0
Terdakwa Susilo Prabowo alias Embun
#Asosiasi Gapensi “terlibat” bagi-bagi Proyek dan duit “haram” di Kabupaten Tulungagung. Duit “haram” itu mengalir juga ke Wakil Bupati Tulungagung dan DPRD Tulungagung, LSM, Wartawan serta Aparat Penegak Hukum#

beritakorupsi.co - Sidang perkara kasus Korupsi suap oleh terdakwa Susilo Prabowo, seorang pengusaha kontraktor terhadap 2 kepala Derah di Jawa Timur, yakni Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Tulungagung Sutrisno, dan Wali Kota Blitar Muh. Samanhudi Anwar, yangTertangkap Tangan oleh KPK pada Rabu, 6 Juni 2018 lalu, kembali degelar diruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya, pada Jumat, 7 September 2018.

Sidang yang berlangsung kali ini adalah dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang dihdairkan JPU KPK untuk yang pertama kalinya setelah pembacaan surat dakwaan pada minggu lalu (Jumat, 31 Agustis 2018).

Namun yang disidangkan kali ini adalah kasus suap terhadap Bupati Tulungagung Syahri Mulyo dan Kepala Dinas PU PR Kabupaten Tulungagung Sutrisno (Keduanya saat ini masih berstatus tersangka dan ditahan di KPK). Sementara kasus suap terhadap Wali Kota Blitar (berstatsu tersangka)masih menunggu tahap selanjutnya.

Pada Rabu, tanggal 6 Juni 2018, Susilo Prabowo alias Embun, pemilik PT. Jala Bumi Megah bersama Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, Sutrisno selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Tulungagung, dan Muh. Samanhudi Anwar Wali Kota Blitar ditangkap tim KPK karena diketahui terjadi suap menyuap.

Setelah ditangkap, diketahui dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik KPK terkait duit “haram” alias uang “suap” yang diberikan terdakwa Susilo Prabowo alias Embun terhadap  Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Tulungagung Sutrisno dan Wali Kota Blitar Muhammat Samanhudi Anwar sejak 2016, 2017 dan 2018, jumlahnya Spektakuler, puluhan milliaran.

Duit Haram itu sebagai kompensasi atau fee sebesar 10 persen dari nilai anggaran setiap proyek yang diberikan diawal tahun aanggaran oleh terdakwa Susilo Prabowo terhadap Dua kepala Daerah itu (Bupati Tulungagug dan Wali Kota Blitar) ditambah 2 persen setelah pembayaran proyek dilakukan. Tak tanggung-tanggung memang, duit haram puluhan milliaran yang keluar dari “dompet” terdakwa, diimbangi pula dengan puluhan proyek bernilai milliaran yang didapatkannya di Kabupaten Tulungagung maupun di Kota Blitar.

Kasus ini semakin membuka mata masyarakat Indonesia, terutama bagi KPK. Karena setiap Kepala Daerah bersama pengusaha yang tertangkap tangan KPK karena kasus suap, selalau berkaitan dengan bagi-bagi proyek yang didanai dari uang rakyat yang terkumpul melalui APBD. Sementara, bila yang tertangkap tangan itu adalah Kepala Daerah bersama anggota DPRD, sudah barangtentu berkaitan dengan pembahasan anggaran APBD, dan bila Kepala Daerah bersama Kepala Dinas, berkaitan dengan jual beli jabatan.

Berbeda dengan Kepala Desa/Lurah maupun PNS (Pegawai Negeri Spil) atau yang dikenal dijaman Naw ini ANS (Apratur Negara Spil) berkaitan dengan DD/ADD (Dana Desa/Alokasi Dana Desa, Prona atau sertifikat gratis), biasanya ditangkap Tim Saber Pungli Kejaksaan atau Kepolisian hanya penerima.

Dari hasil pekerjaan KPK dalam pemberantasan Korupsi di Jawa Timur sejak 2016, semakin menambah daftar HITAM bagi Kepala Daerah yang KORUPTOR, yang selama ini terlihat bersih dan behasil memimpin daerahnya, namun sebaliknya. Dari 38 Kabupaten/Kota, 12 Kepala Daerah dan 1 Kepala Kejaksaan negeri, puluhan anggota DPRD  serta beberapa Kepala Dinas sudah meringkuk dipenjara setelah lembaga anti Rasuah itu turun tangan menangkapnya, belum lagi “para pejabat yang sedang dibidik” oleh lembaga super body itu, dan inipula yang sedang ditungu-tunggu oleh masyarakat Jawa Timur. 

Apakah bagai-bagi Proyek bernilai milliaran yang dikerjakan para kontraktor itu karena adanya kedekatan pihak-pihak terkait dengan Kepala Daerah temasuk campur tangan Assosiasi Penguaha? Seperti yang terjadi di Tulungagung dan Blitar ini, yang tak menutup kemungkinan  bisa terjadi juga diberbagai daerah Kabupaten/Kota di 34 Provinsi Indonesia, diantaranya Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Selain duit haram dari terdakwa Susilo Prabow terhadap Bupati Syahri Mulyo, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Tungagung Sutris serta ke Wali Kota Blitar, ternyata mengalir juga ke Wakil Bupati dan DPRD Tulungagung.

Yang tak ketinggalan adalah Wartawan, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan Aparat Penegak Hukum (APH) juga mengalir sebagai “tutup mulut agar tak teriak”.

Sudah barang tentu, proyek yang dikerjakan oleh kontraktor itu akan menjadi “AnNyam alias Aman dan Nyaman dari berbagai gangguan” kecuali dari tangan KPK. 

Selain itu, duit haram itu masuk juga kekantong pejabat setingakt Kepala Seksi (Kasi) dan Kepala Bidang (Kabid) di Dinas PUPR Tulungagung. Bahkan Kepala Bidang PUPR Tulungagung merangkap menjadi Bendahara Umum, sebelum duit haram itu diantarkan ke orang nomor 1 di Kabupeten Tulungagung termasuk ke DPRD.

Hal ini terugkap, selain dari surat dakwaan JPU KPK juga dari keterangan saksi yang dihadirkan JPU KPK Dodi Soekmono, Abdul Basri, Mahardy Indra Putra, Nur Haris Arhadi, Agung Satrio Wibowo dan Mufi Nur Irawan dalam persidangan untuk terdakwa Susilo Prabowo yang diampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Agung Setiawan dan Jamaludin Arif dari Kota Semarang.

Jumat, 7 September 2018, pada sidang yang berlangsung dipimpin Ketua Majelis Hakim Agus Hamzah. Sementara saksi yang dihadirkan JPU KPK sebanyak 7 orang yang terdiri 4 Swasta, yakni 1. Adriana (Staf PT. Jala Bumi Megah milik terdakwa),; 2. Ari Kusumawati, Direktur PT Karya Graha yang juga pengurus Assosiasi Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia) Kabupaten Tulungagung,; 3. Dwi Basuki (Direktur CV Nindya Krida), dan 4. Eka Yong Tomo (Staf PT. Jala Bumi Megah milik terdakwa).

Dan 3 orang sakisi lainnya dari Dinas PUPR Kabupaten Tulungagung, diantaranya ; 1.Sulstyono (Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kab. Tulungagung),; 2. Evi Puspitasari (Kepala Bidang Tataruang dan Bangunan Dinas PUPR), dan 3. Sukarji (Kepala Bidang Dinas PUPR Kab. Tulungagung). Persidangan dilangsungkan dalam 2 session. Yang pertama adalah mendengarkan keterangan saksi dari pihak swastawa, sementara sidang kedua perkara yang sama dalah sakasi dari Dinas PUPR

Kepada Majelis Hakim, saksi Ari Kusumawati selaku Direktur PT Karya Graha yang juga pengurus Assosiasi Gapensi Tulungagung ini menjelaskan terkait RAB (Rencana Anggaran Biaya) proyek, disiapkan oleh terdakwa Susilo Prabowo, sedangkan nilainya oleh staf terakwa yaitu Adriana.

Anehnya, saksi Ari Kusumawati ternyata mengetahui juga besaran fee yang diterima oleh Wali Kota Blitar termasuk ke Bupati Tulungagung dan DPRD dari setiap proyek yang dikerjakan oleh terdakwa.

“Fee 10 persen dari pagu anggraan proyek diberikan diawal tahun. Ke Maryoto, Wakil Bupati 300 juta, anggota DPRD Sutryono dari PDIP 445 juta, ke Sutrisno 160 juta. Terdakwa pernah pinjam bendara saya untuk pekerjaan di Blitar. Tahun 2017 sebesar 15 persen dari 4,3 Milliar dikurangi pajak, jadi sekitar 160 juta,” kata saksi Ari Kusumawati.

Saat JPU KPK menanyakan terkait nama-nama yang “ikut” dalam bagi-bagi proyek ke terdakwa, saksi Ari Kusumawati mengatakan ada beberapa nama diantaranya Anjanari, Santoso, Mawardi, Dolly, Sucipto Indro, Basuki, Rahmat, Basuki dan saksi sendiri. Mereka inilah yang mengurusi sebanayk 450 pengusaha dan memperoleh sebesar Rp150 juta.

Sementara saksi Eka Yong Tomo menjelaskan, bahwa dirinya diminta oleh terdakwa untuk menghitung fee dari proyek yang dikerjakan terdakwa untuk diberikan terhadap Bupati Tulungagung. Pengakuan saksi Eka Yong Tomo ini adalah menjawab pertanyaan JPU KPK maupun Majelis Hakim.

“Sekitar tanggal 31 Mei 2018, Saya diminta untuk menghitung perolehan dari proyek-proyek. “Kalau 1 persen dari 1.5 Milliar berapa fee ke Bupati melalui Agung Prayitno, orang dekat Bupati,” jawab saksi Eka sambil menurikan perintah terdakwa.

Saat ditanya Majelis Hakim, berapa yang diperoleh terdakwa dari proyek-proyek yang dikerjakan oleh terdakwa. Saksi Eka Yong Tomo mengatakan ada sekitar 30 milliar dari tahun 2016 samapai 2018.

Sementara saksi Dwi Basuki selaku Direktur CV Nindya Krida, kepada Majelis Hakim mengatakan, bahwa besaran fee di Tulungagung sebesar 10 persen dari nilai proyek pekerjaan, dan diberikan 5 persen di awal tahun sebelum proyek dikerjakan, dan sisanya setelah pekerjaan selesai.

Dari keterangan Dwi Basuki inilah terungkap pula, bahwa yang meminta fee tersebut adalah Assosiasi Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia). Apakah Gapensi selama ini berperan penting untuk bagi-bagi proyek dan meminta fee ?. Saksi juga menjelaskan, bahwa pernah memberikan “Fulus” ke Bupati Tuliungagung melalui Tim Suksesnya

“Di Tulungagung 10 persen dari nilai proyek pekerjaan, diberikan diawal sebesar 5 persen dan 5 persen diakhir, yang minta Assosiasi. Pernah ngasih 2 Milliar ke Syari Mulyo melalui Tim Suksesnya. “Tak salah memang, bila seorang calon Kepala Daerah yang kemudian terpilih, maka Tim suksesnya turut juga merih kesuksesan”.

Pada sidang session ke II ini lebih menarik dari session I. Sebab, Kepala Seksi (Kasi) Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupaten Tulungagung ini ternyata menerima juga duit “haram” itu. Yang menurut saksi Sulstyono selaku Kasi Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kab. Tulungagung mengatakan, meneriam Rp1 juta dai setiap proyek yang dikerjakan terdakwa.

“Saya terima Rp1 juta dari setiap pekerjaan, totalnya Rp10 juta. Itu uang haram, saya bersedia mengembalikan,” kata saksi ini.


Namun JPU KPK sepertinya tak begitu saja percaya atas keterangan saksi yang menerima uang dari hasil proyek yang dikerjakan terdakwa yang bernilai milliaran itu.

Bayangkan saja, total proyek yang didapatkan terdakwa Susilo Prabowo di tahun 2016 di Kabupaten Tulungagung sebayak 6 proyek pekerjaan dengan total nilai anggaran seluruhnya sebesar Rp75.358.672.000 (tujuh puluh lima miliar tiga ratus lima puluh delapan juta enam ratus tujuh puluh dua ribu mpiah). Dan Tahun 2017 ada 9 (sembilan) proyek infrastruktur jalan dan jembatan, yang nilai kontrak seluruhnya sebesar Rp40.393.643.000 (empat puluh miliar tiga ratus sembilan puluh tiga juta enam ratus empat puluh tiga ribu rupiah), serta tahun 2018 sebanyak 6 (enam) proyek Infrastruktur jalan dan jembatan dengan nilai kontrak seluruhnya sebesar Rp31.067.134.000,00 (tiga puluh satu miliar enam puluh tujuh juta seratus tiga puluh empat ribu rupiah). Atau total anggaran APBD untuk 21 proyek sejak tahun 2016, 2017 dan 2018 sebesar Rp146.819.449.000 (seratus empat puluh enam milliar delapan ratus Sembilan belas juta empat ratus emapt puluh sempilan ribu rupiah). Yakinkah saksi ini hanya menerima Rp10 juta dari proyek yang dikerjakan terdakwa ?

Selain itu, saksi juga mengakui, bahwa penarikan fee 10 persen dari setiap proyek pekerjaan  sudah tidak rahasia umum lagi. Selain itu, saksi juga mengakui danya bagi-bagi proyek di Dinas PUPR untuk beberapa kontraktor yang salah satunya dalah terdakwa.

“Sudah nggak rasia umum lagi kalau itu. Ada Spsesifikasi Khusus yang digunkana untuk memenangkan proyek,” kata saksi lagi.

Apa yang dikatakan saksi ini, tak salah bila masyarakat menduga, bahwa proyek kwalitasnya “buruk dan cepat rusak” karena adanya permaianan “busuk” oleh berbagai pihak, namun AnNyam alias Aman dan Nyaman berbagai telisik kecuali dari KPK.

Bayangkan saja, bila nilai proyek sebesar Rp2 milliar dikurangi fee 10 persen untuk Kepala Daerah, 12 persen pajak PPh/PPn, dikurangi lagi untuk  keuntungan pihak kontraktor antara 10 - 15 persen, sehingga yang tersisa sekitar Rp1.5 milliar. Apakah anggaran dari Rp2 Milliar itu menjadi Rp1.5 Milliar dapat menegerjakan proyek sesuai dengaan Spesifikasi yang dibuat oleh tim perencanaan ?

Lalu, kemana TP4D (Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan) yang dibetuk tahun 2015 yang didalamnya salah satunya Kejaksaan selaku Aparat Penegak Hukum (APH), sementara terjadi bagi-bagi proyek dan penarikan fee 10 persen, serta proses pengadaan melalui  ULP (Unit Layanana Pengadaan) tak sesuai lagi ????.

Apakah ini salah satu dari dakwaan JPU KPK yang menyebutkan, bahwa aliran duit itu ada ke APH ???? Apakah APH yang dimaskud oleh JPU KPK dalam dakwaannya akan dihadirkan juga sebagai saksi ke persidangan, agar perkara ini lebih terbuka dan terang benderang ?

Sedangkan keterangan saksi  Evi Puspitasari selaku Kepala Bidang Tataruang dan Bangunan Dinas PUPR yang tidak ada kaitannya jabatannya dengan proyek yang dikerjakan terdakwa, namun turut juga mengumpulkan duit “haram” itu. Menurut saksi, bahwa fee yang disetorkan melalui sakis langsung serahkan ke pimpinannya yaitu Sutrisno selaku Kepala Dinas PUPR. Kemana duit “haram” itu, saksi tidak tau.

“Fee yang melaui saya, langsung saya laporkan ke pimpinan. Kemana selanjutnya saya kurang tau,” kata saksi.

 Terkait bagi-bagi proyek, ternyata tidak hanya dibidang proyek Jalan dan Jembatan, melainkan ada juga dibidang yang dibawah saksi. Menurut saksi, pembagian proyek itu dilakukan diawal tahun, dan semua ditentukan oleh Kepala Dinas. Saksi yang sebebatas melakukan pemetaan terhadap proyek-proyek yang akan dilelalang.

Mengenai fee 10 persen dari proyek-proyek yang dilakukan oleh terdakwa, ternyata terkumpul juga di Kepala Bidang PUPR Sukarji. Sukarji langsung menerima dari terdakwa dengan julah milliaran rupiah. Dari Sukarji, kemudian diambil oleh Sutrsino sesuai kebutuhan pejabat mana yang akan diberikan. Yang menurut saksi, ada yang ke Bupati dan ada juga yang ke Dewan.

“Seingat saya, ada yang 500, ada yang satu milliar, ada yang dua milliar. Pak Tris meminta katanya ke Bupati dan Dewan dan ke Provinsi, tapi saya kurang tau siapa. Uang itu saya terima langsung dari terdakwa,” kata saksi Sukarji.

Terkait bagi-bagi proyek, saksi mengetahui. Namun untuk proses selanjutnya saksi tidak mengetahui. Hal itu dijelaskan saksi menjawab pertanyaan JPU KPK tentang bagi-bagi proyek, sehingga  pada saatdilakukan lelang, yang terjadi adalah pewaran yang tidak sehat karena karena setiap kontraktor sudah mendapat jatah masing-masing.

Saat JPU KPK kembali menanyakkan perusahaan pendamping yang diikutsertakan terdakwa pada saat lelang, menurit saksi tidak mengetahuinya. Aneh memang, bila setingkat Kepala Bidang tidak tau banyak tentang proyek yang ada dibawah kendalinya. Sepertinya pemerintah perlu menyediakan anggaran untuk membeli alat uji kebohongan dalam persidangan, Khususnya dalam perkara Koruspi, agar terang benderang serta saksi dapat lebih jujur maupun berterus terang. “Supaya tidak ada dusta diantara saksi dengan pihak-pihak yang terlibat”

“Ada nggak ke Pak Syahri Mulyo (Bupati Tulungagung) uang dariproyek-proyek ini?,” tanya JPU KPK sambil menunjukkan buku catatan “HITAM”  milik saksi kehadapan Majelis Hakim, yang dijawab saksi “Ada”, namun saksi tiba-tiba “sakit” lupa berapa jumlah uang “haram” itu yang diberikan ke Syahri Mulyo.

Dari buku catatan “HITAM” saksi diketahu, bahwa uang dari terdakwa diserahkan ke Bupati  Syahri Mulyo pada tahun 2017 sebesar Rp250 juta, uang yang berasal dari terdakwa. Ada juga dipergunakan untuk kegiatan Bupati yang mengadakan Wiyang tahun 2017, yang seharusnya dapat diambil anggaran APBD yang dianggaran dalam DIPA (daftar isian penggunaan anggaran). Yang menurut terdakwa, bahwa Ia hanya mencatat sesuai perintah Kepala Dinas PUPR. Selain itu, ada juga ke anggota DPRD Kabupaten Tulungagung dari Komisi B
Komisi B

Saksi juga mengungkapkan, bahwa uang “haram” itu juga disetorkan ke Provinsi. Menurut saksi, agar proyek dari Provinsi cepat cepat turun. Namun tak dapat menjelaskan, kepejabat mana di Provinsi Jatim yang menerima aliran dana itu. Saksi mengatakan, kalau dirinya hanya disuruh untuk menyiapkan, sementara yang berhubungan langsung adalah Sutrsino termasuk aliran dana ke Aparat Penegak Hukum.

“Saya hanya disuruh menyiapkan, ia saya siapkan,” jawab saksi.

Di Tulungagung menurut saksi, bahwa terdakwa menyerahkan fee 10 persen dari nilai anggaran proyek yang dikerjakan, biasanya diserahkan diawal tahun sebelum pekerjaan di kerjakan. Untuk tahun 2018, saksi menerima fee dari Susilo Prabowo di bulan November atau Desember tahun 2017. Sedangkan pekerjaan di tahun 2017, saksi menerima fee dari Susilo Prabowo pada November - Desember 2016. Selain fee diawal tahun 10 persen, ternyata ada lagi fee diakhir tahun, namun saksi tidak mengetahui besarannya berapa. Fee pekerjaan proyek ada juga yang diserahkan sitri terdakwa.

“Yang komunikasi dengan terdakwa adalah Pak Sutrisno, saya hanya disuru ngambil aja. Setelah saya ambli saya lapor. Uang saya bawa ke kantor,” kata saksi yang sempat menyebut nama Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Tulungagung, Dwi Setiawan yang “terlibat” dalam pengumpulan anggaran APBD.

 Berawa pada akhir tahun 2015, bersamaan dengan pembahasan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Tulungagung Tahun Anggaran (TA) 2016, Sutrisno atas perintah Syahri Mulyo, membuat pembagian proyek infrastuktur pada Dinas PUPR diberikan kepada beberapa penyedia barang/jasa  diantaranya ke terdakwa Susilo Prabowo dan Sony Sandra.

Pembagian proyek tersebut, kemudian diberikan oleh Sutrisno kepada terdakwa Susilo Prabowo alias Embun dan Sony Sandra. Dan sebagai kompensasi atas pembagian proyek itu, terdakwa bersedia untuk memberikan fee kepada Sutrisno dan Syahri Mukyo.

Pada saat pelelangan, terdakwa Susilo Prabowo dan Sony Sandra mengajukan penawaran terhadap proyek-proyek yang telah ditentukan oleh Sutrisno, sehingga tidak terjadi persaingan yang sehat antara terdakwa dengan Sony Sandra, karena terdakwa tidak akan mengajukan penawaran terhadap pekerjaan yang telah diberikan kepada Sony Sandra, demikian pula sebaliknya.

Terdakwa Susilo Prabowo mengajukan penawaran terhadap proyek yang telah diberikan kepadanya, dengan menggunakan perusahaan miliknya, disertai dengan peserta pendamping yang juga merupakan perusahaan milik terdakwa sendiri. Oleh karena itu, pada pelelangan tahun anggaran 2016,  terdakwa mendapatkan 6 (enam) proyek infrastruktur jalan dan jembatan dengan total nilai kontrak kurang lebih sebesar Rp75.358.672.000 (tujuh puluh lima miliar tiga ratus lima puluh delapan juta enam ratus tujuh puluh dua ribu mpiah). Proyek tersebut yakni ;

1. Peningkatan jalan ruas jalan Sumberdadap-Apakbrondol, ruas jalan Apakbrondol-Plandirejo, ruas jalan Pucanglaban-Molang senilai Rp18.795.455.000 berdasarkan kontrak tanggal 01 Juli 2016 yang dilaksanakan oleh PT. Jala Bumi Megah,; 2. Peningkatan jalan ruas jalan Kidangan-Purworejo (lanjutan), ruas jalan Gambiran -  Penampihan, ruas jalan Gandong-Sanan, dan ruas jalan Pagerwojo-Bendungan senilai Rp18.298.273.000  berdasarkan kontrak tanggal 01 Juli 2016 yang dilaksanakan oleh PT. Tata Karunia Abadi. 

3. Kemudian peningkatan jalan (overlay) ruas jalan Srikaton-Kaliboto, ruas jalan Jelipicisan, ruas jalan Sanggrahan-Junjung, ruas jalan Gondang-Dukuh, ruas jalan Punqu-Picisan, jalan Oerip Soemoharjo, Jalan I Gusti Ngurah Rai Gg. 8, Pembangunan konstruksi hotmix kawasan Gor Lembu Peteng senilai Rp18.965.669.000 berdasarkan kontrak tanggal 04 Agustus 2016 yang dilaksanakan oleh PT. Jala Bumi Megah,; 4. Overlay Jl.Hasanudin III, Jl.Pahlawan I-II-III & V, JI. P. Sudirman IV, Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo-Ringin Pitu, Jl. M. Sujadi I, ruas Jl. Bangoan Selatan, Jl. Mastrip I, ruas Jl. Plosokandang-Tunggulsari senilai Rp8.046.963.000 berdasarkan kontrak tanggal 14 Oktober 2016 yang dilaksanakan oleh PT. Tata Karunia Abadi,

5. Proyek Overlay ruas jalan Karangrejo-Catut senilai Rp5.211.198.000 berdasarkan kontrak tanggal 14 Oktober 2016 yang dilaksanakan oleh PT. Jala Bumi Megah,; 6. Overlay ruas Jl. Tunggangri-Betak, Jl. Tawang-Pagersari, JI. Karangtalun-Tumpaknongko senilai Rp6.041.114.000 berdasarkan kontrak tanggal 14 Oktober 2016 yang dilaksanakan oleh PT. Tata Karunia Abadi.

Bahwa pembagian proyek yang dilakukan oleh Sutrisno dan Syahri Mulyo pada tahun 2016, dilanjutkan juga untuk tahun 2017 dan 2018 yang diberikan untuk terdakwa Susilo Prabowo dan Soni Sandra sebelum proses lelang dimulai. Begitu juga dengan terdakwa, yang mengikuti prosese lelang di Dinas PUPR Kabupaten Tulungagung tahun 2017 dan 2018, terlebihdahulu memberikan fee seperti tahun 2016. Dan terdakwa hanya mengajukan penawaran terhadap proyek pekerjaan yang didapatkannya dengan menggunakan beberapa perusahaan miliknya sebagai peserta lelang
 
Pada tahun anggaran 2017, terdakwa mendapatkan 9 (sembilan) proyek infrastruktur jalan dan jembatan, dengan nilai kontrak seluruhnya sebesar Rp40.393.643.000 (empat puluh miliar tiga ratus sembilan puluh tiga juta enam ratus empat puluh tiga ribu rupiah) dengan perincian sebagai berikut ; 


1. Peningkatan jalan ruas Jalan Cuwiri-Pagerwojo senilai Rp3.759.023.000  berdasarkan kontrak tanggal 07 Juni 2017 Yang dilaksanakan oleh PT. Jala Bumi Megah,; 2. Peningkatan jalan ruas Jalan Karangtalun-Ngubalan senilai Rp4.931.487.000 berdasarkan kontrak tanggal 07 Juni 2017 yang dilaksanakan oleh PT . Tata Karunia Abadi.

3. Peningkatan/pelebaran jalan ruas Jalan Pucanglaban-Molang senilai Rp3.364.903.000  berdasarkan kontrak tanggal 22 Maret 2017 yang dilaksanakan oleh PT. Jala Bumi Megah,; 4. Peningkatan jalan (hotmix) ruas Jalan Sambitan-Bono, ruas Jalan Besuki-Keboireng dan ruas Jalan Pakisrejo-Tumpakmergo senilai Rp6.089.714.000 berdasarkan kontrak tanggal 13 September 2017 yang dilaksanakan oleh PT. Tata Karunia Abadi.

5. Peningkatan jalan (hotmix) ruas Jalan Punjul-Picisan, ruas Jalan Gendingan-Boro, ruas Jalan Desa Sukowiyono dan ruas Jalan Jarakan Mojoarum senilai Rp4.773.500.000 berdasarkan kontrak tanggal 20 September 2017 yang dilaksanakan oleh PT. Tata Karunia Abadi - PT. Roro Gendhis (KSO),; 6. Peningkatan jalan (hotmix) ruas Jalan Desa Plandaan, ruas Jalan BagoPlosokandang, ruas Jalan Supriadi IV (Pasar Pring), ruas Jalan Yos Sudarso III (lap. Pasar Pahing) dan ruas Jalan Gebang-Sanan senilai Rp5.214.146.000 berdasarkan kontrak tanggal 13 September 2017 yang dilaksanakan oleh PT. Jala Bumi Megah,; 7. Peningkatan jalan (hotmix) ruas Jalan Desa Tapan, Desa Tunggulsari, dan Desa Bangoan senilai Rp2.992.349.000,00 berdasarkan kontrak tanggal 13 September 2017 yang dilaksanakan oleh PT. Jala Bumi Megah.

8. Peningkatan jalan (overlay) ruas Jalan KarangtaIun-Ngubalan(lanjutan), Jalan Desa Ketanon, ruas Jalan Bangoan-Tapan, dan Jalan Desa Ringinpitu senilai Rp4.820.168.000 berdasarkan kontrak tanggal 25 Oktober 2017 yang dilaksanakan oleh PT. Jala Bumi Megah,; 9. Pemeliharaan berkala jalan ruas Jalan Bandung-Besuki dan ruas Jalan Tanggunggunung-Tumpakmergo senilai Rp4.448.353.000,00 (empat miliar empat ratus empat puluh delapan juta tiga ratus lima puluh tiga ribu rupiah) berdasarkan kontrak tanggal 12 Juni 2017 yang dilaksanakan oleh PT. Tata Karunla Abadi.

Pada tahun anggaran 2018, terdakwa Susilo Prabowo mendapatkan 6 (enam) proyek Infrastruktur jalan dan jembatan dengan nilai kontrak seluruhnya Rp31.067.134.000,00 (tiga puluh satu miliar enam puluh tujuh juta seratus tiga puluh empat ribu rupiah) dengan perincian sebagai berikut:

1. Pelebaran jalan ruas Jalan Karangrejo-Sendang senllal Rp7.895.999.000 berdasarkan kontrak tanggal 23 Maret 2018 yang dilaksanakan oleh PT. Tata Karunla Abadi,; 2. Peningkatan jalan (overlay) ruas Jalan Pulosari-Sumberejo Kulon, ruas Jalan Plosokandang-Tanjungsari, ruas Jalan Serut-Kepuh, ruas Jalan Hasanudin-Kapten Kasihin, ruas Jalan Desa Plandaan dan ruas Jalan Desa Ketanon senilai Rp5.265.440.000,00 berdasarkan kontrak tanggal 23 Maret 2018 yang dilaksanakan oleh PT. Tata Karunia Abadi.

3. Peningkatan jalan (overlay) ruas Jalan Kedungsoko-Gondang, ruas Jalan Panglima Sudirman Gg. I dan II, ruas Jalan Basuki Rachmad Gg. I, ruas Jalan Desa Ringinpitu dan ruas Jalan Bulusarl senllai Rp4.271.026.000,00 berdasarkan kontrak tanggal 29 Maret 2018 yang dilaksanakan oleh PT. Jala Buml Megah,; 4. Peningkatan jalan (overlay) ruas Jalan Ngantru-Padangan senilai Rp4.767.800.000 berdasarkan kontrak tanggal 23 Mel 2018 yang dilaksanakan oleh PT. Jala Buml Megah.

5. Pelebaran jalan ruas Jalan Panjerejo-Selorejo senilai Rp3.936.866.000 berdasarkan kontrak tanggal 23 Mei 2018 yang dilaksanakan oleh PT. Tata Karunia Abadi; 6.  Peningkatan jalan (overlay) ruas Jalan Karangtalun-Tumpaknongko senilai Rp4.930.003.000 berdasarkan kontrak tanggal 23 Mei 2018 yang dibicarakan oleh PT. Jala Bumi Megah.

Sebagai kompensasi dari proyek-proyek tersebut, terdakwa Susilo Prabowo atas permintaan Sutrisno memberikan fee pada saat pembahasan anggaran diawal tahun, dengan rincian ; 

1. Pada tanggal 27 November 2015 sejumlah Rp500 juta,; 2. Pada tanggal 16 Desember 2015 sebesar Rp500 juta,; 3. Pada November 2016 sejumlah Rp2.250 milliar, yang diberikan secara bertahap sebanyak 4 (empat) kali,; 4. Dan pada tanggal 11 November 2016 sejumlah Rp1.700 milliar,; 5. Serta pada bulan Desember 2016 sejumlah Rp700 juta. Aatu sebesar Rp5.650 milliar sejak November 2015 hingga Desember 2016.

Selanjutya Sutrisno menyerahkan sebagian uang tersebut kepada Syahri Mulyo melalui Sukarji, selaku Kepala Bidang Bina Marga Dinas PUPR Kabupaten Tulungagung, dan Yamani selaku Kepala Sub Bagian Perencanaan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tulungagung sebesar Rp500 juta pada setiap pembahasan anggaran tahun 2016 sampai dengan tahun 2018. Sehingga total duit “haram” yang diberikan ke Bupati Tulungagung Syahri Mulyo sebesar Rp1.5 milliar sejak tahun 2016 hingga 2018 atau setiap tahunnya sebesar Rp500 juta.

Duit “haram” sebesar Rp4.150 milliar lagi diberikan Sutrisno kepada anggota DPRD Kabupaten Tulungagung atas perintah Bupati Syahri Mulyo, guna memperlancar proses pembahasan anggaran APBD. Selain ke anggota DPRD, juga diberikan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), wartawan dan aparat penegak hukum (APH) guna mengamankan proyek-proyek yang sedang berjalan di Dinas PUPR Kabupaten Tulungagung, serta sebahagian lagi dipergunakan Sutrisno untuk kepentingan pribadinya.

Selain itu, pada bulan Januari 2018, Syahri Mulyo meminta sejumlah uang kepada Sutrisno untuk kepentingan operasional persiapan mengikuti Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah)  Kabupaten  Tulungagung tahun 2018. Sutrisno pun memberikan uang sejumlah Rp1 milliar di Pendopo Tulungagung, yang bersumber dari terdakwa.

Pada sekira Bulan Maret-April 2018, Syahri Mulyo kembali memerintahkan Sutrisno untuk meminta uang sejumlah Rp4 milliar kepada terdakwa untuk biaya operasional kampanye Syahri Mulyo yang akan mengikuti Pilkada Tulungagung tahun 2018. Dan untuk memudahkan penerimaan uang, Syahri Mulyo memerintahkan Sutrisno untuk memperkenalkan terdakwa dengan Agung Prayitno yang merupakan orang dekat Syahri Mulyo.

Atas perintah Syahri Mulyo, pada tanggal 23 Mei 2018, Sutrisno menghubungi terdakwa sekaligus memperkenalkan Agung Prayitno kepada terdakwa. Dalam pertemuan tersebut, Agung Prayitno menyampaikan permintaan uang dari Syahri Mulyo untuk biaya  kampanye dalam Pilkada Tulungagung tahun 2018. Atas permintaan tersebut, Terdakwa menyatakan akan memberikannya pada hari Jumat tanggal 25 Mei 2018.

Pada tanggal 25 Mei 2018, terdakwa menghubungi dan memerintahkan Agung Prayitno untuk ke rumah terdakwa mengambil uang permintaan Syahri Mulyo. Sesampainya Agung Prayitno di rumah terdakwa di Blitar, terdakwa memberikan uang kepada Agung Prayitno sejumlah Rp500 juta. Uang tersebut kemudian diberikan oleh Agung Prayitno kepada Syahri Mulyo di rumahnya.

Pada tanggal 30 Mei 2018, terdakwa kembali menghubungi dan memerintahkan Agung Prayitno guna mengambil uang permintaan Syahri Mulyo di rumah Terdakwa. Sesampainya Agung Prayitno dirumah terdakwa di Blitar, terdakwa memberikan uang sejumlah Rp1 miliar. Uang tersebut selanjutnya diserahkan oleh Agung Prayitno kepada Syahri Mulyo dirumahnya.

Pada tanggal 31 Mei 2018, terdakwa dihubungi oleh Agung Sutrisno dan diminta agar memberikan uang kepada Syahri Mulyo tidak secara bertahap karena Syahri Mulyo sedang membutuhkan banyak uang untuk Pilkada. Menanggapi permintaan tersebut, terdakwa menyampaikan, bahwa dirinya kesulitan menarik uang dari bank dalam jumlah besar karena  diawasi oleh otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun terdakwa tetap akan memberikan uang tersebut dengan keterangan transaksi (underlyng transaction) yang disamarkan ketika penarikan uang dari bank.

Pada tanggal 6 Juni 2018, terdakwa dihubungi oleh Agung Sutrisno untuk mengambil uang permintaan Syahri Mulyo. Atas penyampaian Agung Sutrisno, terdakwa mengarahkan agar Agung Sutrisno datang ke rumah terdakwa pada sore hari, dan menitipkan uang sejumlah Rp1  miliar kepada Andriani yang merupakan istri terdakwa, untuk diberikan kepada Agung Sutrisno.

Sesampainya dirumah terdakwa, Agung Sutrisno menghubungi terdakwa dan memberitahukan bahwa dirinya sudah di rumah terdakwa, yang kemudian dijawab oleh terdakwa bahwa uangnya sudah dititipkan pada istrinya (terdakwa). Selanjutnya Andrinani  memberikan uang  sebesar Rp1  miliar tersebut kepada Agung Sutrisno.

Selain memberikan “Embun” alias duit kepada Syahri Mulyo, terdakwa Susilo Prabowo alias Embun, juga memberikan “Fulus” terhadap Wali Kota Blitar Muh. Samanhudi Anwar, yakni ;

Pada awal tahun 2016, Hermansyah Permadi selaku Kepala Dinas PUPR Kota Blitar membuat daftar proyek yang akan dikerjakan oleh Dinas PUPR yang kemudian diserahkan kepada Wali Kota Muh. Samanhudi Anwar. Selanjutnya Muh. Samanhudi Anwar membuat pembagian atau pengalokasian proyek-proyek tersebut kepada beberapa penyedia barang/jasa diantaranya  terdakwa Susilo Prabowo alias Embun. Pembagian atau pengalokasian proyek tersebut kemudian diberitahukan kepada terdakwa dan memberikan pengarahan kepada Hemansyah Permadi terkait proyek yang akan diberikannya terhadap terdakwa dan penyedia barang/jasa lainnya.

Arahan tersebut kemudian ditindaklanti oleh Hemansyah Permadi dengan memberikan tanda pada daftar proyek yang akan dikerjakan oleh terdakwa. Selain itu, Hemansyah Permadi juga mengundang beberapa penyedia barang/jasa diantaranya terdakwa, Henryn Mulat, Sukamto, Sukarso dan perwakilan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi).

Dalam pertemuan itu, Hemansyah Permadi membagi proyek-provek yang di Dinas PUPR kepada beberapa penyedia barang/jasa termasuk sendiri. Sehingga pengaturan pemenang lelang tidak perlu melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP), karena masing-masing penyedia barang/jasa hanya akan mengajukan penawaran terhadap proyek sesuai jatah masing-masing, sebaliknya para  para penyedia barang/jasa tidak akan melakukan penawaran terhadap proyek yang telah diberikan kepada penyedia balang/jasa lainnya.

Pada saat pelelangan, terdakwa mengajukan penawaran terhadap proyek-proyek yang telah ditentukan oleh Muh. Samanhudi Anwar dan Hermansyah Permadi, sehingga tidak terjadi persaingan yang sehat karena terdakwa tidak akan mengajukan penawaran terhadap   pekerjaan yang telah diberikan kepada penyedia barang/jasa lainnya.

Terdakwa mengajukan penawaran terhadap proyek yang telah diberikan  kepadanya dengan menggunakan perusahaan miliknya disertai dengan peserta pendamping yang juga merupakan perusahaan milik terdakwa sendiri.

Pada awal tahun 2018, Muh. Samanhudi Anwar kembali melakukan pembagian atau pengalokasian proyek kepada terdakwa sebagaimana yang telah dilakukan pada tahun anggaran 2016 dan 2017. Proyek yang dialokasikan kepada terdakwa adalah proyek pembangunan fasilitas pendukung Stadion Supriyadi Blitar senilai Rp796.078.767,33 (tujuh ratus sembilan puluh enam juta tujuh puluh delapan ribu tujuh ratus enam puluh tujuh rupiah tiga puluh tiga sen) dan proyek pembangunan SMP Negeri 3 Blitar Tahap 2 tahun anggaran 2018.

Guna memastikan bahwa terdakwa mendapatkan proyek-proyek tersebut, pada tanggal 5 Juni 2018, terdakwa melakukan pertemuan dengan Muh. Samanhudi Anwar dan Bambang Purnomo alias Totok, yang merupakan orang kepercayaan Muh. Samanhudi Anwar di rumah dinas Walikota Blitar.

Dalam pertemuan itu, Muh. Samanhudi Anwar menunjuk terdakwa sebagai penyedia barang/jasa yang akan melaksanakan proyek Pembangunan SMP Negeri 3 Blitar Tahap 2, pada tahun anggaran 2018. Guna meyakinkan terdakwa, selanjutnya Muh. Samanhudi Anwar menghubungi Moch. Aminurcholis selaku Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika, dan Mohammad Sidik selaku Kepala Dinas Pendidikan, menanyakan mengenai ketersediaan dan jumlah anggaran untuk pembangunan SMP Negeri 3 Blitar Tahap 2 tahun anggaran 2018.

Atas pertanyaan Muh. Samanhudi Anwar, selanjutnya Mohammad Sidik menginformasikan bahwa anggaran pembangunan SMP Negeri 3 Blitar menyerahkan uang sejumlah Rp1.5 milliar   kepada Muh. Samanhudi Anwar.

Setibanya di rumah Bambang Purnomo alias Totok, terdakwa langsung memberikan uang tersebut kepada Bambang Purnomo alias Totok. Dan guna menghindari perbuatannya dipantau oleh aparat penegak hukum, terdakwa menyampaikan kepada Bambang Purnomom alias Totok,  agar tidak menghubungi Muh. Samanhudi Anwar dengan menggunakan sarana telepon atau Hand Phone.

Pemberian uang oleh terdakwa, karena Syahri Mulyo, Sutrisno dan Muh. Samanhudi Anwar telah memberikan beberapa proyek kepada terdakwa. Dan hal itu bertentangan dengan kewajiban Syahri Mulyo, Sutrisno dan Muh. Samanhud Anwar sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan 6 UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Pasal 23 huruf a, d, e dan f UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur $le Negara dan Pasal 67 huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah mubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentEng Pembahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Serta perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 5 ayat (1) huruf b (atau pasal 13) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang' Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Terkait keterlibatan beberapa pihak dalam kasus ini, menurut JPU KPK akan mempelajarinya sesuai fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan yang sedang bergulir. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top