyah Arifin selaku Dirut PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero) bersama dengan Direksi lainnya, antara lain Nana Suryana Tahir, I Wayan Yoga Djunaedi dan Muhammad Yahya, menyetujui untuk menerima pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabbak, Jambi dari PT Berdikari Petro dengan menggunakan sistem pembayaran Turn Key, yaitu seluruh biaya pembangunan yang timbul dalam pekerjaan tangki pendam dibebankan kepada PT Dok dan Perkapalan Surabaya, dan setelah tangki pendam tersebut beroperasi maka PT Berdikari Petro mendapatkan pembayaran sewa dari PT Pertamina yang selanjutnya uang sewa tersebut digunakan oleh PT Berdikari Petrol untuk pembayaran kepada PT Dok dan Perkapalan Surabaya dengan cara diangsur tanpa adanya pembayaran uang muka oleh PT Berdikari Petro.

M. Firmansyah Arifin menandatangani kontrak antara PT Dok dan Perkapalan Surabaya dengan PT Berdikari Petro yang diwakili Gembong Primadjaya dengan Nomor : 09/VII/ /PS-BP/2010 (tidak ada tanggal) Agustus 2010 senilai US$ 20.216.645 atau setara Rp 179.928.141.879 dengan melihat estimasi 8.900 Satu Dollar, sedangkan Direksi turut menyetujui dengan menandatangani selaku saksi pada kontrak tersebut.

Padahal kontrak antara PT Berdikari Petro dengan PT Pertamina Nomor 010/F00000/2009-S3 tanggal 26 Agustus 2009 sebagai dasar pembuatan kontrak antara PT Dok dan Perkapalan Surabaya dengan PT Berdikari Petro sudah tidak berlaku, karena PT Berdikari Petro tidak memenuhi izin yang dipersyaratkan yaitu selama 180 hari kalender sejak penandatanganan kontrak antara PT Berdikari Petro dengan PT Pertamina, terkait izin pengelolaan Pelabuhan sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 kontrak antara PT Pertamina dengan PT Berdikari Petro.
Disamping itu, Firmansyah Arifin bersama Direksi lainnya tidak melakukan klarifikasi kepada PT Pertamina sesuai dengan prinsip kehati-hatian untuk memastikan legalitas termasuk keberlakuan dari kontrak PT Berdikari Petro dengan PT Pertamina, karena skema pembayaran pembangunan tangki pendam digantungkan kepada kontrak tersebut.

Walaupun PT DPS tidak memiliki pengalaman dibidang pembangunan tangki pendam, namun Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT DPS bersama Direksi lainnya tetap melakukan kontrak dengan PT Berdikari Petro yang dalam pelaksanaannya, M. Firmansyah Arifin bersama dengan Direksi lainnya melakukan penunjukan langsung kepada perusahaan AE Marine Pte Ltd di Singapura sebagai subkontrak untuk melaksanakan pekerjaan EPC (engginering, procrutmen, conttuksi) pembangunan tangki pendam Muara Sabak Jambi tanpa melalui proses pengadaan barang yang berlaku di PT DPS. Dan Marine Pte Ltd bukan Mitra dari PT Dok dan Perkapalan Surabaya,  dan terdakwa M. Firmansyah Arifin beserta 3 Direksi lainnya tidak pernah meminta penawaran kepada rekanan lainnya sebagai Mitra dari PT DPS untuk pembanding harga.

Terdakwa Firmansyah Arifin justru menandatangani kontrak dengan AE Marine Pte Ltd  Nomor 0100/Proc/ AEMarine/DPS/2010 tanggal 24 Agustus 2010 dengan nilai UD$ 19.032.011   yang juga disetujui oleh Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi selaku Diriksi yang bertindak sebagai saksi dalam kontrak tersebut. Dan dalam kontrak pembangunan tangki pendam dengan AE Marine Pte Ltd, tidak ada pasal persyaratan untuk AE Marine Pte Ltd sebagai kontraktor menyerahkan jaminan pelaksanaan kepada PT DPS sebesar 5% dari biaya pekerjaan.

Bahwa Firmansyah Arifin bersama 3 Direksi lainnya menyetujui untuk melakukan pembayaran uang muka dengan cara transfer kepada AE Mariane Pte Ltd di Bank OCBC Singapore dengan Nomor rekening 503-009979-8301 secara bertahap sebanyak 4 tahap sebesar UD$ 3,963, UD$ 75.000 tanpa adanya jaminan atau Bank garansi, serta bukti pendukung lainnya antara lain; kuitansi, laporan fisik pekerjaan dan berita acara terima barang dari AE Mariane Pte Ltd melainkan hanya berupa invoice penagihan AE Mariane Pte Ltd.  Selanjutnya terdakwa M. Firmansyah Arifin bersama tiga Direksi lainnya menandatangani dokumen pencairan berupa invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan untuk dilakukan pembayaran kepada AE Mariane Pte Ltd, serta Nana Suryana Tahir juga menandatangani aplikasi bukti transfer uang kepada AE Mariane Pte Ltd melalui Bank BII  Surabaya dan Bank UOB Surabaya tanpa Ada progres pekerjaan yang dilakukan oleh AE Mariane Pte Ltd di lapangan. Adapun pencairan pembayaran melalui transfer kepada AE Mariane Pte Ltd terjadi sebagai berikut ;

1. Tahap pertama pada tanggal 15 November 2010 sebesar UD$ 800.000 ekuivalen Rp 7.148.800.000 yang dibayarkan melalui Bank UOB Buana Jalan Embong Malang Surabaya, dan yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana. Sedangkan yang memberikan paraf pada invoice penagihan dari AE Marini Pte Lld sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya, yaitu terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan Muhammad Yahya,  Nana Suryana dan I Wayan Yoga Djunaedi.

2. Tahap ke- II Pada tanggal 17 Februari 2011 sebesar UD$ 100.000 ekuivalen Rp 903.818.510, dibayarkan melalui bank BII Jalan Pemuda Surabaya yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan Nana Suryana Tahir  dan Direktur Produksi I Wayan Yoga Junaedy. Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya.

3. Tahap ke- III pada tanggal 21 Februari 2011 sebesar UD$ 2.563.7215 ekuivalen Rp 22.676.147.625 yang dibayar melalui Bank UOB Buana Buana Jalan Embong Malang Surabaya yang mendatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana Tahir dan Direktur Pemasaran dan Pembangunan Usaha yaitu Muhammad Yahya. Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya.

4. Tahap ke IV pada tanggal 11 April 2011 sebesar UD$ 500.000 ekuivalent Rp 4.335.500.000  yang dibayar melalui Bank UOB Buana Jalan Embong Malang Surabaya yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana Tahir dan Direktur Pemasaran dan Pembangunan Usaha yaitu Muhammad Yahya.  Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi.

Pembayaran dari PT PDS ke AE Mariane Pte Ltd tersebut tidak sesuai dengan kontrak antara PT PDS dengan AE Mariane Pte Ltd, yang seharusnya dengan cara Letter of Credit (L/C), dan tidak ada kewajiban PT PDS untuk melakukan pembayaran uang muka kepada AE Marine Pte Ltd.

Bahwa pada bulan Desember 2010 Joedy Punggih H selaku senior Manager engineering bersama dengan Agus Hadi Utomo selaku Project monitoring atas perintah Muhammad Yahya menandatangani progres fisik fiktif sebesar 25% atas pekerjaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, seolah-olah di lapangan sudah ada pekerjaan dengan progress sebesar 25% dan Muhammad Yahya selaku Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha membuat debet nota invoice kepada PT Berdikari Petro Nomor 28/DPS-F1/10 tanggal 30 Desember 2010 dengan nilai Rp 52.247.000.000 dengan mengacu kepada bobot fiktif tersebut seolah-olah PT DPS akan melakukan penagihan kepada PT Berdikari Petro yang tujuannya progres dan invoice tersebut digunakan oleh terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya untuk dijadikan pengakuan pendapatan perusahaan. Sehingga para Direksi PT DPS mendapatkan tantiem atau bonus akhir tahun terhadap prestasi kerja PT DPS atas pekerjaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi.

Pembayaran yang diterima oleh AE Mariane Pte Ltd dari PT DPS tersebut tujuannya bukan untuk pembayaran pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, melainkan digunakan untuk menutupi kekurangan pembelian bahan material pembuatan Dua kapal tanker milik PT Pertamina kepada Zhan Hong Pte Ltd sebesar UD$ 3,830,150 sebagaimana surat Protocol of agreement nomor 180/BA/DS/9/III/11 tanggal 19 September 2011 antara PT DPS  dengan yang Zhang Hong Pte Ltd dan AE Marine Pte Ltd yang ditandatangani oleh Muhammad Yahya dari pihak PT DPS, dan Wong Cheng Lim dari pihak Zhang Hong Pte Ltd serta Chia Lee Mee dari pihak AE Marine Pte Ltd. Pada hal untuk pembuatan kapal tanker milik PT Pertamina telah mempunyai kontrak antara PT DPS dengan PT Pertamina serta telah mempunyai anggaran tersendiri.

Penunjukan Zhang Hong Pte Ltd sebagai supplier tunggal untuk pembelian bahan material pembuatan 2 unit kapal tanker milim PT Pertamina tidak melalui mekanisme yang berlaku sesuai Surat Keputusan Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya Nomor 025/kpts/DS/2/I/08 tentang peraturan pengadaan barang PT Dok dan Perkapalan Surabaya, yang seharusnya dengan RAB (rencana anggaran biaya) untuk pembelian bahan material pembuatan kapal tanker milik PT Pertamina dengan nilai UD$ 9,535,418 untuk 1 Kapal, PT DPS sudah mendapatkan keuntungan jika pembelian kepada mitra-mitra PT DPS, namun oleh karena terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya melakukan penunjukan langsung kepada Zheng Hong Pte Ltd  sebagai supplier tunggal untuk pengadaan bahan material pembuatan kapal milik PT Pertamina tersebut yang mengajukan penawaran senilai US$ 12, 607,750 untuk 1 unit kapal melampaui senilai US$ 9,535,418, maka harga barang untuk pemenuhan satu kapal menjadi sebesar US$ 12,607,750 atau lebih mahal dari pada pembelian kepada mitra-mitra PT DPS.

Bahwa selisih kekurangan biaya tersebut oleh terdakwa Firmansyah Arifin yang disetujui oleh Direksi lainnya, diambil dari pembayaran pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabak Jambi kepada AE Marini Pte Ltd senilai US$ 3,963,721.

Sehingga perbuatan tersebut telah bertentangan dengan pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang BUMN, Surat Keputusan Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya, prosedur standar operasional atau standar operating prosedur (SOP), serta mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara sebesar US$ 3,963,725 US ekuivalen Rp 35.063.047.625 sebagaimana laporan hasil audit BPKP RI dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara Nomor SR-1205/ D5/2/2017 tanggal 28 Desember 2017. 

Usai persidangan, JPU yang juga Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri (Kasi Pidsus Kejari) Tanjung Perak, Surabaya Andy Ardani, saat ditanya wartawan media ini apakah Frederick ada kemungkinan bisa jadi terangka dari keterangannya dalam persidangan maupun atas perintah Majelis Hakim ?. Menanggapi hal itu, Andy mengatakan, akan melaporkannya ke pimpinan sesuai fakta-fakat persidangan yang terungkap.

"Kalau kemungkinan bisa aja mungkinn, tetapi kita akan melaporkannya ke pimpinan sesuai apa yang terungkap dalam persidangan hari ini," kata Andy.  (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top