0
Terdakwa Mustofa Kamal Pas, Bupati Mojokerto
beritakorupsi.co - Mariam Fatimah., S.H., M.H, adalah Ketua Tim Penasehat Hukum terdakwa Mustofa Kamal Pasa atau yang dikenal oleh masyarakat Mojokerto dengan panggilan MKP.

Sedangkan Si MKP (Mustofa Kamal Pasa) adalah Bupati Mojokerto untuk 2 periode sejak 2010 hingga 2021, yang menambah “DAFTAR HITAM” Kepala Daerah di Jawa Timur dalam kasus dugaan Korupsi, sementara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dibahwa kepemimpinanan Gubernur Sukarwo sejak 2009 hingga sekarang, juga banyak meraih piagam penghargaan sebagai tanda kesuksesaannya membangun Pemda Jatim.

Sebab Mustofa Kamal Pasa yang banyak kalangan masyarakat menyebutkan “kuat” sehingga tak tersenuth hukum, namun ternyata “keok” ditangan KPK. KPK telah menyiapkan “Tiket” seharga Rp2.7 milliar bagi Mutofa Kamal Pasa ke penjara selama beberapa tahun dengan melalui ketukan palu Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya.

Sebab MKP didakwa oleh JPU KPK telah menerima uang “haram” sebanyak Rp2.750.000.000 (dua milliar tujuh ratus lima puluh juta ruplah) di tahun 2015, untuk memberikan tandatangan di 11 kertas sebagai Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan 11 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diajukan oleh Onggo Wijaya disetujuinya. Lalu bagaiamana dengan tahun sebelum dan sesudah tahun 2015 ?????

Mungkin MKP tak menyangka, kalau duit yang “diterimanya” itu akan menjadi tiket termahal bagi dirinya untuk meringkuk dipenjara. Andai saja KPK tidak turun tangan, MKP pun akan terus melaju melangkahkan kakinya memimpin masyarakat Kabupaten Mojokerto hingga 2021, dan akan  senasib pula dengan Bupati Blitar Heri Nugroho dalam kasus pelepasan asset Daerah pada tahun 2013 yang hingga saat ini bebanr-benar “AmNyam” alias AMAN dan NYAMAN,  dan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko dalam kasus Korupsi pariwisata Kota Batu ke Balikpapan, Kalimantan pada tahun 2015 juga AmNyam dari kasus itu, namum bernasib buruk juga karena Si “Manusi Batu” itu “keok” setelah Tertangkap Tangan (TT) oleh KPK karena menerima uang suap.

Sedangkan dalam kasus yang menjerat MKP ini, bisa jadi banyak kalangan tertentu yang merasa kaget seperti disambar petir disiang bolong, selain dikatakan “kuat” juga tak banyak berita miring di media massa tetang MKP, sama seperti Wali Kota Malang Moch. Anton. Yang membuat kaget kalangan tertentu adalah saat KPK  mulai menelisik perbuatan MKP yang kemudian menetapkanya  menjadi terangka dan  dijebloskan ke penjara oleh KPK yang tak bisa “ditawar menawar sekalipun ada tim silumannya”.

Nah, karena tak terima Mustofa Kamal Pasa didakwa melakukan Tindak Pidana Korupsi oleh KPK, wanita bergelar S2 (Strata Dua) Sarjana Hukum, Mariam Fatimah selaku Penasehat Hukum terdakwa (Mustofa Kamal Pasa) menyampaikan keberatannya melalu surat Eksepsi yang dibacakan dalam persidangan dihadapan Majelis Haim, pada Jumat, 21 September 2018.

Anehnya, dalam surat Eksepsi yang dibacakannya dihadapan Majelis Hakim yang diketuai I Wayan Sosisawan mengatakan, bahwa surat dakwaan JPU KPK tidak jelas dan kabur. “Apakah kabur karena kurang jelas atau kurang jelas karena kabur?”

Alasan Mariam Fatimah dkk, karena JPU KPK tidak menyebutkan ada rekaman pembicaraan oleh terdakwa dengan pihak lain, dan kliennya Mustofa tidak ada menerima duit “haram” sama sekali.

Pada hal, Tim JPU KPK Joko Hermawan, Eva Yustisiana, Ni Nengah Gina Saraswati, Mufti Nur Irawan dan Nur Haris Harhadi baru membacakan surat dakwaan belum menunjukkan barang bukti serta menghadirkan saksi-saksi. Namun Mariam  Fatimah dkk bersama dengan terdakwa Mutofa Kamal Pasa sudah mengatakan kalau terdakwa tidak ada menerima duit dan tidak ada rekaman pembicaraan si MPK dengan pihak lain.

Harusnya, Mariam Fatimah dkk bersama terdakwa menunjukkan bukti, bahwa terdakwa tidak menerima uang “suap” seperti dalam dakwaan JPU KPK, serta membantah keterangan para saksi nanti dalam persidangan dengan memperlihatkan bkti-bukti pula. Karena dakwaan JPU KPK bukan dibuat begitu saja, melainkan dengan keterangan beberapa saksi maupun bukti-bukti yang cukup kuat yang akan diperlihatkan kehadapan Majelis Hakim untuk memenjarakan Mustofa Kamal Pasa atas perbuatannya.

Yang lebih anehnya lagi adalah, kalau Mariam Fatimah mengakui bahwa surat dakwaan JPU KPK secara formil dan matril sudah bagus. Selain itu, Mariam Fatimah juga mengakui kalau Eksepesinya hanya membahas Koronologis isi surat dakaan JPU KPK karena tidak menyebutkan adanya rekaman pembicaraan terdakwa dengan pihak lain.

Hal itu dikatakan Mariam Fatimah saat ditanya wartawan media ini seusai persidangan.

“Dari semua saksi itu ada rekaman, kenapa dari terdakwa tidak ada rekaman, itu aja sih menanggapi dakwaan tidak ada yang ini banget. Penerimaan uang itu kan tidak ada yang sampai ke klien saya, semuanya nggak ada,” kata Mariam Fatimah dengan yakin.

Ketika ditanya, terkait isi Eksepsi yang dibacakannya dihadapan Majelis Hakim yang mengatakan bahwa dakwaan JPU KPK kabur, wanita bergelar S2 (Strata Dua) Sarjana Hukum ini mangatakan, secara formil dan materil sudah bangus tetapi ada hal-hal tertentu tidak kongkrit.

“Secara Formil dan Materil sih sudah bagus, tetapi ada hal-hal tertentu tidak kongkri,” ujarnya.

Wartawan media ini kembali bertanya, Apakah eksepsi anda sudah masuk ke pokok materi?. Mariam Fatima sepertinya “bingung” menjelaskan.

“Materi sidang bisa, bisa masuk. Tapi yang memang kita keberatan disitu. Ya memang kita membahas dari kronologis dakwaan Jaksa tadi,” jawabnya

Wartawan media ini ingin jawab yang lebih jelas dari PH terdakwa lalu bertanya, “Berarti anda mengakui, kalau Eksepsi anda masuk ke pokok materi perkara?”. Lagi-lagi Mariam Fatimah sepertinya masih “bingung” juga untuk menjelaskan

“Ia, tidak juga. Ya memang kita keberatan seperti itu. Ia nanti ada materi yang mungkin ada yang ikut ke materi, itu Eksepsi kita”

“Andaikan Eksepsi anda ditolak, apakah anda sudah siap bukti-bukti bahwa dakwaan Jaksa, seperti yang anda katakan kabur ?,” tanya wartawan ini.

“Siap, bukti-bukti kita siap semuanya,” jawab Mariam Fatimah dengan memastikan.
Kasus yang menjerat Mustofa Kamal Pasa ini bermula pada awal tahun 2015, dimana Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto mendapat laporan dari Suharsono selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasat Pol PP) Kabupaten Mojokerto, bahwa di wilayah Kabupaten Mojokerto banyak ditemukan Tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Atas laporan itu, Terdakwa memerintahkan untuk dilakukan pemetaan dan pendataan jumlah Tower Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto yang belum memiliki izin.

Menindaklanjuti perintah terdakwa, Suharsono melakukan pemetaan dan menemukan ada sekitar 22 tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki IPPR dan IMB yakni 11 atas nama perusahaan PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (PT TBG) dan 11 atas nama PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT Protelindo). Atas temuan tersebut, Suharsono melaporkan kepada Terdakwa, dimana Terdakwa kemudian memerintahkan agar dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut sampai ada IPPR dan IMB.

Setelah dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut, terdakwa memerintahkan Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto, terkait perijinan dari tower dimaksud harus ada fee untuk terdakwa sebesar Rp200 juta per towernya, dan fee tersebut agar diserahkan melalui orang kepercayaan terdakwa yakni Nano Santoso Hudiarti alias Nono.

Dari surat dakwaan JPU KPK yang dibacakan dalam persidangan, membeberkan pula “perjalan duit” dari pengusaha Tower ke terdakwa sebagai berikut :

a. Penerimaan fee dari PT Tower Bersama Infrastructure Tower Bersama Grup (TBG) Beberapa hari setelah dilakukan penyegelan terhadap 11 tower telekomunikasi milik PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group (TBG). Sekitar awal tahun 2015, Ockyanto  meminta bantuan Nabiel Titawano untuk mengurus perizinan atas 11 tower yang disegel tersebut, dimana dalam perjalanannya, pengurusan perijinan dibantu oleh Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro

Dalam rangka pengurusan ijin tower tersebut, sekitar bulan April 2015, Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi. Dalam pertemuan itu,  Bambang Hahyudi menyampaikan untuk mendapatkan IPPR dan IMB harus disediakan fee sebesar Rp220 juta per tower dengan rincian;  Rp200 juta untuk terdakwa dan Rp20 untuk UKL dan UKP. Sehingga fee untuk 11 tower yang harus disiapkan adalah sebesar Rp2.420 milliar.

Permintaan itu disanggupi Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro, dan akan disampaikan kepada Nabiel Titawano selaku pihak yang mewakili PT TBG. Beberapa hari setelah pertemuan, Agus Suharyanto menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Nabiel Titawano dan disepakati oleh Nabiel Titawano.

Selanjutnya Nabiel Titawano menemui Ockyanto menyampaikan, bahwa ia sanggup mengurus ijin tower, tetapi harus disiapkan fee untuk terdakwa sekaligus biaya operasional seluruhnya sebesar Rp2.600 milliar, dengan perhitungan per towernya sebesar Rp260 juta, dan disepakati Ockyanto, setelah berbicara dengan Herman Setyabudi selaku Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastructure.

Pada bulan Juni 2015, Ockyanto menyerahkan uang seluruhnya sebesar Rp2.600 milyar kepada Nabiel Titawano melalui transfer ke Rekening Bank BCA cabang Pondok Indah Nomor rekening 04980347678 atas nama Nabiel Titawano dalam tiga tahap yakni ; Tanggal 10 Juni 2015 sebesar Rp780 juta; Tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp780 juta rupiah); Tanggal 30 Juni 2015 sebesar Rp1.040 milyar.

Dari total uang sebesar Rp2.600 milyar yang diterima Nabiel Titawano tersebut, sebesar Rp2.410 milyar diserahkan kepada Agus Suharyanto secara bertahap, yakni  I. Sekitar awal bulan Juni  2015 diberikan secara tunai sebesar Rp220 juta,; 2. Tanggal 11 Juni 2015 melalul transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp350 juta,; 3. Tanggal 11 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp300 juta,; 4. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 5. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 6. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia  dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 7. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 8. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 9. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia  dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 10.Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Vici Dwi Indarta sebesar Rp220 .juta. Sedangkan sebesar Rp190 juta dinikmati Nabiel Titawano.

Dari total uang yang diterima Agus Suharyanto seluruhnya sebesar Rp2.410 milliar itu, kemudian diserahkannya kepada Moh. Ali Kuncoro secara bertahap, dengan rincian sebagai berikut : 1. Awal Juni 2015 rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Awal Juni 2015 di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto sebesar Rp200 juta,; 3. Pertengahan Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 4. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar. Sedangkan sebesar Rp10 juta dinikmati Agus Suharyanto.

Dari total uang yang diterima Moh. Ali Kuncoro sebesar Rp2.400 milliar, dan Rp2.200 milliar  diserahkan kepada Bambang Hayudi yaitu : 1. Tanggal 11 Juni 2015 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dlanggu, Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Tanggal 17 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 3. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar.

Sedangkan sebesar Rp100 juta diserahkan kepada Khoiru; Munif selaku Kepala Bidang Pelayanan Perizinan Terpadu yang mengurusi masalah pembayaran retribusi IMB, dan sebesar Rp100 .juta dinikmati Moh. Ali Kuncoro.

Sesuai perintah terdakwa, Bambang Wahyudi kemudian menyerahkan uang fee sebesar Rp2.200 milliar kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono secara bertahap yakni : 1. Sebesar Rp600 juta  diserahkan di parkiran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo, pada bulan Juni 2015,; 2. Sebesar Rp600 juta diserahkan di sekitar masjid di daerah Merr, Mojokerto, pada bulan Juni 2015,; 3. Sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing, Mojokerto, pada tanggal 30 Juni 2015

Selanjutnya Nano Santoso Hudiarti alias Nono, atas perintah terdakwa menyerahkan fee itu kepada Lutfi Arif Muttaqin selaku ajudan terdakwa secara bertahap yakni ; 1. Sebesar Rp600 juta diserahkan di parklran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo,; 2. Sebesar Rp600 juta  diserahkan di sekitar masjid di daerah Meri, Mojokerto,; 3. Sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing Mojokerto. Setelah menerima fee tersebut, Lutfi Arif Muttaqin menyimpannya di rumah dinas terdakwa dan setelah itu melaporkannya kepada terdakwa.

Setelah merima fee, terdakwa kemudian mengeluarkan 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan 10 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di beberapa Desa dan beberapa Kecamatan Kabupaten Mojokerto, atas tower telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastucture/Tower Bersama Grup (TBG) yang diajukan oleh Herman Setya Budi dari PT Sulusindo Pratama antara bulan Juni hingga Juli 2015.

b. Penerimaan uang dari PT Protelindo atas penyegelan 11 tower telekomunikasi PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), Onggo Wijaya memerintahkan Indra Mardani dan Suciratin untuk menyelesaikannya, kemudian Indra Mardani dan Suciratin meminta bantuan Ahmad Suhawi, dimana Ahmad Suhawi menyanggupinya asal disediakan biaya termasuk fee untuk terdakwa. Akhirnya disepakati biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk terdakwa seluruhnya sebesar Rp3.030.612.247 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah).

Setelah ada kesepakatan, pada awal bulan Juni 2015, Ahmad Suhawi menemui terdakwa di Vila milik terdakwa, meminta bantuan terkait penyegelan tower telekomunikasi milik PT Protelindo, dimana terdakwa menyampaikan agar diurus melalui BPTPM Kabupaten Mojokerto. Setelah pertemuan itu, Ahmad Suhawi menemui Bambang Hayudi di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto, menanyakan tentang penyegelan tower telekomunikasi PT Protelido, Ialu Bambang Hayudi menyanggupinya.

Pada tanggal 22 Oktober 2015 sebesar Rp275.510.204 (dua ratus tujuh puluh lima juta lima ratus sepuluh ribu dua ratus empat rupiah). Dari total uang yang diterima Ahmad Suhawi sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) itu, sebesar Rp2.460 milliar diberikan kepada Subhan secara bertahap melalui cek dan melalui transfer dengan rincian sebagai berikut :

1. tanggal 16 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Utami Surabaya,; 2. tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Mercure Surabaya,; 3. tanggal 23 Juni 2015 sebesar Rp150 juta di Bank BRI Cabang Jembatan Merah Surabaya,; 4. tanggal 25 Juni 2015 secara tunai sebesar Rp850 juta di Bank BRI Mojokerto Cabang Mojopahit,; 5. 17 September 2015 melalui cek sebesar Rp460 juta di Gedung Bidakara. Sedangkan sisanya sebesar Rp570.612.255 (lima ratus tujuh puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) dinikmati Ahmad Suhawi

Sebelum Subhan menerima uang dari Ahmad Suhawi, yakni pada tanggal 20 Mei 2015, Subhan menemui Bambang Hayudi dan menyampaiakan bahwa PT. Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk terdakwa sebesar  Rp2.200 milliar, atau sebesar Rp200 juta per towernya, dan la akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp550 juta kepada terdakwa. Setelah pertemuan itu, Bambang Hayudi meminta Khoirul Munif untuk segera memfinalisasi berkas permohonan pengurusan 11 Izin tower telekomunikasi milik Protelindo.

Pada tanggal 24 Juni 2015, Bambang Hayudi menemui terdakwa di ruang kerjanya, mengajukan permohonan rekomendasi pendirian 11 menara (tower) telekomunikasi dari PT  Protelindo guna mendapatkan disposisi dari terdakwa. Sebelum memberikan disposisi, terdakwa menanyakan fee sebagaimana pernah disampaikan sebelumnya kepada Bambang Hayudi, dan mendapat jawaban uang fee telah disanggup

Pada tanggal 25 Juni 2015, Subhan dan Ahmad Suhawai melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi di perumahan Griya Permata Meri Mojokerto, guna menyerahkan uang muka sebesar Rp550 juta sebagai fee untuk terdakwa. Atas perintah Terdakwa sebelumnya agar uang fee diserahkan melalui Nano Santoso Hudiarti alias Nono, maka Bambang Hayudi kemudian menghubungi Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta datang ke perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto guna mengambil uang tersebut. Sesampainya Nano Santoso Hudiarti alias Nono ditempat tersebut, Subhan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp550 juta kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono.

Setelah menerima uang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta Lutfi Arif Muttaqim untuk  menemuinya di daerah Mojosari Mojokerto, dan setelah Lutfi Arif Muttaqim datang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono menyerahkan uang sebesar Rp550 .juta itu kepada Lutfi Arif Muttaqim, dan uang itu kemudian  kemudian disimpan Lutfi Arif Muttaqim di meja kerja ruang dinas terdakwa, dan melaporkanya. Setelah uang diterima terdakwa, Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas 11 tower telekomunikasi PT Protelindo itupun diterbitkan.

Bahwa terdakwa mengetahui atau patut menduga, bahwa uang seluruhnya sebesar Rp2.750.000.000 (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta ruplah) yang diterimanya dari  Ockyanto sebesar Rp2.200.000.000 (dua milyar dua ratusjuta rupiah) dan dari Onggo Wijaya sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) melalui Bambang Wahyudi, Nano Santoso Hudiarti alias Nono dan Lutfi Arif Muttaqim.

Uang tersebut diberikan supaya terdakwa selaku Bupati Mojokerto memberikan rekomendasi terbitnya Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izln Mendlrikan Bangunan (IMB) atas beroperasinya Tower Telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (TBG) dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protellndo) di wilayah kabupaten Mojokerto.

Padahal uang yang diterima oleh terdakwa bertentangan dengan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam: Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, angka 4 yang menyatakan : “Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan  perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. Angka 6 yang menyatakan : “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, dan Pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Dislplin Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan: “Setiap PNS dilarang : menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.

Atas perbuatannya, terdakwa Mustofa Kamal Pasa pun diancam pidana penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a (atau pasal 11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagalmana telah dlubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tlndak Pidana Korupsl juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top