Terdakwa Zainal Imran saat sidang pembelaan |
beritakorupsi.co – Sidang perkara kasus Korupsi hasil Tangkap Tangan pihak Kepolisian Polres Situbondo terhadap Lurah Ardirejo, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo, Zainal Imran (Senin, 20 Maret 2017 sekira pukul 15.00 WIB) tak lama lagi akan berakhir (Vonis).
Sebab, terdakwa Zainal Imran, melalui Penasehat Hukumnya telah membacakan surat pembelaannya (Pledoi) dihapadan Majelis Hakim yang diketuai Dede Suryaman, di Pengadilan Tipikor Surabaya, yang dihadiri JPU dari Kejari Situbondo, pada Kamis, 2 Agustus 2018.
Dalam sidang sebelumnya, terdakwa dituntut pidana penjara oleh JPU selama 1 tahun dan 6 bulan. Terdakwa dijerat dalam pasal pasal 12 huruf e (atau pasal 11) UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kali ini adalah giliran terdakwa melalui pengacaranya (Penasehat Hukumnya) Mafrkacung dan Ridwan Saleh membacakan surat pembelaannya atas surat tuntutan JPU Handoko Alfiantoro dari Kejari Situbondo.
Dalam surat pembelaanya dikatakan, bahwa dari awal sejak proses penyidikan terhadap terdakwa Zainal Imran, baik kalangan LSM (Lembaga Suwadaya Masyarakat) maupun beberapa media lainnya menilai, bahwapenanganan perkara terdakwa terkesan dipaksakan untuk diterima oleh Kejaksaan Situbondo yang sarat dengan tendensi politik tertentu.
Bisa jadi memang apa yang disampaikan oleh PH terdakwa dihadapan Majelis Hakim. Mengingat kasus ini adalah hasil operasi tangkap tangan (OTT) pihak kepolisian. Namun hampir 1 tahun dari penangkapan, kasus ini bari dinyatakan sempurna (P21) dan kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor untuk disidangkan (Dakwaan, Kamis, 27 April 2018)
Bahkan saat pembacaan surat dakwaan, JPU menyebutkan bahwa kasus terdakwa masuk dalam wilayah hukum pengadilan negeri Situbondo, dan kemudian setelah selesai dibacakan barulah diperbaiki menjadi wilayah hukum Pengadilan Tipikor Surabaya.
PH terdakwa juga mengatakan, bahwa berdasarkan fakta di persidangan, JPU telah mengajukan barang bukti (BB) berupa 2 Map berwarna Hijau dan juga Photo berwarna Hijau. Namun menurut PH terdakwa, bahwa BB yang diajukan oleh JPU bukan alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHPidana.
Sebab menurutnya, berdasarkan tanggapan terdakwa atas barang bukti dan keterangan saksi adalah, 1 lembar Map berwarna Biru berada diatas meja pada saat penangkapan, bukan 2 Map berwarna Hijau.
Sementara dalam fakta persidangan saat JPU menghadirkan saksi dari Polres Situbondo, ditolak oleh PH terdakwa, karena anggota Polres Situbondo yang dihadirkan JPU saat itu (Kamis, 24 Mei 2018) bukan sebagai penyidik dalam kasus perkara yang menyeret terdakwa Zainal Imran, melainkan penyidik dalam perkara lain.
Sementara kepada wartawan media ini, terdakwa mengatakan bahwa pada saat Polisi dari Polres Situbondo datang, Map berada ditangan Kuncoro selaku Kasi Pemeintahan Kelurah Ardirejo, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo, yang duduk berdampingan bersama Gumilang (korban”).
Dan kepada Majelis Hakim saat Kuncoro sebagai saksi mengakui, bahwa dirinya pernah menerima uang dari “masyrakat” dimasa Lurah sebelumnya.
Tidak hanya itu. Saat terdakwa Zainal Imran diberi kesempatan oleh Ketua Majelis Hakim untuk menanggapi keterangan saksi Kuncoro terkait Map berisi uang pada saat OTT dilakukan oleh anggota Polres Situbondo pada Senin, 20 Maret 2017 sekira pukul 15.00 WIB.
Karena keterangan Kuncoro dalam surat dakwaan JPU menyatakan, bahwa pada tanggal 20 Maret 2017 sekitar pukul 14.30 WIB, beberapa saat setelah Gumilang hendak menyerahkan map berisi uang, polisi sudah melakukan penggerebekan di ruang kerja terdakwa.
Sementara menurut terdakwa Zainal Imran, pada saat anggota Polres Situbondo yang langsung masuk ke ruang kerja terdakwa, saat itu terdakwa meminta surat tugas karena 2 anggota polisi berpakaian “preman” tidak menunjukkan surat tugas. Setelah terdakwa meminta surat tugas, 2 anggota polisi itu barulah meminta surat tugas dari petugas lainnya yang berada diluar.
Pada saat anggota polisi Polres Situbondo masuk keruang kerja terdakwa, map berisi uang ada ditangan Kuncoro yang duduk berdampingan dengan Gumilang. Dan kemudian Kuncoro secara spontan menjatuhkan map tersebut keatas meja, sesuai dengan gambar yang ditunjukkan di hadapan Majelis Hakim.
“Map itu saya tidak tau isinya dan saya tidak memegang. Pada saat polisi datang, baru 5 menit saya nyampai di kantor karena ada tugas diluar. waktu itu saya marah dan meminta polisi menunjukkan surat tugas, karena saya berhak dan itu ruang kerja saya,” kata terdakwa kepada Majelis Hakim saat itu.
Kasusu ini pun mengundang pertanyaan. Sebab penyidik Polres Situbondo hanya menetapkan Zainal Imran yang baru 1 bulan sekaligus pertama kalinya menjadi Lurah dan langsung terjerat dalam kasus Korupsi, sementara map berisi uang sebagai barang berada ditangan Kuncoro.
Bila Zainal Imran terjaring Operasi Tangkap Tangan oleh Polres Situbondo pada tanggal 20 Maret 2017, mengapa setelah 1 tahun penyidik Polres Situbondo baru melimpahkan berkas perkara ini ke Kejari Situbondo ? Bahkan menurut terdakwa, Kejari Situbondo sempat mengembalikan (P19) berkas perkara dirinya ke penyidik Polres Situbondo. Ada apa dalam kasus Lurah Ardirejo, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo, Zainal Imran ?
Dalam surat dakwaan JPU disebutkan, sekitar bulan Desember 2016 Gumilang hendak menjual tanah miliknya yang terletak di Dusun Cappore Kelurahan Ardirejo, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo tetapi ukuran tanah tersebut tidak lurus alias bengkok pada bagian selatan, sehingga sulit untuk di Kavling dan dijual. Kemudian untuk meluruskan ukuran tanah tersebut, Kuncoro mempunyai keinginan untuk membeli sebagian tanah di sebelahnya yang merupakan tanah milik perkumpulan kematian masyarakat Situbondo (PKMS).
Pada bulan Januari 2017, Gumilang mendatangi Onny yang merupakan wakil ketua PKMS, pada saat itu Gumilang menyampaikan keinginannya kepada Onny, selanjutnya Onny menyampikan keinginan Gumilang kepda Ketua PKMS. Setelah terjadi tawar-menawar, kemudian disepakati bahwa tanah PKMS seluas kurang lebih 200 meter seharga Rp 7 juta, sesuai dengan kwitansi pembebasan pada tanggal 23 Januari 2017.
Kemuidan, Gumilang datang ke kantor Kelurahan Ardirejo untuk mengurus akta jual beli tanah tersebut, pada saat itu Gumilang ditemui Kuncoro selaku Kasi Pemerintahan di Kelurahan Ardirejo. Kemuidan, Guliang memberikan data pendukung berupa sertifikat tanah dan fotocopy bukti kuitansi pembebasan lahan kepada Kuncoro. Untuk biaya pengurusan, Kuncoro meminta biaya sebesar Rp 650 ribu untuk membeli materi dan biaya pengetikan. Gumilang pun menitipkan uang sebesar Rp 650 juta kepada Kuncoro dengan kesepakatan pada saat itu, apabila uang titipkan tersebut lebih, akan dikembalikan, dan apabila kurang akan ditalangi terlebih dahulu oleh Gemilang. Untuk maslah akta jual beli tanah, Kuncoro menyarankan Gumilang untuk berkordinasi dengan terdakwa.
Setelah dua hari kemudian, Gumilang datang lagi ke kantor Kelurahan dan bertemu dengan Kuncoro. Pada saat itu, Gumilang bercerita kepada Kuncoro, jika terdakwa meminta biaya sebesar Rp 20 juta untuk pengurusan akte jual beli dan Gumilang merasa keberatan. Kuncoro mengatakan, apabila ada keberatan langsung menawar atau bernego dengan terdakwa, karena terdakwa selaku Lurah yang mempunyai kuasa untuk menentukan harga. setelah itu Gumilang diajak ke ruang kerja untuk menawar biaya pengurusan akte jual beli sebesar yang diminta oleh terdakwa sebesar Rp 20 juta yang belum ada kesepakatan.
Keesokan harinya, terdakwa menyuruh Kuncoro untuk menyampaikan kepada Gumila, jika biaya pengurusan akte jual beli turun menjadi Rp 15 juta, tetapi Gumilang pun tetap merasa keberatan.
Satu minggu kemudian, Gumilang ditelepon oleh Kuncoro agar datang ke kantor Kelurahan untuk tawar-menawar atau nego ulang biaya akta jual beli tanah. Kemudian, sekira pukul 11.15 WIB, Gumilang datang ke kantor Kelurahan Ardirejo yang ditemui oleh Kuncoro. setelah itu, Gumilang diajak masuk ke kerja terdakwa. Pada saat itu, Gumilang menyampaikan keberatannya atas biaya akte jual beli yang diminta oleh terdakwa sebesar Rp 15 juta. Terdakwa pun kemudian menurunkan lagi biaya akte jual beli menjadi Rp 10.750.000, namun Gumilang tetap merasa keberatan.
Karena Gumilang tetap merasa keberatan, lalu terdakwa mengatakan jika tidak ada tanda tangan dan stempel darinya (terdakwa) maka akta jual beli tersebut tidak akan jadi bahkan sampai Kecamatan, dan jika tidak ada kesepakatan masalah uangnya, maka tanah tersebut akan diwakafkan.
Setelah dua hari kemudian, Kuncoro dipanggil oleh terdakwa ke ruangannya, pada saat itu terdakwa menyuruh Kuncoro untuk menyampaikan kepada Gumilang, bahwa biaya pembuatan akta jual beli tanah diturunkan lagi menjadi Rp 10 juta.
Dua hari kemuidan, Gumilang datang ke kantor Kelurahan untuk menyampaikan bahwa pembayaran akan dilakukan dua kali, dan pelunasan setelah akta jual beli tanaha selesai, namun terdakwa menolaknya dan meminta sekaligus. Dan Gumilang pun akhirnya meminjam uang saudaranya sebesar Rp 10 juta.
Satu minggu kemudian, Gumilang mendapatkan pinjaman uang sebesar Rp 10 juta, dan pada hari Minggu tanggal 19 Maret 2017 sekira pukul 20.00 WIB, Gumilang menghubungi Kuncoro, pada saat itu Gumilang menyampaikan jika uang untuk biaya pengurusan akte jual beli sebesar 10 juta sudah ada.
Pada senin 20-03-2017 sekira pukul 11.00 WIB, Gumilang menghubungi Kuncoro dan menyampaikan, jika uang biaya akte jual beli yang diminta oleh terdekat sudah siap. Selanjutnya Kuncoro menjawab, jika terdakwa masih ada acara di luar kantor dan akan dihubungi bila sudah kembali.
Sekitar pukul 14.00 30 WIB di hari yang sama, Kuncoro menghubungi Gumilang menyampaikan jika terdakwa sudah di kantor. Tiga puluh menit kemudian, Gumilang datang ke kantor Kelurahan, dan pada saat itu terdakwa sedang berada di ruang kerja Kuncoro, dan terdakwa langsung Gumilang ke ruang kerja terdakwa.
Saat Gumilang hendak menyerahkan sebuah map warna hijau berisi uang Rp 10 juta sebagai biaya akte jual beli yang diminta oleh terdakwa serta fotokopi KTP dan kartu keluarga (KK), tetapi pada saat itu terdakwa tidak langsung menerima, tetapi terdakwa mengatakan jika tugasnya sudah selesai dan untuk keuangan serta administrasi diwakilkan kepada Kuncoro.
Beberapa saat setelah Gumilang hendak menyerahkan map berisi uang tersebut, polisi dari Polres Situbondo yang sebelumnya telah mendapatkan informasi jika terdakwa meminta sejumlah uang dalam pengurusan akte jual beli tanah langsung melakukan penggerebekan di ruang kerja terdakwa.
JPU menyebutkan, bahwa perbuatan terdakwa tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain, UU RI Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), PP RI Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil (PNS), Peraturan Pemerintah RI Nomor 73 tahun 2005 tentang Kelurahan, Peraturan Bupati Situbondo Nomor 67 tahun 2008 tentang uraian tugas dan fungsi Kelurahan di Kabupaten Situbondo
“Dan perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 huruf e atau pasang 11 undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Sebagaimana telah diubah dengan undang-undang RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,” ucap JPU Handoko Alfiantoro. (Rd1)
Posting Komentar
Tulias alamat email :