0
#Tjaturiana Yuliastuti, Istri Terdakwa Nyono Suharli Wihandoko langsung pingsan di ruang sidang begitu mendengar suaminya dituntut 8 tahun penjara#

beritakorupsi.co - Selasa, 21 Agusustus 2018, Akhirnya terdakwa Nyono Suharli Wihandoko selaku Bupati Jombang periode 2013 - 2018 dituntut pidana penjara selama 8 tahun dan membayar uang pengganti sebesar Rp2.220.000.000 (Satu milliar Dua ratus Dua puluh juta rupiah), serta pencabutan hak memili dan dipilih dalam suatu jabatan publik (Hak Politik) selama 5 tahun setelah terdakwa selesai menjalani hukuman pokok (penjara), dalam kasus perkara tindak pidana Korupsi suap.

Tjaturiana Yuliastuti, istri terdakwa yang duduk paling depan di kursi pengunjung saat mengikuti persidangan, langsung pingsan begitu mendengan JPU KPK membacakan tuntutan pidana terhadap sang suaminya dengan pidana penjara selama 8 tahun. Suasana sidang pun sempat menarik perhatian pengunjung lainnya termasuk menantu terdakwa seoarng anggota Perwira Polisi yang bertugas di Polres Gersik.

Dalam sidang yang berlangsung (Selasa, 21 Agustus 2018) JPU KPK Wawan Yunarwanto, Ariawan, Taufiq Ibnugroho dan Riniyati Karnasih membacakan surat tuntutannya diruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya dengan Ketua Majelis Hakim H.R. Unggul Warso Murti, sementara terdakwa Nyono Suharli Wihandoko didampingi Tim Penasehat Hukumnya dari Jakarta.

Hukuman pidana penjara yang lama mungkin sangat wajar diberlakukan terhadap Kepala Daerah selaku pejabat pemegang tongkat komando tertinggi serta pembuat suatu Peraturan Daerah (Perda) termasuk anggota Legislatif serta aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi panutan dan pengayom bagi masyarakat, namun justru melanggarnya sendiri dengan melakukan tindak pidana Korupsi bukan hanya dilihat dari jumlah uang yang diterima atau dinikmatinya malinkan  dari perbuatannya selaku pejabat penyelenggara hukum yang terjarat dalam kasus Tindak Pidana Korupsi.

Hal itu pula yang mungkin salah satu pertimbangan bagi KPK terhadap terdakwa Nyono Suharli Wihandoko selaku Bupati Jombang periode 2013 - 2018 yang tertangkap tangan bersama  Inna Silestyowati (sudah divonis 2 tahun dan 6 bulan, dan saat ini KPK banding) selaku Sekretaris sekaligus Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang oleh KPK pada tanggal 3 Februari 2018.

Terdakwa Nyono Suharli Wihandoko dalam dakwaan JPU KPK, dijaerat dalam pasal 12 huruf a atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP

Pasal 12 ; Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidanapenjara paling singkat 4  (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) : a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

Pasal 11 ; Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.


Namun menurut JPU KPK dalam surat tuntutannya, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan baik dari keterangan 32 orang saksi maupun bukti-bukti berupa hasil rekaman percakapan yang ditunjukkan JPU KPK, bahwa pasal yang dapat dibuktikan atas perbuatan terdakwa Nyono Suharli Wihandoko selaku Bupati yang menerima uang sebesar Rp1.220.000.000 adalah pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP

Dalam surat tuntutannya, JPU KPK juga membeberkan total uang yang diterima oleh terdakwa Nyono Suharli Wihandoko ditahun 2017 sebesar Rp1.220.000.000 terkait pengangkatan Jabatan Inna Silestyowati dari dokter biasa menjadi Kepala Puskesmas kemudian menjadi Sekrtaris sekaligus Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang. Pada hal, masih banyak dokter di Puskesmas atau Kepala Puskesmas di Kabupaten Jombang yang jauh lebih senior dari Inna Silestyowati untuk menduduki jabatan Kepala Puskesmas apalagi Kepala Dinas Kesehatan. Selain itu, penerimaan uang dari pengangkatan pengawai honor di Pos Kesehatan Puskesmas, penerimaan uang dari hasil pemotongan jasa Kapitasai (jasa pelayanan kesehatan) dan dari penerimaan uang dari Kepala Badan Kepegawaian Daerah) penerimaanyang diterima oleh terdakwa Nyono Suhali Wihandoko dari Inna Silestyowati selama 2017

I. Terkait Pengangkatan Jabatan Definitif Inna Silestyowati sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang
JPU KPK menyatakan, bahwa pada sekitar tahun 2013, setelah terdakwa terpilih sebagai Bupati Jombang periode 2013 - 2018, bertempat di rumah keluarga terdakwa yang berada di Desa Sepanyul, Kecamatan Gudo Kabupaten Jombang, terdakwa Nyono Suharli Wihandoko bertemu dengan Inna Silestyowati dan Samijan. Dalam pertemuan tersebut, Inna Silestyowati meminta kepada terdakwa agar diangkat menjadi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

Permintaan Inna itu pun disetujui oleh terdakwa dengan cara bertahap, yaitu menjadi Kepala Puskesmas terlebih dahulu, mengingat pada saat itu Inna Silestyowati masih berstatus sebagai staf pada Puskesmas Bareng. Dan pada akhir tahun 2013, Terdakwa mengangkat Inna Silestyowati sebagai Kepala Puskesmas Gambiran Jombang.

“Pada sekitar bulan Desember 2016, Herry Wibowo selaku Kepala Dinas Kesehatan Kab. Jombang mengundurkan diri dari jabatannya karena sakit, selanjutnya terdakwa melalui ajudannya yaitu Ma’aruf Roi’i meminta Samijan untuk menghadap terdakwa. Keesokan harinya, bertempat di Pendopo Rumah Dinas Bupati, Samijan bersama Inna Silestyowati menghadap terdakwa dan pada pertemuan tersebut, Inna Silestyowati kembali menyampaikan keinginannya untuk menjadi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang. Terdakwa menyanggupi dengan mengatakan, bahwa untuk menjadi Kepala Dinas Kesehatan ada biaya yang harus dibayarkan kepada terdakwa, dan biaya tersebut mahal yaitu sebesar Tiga ratus lima puluh juta rupiah (Rp 350.000.000), dan permintaan terdakwa pun diseujui oleh Inna Silestyowati,” ungkap JPU KPK.

JPU KPK melanjutkan. Masih pada bulan Desember 2016, Inna Silestyowati dan Samijan menemui terdakwa selaku Bupati di ruang kerjanya. Saat terdakwa bertemu dengan Samijan,  Inna Silestyowati menunggu di ruang tunggu Bupati. Dalam pertemuan itu, Samijan langsung menyerahkan uang sejumlah Rp350.000.000,00 kepada terdakwa, dan oleh terdakwa langsung dimasukkan ke dalam laci meja kerjanya. Dalam perjalanan pulang, Samijan menyampaikan kepada istrinya Inna Silestyowati bahwa uang sudah diserahkan kepada terdakwa.

“Setelah terdakwa menerima uang dari Inna Silestyowati, pada tanggal 3 Januari 2017 bertempat di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) disekitar Desa Denanyar Jombang, terdakwa mengangkat Inna Silestyowati sebagai Sekretaris Dinas Kesehatan dengan Surat Keputusan Nomor 821.20/05/415.41/2017,” ungkap JPU KPK kemudian

JPU KPK menyebutkan, bahwa sebelum pelantikan Inna Silestyowati, terdakwa memerintahkan Budi Nugroho selaku Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Jombang untuk pengambilan SK jabatan asli atas nama Inna Silestyowati, harus menyerahkan uang kepada Terdakwa melalui Budi Nugroho sebesar Rp50.000.000,00.

Pada sekitar bulan Januari 2018, bertempat di rumah Budi Nugroho, di Jl. Empu Tantular No. 17 RT.002/ RW.009 Kel. Kepanjen Kec. Jombang Kabupaten Jombang, Inna Silestyowati bersama dengan Samijan menemui Budi Nugroho menanyakan mekanisme pengambilan SK jabatan yang asli. Pada pertemuan tersebut, Budi Nugroho menyampaikan bahwa untuk mengambil SK jabatan asli, harus ada kontribusi yang diserahkan kepada terdakwa melalui Budi Nugroho sebesar Rp50juta. Beberapa hari kemudian, Inna Silestyowati dan Samijan langsung menyerahkan uang sebesar Rp50 juta kepada Budi Nugroho, namun SK tersebut belum diserahkan Budi Nugroho kepada Inna Silestyowati.

Beberapa hari kemudian, Inna Silestyowati menyuruh seorang stafnya untuk mengambil SK Jabatan asli di Kantor BKD, namun oleh Budi Nugroho tidak diberikan dan disarankan agar Inna Silestyowati menghadap terdakwa. Selanjutnya Inna Silestyowati menemul terdakwa dan menyampaikan bahwa SK Jabatannya belum diberikan oleh BKD. Tetapi terdakwa minta Inna Silestyowati untuk menyerahkan uang lagi sejumlah Rp50 juta melalui Budi Nugroho sebagai syarat agar SK dikeluarkan. Atas permintaan terdakwa tersebut, INNA SILESTYOWATI menyetujuinya, dengan alasan dalam waktu yang sama Inna Silestyowati menerima 2 (dua) surat, yaitu SK sebagai Sekretaris Dinas Kesehatan dan Surat Perintah (Sprint) Jabatan Plt. Kepala Dinas Kesehatan.

Beberapa hari kemudian bertempat di rumah Budi Nugroho, Inna Silestyowati dan Samijan kembali menemui Budi Nugroho. Dalam pertemuan tersebut, Samijan menyerahkan uang sejumlah Rp50 juta kepada Budi Nugroho untuk terdakwa. Keesokan harinya, Budi Nugroho menyerahkan SK jabatan asali sebagai Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang dan Sprint jabatan asli sebagai Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang kepada Inna Silestyowati

“Inna Silestyowati merasa jabatan tersebut tidak sesuai dengan yang yang diinginkannya sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya dengan terdakwa. Sehingga Inna Silestyowati sempat melakukan keberatan kepada terdakwa sebelum pelantikan. Untuk mengakomodir keinginan Inna Silestyowati, beberapa han kemudian terdakwa mengeluarkan lagi Surat Perintah Nomor: 821/30/415-41/2017 tanggal 3 Januari 2017 yang memerintahkan Inna Silestyowati sebagai Pejabat Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang terhitung tanggal 3 Januari 2017,” ungkap JPU KPK.

JPU KPK menyatakan, bahwa perbuatan terdakwa mengangkat Inna Silestyowati sebagai Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang tanpa persetujuan dan pertimbangan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Setelah terdakwa melantik Inna Silestyowati Sebagai Sekretaris merangkap Plt. Kepala Dinas Kesehatan, terdakwa melalui Puji Umbaran selaku Direktur RSUD Jombang meminta agar Dinas Kesehatan menyediakan dana rutin setiap bulannya untuk operasional terdakwa. Oleh karena Inna Silestyowati masih mempunyai keinginan untuk diangkat dalam jabatan definitif sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, maka Inna Silestyowati berusaha menunjukkan loyalitasnya kepada terdakwa dan menyetujui permintaan dana operasional rutin tersebut yang akan diambilkan dari anggaran Jasa Pelayanan Dana Kapitasi pada Puskesmas.

“Pada sekitar bulan Maret 2017 bertempat di ruang kerja Inna Silestyowati mengadakan pertemuan dengan Didik Dadi, Oisatin, Ma’murorus Sa’adiyah dan Hexawan Uahjawadida yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Puskesmas se-Kabupaten Jombang. Dalam pertemuan tersebut, Inna Silestyowati menyampaikan bahwa setiap Puskesmas harus ada kontribusi dari anggaran Jasa Pelayanan Dana Kapitasi dari 34 Puskesmas di seluruh Kabupaten Jombang yang jumlahnya sebesar Rp72 juta per bulan (total keseluruhan sebesar Rp2.448.000.000). Uang tersebut akan diberikan kepada terdakwa, dengan rincian Inna Silestyowati akan memberikan sebesar Rp50 juta, dan sisanya sejumlah Rp22 juta untuk biaya operasional Dinas Kesehatan. Dana operasional yang akan diserahkan kepada terdakwa yang bersumber dari Dana Kapitasi dimaksud ,dikumpulkan pada Oisatin dengan kode “arisan". setelah itu, Oisatin akan menyerahkan kepada diserahkan kepada Inna Silestyowati untuk selanjutnya diberikan kepada terdakwa,” ungkap JPU KPK lagi.

JPU KPK menyatakan, bahwa dalam kurun waktu antara bulan Januari sampai Desember 2017,  terdakwa Nyono Suharli Wihandoko telah menerima uang dari Inna Silestyowati yang bersumber dari anggaran Jasa Pelayanan Dana Kapitasi keseluruhan sejumlah Rp 600 juta dengan perincian sebagai berikut ;

1.  Pada Bulan Mei 2017, awalnya terdakwa bertemu Inna Silestyowati pada sebuah acara, dan terdakwa menyampaikan     permintaan dana rutin operasional.  Masih pada bulan yang sama bertempat di Rumah Tamu Swagata Pendopo Bupati, Inna     Silestyowati memberikan uang sejumlah Rp 200 juta kepada terdakwa melalui ajudannya.

2.  Pada Bulan Nopember 2017, awalnya terdakwa bertemu dengan Inna Silestyowati dalam acara temu desa. Dalam pertemuan     itu terdakwa meminta uang rutinan kepada Inna Silestyowati, yang sempat terhenti karena Inna Silestyowati mengikuti diklat     PIM III. Tiga hari setelah pertemuan itu, bertempat di Rumah Tamu Swagata Pendopo Bupati, Inna Silestyowati memberikan     uang sebanyak Rp 200 juta kepada terdakwa melalui ajudan Misbahul Munir.

3.  Pada Bulan Desember 2017, sebelum Inna Silestyowati  melakukan pertemuan dengan para Kepala Puskesmas di Rumah     Makan Henny, Jombang. Saat itu terdakwa menanyakan uang rutinan kepada Inna Silestyowati,  dan Inna Silestyowati      menyampaikan akan diambilkan dari Puskesmas. Masih di bulan Desember 2017 bertempat di Rumah Tamu Swagata     Pendopo Bupati,  Inna Silestyowati  menyerahkan uang sejumlah Rp200 juta kepada terdakwa melalui ajudan Misbahul Munir     dengan mengatakan “sudah pas ya pak.. 50 kali dua belas”.

Bahwa untuk menunjukkan loyalitas Inna Silestyowati  kepada terdakwa agar diangkat dalam jabatan definitif sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, selain terdakwa menerima uang dari anggaran Jasa Pelayanan Dana Kapitasi, terdakwa juga menerima uang yang bersumber dari pengisian lowongan jabatan tenaga perawat di Pos Kesehatan Desa, di Desa Kedungturi dibawah wilayah Puskesmas Blimbing Kec. Gudo, Kabupaten Jombang melalui Inna Silestyowati. Pada sekitar bulan Desember 2017 bertempat di Pendopo Kabupaten Jombang, terdakwa menerima uang sejumlah Rp30 juta dari Inna Silestyowati  yang diambilkan. Pada saat penyerahan uang, Inna Silestyowati  menyampaikan kepada terdakwa, bahwa uang tersebut dari pegawai honorer di Pos Kesehatan Puskesmas.

Terdaka Nyono membagi-bagikan uang “haram” itu keberbagai pihak
JPU KPK menyebutkan, bahwa uang diberikan terdakwa Nyono Suhali Wihandoko dalam bentuk bantuan kepada para pihak adalah bantuan pribadi terdakwa dalam pencalonannya sebagai Calon Bupati Jombang untuk periode 2018 - 2023 dengan perincian sebagai berikut;

1.  Sekitar pertengahan bulan Desember 2016, terdakwa memberikan kepada anak Yatim dan kaum duafa sebesar Rp350 juta, kepada Ketua Muslimat NU Cabang Kabupaten Jombang, kepada Ketua KBHI AI-Kautsar Cukir Tebu Ireng Jombang, kepada guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kabupaten Jombang, dan kepada Ketua Panitia Kegiatan Sedekah Desa Tanjung Wadung Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang;
2.  Sekitar bulan Desember 2016, terdakwa memberikan uang sebesar sebesar Rp50 kepada pengurus GKJW Mojowarno;
3.  Sekitar pertengahan bulan Januari 2017, sebesar Rp50 juta  diberikan kepada Ketua Panitia Harlah Muslimat NU Kabupaten Jombang;
4.   Sekitar tanggal 22 Juni 2017, sebesar Rp25 juta diberikan kepada warga yang tidak mampu, anak yatim dan fakir miskin dari Kecamatan Gudo dan Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang;
5.  Sekitar tanggal 6 November 2017, sebesar Rp200 juta diberikan sebagai santunan kepada anak yatim dan yatim piatu;
6.   Sekitar tanggal 13 atau pertengahan Desember 2017, sebesar Rp 200 juta diberikan sebagai bantuan transport kepada fakir miskin/kaum duafa dan anak yatim dan
7.  Sekitar bulan April atau Mei 2017, sebesar Rp30 juta diberikan kepada Ketua Taqmir Masjid Agung Baitul Mu'minin Kabupaten Jombang.

II.  Penerimaan uang terkait Perizinan Rumah Sakit Ibu dan Anak   (RSIA) Mitra Bunda Jombang

JPU KPK menjelaskan dalam surat dakwaanya, bahwa pada tanggal 16 Oktober 2017, berdasarkan surat Nomor 001/RSIAMB/X/2017 dokter Subur Suporojo selaku pemilik Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Mitra Bunda Jombang melalui Direkturnya yaitu dokter Siti Djayadi mengajukan permohonan izin operasional rumah sakit kepada Bupati Jombang melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kab. Jombang. Atas pengajuan tersebut, Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kabupaten Jombang melakukan verifikasi, dan setelah dilakukan verifikasi kelengkapan berkas, pengajuan ijin operasional RSIA Mitra Bunda dinyatakan memenuhi persyaratan dan izin. Kemudian pada tanggal 23 Oktober 2017, Dinas Penanaman Modal dan PTSP membuat Surat Pengantar Nomor 440/2460/415.35/2017 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kab. Jombang untuk meminta rekomendasi permohonan izin operasional dimaksud.

Pada tanggal 2 November 2017, Dinas Kesehatan menerima berkas permohonan izin dimaksud dari Dinas Penanaman Modal dan PTSP. Selanjutnya Inna Silestyowati selaku Sekretaris merangkap sebagai Pejabat Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan meneruskan surat dimaksud kepada Bambang Iriawan selaku Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan pada Bidang Pelayanan dan Sumber Daya Kesehatan (PSDK) untuk diproses lebih lanjut, yaitu dilakukan Visitasi atau kunjungan lapangan oleh Dinas Kesehatan Kab. Jombang, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Jawa Timur.

“Pada tanggal 4 Januari 2018, tim dari Dinas Kesehatan Kab. Jombang dan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur melakukan visitasi ke RSIA Mitra Bunda, sedangkan tim PERSI Jawa Timur melakukan visitasi pada tanggal 8 Januari 2018. Dari kegiatan Visitasi disumpulkan,  bahwa RSIA Mitra Bunda belum memenuhi syarat untuk diberikan rekomendasi izin operasional rumah sakit,” ungkap JPU KPK

Pada sekitar bulan Januari 2018, Terdakwa selaku Bupati Jombang menghadiri kegiatan pembinaan para Kepala Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang. Dalam acara itu Inna Silestyowati bertemu Abdul Qudus selaku Kepala Dinas Penanaman Modal & PTSP Kabupaten Jombang untuk menanyakan berapa kontribusi penerbitan izin operasional RSIA Mitra Bunda milik dr . Subur SUprojo agar ditandatangani terdakwa selaku Bupati, dan dijawab oleh Abdul Qudus  sebesar Rp75 juta.

Berdasarkan hasil Visitasi, Seksi Pe|ayanan Kesehatan pada Bidang PSDK Dinas Kesehatan Kab. Jombang menyatakan, RSIA Mitra Bunda belum layak diberikan rekomendasi, namun Inna Silestyowati tidak bersedia menandatangani surat pengembalian berkas dimaksud, dan tetap akan memberikan rekomendasi penerbitan ijin operasioanal RSIA Mitra Bunda. Selanjutnya pada tanggal 29 Januari 2018, Inna Silestyowati menandatangani surat rekomendasi izin operasional RSIA Mitra Bunda untuk selanjutnya diproses dalam bentuk surat keputusan yang ditandatangani oleh terdakwa selaku Bupati Jombang.

Pada akhir bulan Januari 2018 bertempat di Rumah Tamu Swagata Pendopo Kabupaten Jombang, terdakwa bertemu dengan Inna Silestyowati dan meminta uang, yang dijawab oleh Inna Silestyowati bahwa uang yang akan diminta oleh terdakwa akan diambilkan dari dana pengurusan izin operasional Rumah Sakit dimana terdakwa menyetujuinya. Inna Silestyowati I sempat menanyakan jumlah uang yang diminta oleh terdakwa dan dipahami oleh Inna Silestyowati, bahwa jumlah yang diminta adalah sesuai dengan yang telah disampaikan oleh Abdul Qudus sebelumnya yaitu sebesar Rp75 juta

Pada tanggal 1 Februari 2018 sekira pukul 13.00 WIB, dr. Subur Suprojo menemui Inna Silestyowati di ruang kerjanya. Dalam pertemuan tersebut, Inna Silestyowati menyampaikan hasil visitasi, bahwa RSIA Mitra Bunda belum layak untuk diberikan rekomendasi surat ijin operasional, namun Inna Silestyowati menjanjikan akan tetap mengeluarkan rekomendasi dengan syarat ada kontribusi sebesar Rp75 juta yang harus diserahkan oleh dr. Subur Suprojo dan dr. Subur Suprojo menyetuhuinya dan  menjanjikan akan dibayar pada hari Senin tanggal 5 Pebruari  2018.

JPU KPK menungkapkan dalam surat tuntutannya, setelah ada kepastian dari dr, Subur Suprojo, Inna Silestyowati berinisiatif meminjamkan uang pribadinya terlebih dahulu sebesar Rp75 untuk diberikan kepada terdakwa, agar Surat Keputusan ijin operasional RSIA Mitra Bunda segera ditandatangani oleh terdakwa.

Masih pada tanggal yang Sama, lanjut JPU KPK, sekira pukul 18.30 WIB, Inna Silestyowati bersama anaknya Mohammad Afandi Badar dengan menggunakan mobil Pajero Sport warna putih dengan Nomor Polisi L1926 MH menuju pendopo Kabupaten Jombang untuk menyerahkan uang sebesar Rp75 juta kepada terdakwa. Selanjutnya bertempat di Rumah Tamu Swagata Pendopo Bupari, terdakwa melalui ajudannya Misbahul Munir menerima uang sebesar Rp75 juta, dan penerimaan uang dari Kepala BKD sebesar Rp65 juta.

JPU KPK juga membeberkan Uang “haram” itu dipergunakan terdakwa untuk :  


Bahwa uang sebesar Rp75 juta tersebut, selanjutnya digunakan oleh terdakwa untuk kepentingan kampanye pencalonannya sebagai Kepala Daerah (Bupati Jombang), dengan perincian sebagai berikut: a. Penggantian uang Juwaratu yang digunakan untuk pembayaran tagihan harian Radar Jombang (Group Jawa Pos) sebesar Rp10 juta; b. Pembayaran uang snack sebanyak 300 biji roti kepada Doughout and Bakery A three sebesar Rp2.400.000; c. Pembayaran prasmanan VIP sebanyak 360 porsi kepada Cake & Catering SYUKUR ABADI sebesar Rp12.6 juta; d. Pembayaran panggung, dekorasi Sound System kepada UD Ilham Jaya Production sebesar Rp25 juta; e. Sisanya sebesar Rp25 juta masih dalam penguasaan terdakwa.

JPU KPK menyatakan, bahwa perbuatan terdakwa yang menerima uang keseluruhan sebesr Rp1.220.000.000 tersebut diatas bertentangan dengan kewajiban terdakwa sebagai Penyelenggara Negara yaitu selaku Bupati Jombang untuk tidak melakukan perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sebagaimana diatur dalam pasal 5 angka 4 dan 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta bertentangan dengan kewajiban Terdakwa selaku Kepala daerah untuk tidak melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) huruf e Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang RI Nomor 9 tahun 2015 tentang perubahan kedua atas Undang Undang RI nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Menuntut ; Meminta kepada Majelis Hakim Pengadian Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Nyono Suharli Wihandoko ; 1. Menyatakan Menyatakan terdakwa Nyono Suharli Wihandoko terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam pasal 12 huruf aUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1)KUHP.; 2. Manghukum terdakwa Nyono Suharli Wihandoko dengan hukuman pidana penjara selama 8 tahun dikurangi selama terdakwa dlaam tahanan, dan memnayar denda sebesar Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.; Menhukum terdakwa Nyono Suharli Wihandoko untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1.220.000.000 yang sudah dibayar untuk diperhitungkan dalam hal uang pengganti dirampas untuk negara.; 5. Menghukum terdakwa dalam hal memilih dan dipilih dalam jabatan publik yang diatur dan sdiselenggarakan oleh pemerintah,” ucap JPU KPK Wawan diakhir surat tuntutannya.

Atas surat tuntutan JPU KPK, Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menyampaikan pembelaannya pada sidang berikutnya.

“Saudara punya hak untuk menyampaikan pembelaan,” ucap Ketua Majelis Hakim.

Usai persidangan. Saat wartawan media ini menanyakan kepada JPU KPK terkait keterliabatan dr. Subur Suprojo yang memberikan uang sebesar Rp75 juta kepada terdakwa Nyono Suharli Wihandoko melalui terdakwa Inna Silestyowati untuk pengurusan izin operasional RSIA Mitra Bunda Jombang milik dr.Subur sendiri. Keterlibatan Samijan selaku sumi Inna dan Budi Nugro yang turut menyerahkan uang terkait pengangkatan jabatan Inna.

Anehnya, menanggapi hal itu JPU KPK Wawan tak memberikan keterangan yang jelas. Pada hal, dalam surat dakwaan maupun surat tuntan JPU KPK dijelaskan, bahwa uang sebesar Rp75 juta yang diserahkan Inna Silestyowati terhadap terdakwa Nyono adalah terkait pengurusan izin operasional RSIA Mitra Bunda Jombang milik dr.Subur Suprojo, walau memang dr.Subur belum sempat menyerahkan uang itu terhadap Inna Silestyowati karena sudah tertangkap KPK dua hari sebelum janji penyerahan uang dari dr.Subur ke Inna.

“Kita tidak bisa langsung menetapkan seseorang menjadi tersangka walau fakta persidangan. Harus harus ada bukti yang cukup,” kata JPU KPK Wawan.

Yang lebih anehnya lagi, terungkapnya dalam persidangan terkait pemontongan dana Kapitasi Puskesmas yang berasal dari uang negara namun dipergunakan bukan untuk kesehatan masyarakat melainkan untuk kepentingan pribadi terdakwa “InNyo” alias Inna dan Nyono  maupun untuk kepentingan pribadi pengurus Paguyuban Puskesmas yang tidak ada kaitannya dangan kedinasan atau kepegawaian karena tidak diangkat berdasarkan peraturan pemerintah, namu KPK sepertinya tidak akan menindak lanjuiti sebagai perbuatan melawan hukum atau Tindak Pidana Korupsi.

Pada hal, pemotongan dana Kapitasi yang tidak ada dasar hukumnya itu sudah berlangsung sejak tahun 2014 lalu. Sementara pengakuan dari terdakwa Inna dalam persidangan, bahwa pemotongan dana kapitasi Puskesmas sejak dirinya mejabat Plt. Kepala Dinas Kesehatan pada Januari 2017 sebesar Rp72 juta berbulan setiap Puskemas yang berjumlah 34 Puskesmas di Kbupaten jombang. Dari uang sebesar Rp72 juta itu, Inna menyetor ke terdakwa Nyono sebesar Rp50 juta, sementara yang Rp22 juta untuk operasional terakwa sediri.

KPK sepertinya hanya memidanakan perbuatan terdakwa Nyono Suharli Wihandoko selaku Bupati Jombang yang mencalonkan diri kembali untuk perode selanjutnya, walau akhirnya terdakwa kalah dalam Pilkada Bupati jombang yang berlangsung pada tanggal 27 Juni 2018. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top