0
Terdakwa Zainal Imron (tengah) diapit kedua Penasehat Hukumnya seusai persidangan
#Tersangka/terdakwa Kasus Korupsi Suap yang yang tertangkap tangan oleh Kepolisian dan Kejaksaan tak ubahnya pelaku “copet”, berbeda dengan penangan oleh KPK#

beritakorupsi.co - Sejak Presiden RI, Ir. Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tanggal 20 Oktober 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), tak sedikit pelaku/tersangka yang tertangkap tangan oleh pihak Kepolisian Khsusnya di Jawa Timur hanya 1 (Satu) orang saja seperti "pelaku tindak pidana kriminal atau pencopet" dengan barang bukti berupa uang dari 3 juta hingga puluhan juta, dan kemudian di adili di Pengadilan Tipikor Surabaya.

Pasal yang dikenakan terhadap tersangka/terdakwa pun, ada yang pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, tentang menerima sesuatu janji atau hadih. Anehnya, sipemberi hadiah atau janji yang diatur dalam pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU yang sama, “tak berlaku”.
   
Ada pula yang dijerat dengan pasal 12 huruh e tentang menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Entah memaksa bagaimana si pelaku terhadap seseorang hingga menyerahkan sejumlah uangnya lalu tertangkap tangan oleh Polisi. Apakah kerena berteriak hingga terdengar petugas lalu ditangkap, atau karena memang sengaja sipemberi menjebak si pelaku supaya ditangkap Polisi ?

Yang jelas, kasus tangkap tangan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, berbeda dengan kasus tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK, baik terhadap pelakunya apa lagi barang bukti berupa uang. Namun yang pasti, Undang-Undang yang dipakai oleh Kepolisan bersama Kejaksaan Negeri sama dengan yang dipakai oleh KPK. Namun bisa jadi, lain lembaganya lain pula cara penarapan hukum dalam Undang-Undang yang sama digunakan.

Bedanya lagi, kasus tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK belum ada yang bebas di Pengadilan Tipikor, berbeda dengan kasus tangkap tangan yang dilakukan oleh Mabes Polri bersama Polda Jatim dan Polres Tanjung Perak pada tahun 2016 terhadap Pejabat Pelindo III Surabaya, yang dijerat dengan pasal pemerasan yang diatur dalam KUHP, dan kemudian divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya.

Kali ini adalah Zainal Imran, Lurah Ardirejo, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo adalah terdakwa tunggal dalam kasus suap tangkap tangan Polres Situbondo pada Senin, 20 Maret 2017 lalu, namun baru disidangkan pada tanggal 24 April 2018, dan divonis pidana penjara selama 1 tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, pada Kamis, 16 Agustus 2018.

Terdakwa Zainal Imran, ditangkap petugas Kepolisian Polres Situbonda pada tanggal 20 Maret 2017 di kantornya. Pada saat itu, Map berwarna hijau ditangan Kuncoro, salah satu pejabat di Kelurahan Ardirejo, Kecamatan Panji Kabupaten Situbondo yang duduk disamping Gumilang sipemberi Map itu. Namun oleh Kuncoro sambil berdiri, dijatuhkan Map itu secara spontan diatas meja begitu melihat anggota Polres Situbondo dihadapannya.

Anehnya, Barang Bukti (BB) berupa Map yang ditunjukkan JPU kepada Majelis Hakim bukan Map berwarna Biru melainkan Map berwarna Hijau. Yang menurut Penasehat hukum terdakwa dalam pembelaannya (2 Agustus 2018) bukan alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHPidana. Hal ini seperti yang terungkap dipersidangan.

Zainal Imron yang pertama kali menjabat sebagai Lurah dan baru 2 bulan menjabat sebagai terdakwa tunggal dalam kasus Korupsi suap tangkap tangan oleh Polres Sutubondo, yang di jerat dengan pasal 12 huruf e atau pasal 11 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Setelah menjalani proses persidangan dimana Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Gumilang sebagai saksi korban, tak ada keterangan saksi yang mengatakan ada pemaksaan dari terdakwa. Selain itu, saksi anggota Polisi Polres Situbondo yang dihadirkan JPU, bukan sebagai penyidik dalam kasus terdakwa melainkan dalam perkara lain. Dan saat itu pun Penasehat Hukum terdakwa keberatan. Sehinga tak banyak pertanyaan dari Majelis Hakim terhadap saksi. Sementara saksi Kuncoro mengakui, pernah menerima uang dari orang lain sebelum terdakwa Zainal Imron mejabat sebagai Lurah.

Namun yang jelas, pasal yang terbukti menurut JPU Kejari Situbondo maupun Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya terhadap terdakwa Zainal Imron adalah pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan tuntutan pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan dan denda sebesar Rp50 juta.

Pasal 11; Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 5 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : huruf a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

Pasal 13; Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat  kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan  pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).


Pada Kamis, 16 Agustus 2018, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya yang diketuai Dede Suryamana menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 1 tahun dan denda sebesar Rp50 juta, atau kurungan 1 bulan bila terdakwa tak membayar. Tak ada uang pengganti, sebab uang yang Rp10 juta yang menjadi barang bukti dirampas untuk negara.

“Mengadili ; Menyatakan, bahwa terdakwa terdakwa Zainal Imron terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan Primer tersebut; Menghukum terdakwa Zainal Imron dengan hukuman pidana penjara selama 1 (Satu) tahun dan denda sebesar Rp50 juat. Apabila terdakwa tidak membayar maka diganti kurungan selama 1 bulan,” ucap Ketua Majelis Hakim.

Atas ptusan Majelis Hakim, terdakwa yang didampingi Penasehat Hukumnya, Markacung dan Ridwan Saleh maupun JPU menyatakan pikir-pikir.

Usai persidangan, Ridwan Saleh selaku Penasehat Hukum terdakwa mengatakan, masih pikir-pikir dalam waktu 7 hari. Ridwan menambahkan, bahwa dalam putusan Majelis Hakim tak ada orang yang turut terlibat dalam kasus yang menjerat terdakwa.

“Masih pikir-pikir dalam 7 hari ini. Dalam pertimabangan Majelis Hakim tak ada orang lain,” kata Ridwan.

Kasus ini bermula pada sekitar bulan Desember 2016. Saat itu Gumilang hendak menjual tanah miliknya yang terletak di Dusun Cappore Kelurahan Ardirejo, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo, tetapi ukuran tanah tersebut tidak lurus alias bengkok pada bagian selatan,  sehingga sulit untuk di Kavling dan dijual. Kemudian untuk meluruskan ukuran tanah tersebut,  Kuncoro mempunyai keinginan untuk membeli sebagian tanah di sebelahnya yang merupakan tanah milik perkumpulan kematian masyarakat Situbondo (PKMS).

Pada bulan Januari 2017, Gumilang mendatangi Onny, wakil ketua PKMS. Pada saat itu Gumilang menyampaikan keinginannya kepada Onny, selanjutnya Onny menyampikan keinginan Gumilang kepda Ketua PKMS. Setelah terjadi tawar-menawar, kemudian disepakati  bahwa tanah PKMS seluas kurang lebih 200 meter seharga Rp 7 juta, sesuai dengan kwitansi pembebasan pada tanggal 23 Januari 2017.

Kemuidan, Gumilang datang ke kantor Kelurahan Ardirejo untuk mengurus akta jual beli tanah tersebut, pada saat itu Gumilang ditemui Kuncoro selaku Kasi Pemerintahan di Kelurahan Ardirejo. Kemuidan, Guliang memberikan data pendukung berupa sertifikat tanah dan fotocopy bukti kuitansi pembebasan lahan kepada Kuncoro. Untuk biaya pengurusan, Kuncoro meminta biaya sebesar Rp 650 ribu untuk membeli materi dan biaya pengetikan. Gumilang pun menitipkan uang sebesar Rp 650 juta kepada Kuncoro dengan kesepakatan pada saat itu, apabila uang titipkan tersebut lebih, akan dikembalikan, dan apabila kurang akan ditalangi terlebih dahulu oleh Gemilang. Untuk maslah akta jual beli tanah, Kuncoro menyarankan Gumilang untuk berkordinasi dengan terdakwa.

Setelah dua hari kemudian, Gumilang datang lagi ke kantor Kelurahan dan bertemu dengan Kuncoro. Pada saat itu, Gumilang bercerita kepada Kuncoro, jika terdakwa meminta biaya sebesar Rp 20 juta untuk pengurusan akte jual beli dan Gumilang merasa keberatan. Kuncoro mengatakan, apabila ada keberatan langsung menawar atau bernego dengan terdakwa, karena terdakwa selaku Lurah yang mempunyai kuasa untuk menentukan harga. setelah itu Gumilang diajak ke ruang kerja untuk menawar biaya pengurusan akte jual beli sebesar yang diminta oleh terdakwa sebesar Rp 20 juta yang belum ada kesepakatan.

Keesokan harinya, terdakwa menyuruh Kuncoro untuk menyampaikan kepada Gumila, jika biaya pengurusan akte jual beli turun menjadi Rp 15 juta, tetapi Gumilang pun tetap merasa keberatan.

Satu minggu kemudian, Gumilang ditelepon oleh Kuncoro agar datang ke kantor Kelurahan untuk tawar-menawar atau nego ulang biaya akta jual beli tanah. Kemudian, sekira pukul 11.15 WIB, Gumilang datang ke kantor Kelurahan Ardirejo yang ditemui oleh Kuncoro. setelah itu, Gumilang diajak masuk ke kerja terdakwa. Pada saat itu, Gumilang menyampaikan keberatannya  atas biaya akte jual beli yang diminta oleh terdakwa sebesar Rp 15 juta. Terdakwa pun kemudian menurunkan lagi biaya akte jual beli menjadi Rp 10.750.000, namun Gumilang tetap merasa keberatan.

Karena Gumilang tetap merasa keberatan, lalu terdakwa mengatakan jika tidak ada tanda tangan dan stempel darinya (terdakwa) maka akta jual beli tersebut tidak akan jadi bahkan sampai Kecamatan, dan jika tidak ada kesepakatan masalah uangnya, maka tanah tersebut akan diwakafkan.

Setelah dua hari kemudian, Kuncoro dipanggil oleh terdakwa ke ruangannya, pada saat itu terdakwa menyuruh Kuncoro untuk menyampaikan kepada Gumilang, bahwa biaya pembuatan akta jual beli tanah diturunkan lagi menjadi Rp 10 juta.

Dua hari kemuidan, Gumilang datang ke kantor Kelurahan untuk menyampaikan bahwa pembayaran akan dilakukan dua kali, dan pelunasan setelah akta jual beli tanaha selesai, namun terdakwa menolaknya dan meminta sekaligus. Dan Gumilang pun akhirnya meminjam uang saudaranya sebesar Rp 10 juta.

Satu minggu kemudian, Gumilang mendapatkan pinjaman uang sebesar Rp 10 juta, dan pada hari Minggu tanggal 19 Maret 2017 sekira pukul 20.00 WIB, Gumilang menghubungi Kuncoro, pada saat itu Gumilang menyampaikan jika uang untuk biaya pengurusan akte jual beli sebesar 10 juta sudah ada.

Pada senin 20-03-2017 sekira pukul 11.00 WIB, Gumilang menghubungi Kuncoro dan menyampaikan, jika uang biaya akte jual beli yang diminta oleh terdekat sudah siap. Selanjutnya Kuncoro menjawab, jika terdakwa masih ada acara di luar kantor dan akan dihubungi bila sudah kembali.

Sekitar pukul 14.00 30 WIB di hari yang sama, Kuncoro menghubungi Gumilang menyampaikan jika terdakwa sudah di kantor. Tiga puluh menit kemudian, Gumilang datang ke kantor Kelurahan, dan pada saat itu terdakwa sedang berada di ruang kerja Kuncoro, dan terdakwa langsung Gumilang ke ruang kerja terdakwa.

Saat Gumilang hendak menyerahkan sebuah map warna hijau berisi uang Rp 10 juta sebagai biaya akte jual beli yang diminta oleh terdakwa serta fotokopi KTP dan kartu keluarga (KK),  tetapi pada saat itu terdakwa tidak langsung menerima, tetapi terdakwa mengatakan jika tugasnya sudah selesai dan untuk keuangan serta administrasi diwakilkan kepada Kuncoro.

Beberapa saat setelah Gumilang hendak menyerahkan map berisi uang tersebut, polisi dari Polres Situbondo yang sebelumnya telah mendapatkan informasi jika terdakwa meminta sejumlah uang dalam pengurusan akte jual beli tanah langsung melakukan penggerebekan di ruang kerja terdakwa.

JPU menyebutkan, bahwa perbuatan terdakwa tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain, UU RI Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), PP RI Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil (PNS), Peraturan Pemerintah RI Nomor 73 tahun 2005 tentang Kelurahan,  Peraturan Bupati Situbondo Nomor 67 tahun 2008 tentang uraian tugas dan fungsi Kelurahan di Kabupaten Situbondo

Dan atas perbuatannya, terdakwa diancam pidana penjara sebagaiamana dalam pasal 12 huruf e atau pasang 11 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top