Terdakwa Mustofa Kamal Pasa, Bupati Mojokerto |
beritakoruspi.co - Mustofa Kamal Pasa atau yang dikenal dengan panggilan MKP ini adalah Bupati Mojokerto dalam 2 periode sejak 2010 hingga 2021, menambah “DAFTAR HITAM” Kepala Daerah dalam kasus dugaan Korupsi di Jawa Timur sekaligus untuk menemani koleganya, yakni Mas’ud Yunus selaku Wali Kota Mojokerto yang sudah terlebih dahulu meringkuk dipenjara.
Namun “jenis tiket” alias kasus Korupsi yang menyeret Ke- 2 Kepala Daerah ini memang berbeda sekalipun bertetangga dekat. Mas’ud Yunus bukan menerima duit untuk beli tiket ke penjara, melainkan memberikan duit ke DPRD Kota Mojokerto. Sehingga “tiket” alias hukuman pidana penjara sudah pasti lebih ringan, bila dibandingkan MKP yang diduga menerima duit dari pengusaha pemancar sinyal Telephon Seluler di Kabupeten Mojokerto, yang sudah tentu “tiket” untuk meringkuk di penjara akan lebih lama dari Mas’ud Yunus. Kedua Kepala Daerah ini sama-sama “beli tiket” alias dipenjarakan KPK.
Bayangkan dalam setahun (2015), MKPK diduga menerima uang “haram” dari pengusaha tower seluler sebesar Rp2.750.000.000 (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta ruplah) yang diketahui oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Duit sebesar itu, untuk mendapatkan tandatangan MKP, agar 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan 11 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diajukan oleh Onggo Wijaya disetujuinya. Hal ini terungkap dalam surat dakwaan JPU KPK yang dibacakan dalam persidangan, Jumat, 14 September 2018.
Mungkin MKP tak menyangka, kalau duit yang diterimanya itu akan menjadi “tiket termahal” untuk meringkuk dipenjara. Andai saja KPK tidak turun tangan, MKP pun akan terus melaju melangkahkan kakinya mempin masyarakat Kabupaten Mojokerto hingga 2021, dan akan senasib pula dengan Bupati Blitar Heri Nugroho dalam kasus pelepasan asset Daerah pada tahun 2013, dan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko dalam kasus Korupsi pariwisata Kota Batu ke Kalimantan pada tahun 2015. Namun Eddy Rumpoko bernasib sial pula. Lolos dari jertan hukum Kejaksaan dalam kasus Korupsi Pariwisata Kota Batu ke Kota Balikpapan. Pada hal, dalam surat putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya disebutkan, bahwa Eddy Rumpoko dan Kepala Inspektorat turut bertanggung Jawab, ternyata nasib Eddy Rumoko lebih memalukan lagi karena tertangkap tangan KPK dalam kasus Korupsi suap. Sedangkan Edi Nungroho, tetap AnNyam alias Aman dan Nyaman hingga saat ini, walau dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada halaman 108 alinea ke 3 dibutkan, bahwa Edi Nugroho turut bertanggungjawab dalam kasus pelepasan asset daerah. Namun yang dipenjarakan oleh Kejaksaan Blitar hanya Kepala kantor Aset Kabupaten Blitar.
Sedangkan dalam kasus dugaan Korupsi yang menjerat MKP ini, bisa jadi banyak kalangan tertentu yang merasa kaget seperti disambar petir disiang bolong, karena tak banyak berita miring di media massa tetang MKP sama seperti Wali Kota Malang Moch. Anton. Yang membuat kaget adalah saat KPK mulai menelisik perbuatan MKP yang kemudian menetapkanya menjadi terangka dan dijebloskan ke penjara oleh KPK yang tak bisa “ditawar menawar sekalipun ada tim silumannya”.
Jumat, 14 Sepetember 2018, adalah hari pertama bagi MKP untuk proses menentukan perjalannya menuju penjara. Sebab JPU KPK Joko Hermawan, Eva Yustisiana, Ni Nengah Gina Saraswati, Mufti Nur Irawan, Nur Haris Harhadi menyeret MKP untuk duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa di gedung pengadil para Koruptor. Perbuatan MKP ini dibeberkan JPU KPK di hadapan Majelis Hakim yang diketuai I Wayan Sosisawan.
Dalam sidang yang berlangsung adalah pembacaan surat dakwaan oleh JPU KPK atas diri terdakwa Mutofa Kamal Pasa. Dalam surat dakwaannya, JPU KPK mengatakan bahwa pada awal tahun 2015, terdakwa Mustofa Kamal Pasa mendapat laporan dari Suharsono selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kabupaten Mojokerto, bahwa di wilayah Kabupaten Mojokerto banyak ditemukan Tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Atas laporan itu, Terdakwa memerintahkan untuk dilakukan pemetaan dan pendataan jumlah Tower Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto yang belum memiliki izin.
Menindaklanjuti perintah terdakwa, Suharsono melakukan pemetaan dan menemukan ada sekitar 22 tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki IPPR dan IMB yakni 11 atas nama perusahaan PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (PT TBG) dan 11 atas nama PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT Protelindo). Atas temuan tersebut, Suharsono melaporkan kepada Terdakwa, dimana Terdakwa kemudian memerintahkan agar dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut sampai ada IPPR dan IMB.
JPU KPK menyatakan, setelah dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut, terdakwa memerintahkan Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto, terkait perijinan dari tower dimaksud harus ada fee untuk terdakwa sebesar Rp200 juta per towernya, dan fee tersebut agar diserahkan melalui orang kepercayaan terdakwa yakni Nano Santoso Hudiarti alias Nono.
JPU KPK membeberkan, bahwa untuk kepentingan pemberian rekomendasi IPPR dan IMB, terdakwa menerima fee sebagai berikut.:
a. Penerimaan fee dari PT Tower Bersama Infrastructure Tower Bersama Grup (TBG) Beberapa hari setelah dilakukan penyegelan terhadap 11 tower telekomunikasi milik PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group (TBG). Sekitar awal tahun 2015, Ockyanto meminta bantuan Nabiel Titawano untuk mengurus perizinan atas 11 tower yang disegel tersebut, dimana dalam perjalanannya, pengurusan perijinan dibantu oleh Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro
Dalam rangka pengurusan ijin tower tersebut, sekitar bulan April 2015, Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi. Dalam pertemuan itu, Bambang Hahyudi menyampaikan untuk mendapatkan IPPR dan IMB harus disediakan fee sebesar Rp220 juta per tower dengan rincian; Rp200 juta untuk terdakwa dan Rp20 untuk UKL dan UKP. Sehingga fee untuk 11 tower yang harus disiapkan adalah sebesar Rp2.420 milliar.
Permintaan itu disanggupi Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro, dan akan disampaikan kepada Nabiel Titawano selaku pihak yang mewakili PT TBG. Beberapa hari setelah pertemuan, Agus Suharyanto menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Nabiel Titawano dan disepakati oleh Nabiel Titawano.
Selanjutnya Nabiel Titawano menemui Ockyanto menyampaikan, bahwa ia sanggup mengurus ijin tower, tetapi harus disiapkan fee untuk terdakwa sekaligus biaya operasional seluruhnya sebesar Rp2.600 milliar, dengan perhitungan per towernya sebesar Rp260 juta, dan disepakati Ockyanto, setelah berbicara dengan Herman Setyabudi selaku Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastructure.
“Pada bulan Juni 2015, Ockyanto menyerahkan uang seluruhnya sebesar Rp2.600 milyar kepada Nabiel Titawano melalui transfer ke Rekening Bank BCA cabang Pondok Indah Nomor rekening 04980347678 atas nama Nabiel Titawano dalam tiga tahap yakni ; Tanggal 10 Juni 2015 sebesar Rp780 juta; Tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp780 juta rupiah); Tanggal 30 Juni 2015 sebesar Rp1.040 milyar,” ungkap JPU KPK
“Dari total uang sebesar Rp2.600 milyar yang diterima Nabiel Titawano tersebut, sebesar Rp2.410 milyar diserahkan kepada Agus Suharyanto secara bertahap, yakni I. Sekitar awal bulan Juni 2015 diberikan secara tunai sebesar Rp220 juta,; 2. Tanggal 11 Juni 2015 melalul transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp350 juta,; 3. Tanggal 11 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp300 juta,; 4. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 5. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 6. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 7. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 8. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 9. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 10.Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Vici Dwi Indarta sebesar Rp220 .juta. Sedangkan sebesar Rp190 juta dinikmati Nabiel Titawano,” beber JPU KPK kemudian.
Dari total uang yang diterima Agus Suharyanto seluruhnya sebesar Rp2.410 milliar itu, kemudian diserahkannya kepada Moh. Ali Kuncoro secara bertahap, dengan rincian sebagai berikut : 1. Awal Juni 2015 rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Awal Juni 2015 di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto sebesar Rp200 juta,; 3. Pertengahan Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 4. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar. Sedangkan sebesar Rp10 juta dinikmati Agus Suharyanto.
Dari total uang yang diterima Moh. Ali Kuncoro sebesar Rp2.400 milliar, dan Rp2.200 milliar diserahkan kepada Bambang Hayudi yaitu : 1. Tanggal 11 Juni 2015 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dlanggu, Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Tanggal 17 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 3. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar.
Sedangkan sebesar Rp100 juta diserahkan kepada Khoiru; Munif selaku Kepala Bidang Pelayanan Perizinan Terpadu yang mengurusi masalah pembayaran retribusi IMB, dan sebesar Rp100 .juta dinikmati Moh. Ali Kuncoro.
Sesuai perintah terdakwa, Bambang Wahyudi kemudian menyerahkan uang fee sebesar Rp2.200 milliar kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono secara bertahap yakni : 1. Sebesar Rp600 juta diserahkan di parkiran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo, pada bulan Juni 2015,; 2. Sebesar Rp600 juta diserahkan di sekitar masjid di daerah Merr, Mojokerto, pada bulan Juni 2015,; 3. Sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing, Mojokerto, pada tanggal 30 Juni 2015
Selanjutnya Nano Santoso Hudiarti alias Nono, atas perintah terdakwa menyerahkan fee itu kepada Lutfi Arif Muttaqin selaku ajudan terdakwa secara bertahap yakni ; 1. Sebesar Rp600 juta diserahkan di parklran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo,; 2. Sebesar Rp600 juta diserahkan di sekitar masjid di daerah Meri, Mojokerto,; 3. Sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing Mojokerto. Setelah menerima fee tersebut, Lutfi Arif Muttaqin menyimpannya di rumah dinas terdakwa dan setelah itu melaporkannya kepada terdakwa.
“Setelah merima fee, terdakwa kemudian mengeluarkan 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan 10 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di beberapa Desa dan beberapa Kecamatan Kabupaten Mojokerto, atas tower telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastucture/Tower Bersama Grup (TBG) yang diajukan oleh Herman Setya Budi dari PT Sulusindo Pratama antara bulan Juni hingga Juli 2015,” kata JPU
b. Penerimaan uang dari PT Protelindo atas penyegelan 11 tower telekomunikasi PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), Onggo Wijaya memerintahkan Indra Mardani dan Suciratin untuk menyelesaikannya, kemudian Indra Mardani dan Suciratin meminta bantuan Ahmad Suhawi, dimana Ahmad Suhawi menyanggupinya asal disediakan biaya termasuk fee untuk terdakwa. Akhirnya disepakati biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk terdakwa seluruhnya sebesar Rp3.030.612.247 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah).
Setelah ada kesepakatan, pada awal bulan Juni 2015, Ahmad Suhawi menemui terdakwa di Vila milik terdakwa, meminta bantuan terkait penyegelan tower telekomunikasi milik PT Protelindo, dimana terdakwa menyampaikan agar diurus melalui BPTPM Kabupaten Mojokerto. Setelah pertemuan itu, Ahmad Suhawi menemui Bambang Hayudi di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto, menanyakan tentang penyegelan tower telekomunikasi PT Protelido, Ialu Bambang Hayudi menyanggupinya.
Pada tanggal 22 Oktober 2015 sebesar Rp275.510.204 (dua ratus tujuh puluh lima juta lima ratus sepuluh ribu dua ratus empat rupiah). Dari total uang yang diterima Ahmad Suhawi sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) itu, sebesar Rp2.460 milliar diberikan kepada Subhan secara bertahap melalui cek dan melalui transfer dengan rincian sebagai berikut :
1. tanggal 16 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Utami Surabaya,; 2. tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Mercure Surabaya,; 3. tanggal 23 Juni 2015 sebesar Rp150 juta di Bank BRI Cabang Jembatan Merah Surabaya,; 4. tanggal 25 Juni 2015 secara tunai sebesar Rp850 juta di Bank BRI Mojokerto Cabang Mojopahit,; 5. 17 September 2015 melalui cek sebesar Rp460 juta di Gedung Bidakara. Sedangkan sisanya sebesar Rp570.612.255 (lima ratus tujuh puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) dinikmati Ahmad Suhawi
Sebelum Subhan menerima uang dari Ahmad Suhawi, yakni pada tanggal 20 Mei 2015, Subhan menemui Bambang Hayudi dan menyampaiakan bahwa PT. Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk terdakwa sebesar Rp2.200 milliar, atau sebesar Rp200 juta per towernya, dan la akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp550 juta kepada terdakwa. Setelah pertemuan itu, Bambang Hayudi meminta Khoirul Munif untuk segera memfinalisasi berkas permohonan pengurusan 11 Izin tower telekomunikasi milik Protelindo.
Pada tanggal 24 Juni 2015, Bambang Hayudi menemui terdakwa di ruang kerjanya, mengajukan permohonan rekomendasi pendirian 11 menara (tower) telekomunikasi dari PT Protelindo guna mendapatkan disposisi dari terdakwa. Sebelum memberikan disposisi, terdakwa menanyakan fee sebagaimana pernah disampaikan sebelumnya kepada Bambang Hayudi, dan mendapat jawaban uang fee telah disanggup
Pada tanggal 25 Juni 2015, Subhan dan Ahmad Suhawai melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi di perumahan Griya Permata Meri Mojokerto, guna menyerahkan uang muka sebesar Rp550 juta sebagai fee untuk terdakwa. Atas perintah Terdakwa sebelumnya agar uang fee diserahkan melalui Nano Santoso Hudiarti alias Nono, maka Bambang Hayudi kemudian menghubungi Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta datang ke perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto guna mengambil uang tersebut. Sesampainya Nano Santoso Hudiarti alias Nono ditempat tersebut, Subhan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp550 juta kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono.
“Setelah menerima uang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta Lutfi Arif Muttaqim untuk menemuinya di daerah Mojosari Mojokerto, dan setelah Lutfi Arif Muttaqim datang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono menyerahkan uang sebesar Rp550 .juta itu kepada Lutfi Arif Muttaqim, dan uang itu kemudian kemudian disimpan Lutfi Arif Muttaqim di meja kerja ruang dinas terdakwa, dan melaporkanya. Setelah uang diterima terdakwa, Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas 11 tower telekomunikasi PT Protelindo itupun diterbitkan” kata JPU
Bahwa terdakwa mengetahui atau patut menduga, bahwa uang seluruhnya sebesar Rp2.750.000.000 (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta ruplah) yang diterimanya dari Ockyanto sebesar Rp2.200.000.000 (dua milyar dua ratusjuta rupiah) dan dari Onggo Wijaya sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) melalui Bambang Wahyudi, Nano Santoso Hudiarti alias Nono dan Lutfi Arif Muttaqim.
Uang tersebut diberikan supaya terdakwa selaku Bupati Mojokerto memberikan rekomendasi terbitnya Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izln Mendlrikan Bangunan (IMB) atas beroperasinya Tower Telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (TBG) dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protellndo) di wilayah kabupaten Mojokerto.
“Padahal uang yang diterima oleh terdakwa bertentangan dengan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam: Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, angka 4 yang menyatakan : “Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. Angka 6 yang menyatakan : “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” kata JPU KPK dalam surat dakwaannya.
Selain itu, dan Pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Dislplin Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan: “Setiap PNS dilarang : menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.
“Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 12 huruf a (atau pasal 11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagalmana telah dlubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tlndak Pidana Korupsl juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana” ucap JPU KPK diakhir surat dakwaanya
Karena tak teriman atas surat dakwaan JPU KPK, Penasehat Hukum terdakwa akan mengajukan keberatan atau Eksepsi pada sidang berikutnya, an dikabulkan oleh Majelis Hakim.
Terkait Eksepsi atau keberatan atas surat dakwaan JPU KPK yang akan disampaikan oleh terdakwa, JPU KPK telah siap menghadapinya.
“Kita siap menghadapi,” ujar JPU KPK.
Apakah keberatan terdakwa atau dakwaan JPU KPK yang dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor ? Tunggu selanjutnya.....(Rd1)
Posting Komentar
Tulias alamat email :