Terdakwa M. Firmansyah Arifin (Mantan Dirut PT DPS) |
beritakorupsi.co - “Sudah jatuh tertimpa tangga, lalu terinjak”. Ungkapan inilah yang barangkali menimpa Ir. M. Firmansyah Arifin, mantan Direktur Utama (Dirut) PT Dok dan Perkapalan (Persero) Surabaya.
Pasalnya, M. Firmansyah Arifin selaku mantan Dirut PT Dok dan Perkapalan (PT DPS) Persero Surabaya ini, juga mantan Dirut PT PAL Surabaya (Persero), sebuah perusahaan perkapalan terbesar di Indonesia milik pemerintah, yang saat ini berstatus terpidana 4 tahun penjara setelah Tertangkap Tangan KPK pada Maret 2017, dalam kasus Korupsi suap proyek pembangunan 2 kapal perang milik pemerintah Fhilipina tahun 2015 lalu sebesar UD$160 ribu dan UD$25 ribu, yang kemudian uang tersebut untuk membayar Dana Komando (DK) senjumlah Rp18.5 milyar ke Mabes TNI AL.
Tragisnya, belum selesai menjalani hukuman pidana 4 tahun penjara di Lapas Kelas I Khusus Surabaya, Porong Sidoarjo, Jawa Timur, kini M. Firmansyah Arifin harus menelan “pil pahit” setelah Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 4 tahun dan 8 bulan dari tuntutan JPU 7 tahun, dalam Kasus Korupsi proyek fiktif pengadaan tengki pendam di Muara Sabak Jambi pada tahun 2010 lalu, senilai UD$20.216.645 atau setara dengan nilai rupiah sebesar Rp179.928.140.879 yang merugikan keuangan negara sejumlah UD$3,963,725 atau setara dengan nilai rupiah sebesar Rp35.063.047.625 berdasarkan hasil penghitungan kerugian negara (HPKN) oleh BPKP RI Nomor SR-1205/ D5/2/2017 tanggal 28 Desember 2017
Selain hukuman badan, terdakwa yang juga terpidana ini di hukum pidana membayar uang denda sebesar Rp100 juta atau diganti kurungan selama 6 bulan bila tidak membayar. Dan juga hukuman pidana berupa mengembalikan kerugian negara 28 persen dari total UD$3.963.725 atau senilai UD$1.109.843. Bila tidak dibayar, Jaksa akan menyita harta bendanya setelah 1 bulan putuan Majelis Hakim berkekuatan hukum tetap atau Inckrah. Kalau harta bendanya tidak mencukupi, maka diganti dengan penjara selama 2 tahun lamanya dari tuntutan JPU selama 3 tahun. Sehingga hukuman yang diberikan Majelis Hakim terhadap terdakwa M. Firmansyah Arifin selama 7 tahun dan 2 bulan.
Terdakwa M. Firmansyah Arifin dan Muhamad Yahya saat berdiskusi dengan PH-nya atas Vonis dari Majelis Hakim |
Dalam Kasus Korupsi proyek fiktif pengadaan tengki pendam PT DPS ini, tidak hanya M. Firmansyah Arifin selaku Dirut yang terjerat, melainkan ada 3 Direksi lainnya yang menemaninya, yaitu Nana Suryana Tahir (Direktur Administrasi dan Keuangan), I Wayan Yoga Djunaedi (Direktur Produksi), dan Muhammad Yahya selaku Deriktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha di PT Dok Perkapalan Surabaya.
Ke- 4 Direksi Perusahaan milik Negara ini (M. Firmansyah Arifin, Nana Suryana Tahir, I Wayan Yoga Djunaedi dan Muhammad Yahya) dengan perkara masing-masingmasing terpisah, dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun yang disidangkan kali ini (Jum'at, 12 Oktober 2018), hanya terdakwa M. Firmansyah Arifin dan Muhammad Yahya. Sedangkan terdakwa Nana Suryana Tahir dan terdakwa I Wayan Yoga Djunaedi sudah divonis pada sidang sebeumnya (Senin, tanggal 8 Oktober 2018).
Hukuman pidana penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim bagi 3 (tiga) Direksi PT DPS ini masing-masing selama 4 tahun dan 3 bulan dari tuntutan JPU selama 5 tahun. Hukuman dendanya pun sama, yaitu masing-masing sebesar Rp Rp100 juta atau diganti kurungan selama 2 bulan jika tidak membayar. Hukuman pidana tambahan pun sama yaitu masing-masing24 persen dari total kerugian negara sejumlah UD$3.963.725 yaitu masing-masing UD$951.294. Apabila terdakwa tidak membayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan lelenag untuk menutupi kerugia negara. Bilamana harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka diganti penjara selama 1 tahun.
Sebelum menjatuhkan putusan itu terhadap terdakwa M. Firmansyah Arifin dan Muhammad Yahya, dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT Dok dan Perkapalan Surabaya, bersama dengan Direksi lainnya, yaitu Muhammad Yahya Yahya selaku Deriktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha PT Dok Perkapalan Surabaya,; Nana Suryana Tahir (Direktur Administrasi dan Keuangan PT Dok dan Perkapalan Surabay), dan I Wayan Yoga Djunaedi (Direktur Produksi), telah melakukan atau turut serta melakukan secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut ;
Baca juga : - Majelis Hakim Tipikor Perintahkan JPU Melakukan Penuntutan Terhadap 2
Perusahaan Asal Singapur
Berita yang sama : - 2 Pengusaha Singapur “Masuk DPO Interpol” Karena Kasus Korupsi
Berita sebelumnya : Sidang Korupsi PT Dok “Ada Udang Dibalik Batu”, Ketua Majeli Hakim
memerintahkan JPU untuk mengembangkan keterangan saksi Frederick
Pada tanggal 26 Agustus 2009 lalu, Gembong Primadjaya selaku Direktur Utama PT Berdikari Petro bersama dengan Afrizal, Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina menandatangani perjanjian Nomor 010/F00000/2009-S3 tentang jasa penerimaan, penyimpanan dan penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jobber, Muara Sabak, Jambi dengan jangka waktu pelaksanaan selama 18 bulan dimulai sejak ditandatangani yaitu tanggal 26 Agustus 2009 sampai dengan 26 Februari 2011 dengan lingkup pekerjaan jasa penerimaan, penyimpanan dan penyaluran Bahan Bakar Minyak di Jobber, Muara Sabak, Jambi Tanjung Jabung Timur, dengan nilai kontrak untuk pekerjaan tersebut sebesar Rp141.800.00.000
Hingga pada tanggal 27 April 2009, PT Berdikari Petro sebelum mendapatkan perjanjian jasa dari PT Pertamina, karena belum pernah melaksanakan kegiatan baik konstruksi maupun investasi. Sedangkan isi kontrak antara PT Berdikari Petro dengan PT Pertamina tersebut Nomor 010/F00000/2009-S3, untu melaksanakan pembangunan tangki pendam di Muara Sabak, Jambi akan dipergunakan untuk menyimpan BBM di tangki pendam tersebut PT Pertamina dengan sistem membayar sewa kepada PT Berdikari Petro
“Bahw dalam kontrak Nomor 010/F00000/2009-S3, antara PT Berdikari Petro dengan PT Pertamina tentang jasa penerimaan, penyimpanan dan penyaluran BBM di Jobber, Muara Sabak, Jambi tersebut adalah, Pihak Kedua (PT Berdikari Petro) wajib mendapatkan perizinan sesuai ketentuan yang berlaku untuk pembangunan tengki pendem di Jobber, yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, diantaranya ; 1. AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 perjanjian ini,; 2. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)atau izin prinsip yang dikeluarkan oleh instansi berwenang yang menyatakan pembangunan Jobber dapat dilaksanakan,; 3. Izin pengelolaan pelabuhan yang dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan selambat-lambatnya 180 hari, terhitung sejak penandatanganan dengan menyerahkan fotokopi perjanjian kepada pihak Pertama PT Pertamina),” kata Majelis Hakim Dr. Andriano.
Majelis Hakim menjelaskan, apabila pihak Kedua belum menyerahkan fotokopi seluruh perjanjian, maka pihak Kedua tidak mempunyai hak untuk melaksanakan pembangunan tengki pendem di Jobber, dan pihak pertama mempunyai hak untuk melakukan pemutusan perjanjian secara sepihak dan diterima oleh pihak kedua tanpa tuntutan berupa apapun kepada pihak pertama.
Foto atas searah jarum jam, Penta, Agus Hadi Utomo, Elisa, Frederick, Aizal dan Haryadi (atas) dan Frederick (kiri) dan Firmansyah Arifin (foto bawa).. |
Namun hingga batas waktu yang telah ditentukan selama 180 hari sesuai kontrak Nomor 010/F00000/2009-S3 antara PT Berdikari PT dengan PT Pertamina tentang jasa penerimaan, penyimpanan dan penyaluran BBM di Jobber, Muara Sabak, Jambi, PT Berdikari Petro tidak dapat memenuhi dua persyaratan tersebut khususnya pengurusan Izin pelabuhan, serta tidak pernah menyerahkan jaminan pelaksanaan kepada PT Pertamina.
Anehnya, karena PT Berdikari Petro tidak memiliki kemampuan dan modal untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, justru mencari investor modal yang mau untuk mengerjakan pembangunan pembuatan tangki pendam tersebut.
“Dan pada tahun 2010, Gembong Primadjaya selaku Direktur PT Berdikari bertemu dengan Frederick dan Luke L. Tumboimbela yang maminta Gembong Primajaya untuk datang ke PT Dok dan Perkapalan Surabaya untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan tangki pendam di Muara Sabak Jambi pada tahun 2010 sebesar Rp141.800.00.000,” ungkap Majelis Hakim
Majelis Hakim mengungkapkan, selanjutnya terdakwa M. Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT Dok dan Perkapalan Surabaya bersama dengan Direksi lainnya, yaitu Nana Suryana Tahir (Direktur Administrasi dan Keuangan PT Dok dan Perkapalan Surabay,; I Wayan Yoga Djunaedi (Direktur Produksi) dan Muhammad Yahya Yahya selaku Deriktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha, telah menyetujui untuk menerima pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabak, Jambi dari PT Berdikari Petrol dengan menggunakan sistem pembayaran Turn Key, yaitu seluruh biaya pembangunan yang timbul dalam pekerjaan tangki pendam dibebankan kepada PT Dok dan Perkapalan Surabaya. Dan setelah tangki pendam tersebut beroperasi, maka PT Berdikari Petro mendapatkan pembayaran sewa dari PT Pertamina, yang selanjutnya uang sewa tersebut digunakan oleh PT Berdikari Petrol untuk pembayaran kepada PT Dok dan Perkapalan Surabaya dengan cara diangsur tanpa adanya pembayaran uang muka oleh PT Berdikari Petro.
“Kemudian terdakwa M. Firmansyah Arifin selaku Dirut PT Dok dan Perkapalan Surabaya menandatangani kontrak dengan PT Berdikari Petro yang diwakili Gembong Primadjaya Nomor : 09/VII/ /PS-BP/2010 pada (tidak tanggal) Agustus 2010 senilai UD$20.216.645 atau setara Rp179.928.140.879 dengan estimasi Rp8.900 per Satu Dolar AS, sedangkan Direksi lainnya, yaitu Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi turut menyetujui dengan menandatangani seolah-olaholah sebagai saksi pada kontrak tersebut,” ujar Majelis Hakim
Padahal kontrak antara PT Berdikari Petro dengan PT Pertamina Nomor 010/F00000/2009-S3 tanggal 26 Agustus 2009, adalah sebagai dasar pembuatan kontrak antara PT Dok dan Perkapalan Surabaya dengan PT Berdikari Petro yang sudah tidak berlaku, karena PT Berdikari Petro tidak memenuhi izin pengelolaan Pelabuhan sebagaimana dalam kontrak antara PT Pertamina dengan PT Berdikari Petro.
Disamping itu, lanjuta Majelis Hakim, terdakwa Firmansyah Arifin bersama direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya lainnya, yaitu Nana Suryana Tahir, I Wayan Yoga Djunaedi dan Muhammad Yahya tidak melakukan klarifikasi kepada PT Pertamina sesuai dengan prinsip kehati-hatian untuk memastikan, bahwa legalitas termasuk keberlakuan dari kontrak PT Berdikari Petro dengan PT Pertamina, karena skema pembayaran pembangunan tangki pendam digantungkan kepada kontrak tersebut, sehingga perbuatan terdakwa M. Firmansyah Arifin telah bertentangan dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.
Walaupun PT Dok dan Perkapalan Surabaya tidak memiliki pengalaman dibidang pembangunan tangki pendam, namun terdakwa Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT DPS bersama Direksi lainnya, yaitu Nana Suryana Tahir, Muhammad Yahya dan I Wayan Yoga Djunaedi tetap melakukan kontrak dengan PT Berdikari Petro yang dalam pelaksanaannya, terdakwa M. Firmansyah Arifin bersama dengan Direksi lainnya melakukan penunjukan langsung kepada perusahaan AE Marine Pte Ltd di Singapura sebagai subkontrak, untuk melaksanakan pekerjaan EPC (engginering, procrutmen, conttuksi) pembangunan tangki pendam Muara Sabak Jambi tanpa melalui proses pengadaan barang yang berlaku di PT DPS, sedangkan Pte Ltd bukan Mitra dari PT Dok dan Perkapalan Surabaya.
Dari kiri, Joedy Punggih H selaku senior Manager engineering PT. Dok Perkapalan Surabaya, Afrizal (Direktur Pemasaran dan Niaga PT. Pertamina) dan Gembong Primadjaya (Dirut PT. Berdikari Petrol) |
Terdakwa M. Firmansyah Arifin bersama Direksi lainnya yaitu Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi tetap menyetujui untuk melakukan pembayaran uang muka dengan cara transfer kepada AE Mariane Pte Ltd di Bank OCBC Singapore dengan Nomor rekening 503-009979-8301 secara bertahap sebanyak 4 tahap dengan jumlah seluruhnya sebesar UD$3,963, UD$75.000 tanpa adanya jaminan atau Bank garansi, serta bukti pendukung lainnya, diantaramya kuitansi, laporan fisik pekerjaan dan berita acara terima barang dari AE Mariane Pte Ltd, melainkan hanya berupa invoice penagihan AE Mariane Pte Ltd.
Majelis Hakim menjelaskan, bahwa terdakwa M. Firmansyah Arifin bersama Direksi lainnya yaitu Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi menandatangani dokumen pencairan berupa invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan untuk dilakukan pembayaran kepada AE Mariane Pte Ltd, serta Nana Suryana Tahir juga menandatangani aplikasi bukti transfer uang kepada AE Mariane Pte Ltd melalui Bank BII Surabaya dan Bank UOB Surabaya tanpa Ada progres pekerjaan yang dilakukan oleh AE Mariane Pte Ltd di lapangan. Adapun pencairan pembayaran sebanyak 4 kali melalui transfer kepada AE Mariane Pte Ltd terjadi sebagai berikut ;
1. Tahap pertama pada tanggal 15 November 2010 sebesar UD$ 800.000 ekuivalen Rp 7.148.800.000 yang dibayarkan melalui Bank UOB Buana Jalan Embong Malang Surabaya, dan yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana. Sedangkan yang memberikan paraf pada invoice penagihan dari AE Marini Pte Lld sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya, yaitu terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan Muhammad Yahya, Nana Suryana dan I Wayan Yoga Djunaedi.
2. Tahap ke- II Pada tanggal 17 Februari 2011 sebesar UD$ 100.000 ekuivalen Rp 903.818.510, dibayarkan melalui bank BII Jalan Pemuda Surabaya yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan Nana Suryana Tahir dan Direktur Produksi I Wayan Yoga Junaedy. Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya.
3. Tahap ke- III pada tanggal 21 Februari 2011 sebesar UD$ 2.563.7215 ekuivalen Rp 22.676.147.625 yang dibayar melalui Bank UOB Buana Buana Jalan Embong Malang Surabaya yang mendatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana Tahir dan Direktur Pemasaran dan Pembangunan Usaha yaitu Muhammad Yahya. Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya.
4. Tahp ke IV pada tanggal 11 April 2011 sebesar UD$ 500.000 ekuivalent Rp 4.335.500.000 yang dibayar melalui Bank UOB Buana Jalan Embong Malang Surabaya yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana Tahir dan Direktur Pemasaran dan Pembangunan Usaha yaitu Muhammad Yahya. Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi.
Pembayaran dari PT PDS ke AE Mariane Pte Ltd tersebut tidak sesuai dengan kontrak antara PT PDS dengan AE Mariane Pte Ltd yang seharusnya dengan cara Letter of Credit (L/C) dan tidak ada kewajiban PT PDS untuk melakukan pembayaran uang muka kepada AE Marine Pte Ltd.
Bahwa pada bulan Desember 2010, Joedy Punggih H selaku senior Manager engineering bersama dengan Agus Hadi Utomo selaku Project monitoring atas perintah Muhammad Yahya, menandatangani progres fisik sebesar 25% atas pekerjaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, seolah-olah di lapangan sudah ada pekerjaan dengan progress sebesar 25%, dan Muhammad Yahya selaku Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha membuat debet nota invoice kepada PT Berdikari Petro Nomor 28/DPS-F1/10 tanggal 30 Desember 2010 dengan nilai Rp52.247.000.000 yang mengacu kepada bobot fiktif tersebut seolah-olah PT DPS akan melakukan penagihan kepada PT Berdikari Petro yang tujuannya agar progres dan invoice tersebut digunakan oleh terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya untuk dijadikan pengakuan pendapatan perusahaan. Sehingga para Direksi PT DPS mendapatkan tantiem atau bonus akhir tahun terhadap prestasi kerja PT DPS atas pekerjaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi.
“Bahwa pembayaran yang diterima oleh AE Mariane Pte Ltd dari PT DPS tersebut tujuannya bukan untuk pembayaran pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, melainkan digunakan untuk menutupi kekurangan pembelian bahan material pembuatan Dua kapal tanker milik PT Pertamina kepada Zhan Hong Pte Ltd sebesar UD$ 3,830,150 sebagaimana surat Protocol of agreement nomor 180/BA/DS/9/III/11 tanggal 19 September 2011 antara PT DPS dengan yang Zhang Hong Pte Ltd dan AE Marine Pte Ltd yang ditandatangani oleh Muhammad Yahya dari pihak PT DPS, dan Wong Cheng Lim dari pihak Zhang Hong Pte Ltd serta Chia Lee Mee dari pihak AE Marine Pte Ltd. Pada hal untuk pembuatan kapal tanker milik PT Pertamina telah mempunyai kontrak antara PT DPS dengan PT Pertamina serta telah mempunyai anggaran tersendiri,” ungkap Majelis Hakim dalam amar putusannya.
Majelis Hakim melanjutkan, bahwa penunjukan Zhang Hong Pte Ltd sebagai supplier tunggal untuk pembelian bahan material pembuatan 2 unit kapal tanker milim PT Pertamina tidak melalui mekanisme yang berlaku sesuai Surat Keputusan Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya Nomor 025/kpts/DS/2/I/08 tentang peraturan pengadaan barang PT Dok dan Perkapalan Surabaya, yang seharusnya dengan RAB (rencana anggaran biaya) untuk pembelian bahan material pembuatan kapal tanker milik PT Pertamina dengan nilai UD$9,535,418 untuk 1 Kapal, PT DPS sudah mendapatkan keuntungan jika pembelian kepada mitra-mitra PT DPS, namun oleh karena terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya melakukan penunjukan langsung kepada Zheng Hong Pte Ltd sebagai supplier tunggal untuk pengadaan bahan material pembuatan kapal milik PT Pertamina tersebut yang mengajukan penawaran senilai US$ 12, 607,750 untuk 1 unit kapal melampaui senilai UD$9,535,418, maka harga barang untuk pemenuhan satu kapal menjadi sebesar UD$12,607,750 atau lebih mahal dari pada pembelian kepada mitra-mitra PT DPS.
Dan selisih kekurangan biaya tersebut oleh terdakwa Firmansyah Arifin yang disetujui oleh Direksi lainnya, diambil dari pembayaran pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabak Jambi kepada AE Marini Pte Ltd senilai UD$3,963,721 yang beralamat di Singapur dan tidak memiliki perwakilan di Indonesia, yang saat ini tidak diketahui alamatnya. Begitu juga dengan Wong Cheng Lim dan Chia Lee Mee tidak diketahui keberadaannya.
Bahwa akibat perbuatan terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya, yakni Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedy telah mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara sebesar UD$3,963,725 (atau sekitar Rp35.063.047.625) sebagaimana laporan hasil audit BPKP RI dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara Nomor SR-1205/ D5/2/2017 tanggal 28 Desember 2017.
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim memerintahkan JPU untuk melakukan penuntutan terhadap perusahaan AE Mariane Pte Ltd dan Zhan Hong Pte Ltd serta memasukkan Wong Cheng Lim dan Chia Lee Mee ke dalam daftar pencaharian orang (DPO) dengan bekerjasama dengan pihak Interpol (International Criminal Police Organization)
Terkait pembelaan terdakwa melalui Penasehat Hukumnya yang mengatakan, bahwa proses persidangan yang dianggap tidak berjalan baik karena JPU tidak menghadiekan Cheng Lim dan Chia Lee Mee dalam persidangan dapat memahaminya. Selain itu, Majelis Hakim juga mengatakan, “Bahwa tidak ditemukannya aliran dana terhadap terdakwa. Namun demikian, Majelis Hakim bersikap bijak untuk membebankan kerugian negara terhadap terdakwa yang ditentukan dalam amar putusan ini,” ucap Majelis Hakim.
“Mengadili ; 1. Menyatakan bahwa terdakwa Ir.M. Firmansyah Arifin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebgaiaman diancam dalam Pasal 3 junto pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP ; 2. Menghukum terdakwa Ir.M. Firmansyah Arifin dengan hukuman pidana Penjara selama 4 (emapt) tahun dan 8 (delapan) bulan, denda sebesar seratu juta rupiah. Bilamana terdakwa tidak membayar maka diganti kurungan selama 6 bulan ; Menjatuhkan pula hukuman tambahan terhadap terdakwa Ir.M. Firmansyah Arifin berupa membayar uang pengganti sebesar 28 persen dari total kerugian negara sejumlah UD$3.963.725 yaitu senilai UD$1.109.843. Apabila terdakwa tidak membayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan lelenag untuk menutupi kerugia negara. Bilamana harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka diganti penjara selama 2 tahun,” ucap Ketua Majelis Hakim I Wayan.
“Demikian putusan Majelis Hakim terhadap saudara. Jadi saudara punya hak untuk pikir-pikir, menerima atau banding. Hak yang sama juga kepada Jaksa Penuntut Umum. Apabila saudara tidak menentukan sikap dalam waktu 7 (tujuh) hari, berarti saudara dianggap menerima putusan ini,” pungka Ketua Majelis Hakim I Wayan.
Atas putusan Majelis Hakim tersebut, terdakwa setelah berkonsultasi dengan Penasehat Hukumnya maupun JPU sama-sama mengatakan pikir-pikir.
“Pikir-pikirlah dulu, tapi kemungkinan kita akan banding. Terdakwa yang dua (Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi), mereka itu banding,” kata JPU Katrin sesuai persidangan. (Rd1)
Posting Komentar
Tulias alamat email :