beritakorupsi.co - Kehadiran Nano Santoso Hudiarti alias Nono di persidangan (Senin, 3 Desember 2018), semakin memperjelas kasus suap yang menyeret terdakwa Mustofa Kamal Pasha selaku Bupati Mojokerto, terkait pengurusan Izin IMB dan IPPR pembangunan 11 Tower milik perusahaan PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (PT TBG), dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT Protelindo) pada tahun 2015 lalu, yang saat ini sedang diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya setelah diseret JPU KPK.
Nano Santoso Hudiarti alias Nono, adalah mantan Lurah sekaligus sebagai Tim Sukses Mustofa Kamal Pasha, pada saat Pemilihan Kepala Daerah (Bupati) di Kabupaten Mojokerto pada tahun 2013 lalu.
Pada tahun 2015, terdakwa kasus Korupsi suap Mustofa Kamal Pasha, memerintahkan Nano untuk menerima fee sebesar Rp2.2 miliyar (Rpp200 juta per Tower) dari Achmat Subhan (Ahmat Subhan, mantan Wakil Bupati Malang saat ini sudah ditahan KPK). Achmat Subhan dari pihak pemberi suap yaitu PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (PT TBG) untuk pengurusan Izin IMB dan IPPR pembangunan 11 Tower pada tahun 2015 di Kabupaten Mojkerto.
“Saya Tim Suksesnya, tahun 2015 saya diperintahkan untuk menerima (uang) dan saya serahkan ke Lutfi atas perintah Bupati,” kata Nano kepada Majelis Hakim menjawab pertanyaan JPU KPK dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Surabaya (Senin, 3 Desember 2018).
Senin, 3 Desember 2018, Tim JPU (Jaksa Penunutut Umum) Joko Hermawan dkk dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menghadirkan Nano Santoso Hudiarti alias Nono, dan Bambang Wahyudi serta Lutfi Arif Mustaqim ke persidangan dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya yang diketuai I Wayan Sosisawan., SH., MH dengan dibantu dua Hakim Anggota (Ad Hoc) yaitu Dr. Andriano dan John Dista., SH. Sementara terdakwa didampingi Penasehat Hukumnya, Mariam Fatimah., SH., MH.
Pada sidang Minggu lalu (Senin, 26 Juni 2018), Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPT-PM) Kabupatena Mojkerto, serta Lutfi Arif Mustaqim sebagai ajudan Bupati, sudah dihadirkan JPU KPK bersama saksi lainnya, yaitu Vivin Kurnia Ardhiany selaku Kasi (Kepala Seksi) BPT-PM, Roksa Agung Efendi (Sekretasris Pribadi terdakwa), HM. Sholeh Abidin (Perantara terdakwa dalam pengurusan izin Tower), Ismawan (ajudan terdakwa), Punggih Adi Wiranata (Supir pribadi Kepala BPT-PM)
Namun karena perintah Ketua Majelis Hakim saat itu, supaya saksi Bambang Wahyudi dan Lutfi Arif Mustaqim harus hadir dalam persidangan berikutnya (hari ini, 3 Desember 2018) tanpa panggilan JPU KPK, untuk kembali di dengar keterangannya bersama saksi Nano, karena Nano tidak hadiri dalam persidangan atas panggilan JPU KPK tanpa ada alasan.
Dihapan Majelis Hakim, saksi Nano mengakui terus terang, bahwa uang sebesar Rp1.650.000.000 diterima dari supir pribadi Ahmat Subhan, atas sepengetahuan Bambang Wahyudi. Dan uang itu diserahkan Nano ke Lutfi atas perintah terdakwa.
“Ya, dari sopirnya Subhan, seribu enam ratus lima puluh…(maksudnya satu miliyar enam ratus limapuluh juta ? tanya Ketua Majelis Hakim memperjelas, yang dijawab saksi “Ya) diketahui Pak Bambang. Saya serahkan ke Lutfi,” jawab saksi Nano.
Apa yang disampaikan Nano, tak dibantah Bambang maupun Lutfi. Keterangan inilah yang hendak di dengar langsung oleh Majelis Hakim, sehingga Ketua Majelis Hakim memerintahkan Bambang dan Lutfi untuk hadir kemabali dalam persidangan.
Ternyata Nano tidak hanya diperintahkan terdakwa untuk menerima duit dari pengurusan Izin Tower pada tahun 2015, melainkan diperintahkan juga untuk menerima duit dari Dinas PU. Sementar yang berkaitan dengan mutasi jabatan, Nano hanya memberikan masukan, sedangkan duit yang berhubungan mutasi jabatan itu diterima pihak lain.
“Ya, dari PU ratahun 2015. Tahun 2016 tidak lagi. Saya keluar karena sering dimarahi,” jawab saksi Nano.
“Kenapa dimarah-marahi, karena tidak mencapai target ya,” tanya Ketua Majelis Hakim, yang dijawab saksi Nano “Ya”.
Apa yang disampaikan saksi Nano dibantah oleh terdakwa. Menurut terdakwa Mutofa Kamal Pasha, bahwa keterangan saksi Nano maupun saksi lainnya tidak benar. Sementara saksi mengatakan tetap pada keterangannya.
Keterangan saksi Nano ini, menjadi saksi terkahir yang dihadirkan oleh Tim JPU KPK. Hal itu dikatakan JPU KPK Joko kepaa media ini seusai persidangan.
"Ini saksi kita terakhir. Minggu depan saksi dari terdakwa baru sidang berikutnya pemeriksaan terdakwa," ujar JPU KPK Joko
Seperti yang diberitakan sebelumnya. Pada awal tahun 2015, terdakwa Mustofa Kamal Pasa mendapat laporan dari Suharsono selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kabupaten Mojokerto, bahwa di wilayah Kabupaten Mojokerto banyak ditemukan Tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Atas laporan itu, Terdakwa memerintahkan untuk dilakukan pemetaan dan pendataan jumlah Tower Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto yang belum memiliki izin.
Menindaklanjuti perintah terdakwa, Suharsono melakukan pemetaan dan menemukan ada sekitar 22 tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki IPPR dan IMB yakni 11 atas nama perusahaan PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (PT TBG) dan 11 atas nama PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT Protelindo). Atas temuan tersebut, Suharsono melaporkan kepada Terdakwa, dimana Terdakwa kemudian memerintahkan agar dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut sampai ada IPPR dan IMB.
Setelah dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut, terdakwa memerintahkan Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto, terkait perijinan dari tower dimaksud harus ada fee untuk terdakwa sebesar Rp200 juta per towernya, dan fee tersebut agar diserahkan melalui orang kepercayaan terdakwa yakni Nano Santoso Hudiarti alias Nono. Bahwa dari pemberian rekomendasi IPPR dan IMB, terdakwa menerima fee diantaranya ;
a. Penerimaan fee dari PT Tower Bersama Infrastructure Tower Bersama Grup (TBG) Beberapa hari setelah dilakukan penyegelan terhadap 11 tower telekomunikasi milik PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group (TBG). Sekitar awal tahun 2015, Ockyanto meminta bantuan Nabiel Titawano untuk mengurus perizinan atas 11 tower yang disegel tersebut, dimana dalam perjalanannya, pengurusan perijinan dibantu oleh Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro
Dalam rangka pengurusan ijin tower tersebut, sekitar bulan April 2015, Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi. Dalam pertemuan itu, Bambang Hahyudi menyampaikan untuk mendapatkan IPPR dan IMB harus disediakan fee sebesar Rp220 juta per tower dengan rincian; Rp200 juta untuk terdakwa dan Rp20 untuk UKL dan UKP. Sehingga fee untuk 11 tower yang harus disiapkan adalah sebesar Rp2.420 milliar.
Permintaan itu disanggupi Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro, dan akan disampaikan kepada Nabiel Titawano selaku pihak yang mewakili PT TBG. Beberapa hari setelah pertemuan, Agus Suharyanto menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Nabiel Titawano dan disepakati oleh Nabiel Titawano.
Selanjutnya Nabiel Titawano menemui Ockyanto menyampaikan, bahwa ia sanggup mengurus ijin tower, tetapi harus disiapkan fee untuk terdakwa sekaligus biaya operasional seluruhnya sebesar Rp2.600 milliar, dengan perhitungan per towernya sebesar Rp260 juta, dan disepakati Ockyanto, setelah berbicara dengan Herman Setyabudi selaku Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastructure.
Pada bulan Juni 2015, Ockyanto menyerahkan uang seluruhnya sebesar Rp2.600 milyar kepada Nabiel Titawano melalui transfer ke Rekening Bank BCA cabang Pondok Indah Nomor rekening 04980347678 atas nama Nabiel Titawano dalam tiga tahap yakni ; Tanggal 10 Juni 2015 sebesar Rp780 juta; Tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp780 juta rupiah); Tanggal 30 Juni 2015 sebesar Rp1.040 milyar.
Dari total uang sebesar Rp2.600 milyar yang diterima Nabiel Titawano tersebut, sebesar Rp2.410 milyar diserahkan kepada Agus Suharyanto secara bertahap, yakni I. Sekitar awal bulan Juni 2015 diberikan secara tunai sebesar Rp220 juta,; 2. Tanggal 11 Juni 2015 melalul transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp350 juta,; 3. Tanggal 11 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp300 juta,; 4. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 5. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 6. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 7. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 8. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 9. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 10.Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Vici Dwi Indarta sebesar Rp220 .juta. Sedangkan sebesar Rp190 juta dinikmati Nabiel Titawano.
Dari total uang yang diterima Agus Suharyanto seluruhnya sebesar Rp2.410 milliar itu, kemudian diserahkannya kepada Moh. Ali Kuncoro secara bertahap, dengan rincian sebagai berikut : 1. Awal Juni 2015 rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Awal Juni 2015 di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto sebesar Rp200 juta,; 3. Pertengahan Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 4. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar. Sedangkan sebesar Rp10 juta dinikmati Agus Suharyanto.
Dari total uang yang diterima Moh. Ali Kuncoro sebesar Rp2.400 milliar, dan Rp2.200 milliar diserahkan kepada Bambang Hayudi yaitu : 1. Tanggal 11 Juni 2015 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dlanggu, Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Tanggal 17 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 3. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar.
Sedangkan sebesar Rp100 juta diserahkan kepada Khoiru; Munif selaku Kepala Bidang Pelayanan Perizinan Terpadu yang mengurusi masalah pembayaran retribusi IMB, dan sebesar Rp100 .juta dinikmati Moh. Ali Kuncoro.
Sesuai perintah terdakwa, Bambang Wahyudi kemudian menyerahkan uang fee sebesar Rp2.200 milliar kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono secara bertahap yakni : 1. Sebesar Rp600 juta diserahkan di parkiran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo, pada bulan Juni 2015,; 2. Sebesar Rp600 juta diserahkan di sekitar masjid di daerah Merr, Mojokerto, pada bulan Juni 2015,; 3. Sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing, Mojokerto, pada tanggal 30 Juni 2015
Selanjutnya Nano Santoso Hudiarti alias Nono, atas perintah terdakwa menyerahkan fee itu kepada Lutfi Arif Muttaqin selaku ajudan terdakwa secara bertahap yakni ; 1. Sebesar Rp600 juta diserahkan di parklran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo,; 2. Sebesar Rp600 juta diserahkan di sekitar masjid di daerah Meri, Mojokerto,; 3. Sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing Mojokerto. Setelah menerima fee tersebut, Lutfi Arif Muttaqin menyimpannya di rumah dinas terdakwa dan setelah itu melaporkannya kepada terdakwa.
Setelah merima fee, terdakwa kemudian mengeluarkan 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan 10 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di beberapa Desa dan beberapa Kecamatan Kabupaten Mojokerto, atas tower telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastucture/Tower Bersama Grup (TBG) yang diajukan oleh Herman Setya Budi dari PT Sulusindo Pratama antara bulan Juni hingga Juli 2015.
b. Penerimaan uang dari PT Protelindo atas penyegelan 11 tower telekomunikasi PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), Onggo Wijaya memerintahkan Indra Mardani dan Suciratin untuk menyelesaikannya, kemudian Indra Mardani dan Suciratin meminta bantuan Ahmad Suhawi, dimana Ahmad Suhawi menyanggupinya asal disediakan biaya termasuk fee untuk terdakwa. Akhirnya disepakati biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk terdakwa seluruhnya sebesar Rp3.030.612.247 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah).
Setelah ada kesepakatan, pada awal bulan Juni 2015, Ahmad Suhawi menemui terdakwa di Vila milik terdakwa, meminta bantuan terkait penyegelan tower telekomunikasi milik PT Protelindo, dimana terdakwa menyampaikan agar diurus melalui BPTPM Kabupaten Mojokerto. Setelah pertemuan itu, Ahmad Suhawi menemui Bambang Hayudi di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto, menanyakan tentang penyegelan tower telekomunikasi PT Protelido, Ialu Bambang Hayudi menyanggupinya.
Pada tanggal 22 Oktober 2015 sebesar Rp275.510.204 (dua ratus tujuh puluh lima juta lima ratus sepuluh ribu dua ratus empat rupiah). Dari total uang yang diterima Ahmad Suhawi sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) itu, sebesar Rp2.460 milliar diberikan kepada Subhan secara bertahap melalui cek dan melalui transfer dengan rincian sebagai berikut :
1. tanggal 16 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Utami Surabaya,; 2. tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Mercure Surabaya,; 3. tanggal 23 Juni 2015 sebesar Rp150 juta di Bank BRI Cabang Jembatan Merah Surabaya,; 4. tanggal 25 Juni 2015 secara tunai sebesar Rp850 juta di Bank BRI Mojokerto Cabang Mojopahit,; 5. 17 September 2015 melalui cek sebesar Rp460 juta di Gedung Bidakara. Sedangkan sisanya sebesar Rp570.612.255 (lima ratus tujuh puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) dinikmati Ahmad Suhawi
Sebelum Subhan menerima uang dari Ahmad Suhawi, yakni pada tanggal 20 Mei 2015, Subhan menemui Bambang Hayudi dan menyampaiakan bahwa PT. Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk terdakwa sebesar Rp2.200 milliar, atau sebesar Rp200 juta per towernya, dan la akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp550 juta kepada terdakwa. Setelah pertemuan itu, Bambang Hayudi meminta Khoirul Munif untuk segera memfinalisasi berkas permohonan pengurusan 11 Izin tower telekomunikasi milik Protelindo.
Pada tanggal 24 Juni 2015, Bambang Hayudi menemui terdakwa di ruang kerjanya, mengajukan permohonan rekomendasi pendirian 11 menara (tower) telekomunikasi dari PT Protelindo guna mendapatkan disposisi dari terdakwa. Sebelum memberikan disposisi, terdakwa menanyakan fee sebagaimana pernah disampaikan sebelumnya kepada Bambang Hayudi, dan mendapat jawaban uang fee telah disanggupi
Pada tanggal 25 Juni 2015, Subhan dan Ahmad Suhawai melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi di perumahan Griya Permata Meri Mojokerto, guna menyerahkan uang muka sebesar Rp550 juta sebagai fee untuk terdakwa. Atas perintah Terdakwa sebelumnya agar uang fee diserahkan melalui Nano Santoso Hudiarti alias Nono, maka Bambang Hayudi kemudian menghubungi Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta datang ke perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto guna mengambil uang tersebut. Sesampainya Nano Santoso Hudiarti alias Nono ditempat tersebut, Subhan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp550 juta kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono.
Setelah menerima uang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta Lutfi Arif Muttaqim untuk menemuinya di daerah Mojosari Mojokerto, dan setelah Lutfi Arif Muttaqim datang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono menyerahkan uang sebesar Rp550 .juta itu kepada Lutfi Arif Muttaqim, dan uang itu kemudian kemudian disimpan Lutfi Arif Muttaqim di meja kerja ruang dinas terdakwa, dan melaporkanya. Setelah uang diterima terdakwa, Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas 11 tower telekomunikasi PT Protelindo itupun diterbitkan.
Bahwa terdakwa mengetahui atau patut menduga, bahwa uang seluruhnya sebesar Rp2.750.000.000 (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta ruplah) yang diterimanya dari Ockyanto sebesar Rp2.200.000.000 (dua milyar dua ratusjuta rupiah) dan dari Onggo Wijaya sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) melalui Bambang Wahyudi, Nano Santoso Hudiarti alias Nono dan Lutfi Arif Muttaqim.
Uang tersebut diberikan supaya terdakwa selaku Bupati Mojokerto memberikan rekomendasi terbitnya Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izln Mendlrikan Bangunan (IMB) atas beroperasinya Tower Telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (TBG) dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protellndo) di wilayah kabupaten Mojokerto.
Padahal uang yang diterima oleh terdakwa bertentangan dengan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam: Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, angka 4 yang menyatakan : “Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. Angka 6 yang menyatakan : “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, dan Pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Dislplin Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan: “Setiap PNS dilarang : menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.
Tidak hanya itu. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 12 huruf a (atau pasal 11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagalmana telah dlubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tlndak Pidana Korupsl juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (Rd1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :