0
Terdakwa M. Firmansyah Arifin (kiri) dan terdakwa M. Yahya
#Perusahaan AE Marine Pte Ltd dan Zhang Hong Pte Ltd asal Singapur ini diduga "terseret" kasus Korupsi  sebesar UD$1.963.725 dalam proyek fiktif Tengki Pendam PT DPS (Persero)#

beritakorupsi.co - “Teori tidak selalu sama dengan praktek”. Ungkapan ini barangkali tepat  dalam kasus Korupsi proyek fiktif pengadaan tengki pendam di Muara Sabak Jambi pada tahun 2010 lalu, senilai UD$20.216.645 yang merugikan keuangan negara Indonesia sejumlah UD$3,963,725 berdasarkan hasil penghitungan kerugian negara (HPKN) oleh BPKP RI Nomor SR-1205/ D5/2/2017 tanggal 28 Desember 2017 yang melibatkan 2 perusahaan Luar Negeri (LN) asal Singapura, yaitu AE.Marine Pte Ltd dan Zhang Hong Pte Ltd.

Sebab dalam beberapa kasus perkara Korupsi di Indonesia Khususnya di Jawa Timur, yang dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya disebutkan, turut bertanggung jawab, namun JPU (Jaksa Penuntut Umum) terlebih penyidik dari Aparat Penegak Hukum Kepolisian maupun Kejaksaan tak juga “melaksanakannya” putusan itu. “Karena mungkin dianggap, bukan Majelis Hakim yang menentukan seseorang menjadi terangka, tetapi berkuasa untuk menjatuhkan hukuman bebas atau pidana penjara”.

Diantaranya adalah; 1. Kasus perkara Korupsi pelepasan aset daerah Kabupaten Blitar tahun 2014,; 2. Kaus perkara Korupsi Pariwisata kota Batu 2015,; 3. Kasus Korupsi Kredit macet Bank Jatim Cabang Jombang yang melibatkan mantan anggota DPRD Kabupaten Jombang tahun 2010,; 4. Kasus Korupsi proyek Jembatan Kediri 2012. Sekalipun dalam putusan Majelis Hakim disebutkan pihak-pihak yang terlibat, namun hingga hari ini tak juga diseret ke Pengadilan Tipikor untuk diminta pertanggungjawab hukum atas terjadinya kerugian keuangan negara.

Selain itu, masih ada kasus Korupsi P2SEM sebesar Rp277 Milyar pada tahun 2008 yang melibatkan anggota DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2005 - 2009 yang hingga hari ini belum satupun ditetapkan menjadi tersangka, dan alm. Fathur Rojid mantan Ketua DPRD belum sempat mendengar hasil laporannya itu ke Kejati Jatim. Begitu juga dengan kasus perkara Korupsi pelepasan lahan untuk pembangunan Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, di mana mantan Rektormya sudah ditetapkan menjadi tersangka sejak 2014, dan Pejabat PPk nya sudah dipenjarakan. Tak kalah menariknya dengan salah satu kasus dugaan Korupsi di Surabaya, di mana Polda Jatim sempat mengirimkan SPDP ke Kejati Jatim hingga sempat menggemparkan jagad raya Indonesia Khususnya Kota Pahlawan menjelang Pilkada beberapa tahun lalu, serta kasus Korupsi JAPUNG (Jasa Pungut), di mana Ketua DPRD Kota Surabaya Musyafak Rouf suda selesai menjalani hukuman pidana penjara, namun hingga hari ini tak “jelas jejaknya”.

Pada hal dikatakan, bahwa Korupsi adalah suatu tindak pidana kejahatan yang luar biasa karena merugikan keuangan dan merusak perekonomian negara serta menyengsarakan rakyat, bukan pribadi melainkan rakyat yang berjumlah hampir 300 juta jiwa, namun pelaku korupsi masih banyak yang tak tersentuh hukum Khususnya yang memiliki “kekauatan”.

Berbeda dengan para pengendara yang melintas di jalan raya, di mana petugas dapat mengetahui langsung kalau sipengendara itu tidak mematuhi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas, tidak menyalakan lampu utama disiang hari, tidak membayar pajak tahunan dan STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) belum ada pengesahan dari Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah) sesuai dengan Perda (Peraturan Daerah) di masing-masing Provinsi takkan bisa lolos dari jeratan hukum (Tilang).

Sedangkan perusahaan asing yang terlibat dalam kasus dugaan Korupsi di Indonesia, tidak hanya kali ini saja. Pada tahun 2017, saat KPK melakukan Tangkap Tangan terhadap Agus Nugroho selaku Direktur Umum PT Persusa Sejati, dan Arif Cahyana selaku General Manager PT PAL, Saiful Anwar (Direktur Desain dan Teknologi merangkap Direktur Keuangan PT PAL) serta M. Firmansyah Arifin (Direktur Utama PT PAL), juga disebutkan dalam dakwaan JPU KPK maupun dalam putusan Majelis Hakim, terkait keterlibatan sebuah perusahaan asing di Filipina yaitu Ashanti Sales Inc yang menjadi agen PT PAL untuk pembangunan 2 kapal perang milik pemerintah Filipina yang memberikan Chas Back sebesar 1.5 persen dari nilai Kontrak 2 kapal perang jenis SSV.

Belum lagi pemilik PT Perusa Sejati, warga negara Indonesia yang tinggal dinegeri Paman Sam itu dan sudah ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, namun hingga hari ini tak juga berhasil diseret ke Pengadilan Negeri. Apalagi menghadirkan Liliosa L. Saavedra selaku CEO  Ashanti Sales Inc sebagai saksi di Pesidangan untuk terdakwa/terpidana 2 Direksi PT PAL.

Melihat dari beberapa kasus Korupsi di atas, salah satu diantaranya ditangani lembaga super body yang tidak bisa menghadirkan pengusaha Filipina serta pemilik perusahaan PT Perusa Sejati untuk diadili karena sudah berstatus tersangka, lalu bagaimana dengan kasus Korupsi proyek fiktif pengadaan tengki pendam di Muara Sabak Jambi pada tahun 2010 lalu, senilai UD$20.216.645 yang merugikan keuangan negara Indonesia sejumlah UD$3,963,725 berdasarkan hasil penghitungan kerugian negara (HPKN) oleh BPKP RI Nomor SR-1205/ D5/2/2017 tanggal 28 Desember 2017 yang melibatkan 2 perusahaan Luar Negeri (LN) asal Singapura, yaitu AE.Marine Pte Ltd dan Zhang Hong Pte Ltd. ?

Apakah Kejaksaan Indonesia akan berhasil meneyeret pemilik perusahaan Zhang Hong Pte Ltd,  Wong Cheng Lim dan Chia Lee Mee dari perusahaan AE Marine Pte Ltd ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk diadili seperti yang diucapak Majlelisa Hakim dalam putusannya ? atau cukup hanya dalam putusan Majelis Hakim saja ????

Baca juga : - Mantan Dirut PT DPS (Persero) Divonis  Penjara “7.2” Tahun Dalam Kasus 

                    korupsi UD$3.963.725
Berita yang sama :  - 2 Pengusaha Singapur “Masuk DPO  Interpol” Karena Kasus Korupsi
Berita sebelumnya : Sidang Korupsi PT Dok “Ada Udang Dibalik Batu”, Ketua Majeli Hakim

                             memerintahkan JPU untuk mengembangkan keterangan saksi Frederick

Sebab dalam persidangan yang berlasungung, Jum'at, 12 Oktober 2018, Majelis Hakim memerintahkan JPU dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk melakukan penuntutan serta memasukan Wong Cheng Lim dan Chia Lee Mee ke dalam daftar pencarian orang (DPO) dengan bekerjasama dengan pihak Interpol, karena keberadaan kedua pengusaha asal Singapur itu tidak diketahui “jejak kakinya”.

Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan tersebut adalah, karena uang sebesar UD$3.963.725 ditransfer oleh PT DPS ke perusahaan Singapur melalui Bank UOB Buana Jalan Embong Malang Surabaya ke Bank OCBC Singapore dengan Nomor rekening 503-009979-8301 secara bertahap, sebanyak 4 tahap, yaitu pada tanggal 15 November 2010, tanggal 17 Februari 2011, tanggal 21 Februari 2011 dan pada tanggal 11 April 2011. Dan uang sebesar itulah yang menjadi kerugian negara dan saat ini dibebankan terhadat 4 Direksi PT DPS yang menjadi terdakwa dalam kasus ini.


Sehingga Majelis Hakim memerintahkan JPU untuk melakukan penuntutan terhadap perusahaan AE Mariane Pte Ltd dan Zhan Hong Pte Ltd serta memasukkan Wong Cheng Lim dan Chia Lee Mee ke dalam daftar pencaharian orang (DPO) dengan bekerjasama dengan pihak Interpol (International Criminal Police Organization)

Perintah Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang diketuai I Wayan Sosisawan., SH., MH dengan dibantu 2 Hakim (Ad Hoch anggota) yaitu  Agus Sudarwanto., SH., MH dan Dr. Andrianodi ruang sidang Candra Pengadilan Tipikor Surabaya dalam agenda pembacaan surat putusan atas nama terdakwa M. Firmansyah Arifin selaku Dirut dan Yahya selaku Deriktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha di PT Dok Perkapalan Surabaya, dalam perkara kasus Korupsi proyek fiktif pengadaan tengki pendam di Muara Sabak Jambi pada tahun 2010 lalu, senilai UD$20.216.645 yang merugikan keuangan negara Indonesia sejumlah UD$3,963,725.

Namun demikian, mengingat kasus Korupsi proyek fiktif pengadaan tengki pendam di Muara Sabak Jambi pada tahun 2010 lalu, senilai UD$20.216.645 yang merugikan keuangan negara Indonesia sejumlah UD$3,963,725 ini ditangani oleh Kepolisian Republik Indonesia, tak sulit untuk menyeret kedua pengusaha Singapur itu untuk diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di negara Republik Indonesia berdsarakan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, bahwa terdakwa M. Firmansyah Arifin beserta Direksi lainnya, yaitu Nana Suryana Tahir, Muhammad Yahya dan I Wayan Yoga Djunaedi, menunjuk dan menandatangani kontrak dengan AE Marine Pte Ltd  Nomor 0100/Proc/ AEMarine/DPS/2010 tanggal 24 Agustus 2010 untuk pekerjaan tengki pendam di Muara Sabak Jambi pada tahun 2010 lalu, senilai UD$20.216.645.

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa M. Firmansyah Arifin bersama Direksi lainnya yaitu Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi tetap menyetujui untuk melakukan pembayaran uang muka dengan cara transfer kepada AE Mariane Pte Ltd di Bank OCBC Singapore dengan Nomor rekening 503-009979-8301 secara bertahap sebanyak 4 tahap dengan jumlah seluruhnya sebesar UD$3,963, UD$75.000 tanpa adanya jaminan atau Bank garansi, serta bukti pendukung lainnya, diantaramya kuitansi, laporan fisik pekerjaan dan berita acara terima barang dari AE Mariane Pte Ltd, melainkan hanya berupa invoice penagihan AE Mariane Pte Ltd. 

Majelis Hakim menjelaskan, bahwa terdakwa M. Firmansyah Arifin bersama Direksi lainnya yaitu Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi menandatangani dokumen pencairan berupa invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan untuk dilakukan pembayaran kepada AE Mariane Pte Ltd, serta Nana Suryana Tahir juga menandatangani aplikasi bukti transfer uang kepada AE Mariane Pte Ltd melalui Bank BII  Surabaya dan Bank UOB Surabaya tanpa Ada progres pekerjaan yang dilakukan oleh AE Mariane Pte Ltd di lapangan. Adapun pencairan pembayaran sebanyak 4 kali melalui transfer kepada AE Mariane Pte Ltd terjadi sebagai berikut ;

1. Tahap pertama pada tanggal 15 November 2010 sebesar UD$ 800.000 yang dibayarkan melalui Bank UOB Buana Jalan Embong Malang Surabaya, dan yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana. Sedangkan yang memberikan paraf pada invoice penagihan dari AE Marini Pte Lld sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya, yaitu terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan Muhammad Yahya,  Nana Suryana dan I Wayan Yoga Djunaedi.

2. Tahap ke- II Pada tanggal 17 Februari 2011 sebesar UD$100.000 dibayarkan melalui bank BII Jalan Pemuda Surabaya yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan Nana Suryana Tahir  dan Direktur Produksi I Wayan Yoga Junaedy. Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya.

3. Tahap ke- III pada tanggal 21 Februari 2011 sebesar UD$2.563.7215 yang dibayar melalui Bank UOB Buana Buana Jalan Embong Malang Surabaya yang mendatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana Tahir dan Direktur Pemasaran dan Pembangunan Usaha yaitu Muhammad Yahya. Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya.

4. Tahp ke IV pada tanggal 11 April 2011 sebesar UD$ 500.000  yang dibayar melalui Bank UOB Buana Jalan Embong Malang Surabaya yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana Tahir dan Direktur Pemasaran dan Pembangunan Usaha yaitu Muhammad Yahya.  Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi.

Pembayaran dari PT PDS ke AE Mariane Pte Ltd tersebut tidak sesuai dengan kontrak antara PT PDS dengan AE Mariane Pte Ltd yang seharusnya dengan cara Letter of Credit (L/C) dan tidak ada kewajiban PT PDS untuk melakukan pembayaran uang muka kepada AE Marine Pte Ltd.

Bahwa pada bulan Desember 2010, Joedy Punggih H selaku senior Manager engineering bersama dengan Agus Hadi Utomo selaku Project monitoring atas perintah Muhammad Yahya,  menandatangani progres fisik sebesar 25% atas pekerjaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, seolah-olah di lapangan sudah ada pekerjaan dengan progress sebesar 25%, dan Muhammad Yahya selaku Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha membuat debet nota invoice kepada PT Berdikari Petro Nomor 28/DPS-F1/10 tanggal 30 Desember 2010 dengan nilai Rp52.247.000.000 yang mengacu kepada bobot fiktif tersebut seolah-olah PT DPS akan melakukan penagihan kepada PT Berdikari Petro yang tujuannya agar progres dan invoice tersebut digunakan oleh terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya untuk dijadikan pengakuan pendapatan perusahaan. Sehingga para Direksi PT DPS mendapatkan tantiem atau bonus akhir tahun terhadap prestasi kerja PT DPS atas pekerjaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi.

“Bahwa pembayaran yang diterima oleh AE Mariane Pte Ltd dari PT DPS tersebut tujuannya bukan untuk pembayaran pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, melainkan digunakan untuk menutupi kekurangan pembelian bahan material pembuatan Dua kapal tanker milik PT Pertamina kepada Zhan Hong Pte Ltd sebesar UD$3,830,150 sebagaimana surat Protocol of agreement nomor 180/BA/DS/9/III/11 tanggal 19 September 2011 antara PT DPS  dengan Zhang Hong Pte Ltd dan AE Marine Pte Ltd yang ditandatangani oleh Muhammad Yahya dari pihak PT DPS, dan Wong Cheng Lim dari pihak Zhang Hong Pte Ltd serta Chia Lee Mee dari pihak AE Marine Pte Ltd. Pada hal untuk pembuatan kapal tanker milik PT Pertamina telah mempunyai kontrak antara PT DPS dengan PT Pertamina serta telah mempunyai anggaran tersendiri,” ungkap Majelis Hakim dalam amar putusannya.

Majelis Hakim melanjutkan, bahwa penunjukan Zhang Hong Pte Ltd sebagai supplier tunggal untuk pembelian bahan material pembuatan 2 unit kapal tanker milim PT Pertamina tidak melalui mekanisme yang berlaku sesuai Surat Keputusan Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya Nomor 025/kpts/DS/2/I/08 tentang peraturan pengadaan barang PT Dok dan Perkapalan Surabaya, yang seharusnya dengan RAB (rencana anggaran biaya) untuk pembelian bahan material pembuatan kapal tanker milik PT Pertamina dengan nilai UD$9,535,418 untuk 1 Kapal, PT DPS sudah mendapatkan keuntungan jika pembelian kepada mitra-mitra PT DPS, namun oleh karena terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya melakukan penunjukan langsung kepada Zheng Hong Pte Ltd  sebagai supplier tunggal untuk pengadaan bahan material pembuatan kapal milik PT Pertamina tersebut yang mengajukan penawaran senilai US$ 12, 607,750 untuk 1 unit kapal melampaui senilai UD$9,535,418, maka harga barang untuk pemenuhan satu kapal menjadi sebesar UD$12,607,750 atau lebih mahal dari pada pembelian kepada mitra-mitra PT DPS.

Dan selisih kekurangan biaya tersebut oleh terdakwa Firmansyah Arifin yang disetujui oleh Direksi lainnya, diambil dari pembayaran pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabak Jambi kepada AE Marini Pte Ltd senilai UD$3,963,721 yang beralamat di Singapur dan tidak memiliki perwakilan di Indonesia, yang saat ini tidak diketahui alamatnya. Begitu juga dengan Wong Cheng Lim dan Chia Lee Mee tidak diketahui keberadaannya.

Bahwa akibat perbuatan terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya, yakni Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedy telah mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara sebesar UD$3,963,725 (atau sekitar Rp35.063.047.625)  sebagaimana laporan hasil audit BPKP RI dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara Nomor SR-1205/ D5/2/2017 tanggal 28 Desember 2017.

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim memerintahkan JPU untuk melakukan penuntutan terhadap perusahaan AE Mariane Pte Ltd dan Zhan Hong Pte Ltd serta memasukkan Wong Cheng Lim dan Chia Lee Mee ke dalam daftar pencaharian orang (DPO) dengan bekerjasama dengan pihak Interpol (International Criminal Police Organization)

Terkait pembelaan terdakwa melalui Penasehat Hukumnya yang mengatakan, bahwa proses persidangan yang dianggap tidak berjalan baik karena JPU tidak menghadiekan Cheng Lim dan Chia Lee Mee dalam persidangan dapat memahaminya. Selain itu, Majelis Hakim juga mengatakan, “Bahwa tidak ditemukannya aliran dana terhadap terdakwa. Namun demikian, Majelis Hakim bersikap bijak untuk membebankan kerugian negara terhadap terdakwa yang ditentukan dalam amar putusan ini,” ucap Majelis Hakim.

“Mengadili ; 1. Menyatakan bahwa terdakwa Ir.M. Firmansyah Arifin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebgaiaman diancam dalam Pasal 3 junto pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP ; 2. Menghukum terdakwa Ir.M. Firmansyah Arifin  dengan hukuman pidana Penjara selama 4 (emapt) tahun dan 8 (delapan)  bulan, denda sebesar seratu juta rupiah. Bilamana terdakwa tidak membayar maka diganti kurungan selama 6 bulan ; Menjatuhkan pula hukuman tambahan terhadap terdakwa Ir.M. Firmansyah Arifin berupa membayar uang pengganti sebesar 28 persen dari total kerugian negara sejumlah UD$3.963.725 yaitu senilai UD$1.109.843. Apabila terdakwa tidak membayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan lelenag untuk menutupi kerugia negara. Bilamana harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka diganti penjara selama 2 tahun,” ucap Ketua Majelis Hakim I Wayan.

“Demikian putusan Majelis Hakim terhadap saudara. Jadi saudara punya hak untuk pikir-pikir, menerima atau banding. Hak yang sama juga kepada Jaksa Penuntut Umum. Apabila saudara tidak menentukan sikap dalam waktu 7 (tujuh) hari, berarti saudara dianggap menerima putusan ini,” pungka Ketua Majelis Hakim I Wayan.

Atas putusan Majelis Hakim tersebut, terdakwa setelah berkonsultasi dengan Penasehat Hukumnya maupun JPU sama-sama mengatakan pikir-pikir.

“Pikir-pikirlah dulu, tapi kemungkinan kita akan banding. Terdakwa yang dua (Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi), mereka itu banding,” kata JPU Katrin sesuai persidangan. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top