0
#Dalam pembelaan terdakwa sebagai Wali Kota Malang, justru menuduh Orang Lebih beratanggungjawab atas terjadinya “suap menyuap” dalam pembahasan APBD-P TA 2015#

beritakorupsi.co - “Lempar batu sembunyi tangan”. Perumpaan inilah yang barangkali tepat bagi terdakwa Moch. Anton, Wali Kota Malang (non aktif) saat membacakan surat pembelaannya dihadapan Majelis Hakim di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor, atas tuntutan pidana penjara selama 3 tahun dari JPU KPK terhadap rinya, pada Jumat, 3 Agustuts 2018.

Dalam sidang yang berlangsung (Jumat, 3 Agustuts 2018) dengan Ketua Majelis Hakim H.R. Unggul Warso Murti dan diabntu Panitra Pengganti (PP) Wahyu Wibawati adalah agenda pembelaan dari terdakwa Moch. Anton maupun dari tim Penasehat Hukum (PH)-nya Haris Fajar Kustaryo dkk dari Kota Malang atas tuntutan pidana 3 tahun penjara oleh JPU KPK (Jumat, 27 Juli 2018). Sidang kali inipun hanya dihadiri 2 Cincirella KPK, yakni Ni Nengah Gina Saraswasti dan Dame Maria Silaban.

Dalam surat pembelaan terdakwa ada kata yang menggelitik, yaitu kata “kami” yang berarti lebih dari satu orang (jamak), yang sudah tentu berbeda dengan kata “saya atau aku” (tunggal). Sebab. terdakwa Moch. Anton selalu mengunakan kata “kami” bukan kata “saya”.

Dalam pembelaannya, terdakwa Moch. Anton Wali Kota Malang ini justru menuduh orang lain yang lebih bertanggungjawab atas terjadinya kasus suap sebesar Rp 700 juta kepada anggota DPRD Kota Malang dalam pembahasan Perubahan APBD Kota Malang Tahun Anggaran (TA) 2015 lalu hingga  menyeret dirinya ke penjara.

“Ada pihak-pihak lain baik secara hukum harus bertanggung jawab atas perkara ini. Kalau boleh kami mengatakan, keteledoran yang kami buat tidak seberapa bila dibandingkan dengan pihak-pihak lain yang lebih yang lebih bertanggung jawab daripada kami,” kata terdakwa

Pada hal, kasus suap antara eksekutif (Pemkot Malang) dengan legislatif (DPRD Kota Malang) hingga menyeret dirinya ke penjara, adalah terkait pengajuan pembahasan Perubahan APBD Kota Malang TA 2015 yang APBD murni TA 2015 ini dibahas pada tahun 2014.


Awalnya adalah, pada tanggal 6 Juli 2015, sebelum dimulainya rapat paripurna dengan agenda penyampaian pendapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Malang, dan pendapat Fraksi terhadap konsep kesepakatan bersama antara Pemkot Malang dengan DPRD Kota Malang tentang kebijakan umum anggaran (KUA), dan prioritas plafon anggaran sementara (PPAS) Perubahan APBD TA 2015.

Saat itu, terdakwa Moch. Anton melakukan pertemuan dengan Moch. Arif Wicaksono (sudah divonis 5 tahun penjara), Suprapto (tersangka bersama 17 anggota lainnya dalam kasus yang sama), bertempat diruang transit rapat paripurna DPRD Kota Malang yang dihadiri oleh Sutiaji Wakil Wali Kota, Cipto Wiyono (Sekda) dan Jarot Edy Sulistiyono selaku Kepala Dinas PU (sudah divonis 2 tahun dan 8 bulan).

Pada saat pertemuan tersebutlah, Moch. Arif Wicaksono meminta kepada terdakwa Moch. Anton untuk memberikan uang imbalan pembahasan Rancangan Perubahan APBD Kota Malang TA 2015 yang diajukan Pemkot Malang  dengan istilah uang “pokir”, agar pembahasan berjalan lancar dan tidak ada halangan dari Anggota DPRD Kota Malang sehingga dapat langsung disetujui. Atas permintaan Ketua DPRD Moch. Arif Wicaksono, terdakwa Moch. Anton menyanggupinya, kemudian memerintahkan Cipto Wiyono untuk menyiapkan uang “pokir” yang dimaskud.

Nah, andai saja Moch. Anton selaku Wali Kota, tidak merespon permintaan Ketua DPRD Kota Malang saat itu, Cipto Wiyono selaku Sekda tidak akan memerintahkan Jarot Edy Sulistyono dan  Tedy Sujadi Sumarna (Kabid Dinas PU) untuk melaksanakannya. Karena Dua kata saja yang terucap dari seoarng pimpinan nomor satu ke pejabat dibawah jajarannya, maka akan “lahirlah 1001” kalimat untuk menjabarkannya.

Dari kasus diatas, siapa yang harus lebih disalahkan, dan siapa yang lebih bertanggungjawab ?. Apakah terdakwa Moch. Anton selaku Wali Kota?, atau Sekda Cipto Wiyono yang melaksanakan arahan Pimpinannya dan kemudian meneruskannya ke pejabat bawahannya, Jarot dan Teddy?

Dan selain itu, andai saja Moch. Anton selaku Wali Kota, tidak merespon permintaan Ketua DPRD Kota Malang saat itu, ada kemungkinan yang akan terjadi saat itu, yaitu pembahasan perubahan APBD Kota Malang TA 2015 tidak akan berjalan lancar karena akan dipersulit oleh dewan yang terhormat itu dengan menggunakan fungsi hak yang dimilikinya.

Dan hasil positifnya, dirinyapun (terdakwa Moch. Anton), Jarot, Arif dan 18 anggota DPRD lainnya (tinggal menunggu disidangkan) tidak akan diadili sebagai Koruptor. Dan bisa jadi akan  bertambah sesuai fakta persidangan yang terungkap.

Justru yang menggelitik adalah, mengapa setelah setengah tahun APBD disahkan ada pengajuan untuk perubahan APBD? Apakah saat penyusunan anggaran dari setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang saat ini menjadi OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dan kemudian disampaikan ke Tim anggaran Pemkot Malang ada “udang dibalik bawa’an” yang tertinggal” sehingga diajukanlah “alasan” Perubahan APBD itu ke pihak legislatif? Bukankah kebutuhan anggaran disetiap SKPD/OPD sudah disusun oleh tim anggaran dengan sangat cermat, teliti dan hati-hati sebelum disampaikan ke tim anggaran Pemkot Malang? Mengapa pada saat pembahasan APBD murni tidak dilakukan revisi perbaikan andai saja ada yang tertinggal sehingga tidak bekerja dua kali ? Atau memang pembahasan perubahan anggaran APBD itu adalah suatu “alasan untuk mencari tambahan ceperan?”

Anehnya, saat terdakwa Moch. Anton selaku orang nomor satu di Kota Malang ini saat membacakan surat pembelaannya, justru menuduh orang lain yang lebih bertanggungjawab dari pada dirinya, namun tidak secara gentlemen  menyebut siapa yang dimaksud. Tetapi justru melimpahkan ke Majelis Hakim yang lebih tau karena sudah terungkap dan tercatat dalam berita acara persidangan.

“Siapakah orang ini, sudah tentu Majelis Hakim yang lebih tahu siapakah gerangan in. Kami juga tidak akan menyebut nama orang lain karena sudah terungkap dan tercatat dalam berita acara persidangan. Siapa yang berbuat salah harus dihukum tanpa memandang siapapun orang itu,” ucap terdakwa Moch. Anton

Disisi lain, terdakwa Moch. Anton selaku Wali Kota Malang memngakui sepenuhnya adanya keteledoran dan kekilafan serta meminta maaf kepada warga Kota Malang. Selain itu, terdakwa juga menyalahkan anak buahnya yang tidak maksimal. Entah apa makna dari ucapan terdakwa ini yang mengatakan bahwa stafnya kurang maksimal. Apakah karena kasus ini sampai ke “telinga” lembaga anti rasuh (KPK) sehingga berakibat masuk penjara???

“Kami mengakui keteledoran dan kekilafan atas perbuatan kami, dan pada saat perkara ini terjadi kami sebagai Wali Kota Malang.  Kami juga memohon maaf kepada warga Kota Malang. Kami  mengakui kekurangan dan kontrol atas perbuatan staf maupun anak buah yang tidak maksimal,” kata terdakwa Moch. Anton

Dalam pembelaan terdakwa Moch. Anton memang tidak terang-terangan meminta dibebaskan, melainkan memohon kepada Majelis Hakim untuk hukuman yang seringan-ringannya.

“Kami menyadari sepenuhnya  bahwa kami memang teledor, sehingga dalam pledoi ini dan juga kami minta penasehat hukum kami dalam pledoinya, kami tidak minta kepada Majelis Hakim untuk dibebsakan. Kami memohon kepada Majelis hakim sebagai wakil Tuhan di dunia ini untuk memberi hukuman yang seringan-ringannya,” ucap terdakwa.

Menanggapi pledoi terdakwa mapun PH terdakwa, 2 Cindirella KPK menanggapinya dengan mengatakan tetap pada tuntutannya. Bahwa tuntutan JPU KPK ialah, bahwa perbuatan terdakwa Moch. Anton bersama-sama dengan Jarot Edy sulistyono dan Cipto Wiyono memberi uang sebesar Rp 700 juta kepada anggota DPRD Kota Malang melalui Moch. Arif Wicaksono, supaya anggota DPRD  Kota Malang memberikan persetujuan penetapan Perubahan APBD TA 2015 yang bertentangan dengan kewajiban Moch. Arif Wicaksono dan anggota DPRD Kota Malang sebagaimana dimaksud dalam ; pasal 400 ayat 3 UU RI Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, UU RI Nomor 42 tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyatakan , “Anggota DPRD Kabupaten/Kota dilarang melakukanKorupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Sehingga perbuatan terdakwa dijerat dalam pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomo! 20 Tahun 2001 tentang Pembahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan tuntutan pidana penjara selam 3 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain hukuman badan dan denda, terdakwa juga dituntut untuk pencabutan hak politik selama 4 tahun.

Nasib terdakwa Moch. Anton pun akan ditentukan dalam sidang Majelis Majelis Hakim yang hasilnya dibacakan dalam persidangan yang berlangsung untuk umum sepekan lagi.

“Sidang ditunda sampai dengan Jumat tanggal Sepuluh Agustus dengan agenda putusan,” Ucap Ketua Majelis Hakim dengan mengetuk palu sebanyak 3 kali.  (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top