beritakoruspi.co - Penyidik KPK menetepkan 5 (lima) tersangka baru dalam kasus Korupsi suap Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasha sebesar Rp2.7 M, terkait pengurusan Izin IMB dan IPPR pembangunan 11 Tower pemancar jaringan Telepon Seluler di Kabupaten Mojokerto pada tahun 2015.
Ke- 5 tersangka itu adalah Onggo Wijaya selaku Direktur Pemasaran PT Protelindo,; Ockyanto dari PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group,; Nabiel Titawano selaku penyedia Jasa di PT Tower Bersama Group,; Ahmad Suhawi dan Achmad Subhan yang juga mantan Wakil Bupati Malang.
Para tersangka ini pun sudah meringkuk di penjara milik KPK untuk menjalani proses penyidikan lebih lanjut. Sementara terdakwa Mustofa Kamal Pasha selaku Bupati Mojokerto, saat ini sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya.
Hal itu dikatakan JPU KPK Joko Hermawan saat ditanya wartawan media ini sesuai persidangan berlangsung, dengan agenda mendengarkan keterangan 5 orang saksi yang dihadirkannya ke persidangan untuk terdakwa Mustofa Kamal Pasha, Senin, 12 Nopember 2018.
“Onggo Wijaya sudah ditahan. Nabil juga, yang saksi minggu lalu juga sudah ditahan. Ada Lima orang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka, yaitu Onggo, Ocky, Nabil, Suhawi dan Achmad Subhan,” ujar JPU KPK Joko.
Sementara saksi yang dihadirkan JPU KPK Joko Hermawan dkk, yaitu Suciratin, Staf Division Manager PT Profesional TelekomunikasiIndonesia,; Rinaldy Santosa (Finance PT Profesional TelekomunikasiIndonesia),; Onggo Wijaya, Direktur Operasi PT Profesional Telekomunikasi Indonesia,; Hendri Prabowo (Head of Operation Maintenance PT Protelindo), dan Indra Mardhani (Karyawan PT Protelindo)
Dalam persidangan yang berlangsung (Senin, 12 Nopember 2018) di Ketuai Majelis Hakim I Wayan Sosisawan., SH., MH dengan dibantu dua Hakim Anggota (Ad Hoc) yaitu Dr. Andriano dan John Dista., SH. Sementara terdakwa didampingi Penasehat Hukumnya, Mariam Fatimah., SH., MH.
Dari keterangan ke- 5 saksi ini semakin menguatkan keterangan saksi-saksi sebelumnya yang mengatakan, kalau 11 Tower yang dibangun di Kabupaten Mojokerto pada tahun 2015 lalu, dan kemudian disewakan terhadap Telkomsel sebanyak 6, XL sebanyak 4, dan Tree sebanyak 1 tower belum satupun yang memiliki izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) maupun Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pada hal, ke- 3 perusahaan jaringan telepon seluler ini sudah membayar sewa terhadap PT Protelindo sebesar Rp190 juta per Tower.
Kepada Majelis Hakim, saksi Onggo Wijaya mengatakan kalau pembangunan 11 Tower itu DI TAHUN 2015 SECARA BERTAHAP. Menurut saksi, sudah mengajukan pengurusan Izin melalui kontraktor namun tidak keluar, tanpa ada usaha dari saksi untuk mencara tahu mengapa izinya tidak dikeluarkan. Sekalipun Izin IMB dan izin IPPR-nya belum keluar, 11 Tower itupun sudah disewakan ke Telkomsel, XL dan TREE.
“Sebelas itu bertahap, 6 milik Telkomsel, 4 XL dan 1 Tree. Pembgunannya secara bertahap. Kita sudah mengusulkan tetapi belum kelaur. Permohonannya kita serahkan melalui kontraktor,” kata saksi Onggo.
“Belum ada izin, Tower berdiri terus sudah anda sewakan kan,” tanya JPU KPK Joko. Namun saksi Onggo tak menjawanya ya atau tidak, justru memberikan keterangan yang terkesan berbelit-belit. JPU KPK Joko pun mengulang pertanyaannya dengan nada yang lebih tegas, dan barulah saksi meng “ia” kan.
Seperti yang diberitakan sebelumnya. Pada awal tahun 2015, terdakwa Mustofa Kamal Pasa mendapat laporan dari Suharsono selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kabupaten Mojokerto, bahwa di wilayah Kabupaten Mojokerto banyak ditemukan Tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Atas laporan itu, Terdakwa memerintahkan untuk dilakukan pemetaan dan pendataan jumlah Tower Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto yang belum memiliki izin.
Menindaklanjuti perintah terdakwa, Suharsono melakukan pemetaan dan menemukan ada sekitar 22 tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki IPPR dan IMB yakni 11 atas nama perusahaan PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (PT TBG) dan 11 atas nama PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT Protelindo). Atas temuan tersebut, Suharsono melaporkan kepada Terdakwa, dimana Terdakwa kemudian memerintahkan agar dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut sampai ada IPPR dan IMB.
Setelah dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut, terdakwa memerintahkan Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto, terkait perijinan dari tower dimaksud harus ada fee untuk terdakwa sebesar Rp200 juta per towernya, dan fee tersebut agar diserahkan melalui orang kepercayaan terdakwa yakni Nano Santoso Hudiarti alias Nono. Bahwa dari pemberian rekomendasi IPPR dan IMB, terdakwa menerima fee diantaranya ;
a. Penerimaan fee dari PT Tower Bersama Infrastructure Tower Bersama Grup (TBG) Beberapa hari setelah dilakukan penyegelan terhadap 11 tower telekomunikasi milik PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group (TBG). Sekitar awal tahun 2015, Ockyanto meminta bantuan Nabiel Titawano untuk mengurus perizinan atas 11 tower yang disegel tersebut, dimana dalam perjalanannya, pengurusan perijinan dibantu oleh Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro
Dalam rangka pengurusan ijin tower tersebut, sekitar bulan April 2015, Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi. Dalam pertemuan itu, Bambang Hahyudi menyampaikan untuk mendapatkan IPPR dan IMB harus disediakan fee sebesar Rp220 juta per tower dengan rincian; Rp200 juta untuk terdakwa dan Rp20 untuk UKL dan UKP. Sehingga fee untuk 11 tower yang harus disiapkan adalah sebesar Rp2.420 milliar.
Permintaan itu disanggupi Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro, dan akan disampaikan kepada Nabiel Titawano selaku pihak yang mewakili PT TBG. Beberapa hari setelah pertemuan, Agus Suharyanto menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Nabiel Titawano dan disepakati oleh Nabiel Titawano.
Selanjutnya Nabiel Titawano menemui Ockyanto menyampaikan, bahwa ia sanggup mengurus ijin tower, tetapi harus disiapkan fee untuk terdakwa sekaligus biaya operasional seluruhnya sebesar Rp2.600 milliar, dengan perhitungan per towernya sebesar Rp260 juta, dan disepakati Ockyanto, setelah berbicara dengan Herman Setyabudi selaku Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastructure.
Pada bulan Juni 2015, Ockyanto menyerahkan uang seluruhnya sebesar Rp2.600 milyar kepada Nabiel Titawano melalui transfer ke Rekening Bank BCA cabang Pondok Indah Nomor rekening 04980347678 atas nama Nabiel Titawano dalam tiga tahap yakni ; Tanggal 10 Juni 2015 sebesar Rp780 juta; Tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp780 juta rupiah); Tanggal 30 Juni 2015 sebesar Rp1.040 milyar.
Dari total uang sebesar Rp2.600 milyar yang diterima Nabiel Titawano tersebut, sebesar Rp2.410 milyar diserahkan kepada Agus Suharyanto secara bertahap, yakni I. Sekitar awal bulan Juni 2015 diberikan secara tunai sebesar Rp220 juta,; 2. Tanggal 11 Juni 2015 melalul transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp350 juta,; 3. Tanggal 11 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp300 juta,; 4. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 5. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 6. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 7. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 8. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 9. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 10.Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Vici Dwi Indarta sebesar Rp220 .juta. Sedangkan sebesar Rp190 juta dinikmati Nabiel Titawano.
Dari total uang yang diterima Agus Suharyanto seluruhnya sebesar Rp2.410 milliar itu, kemudian diserahkannya kepada Moh. Ali Kuncoro secara bertahap, dengan rincian sebagai berikut : 1. Awal Juni 2015 rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Awal Juni 2015 di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto sebesar Rp200 juta,; 3. Pertengahan Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 4. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar. Sedangkan sebesar Rp10 juta dinikmati Agus Suharyanto.
Dari total uang yang diterima Moh. Ali Kuncoro sebesar Rp2.400 milliar,
dan Rp2.200 milliar diserahkan kepada Bambang Hayudi yaitu : 1. Tanggal
11 Juni 2015 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dlanggu, Mojokerto sebesar
Rp600 juta,; 2. Tanggal 17 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan
Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 3. Tanggal 30 Juni
2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1
milliar.
Sedangkan sebesar Rp100 juta diserahkan kepada Khoiru;
Munif selaku Kepala Bidang Pelayanan Perizinan Terpadu yang mengurusi
masalah pembayaran retribusi IMB, dan sebesar Rp100 .juta dinikmati Moh.
Ali Kuncoro.
Sesuai perintah terdakwa, Bambang Wahyudi kemudian
menyerahkan uang fee sebesar Rp2.200 milliar kepada Nano Santoso
Hudiarti alias Nono secara bertahap yakni : 1. Sebesar Rp600 juta
diserahkan di parkiran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo, pada bulan
Juni 2015,; 2. Sebesar Rp600 juta diserahkan di sekitar masjid di daerah
Merr, Mojokerto, pada bulan Juni 2015,; 3. Sebesar Rp1 milliar
diserahkan di sekitar Masjid Pacing, Mojokerto, pada tanggal 30 Juni
2015
Selanjutnya Nano Santoso Hudiarti alias Nono, atas perintah
terdakwa menyerahkan fee itu kepada Lutfi Arif Muttaqin selaku ajudan
terdakwa secara bertahap yakni ; 1. Sebesar Rp600 juta diserahkan di
parklran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo,; 2. Sebesar Rp600 juta
diserahkan di sekitar masjid di daerah Meri, Mojokerto,; 3. Sebesar Rp1
milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing Mojokerto. Setelah menerima
fee tersebut, Lutfi Arif Muttaqin menyimpannya di rumah dinas terdakwa
dan setelah itu melaporkannya kepada terdakwa.
Setelah merima
fee, terdakwa kemudian mengeluarkan 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang
(IPPR) dan 10 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di beberapa Desa dan
beberapa Kecamatan Kabupaten Mojokerto, atas tower telekomunikasi PT
Tower Bersama Infrastucture/Tower Bersama Grup (TBG) yang diajukan oleh
Herman Setya Budi dari PT Sulusindo Pratama antara bulan Juni hingga
Juli 2015.
b. Penerimaan uang dari PT Protelindo atas penyegelan
11 tower telekomunikasi PT Profesional Telekomunikasi Indonesia
(Protelindo), Onggo Wijaya memerintahkan Indra Mardani dan Suciratin
untuk menyelesaikannya, kemudian Indra Mardani dan Suciratin meminta
bantuan Ahmad Suhawi, dimana Ahmad Suhawi menyanggupinya asal disediakan
biaya termasuk fee untuk terdakwa. Akhirnya disepakati biaya pengurusan
ijin termasuk fee untuk terdakwa seluruhnya sebesar Rp3.030.612.247
(tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus empat
puluh tujuh rupiah).
Setelah ada kesepakatan, pada awal bulan
Juni 2015, Ahmad Suhawi menemui terdakwa di Vila milik terdakwa, meminta
bantuan terkait penyegelan tower telekomunikasi milik PT Protelindo,
dimana terdakwa menyampaikan agar diurus melalui BPTPM Kabupaten
Mojokerto. Setelah pertemuan itu, Ahmad Suhawi menemui Bambang Hayudi di
kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto, menanyakan tentang penyegelan tower
telekomunikasi PT Protelido, Ialu Bambang Hayudi menyanggupinya.
Pada
tanggal 22 Oktober 2015 sebesar Rp275.510.204 (dua ratus tujuh puluh
lima juta lima ratus sepuluh ribu dua ratus empat rupiah). Dari total
uang yang diterima Ahmad Suhawi sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar
tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima
rupiah) itu, sebesar Rp2.460 milliar diberikan kepada Subhan secara
bertahap melalui cek dan melalui transfer dengan rincian sebagai berikut
:
1. tanggal 16 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Utami Surabaya,; 2. tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Mercure Surabaya,; 3. tanggal 23 Juni 2015 sebesar Rp150 juta di Bank BRI Cabang Jembatan Merah Surabaya,; 4. tanggal 25 Juni 2015 secara tunai sebesar Rp850 juta di Bank BRI Mojokerto Cabang Mojopahit,; 5. 17 September 2015 melalui cek sebesar Rp460 juta di Gedung Bidakara. Sedangkan sisanya sebesar Rp570.612.255 (lima ratus tujuh puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) dinikmati Ahmad Suhawi
Sebelum Subhan menerima uang dari Ahmad Suhawi, yakni pada tanggal 20 Mei 2015, Subhan menemui Bambang Hayudi dan menyampaiakan bahwa PT. Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk terdakwa sebesar Rp2.200 milliar, atau sebesar Rp200 juta per towernya, dan la akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp550 juta kepada terdakwa. Setelah pertemuan itu, Bambang Hayudi meminta Khoirul Munif untuk segera memfinalisasi berkas permohonan pengurusan 11 Izin tower telekomunikasi milik Protelindo.
Pada tanggal 24 Juni 2015, Bambang Hayudi menemui terdakwa di ruang kerjanya, mengajukan permohonan rekomendasi pendirian 11 menara (tower) telekomunikasi dari PT Protelindo guna mendapatkan disposisi dari terdakwa. Sebelum memberikan disposisi, terdakwa menanyakan fee sebagaimana pernah disampaikan sebelumnya kepada Bambang Hayudi, dan mendapat jawaban uang fee telah disanggup
Pada tanggal 25 Juni 2015, Subhan dan Ahmad Suhawai melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi di perumahan Griya Permata Meri Mojokerto, guna menyerahkan uang muka sebesar Rp550 juta sebagai fee untuk terdakwa. Atas perintah Terdakwa sebelumnya agar uang fee diserahkan melalui Nano Santoso Hudiarti alias Nono, maka Bambang Hayudi kemudian menghubungi Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta datang ke perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto guna mengambil uang tersebut. Sesampainya Nano Santoso Hudiarti alias Nono ditempat tersebut, Subhan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp550 juta kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono.
Setelah menerima uang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta Lutfi Arif Muttaqim untuk menemuinya di daerah Mojosari Mojokerto, dan setelah Lutfi Arif Muttaqim datang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono menyerahkan uang sebesar Rp550 .juta itu kepada Lutfi Arif Muttaqim, dan uang itu kemudian kemudian disimpan Lutfi Arif Muttaqim di meja kerja ruang dinas terdakwa, dan melaporkanya. Setelah uang diterima terdakwa, Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas 11 tower telekomunikasi PT Protelindo itupun diterbitkan.
Bahwa terdakwa mengetahui atau patut menduga, bahwa uang seluruhnya sebesar Rp2.750.000.000 (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta ruplah) yang diterimanya dari Ockyanto sebesar Rp2.200.000.000 (dua milyar dua ratusjuta rupiah) dan dari Onggo Wijaya sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) melalui Bambang Wahyudi, Nano Santoso Hudiarti alias Nono dan Lutfi Arif Muttaqim.
Uang tersebut diberikan supaya terdakwa selaku Bupati Mojokerto memberikan rekomendasi terbitnya Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izln Mendlrikan Bangunan (IMB) atas beroperasinya Tower Telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (TBG) dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protellndo) di wilayah kabupaten Mojokerto.
Padahal uang yang diterima oleh terdakwa bertentangan dengan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam: Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, angka 4 yang menyatakan : “Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. Angka 6 yang menyatakan : “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, dan Pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Dislplin Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan: “Setiap PNS dilarang : menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.
Tidak hanya itu. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 12 huruf a (atau pasal 11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagalmana telah dlubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tlndak Pidana Korupsl juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (Rd1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :