0
#Kepala Desa yang menerima uang suap Rp20 juta divonis 2 tahun, Wali Kota yang menerima Mobil mewah seharga Rp1.6 M di hukum 3 tahun#

beritakorupsi.co - Aneh tapi nyata ! Barangkali kata ini yang tepat bagi terdakwa kasus Korupsi suap menerima duit puluhan juta, namun di hukum lebih berat dari terdakwa yang menerima suap berupa mobil mewah yang harganya miliyaran.

Yaitu terdakwa Bitono bin Supardi, selaku Kepala Desa Lebakrejo Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan yang terseret dalam kasus Korupsi suap karena menerima uang sebesar Rp20 juta dari Mukhamad Bakir, dari hasil penjualan sebidang tanah seharga Rp200 juta, divonis pidana penjara selama 2 (dua) tahun oleh Majelis Hakim, dari 4 (empat) tahun tuntutan JPU Kejari Kabupaten Pasuruan, pada sidang yang berlangsung diruang sidang Sari Pengadilan Tipkor Surabaya, Senin, 10 Desember 2018.

Sementara terdakwa Eddy Rumpoko selaku Wali Kota Batu, Malang, Jawa Timur yang ditangkap KPK pada tanggal 16 Septemberi 2017 lalu, hanya di hukum pidana penjara selama 3 (tiga) tahun (Jumat, 27 April 2018), dari 8 (delapan) tahun tuntutan JPU KPK, karena menerima uang sebesar Rp350 juta, dan 1 (satu) unit mobil mewah merek Toyota New Alphard Type 3.5 Q A/T tahun 2016 seharga Rp1.6 miliyar dari Fhilipus Djab.

Kedua kasus ini boleh dibilang sama tapi tak serupa. Yaitu sama-sama terseret dalam kasus Korupsi Suap. Yang menjadikan tak serupa adalah, terdakwa Eddy Rumpoko selaku penerima suap dari Fhilipus Djab. Sehingga keduanya sama-sama ditangkap KPK. Sementara terdakwa Bitono bin Supardi yang ditangkap anggota Polres Pasuruan karena penerima suap berupa uang sebesar Rp20 juta, tetapi Mukhamad Bakir selaku pemberi “aman sentosa”.

Kasus perkara Korupsi suap karena menerima duit dengan terdakwa tunggal, tidak hanya kali ini aja yang diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya. Masih ada beberapa perkara Korupsi serupa, yaitu hanya penerima saja yang ditangkap Polisi lalu diseret JPU untuk diadili dihadapan Majelis Hakim. Namun entah dari saiapa terdakwa menerima. Pada hal dalam Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 13 Undang-undang Tipikor sangat jelas mengatur tentang ancaman hukuman hukuman bagi sipemberi.

 Pada Senin, 10 Desember 2018, dalam sidang yang berlangsung adalah pembacaan surat putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pengadilan Tipikor Surabaya yang diketaui Rochmat., SH., MH dengan dibantu 2 (dua) Hakim anggota selaku Hakim Ad Hoc yaitu Samhadi., SH., MH dan M. Mahin., SH., MH, yang dihadiri oleh JPU Joni Eko dari Kejari Kabupaten Pasuruan dan Sahlan., SH serta Achmad Zaini., SH selaku Pensehat Hukum terdakwa.

Dalam putusan Majelis Hakim, terdakwa dianggap bersalah melanggar Pasal 11 Undang-undang Rl Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara Pasal yang dikenakan penyidik Polres Pasuruan dan juga dalam dakwaan JPU, terdakwa dijerat melanggar “pemaksaan atau menerima” yaitu Pasal (Primair) 12 huruf e atau (Subsidair) Pasal 11 Undang-undang Rl Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 12 : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): Huruf e : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

Entah memaksa bagaimana si pelaku terhadap seseorang hingga menyerahkan sejumlah uangnya lalu tertangkap tangan oleh Tim Saber Pungli. Apakah kerena berteriak hingga terdengar petugas lalu ditangkap, atau karena memang “sengaja sipemberi menjebak” si pelaku supaya ditangkap ? atau karena ada laporan dari si pemberi, lalu Tim Saber Pungli sudah siap uantuk melakukan penangkapan, sehingga si pemberi bebas?

Namun dalam persidangan, Pasal pemaksaan ini tidak bisa dibuktikan JPU, sehingga dalam surat tuntutannya dikenakan Pasal “menerima” yakni Pasal 11 yang berbunyi : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Terdakwapun dituntut pidana penjara selama 4 tahun karena menerima duit sebesar Rp20 juta.

Dalam Pasal ini (Pasal 11), bila ada penerima sudah pasti ada pemberi. Anehnya, sipemberi hadiah atau janji yang diatur dalam pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sepertinya “tak berlaku” dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Tim Saber Pungli berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 87 Tahun 2016 tanggal 20 Oktober 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli)

Pasal 5 (1) berbunyi : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: Huruf a berbunyi : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

Pasal 13 berbunyi : Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Majelis Hakim mengatakan, bahwa berawal dari transaksi jual beli tanah dan bangunan yang terletak di Dusun Sumberejo  RT.01 RW.07 Desa Lebakmjo, Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan, dengan luas tanah + 850 m3, antara pihak penjual yakni Mukhamad Bakir berdasarkan surat kuasa menjual, tanggal 18 Dmmbcr 2017 dengan Ponadi selaku pembeli,dengan harga yang disepakati sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

Kemudian pada hari Minggu, tanggal 20 Mei 2018 sekira jam 06.00 Wib, saksi Mukhamad Bakir menelepon terdakwa yang menjabat sebagai Kepala Desa Lebakrejo, karena obyek tanah yang dijual berada di wilayah Desa Lebakrejo.

Lalu saksi Mukhamad Bakir menyampaikan kepada terdakwa, akan melakukan pengurusan akta jual beli dengan obyek tanah dan bangunan yang berada di wilayah Desa Lebakrcjo dcngan harga jual sebesar Rp200 juta.

Kemudian terdakwa menyampaikan kepada saksi Mukhamad Bakir, meminta untuk persenan (komisi) sebasar l0 persen dari harga jual beli yaitu sebesar Rp20 juta, dan biaya pengurusan Akta Jual Beli sebesar Rp5 juta. Sehingga total uang yang diminta terdakwa sebesar Rp25 juta.

Dan apabila tidak menyerahkan uang yang diminta oleh terdakwa, maka Akta Jual Beli tersebut tidak akan diurus/diptom oleh terdakwa. Bahwa selanjutnya Mukhamad Bakir menyampaikan kepada Ponidi selaku pembeli, bahwa terdakwa meminta untuk persenan (komisi) sebesar 10 %  dari harga jual beli sebesar Rp20 juta, maka Ponidi mengusahakan uang yang diminta oleh terdakwa.

Majelis Hakim menjelaskan, pada hari Senin, tanggal 21 Mei 2018 sekira jam 08.00 Wib di rumah saksi Ponidi, dilakukan pembayaran atas jual beli tanah dan bangunan secara tunai sebesar Rp200 juta kepada  Mukhamad Bakir selaku penjual. Lalu Ponadi dan saksi Mukhamad Bakir menyampaikan kepada terdakwa akan menyerahkan uang untuk pengurusan jual beli sebesar Rp20 juta dan sebesar Rp5 juta setelah akta jual beli tersebut jadi.

Kemudian terdakwa meminta agar bertemu di halaman depan toko Alfamart di Jalan Raya Surabaya - Malang Desa Kertosari Kecamtan Purwosari Kabupaten Pasuruan.

Bahwa berdasarkan infomasi dari masyarakat sehubungan dengan adanya perbuatan terdakwa selaku Kepala Desa bebakrejo yang sering melakukan pungutan liar/meminta uang diluar ketentuan kepada atatau yang akan mengurus surat berkaitan dengan tanah, maka Kukuh Yudha Setiawan., SH, dan Hermanto., SH bersama tim Polres Pasuruan melakukan penyelidikan.

Kemudian pada hari Senin, 21 Mei 2018 sekira jam 14.20 Wib, terdakwa datang dan duduk di halaman depan toko Alfamatt di Desa Kertosari Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan, lalu tidak berselang lama, datang 2 (dua) orang 1aki-laki yaitu Mukhamad Bakir dan Ponidi yang langsung menghampiri terdakwa di depan toko Alfamart tersebut, selanjutnya ponidi  mengeluarkan 1 (satu) buah tas warna kuning dan mengeluarkan sejumlah uang dalam keadaan terbendel, dan menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa.

Saat uang tersebut dihitung oleh terdakwa, Kukuh Yudha, dan Hermanto beserta tim yang telah  melakukan penyelidikan sebelumnya melakukan penangkapan atas diri terdakwa dan ditemukan barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp20 juta, dalam pecahan Rp100 ribu dan pecahan Rp50 ribu, 1 (satu) lembar kwitansi pembelian sebidang tanah dan bangunan seharga Rp200 juta, .000.000,(dua ratus juta rupiah), 1 (satu) lembar hasil ukur bangunan tanggal 21 Mei 2018, 1 (satu) lembar fotokopi kartu keluarga atas nama pembeli yaitu Ponidi, yang kesemuanya dimasukkan dalam 1 (satu) buah tas kain warna kuning bertuliskan pantai photo, dan 1 (satu) buah hand phone merk Vivo warna hitam.

Bahwa selanjutnya terdakwa dan barang bukti dibawa ke Polres Pasuruan untuk diproses lebih lanjut. Bahwa terdakwa selaku Kepala Desa Lebakrejo tidak mempunyai wewenang untuk melakukan pengurusan akta jual beli tanah, dan permintaan komisi sebesar 10 % dari harga jual tanah sebesar Rp20 juta.

Majelis Hakim mengenyampingkan pembelaan Penasehat Hukum terdakwa yang menyatakan, bahwa uang yang diminta oleh terdakwa sebesar 10% dari hasil jual beli tanah antara Mukhamad Bakir (penjual) dengan Pitono selaku pembeli adalah sesuai aturan yang berlaku, yang akan digunakan terdakwa untuk membayar PPH, BPHTB, Pendafran SHM baru, Bea Materai, Saksi, PPAT dan lain-lain, sudah sah dan benar secara hukum. Dan oleh karenanya, sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1960/UUPA menjelaskan; Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan Pendaftaran

Sehingga Majelis Hakim mengatakan, bahwa terdakwa Bitono bin Supardi selaku Kepala Desa Lebakrejo Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan haruslah di hukum sesuai dengan perbuatannya.

Dalam putusan Majelis Hakim mengatakan, bahwa terdakwa Bitono bin Supardi terbukti secara sah menurut hukum melanggal Pasal 11 Undang-undang Rl Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Mengadili : Menghukum terdakwa Bitono bin Supardi dengan hukuman pidana penjara selama 2 tahun,” ucap Ketua Majelis Hakim Rochmad.

Atas putusan Majelis Hakim, terdakwa menyatakan langsung kepada Majelis Hakim, pikir-pikir. Hal yang sama juga dikatakan JPU Joni Edi.

Kepada media ini sesuai persidangan, JPU Joni Edi mengatakan masih ada waktu 7 (tujuh) hari untuk pikir. JPU Joni Edi menambahkan, bahwa pertimbangan dalam putusan Majelis Hakim sama dengan tuntutan JPU.

“Kita masih pikir-pikir, masih ada waktu tujuh hari. Kalau pertimbangan Majelis Hakim sama dengan tuntutan atas perbuatan terdakwa, hanya penjatuhan hukum aja yang beda,” ujar JPU Joni.

Terpisah. Salah seorang Penasehat Hukum terdakwa mengatakan, masih perlu berunding dengan keluarga terdakwa, apakah menerima atau banding atas putusan Majelis Hakim.

“Kita perlu berunding dulu dengan pihak keluarga,” kata Sahlan. (Rd1) 

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top