Terdakwa Subhan. |
#Selain Subhan, Direktur Operasi PT Protelindo Onggo Wiajaya dan Direktur CV Sumajaya Citra Abadi Achamd Suhawi, juga diadili dalam kasus yang sama#
beritakoruspi.co - “Bebas” dari penyidik Kejaksaan Tinggi - Jawa Timur (Kejati Jatim), namun tak “selamat” dari penyedik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia. Inilah nasib sial yang dialami Subhan, selaku Wakil Bupati Malang periode 2010 - 2015 dan Syahri Mulyo, Bupati (non aktif) Tulungung periode 2013 - 2018 dan peroide ke - II tahun 2018 - 2023.
Mengapa ? Sebab nama Subhan dan Syahri Mulyo, adalah sama-sama mantan anggota DPRD Jawa Timur periode 2004 - 2009, diduga terlibat dalam kasus Korupsi dana P2SEM (Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat) yang bersumber dari APBD-P Provinsi Jawa Timur tahun 2008, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp277.6 milliar.
Sebab, kasus Mega Korupsi P2SEM sebesar Rp277.6 M yang sempat menghebohkan Jawa Timur pada tahun 2010 lalu saat Kejaksaan mulai menanganinya, karena diduga melibatkan seluruh anggota DPRD Jawa Timur periode 2004 - 2009 yang berjumlah 100 orang. Namun yang diadili hanya Ketua (alm) DPRD Jawa Timur, dan dr. Bagus (almarhum).
Pada hal, sebelum dr. Bagus meninggal pada Desember 2018 tepat setahun setelah alm. ditangkap di Malaysia, dimana alm. selama dimalaysia bekerja resmi sebagai Kepala Divisi Spesialis Jantung di beberapa Rumah Sakit Pemerintah, dan Koordinator Ujian Akhir di beberapa Fakultas Kedokteran Universitas di Malaysia, sudah memberikan keterangan ke penyidik Kejaksaan Tinggi, terkait beberapa mantan anggota DPRD Jatim periode 2004 - 2009 yang turut menikmati “keringat” rakyat Jawa Timur melalui dana P2SEM yang berasal dari APBD TA 2008.
Apa yang disampaikan alm. dr. Bagus ke penyidik Kejati Jatim, terkait keterlibatan 17 anggota DPRD Jatim diantaranya Subhan dan Syahri Mulyo, yang menggunakan jasa alm. untuk mencari lembaga/LSM sebagai penerima dana, juga disampaikan alm. ke beritakorupsi.co dalam wawancara eksklusif pada Juli 2018, dan melalui surat wasiat yang dikirim alm dari Lapas porong, Sidoarjo ke beritakorupsi.co 3 (tiga) Minggu sebelum dr. meninggal.
Sebelumnya, pada tahun 2016, alm. mantan Ketua DPRD Jatim periode 2004 -2009, sebelum meninggalkan “sejarah” P2SEM Jawa Timur tahun 2008 sebesar Rp277.6 miliyar itu, sudah membuat laporan ke Kejati Jatim dan juag ke KPK.
Dan kemudian tahun 2018, atas keterangan dr. Bagus setelah Kejati meminta keterangannya, penyidik Kejati Jatim sudah memeriksa beberapa mantan anggota Dewan yang terhormat itu. Namun hingga dr. Bagus menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggalkan “sejarah” P2SEM Jawa Timur tahun 2008 sebesar Rp277.6 miliyar, tak suatu pun mantan Dewan Jatim yang ditetapkan menjadi tersangka.
Syahri Mulyo dan Subhan, mungkin mengira, kalau dirinya tak akan menikmati pengapnya udara di balik jeruji besi alias penjara, sekalipun dr. Bagus menyebut-nyeut namnya. Namun “waktu berkata” lain, Syahri Mulo lebih memalukan, setelah KPK melakukan kegiatan Tangkap Tangan pada tanggal 6 Juni 2018 karena menerima suap dari Kontraktor sebagai fee proyek-proyek APBD.
Dan pada saat beritakorupsi.co mengajak bincang-bincang Syahri Mulyo di gedung Pengadilan Tipikor Surabaya mengakui, bahwa dirinya (Syahri Mulyo) hanya menerima dana P2SEM sebesar Rp50 juta. Sementara pengakuan alm. dr. Bagus, telah menyerahkan uang sebesar Rp350 juta terhadap Syahri Mulyo .
Sementara Subhan, yang menduduki jabatan sebagai Wakil Bupti Malang mendampingi Rendra Kresna (tersangka Korupsi suap) sebagai Bupati Malang periode tahun 2010 hingga 2015, ternyata Subhan “terlibat” dalam kasus korupsi sebagai penyuap Bupati Mojokerto Mustopa Kamal Pasha pada tahun 2015 sebesar Rp3 miliyar lebih, terkait pemberian 11 ijin IPPR dan 11 ijin IMB pembangunan Tower Telekomunikasi milik PT Protelindo di Kabupaten Mojokerto.
Menurut alm. dr. Bagus saat menjelaskan ke beritakorupsi.co, bahwa alm. telah menyerahkan dana sebesar Rp1.8 miliyar secara bertahap sebanayak 4 (empat) kali. Dan apa yang disampaikan alm. ke beritakorupsi.co, sebelumnya sudah dijelaskannya ke penyidik Kejati Jatim. Namun apa yang disampaikan alm. kepenyidik Kejati Jatum, ternyata “tak mampu” meneyerat mantan anggota Dewan yang terhormat dan mantan Wakil Bupati Malang ini ke balik jeruji besi.
Ibarat Peribahasa, sepintar-pintarnya orang menyembunyikan yang busuk, akan tercium juga. Keterlibatan Subhan sebagai Wakil Bupati Malang periode 2010 - 2015, yang juga sebagai Direktur CV. Central Manunggal, warga JI. Semeru No. 768 RT06 RWO4, Dilem, Kepanjen, Malang dalam kasus Korupsi Suap Bupati Mojokerto Mustopa Kamal Pasha pada tahun 2015, tercium juga oleh KPK.
Dan Subhan pun tak bisa menghindar, untuk menghirup pengapnya udadara dibalik jeruji besi, setelah penyidik KPK menjebloskannya ke penjara pada Desember 2018.
Rabu, 30 Januari 2019, TP JPU KPK Eva Yustisiana, Abdul Basir, Joko Hermawan, N.N. Gina Saraswati, Mufti Nur Irawan dan Nur Haris Arhadi, menyeret Subhan ke hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya yang diketuai Cokorda Gedearthana dengan dibantu 2 (dua) Hakim anggota (Ad Hock). Sementara Subhan didampingi Penasehat Hukumnya dari Jakarta.
Selain Subhan, Penuntut Umum (PU) KPK juga menyeret Direktur Operasi PT Protelindo Onggo Wiajaya dan Direktur CV Sumajaya Citra Abadi Achamd Suhawi, untuk diadili bersama dalam kasus Suap Bupati Mojokerto Mustapa Kamal Pasha.
Sementara Mustopa Kamal Pasha, sudah diadili terlebih dahulu dan sudah divonis pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dari 12 tahun tuntutan PU KPK. Selain itu, di hukum juga untuk membayat denda sebesar Rp500 juta. Hukuman pidana tambahan berupa mengembalikan uang suap yang dinikmati Mustopa Kamal pasha sebesar Rp2.250.000.000 (dua miliyar dua ratus lima puluh juta rupiah) serta pencabutan hak politiknya selama 5 tahun.
Namun karena mungkin hukuman itu termasuk ringan atau berat, terdakwa Mustopa Kamal Pasha pun saat ini melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi - Jawa Timur di Jalan Sumatera Surabaya.
Dari kasus inipun masih menggelitik, sebab penyidik KPK memberikan kebebasan terhadap orang kepercayaan Mustopa Kamal Pasha, yakni Nano Santoso Hudiarto alias Nono hingga saat ini. Pada hal, mantan Kepala Desa yang juga tim sukses Mustopa Kamal Pasha dalam Pikada Pemilihan Bupati Mojokerto pada tahun 2010 itulah yang menerima duit. Selain itu, Nano Santoso Hudiarto alias Nono juga berperan memutasi para Kepala Sekolah SMP di Kabupaten Mojokerto.
Sangat berbeda jauh sekali, saat penyidik KPK bersemangat saat menetapkan 41 anggota DPRD Kota Malang termasuk Wali Kota Malang Moch. Anton menjadi tersangka dalam kasus Korupsi suap uang Pokir yang setiap anggota Dewan menerima sebesar Rp12.5 juta dalam pembahasan perubahan APBD Kota Malang TA 2015, menjelang Pilkada serentak pada tanggal 27 Juni 2018.
Sementara dalam sidang yang berlangsung di ruang sidang Candra (Rabu, 30 Januari 2019) adalah pembacaan surat dakwaan dari Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.
Dalam surat dakwaan JPU KPK Gina menyatakan, bahwa terdakwa I Onggo Wiajaya, bersama dengan terdakwa II Achmad Suhawi dan terdakwa II Subhan, pada bulan Juni 2015 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam kurun waktu tahun 2015, bertempat di Perumahan Griya Permata Meri Mojokerto atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya, yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini, talah melakukan atau yang turut serta melakukan perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu yaitu berupa uang sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) Mustopa Kamal Pasha selaku Bupati Mojokerto periode tahun 2010 - 2015 (dan 2015 - 2020 untuk periode Ke II) dengan maksud, supaya Mustopa Kamal Pasha memberikan rekomendasi izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas beroperasinya Tower Telekomunikasi PT Profesional Telekomunikasi indonesia (Protelindo).
Bahwa hal itu bertentangan dengan kewajiban Mustopa Kamal Pasha selaku Bupati Mojokerto, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa I Onggo Wiajaya, terdakwa II Achmad Suhawi dan terdakwa II Subhan dengan cara-cara sebagai berikut ;
Pada awal tahun 2015, Suharsono selaku Ka Sat Pol PP (Kepala Satuan Polisi Pamong Praja) Kabupaten Mojokerto, melaporkan kepada Mustopa Kmal Pasha, bahwa di wilayah Kabupaten Mojokerto ditemukan, ada Tower Telekomunikasi yang telah berdiri dan beroperasi, tetapi belum memiliki IPPR dan IMB. Atas laporan tersebut, Mustopa Kamal Pasha memerintahkan untuk dilakukan pemetaan dan pendataan jumlah Tower Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto yang belum memiliki izin.
Setelah melakukan pemetaan dan pendataan, Suharsono melaporkan kepada Mustopa Kamal Pasha, bahwa ditemukan 11 (sebelas) Tower telekomunikasi atas nama perusahaan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT Protelindo) yang telah beroperasi, tetapi belum memiliki izin IPPR dan IMB. Atas laporan tersebut, Mustopa Kamal Pasha memerintahkan agar dilakukan penyegelan atas tower-tower yang dimaksud, sampai ada izin IPPR dan IMB. Kemudian dilaksanakanlah penyegelan dan penyitaan peralatan oleh Sat Pol PP Kabupaten Mojokerto.
Setelah dilakukan penyegelan, Mustopa Kamal Pasha memerintahkan Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto, bahwa untuk perijinan dari tower dimaksud, harus ada fee untuk Mustopa Kamal Pash sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) per towemya, dan fee tersebut agar diserahkan melalui Nano Santoso Hudiarto alias Nono selaku orang kepercayaannya (Mutopa Kamal Pasha).
Atas penyegelan 11 tower telekomunikasi PT Protelindo tersebut, Suciratin dan Indra Mardani mendapat laporan dari tim di lapangan, bahwa ada tower milik PT Protelindo yang disegel oleh Sat Pol PP, dan tidak dapat beroperasi karena perijinannya belum lengkap. Kemudian Suciratin dan Indra Mardani melaporkanya kepada terdakwa I Ongko Wijaya. Dan terdakwa I Ongko Wijowo kemudian memerintahkan Suciratin dan Indra Mardani untuk menyelesaikan permasalahan ijin tower telekomunikasi tersebut supaya tower dapat beroperasi kembali.
“Menidaklanjuti perintah terdakwa I Ongko Wijaya, Suciratin dan Indra Mardani meminta bantuan terdakwa II Achmad Suhawi selaku Direktur CV Sumajaya Citra Abadi untuk mengurus permasalahan perijinan tower telekomunikasi milik PT Protelindo di Kabupaten Mojokerto, sampai dengan tower dapat kembali beroperasi, dan terdakwa II Achmad Suhawi menyanggupinya,” kata JPU KPK Gina, Rabu, 30 Januari 2019.
JPU KPK menjelaskan, bahwa pada awal bulan Juni 2015, terdakwa II Achmad Suhawi menemui Mustopa Kamal Pasha di Vila miliknya, untuk meminta bantuan terkait penyegelan tower telekomunikasi milik PT Protelindo, dan Mustopa Kamal Pasha menyampaikan, agar diurus melalui Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto.
Setelah pertemuan itu, lanjut JPU KPK, terdakwa II Achmad Suhawi menemui Bambang Wahyudi di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto dan menanyakan tentang penyegelan tower telekomunikasi PT Protelido. Bambang Wahyudi pun menyampaikan, bahwa tower telekomunikasi disegel karena perijinannya belum lengkap. Untuk itu, agar dilengkapi dan dibayar dendanya, serta perijinan tidak bisa diproses sebelum ada disposisi dari Mustopa Kamal Pasha.
“Karena merasa kesulitan, Terdakwa II Achmad Suhawi kemudian meminta bantuan pengurusan ijin tower Protelindo di Kabupaten Mojokerto tersebut kepada terdakwa III Subhan, yang menjabat selaku Wakil Bupati Malang Periode 2010 - 2015 dan menyanggupinya,” ujar JPU KPK
Kemudian terdakwa III Subhan menemui Bambang Wahyudi, meminta agar dibantu proses pengurusan ijin tower PT Protelindo dimaksud. Bambang Wahyudi pun menyampaikan, untuk pengurusan ijin tersebut harus disediakan fee untuk Mustopa Kamal Pasha sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) per-towernya. Sehingga untuk 11 tower, fee yang harus disediakan sebesar Rp2.200.000.00 (dua milyar dua ratus juta rupiah).
“Terdakwa III Subhan lalu menyampaikan kepada terdakwa II Achmad Suhawi, bahwa untuk pengurusan tower telekomunikasi tersebut diperlukan biaya termasuk fee untuk Mustopa Kamal Pasha seluruhnya sebesar Rp2.460.000.000 (dua milyar empat ratus enam puluh juta rupiah). Atas informasi itu, Terdakwa II Achmad Suhawi kemudian menyampaikan kepada Terdakwa I Onggo Wijaya melalui Suciratin dan Indra Mardani, bahwa biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk Mustopa Kamal Pasha yang dibutuhkan sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh tujuh rupiah), dan terdakwa I Onggo Wijaya pun menyetujuinya,” kata JPU KPK kemudian.
JPU KPK mengatakan, bahwa sebagai realisasi pengurusan perijinan tower telekomunikasi PT Protelindo termasuk fee untuk Mustopa Kamal Pasha, terdakwa I Onggo Wijaya menyetujui permintaan pencairan dana dari terdakwa II Achmad Suhawi.
JPU KPK pun membeberkan pencarian duit “panas” ijin tower dari terdakwa I Onggo Wijaya terhadap Bupati Mojokerto Mustopa Kamal Pasha melalui terdakwa II Achmad Suhawi.
JPU KPK mengatakan, dalam rentang waktu bulan Mei sampai dengan Oktober 2015, terdakwa I Onggo Wijaya memberikan uang kepada terdakwa II Achmad Suhawi seluruhnya sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas n'bu dua ratus lima puluh lima rupiah) secara bertahap melalui transfer ke rekening CV. Sumajaya Citra Abadi dengan rincian sebagai berikut ;
1. Pada tanggal 8 Mei 2015 sebesar Rp1.515.306.133 (satu milyar lima ratus lima belas juta tiga ratus enam ribu seratus tiga puluh tiga rupiah);
2. Tanggal 25 Juni 2015 sebesar Rp757.653.061 (tujuh ratus lima puluh tujuh juta enam ratus lima puluh tiga ribu enam puluh satu rupiah);
3. Tanggal 15 Oktober 2015 sebesar Rp482.142.857 (empat ratus delapan puluh dua juta seratus empat puluh dua ribu delapan ratus lima puluh tujuh rupiah);
4. Tanggal 22 Oktober 2015 sebesar Rp275.510.204 (dua ratus tujuh puluh lima juta lima ratus sepuluh ribu dua ratus empat rupiah).
JPU KPK menjelaskan, dari total uang yang diterima terdakwa II Achmad Suhawi dari terdakwa I Onggo Wijaya sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar trga puluh juta enam ratus dua belas nbu dua ratus lima puluh lima rupiah) itu, sebesar Rp2.460.000.000 (dua milyar empat ratus enam puluh juta rupiah) diberikan kepada terdakwa III Subhan secara bertahap melalui cek maupun transfer dengan rincian sebagai berikut ;
1. Pada tanggal 16 Juni 2015 sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) di Hotel Utami Surabaya;
2. Tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) di Hotel Mercure Surabaya;
3. Tanggal 23 Juni 2015 sebesar Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) di Bank BRI Cabang Jembatan Merah Surabaya;
4. Tanggal 25 Juni 2015 secara tunai sebesar Rp850.000.000 (delapan ratus lima puluh juta rupiah) di Bank BRI Mojokerto Cabang Mojopahit;
5. Tanggal 17 September 2015 melalui cek sebesar Rp460.000.000 (empat ratus enam puluh juta rupiah) di Gedung Bidakara, sedangkan sisanya sebesar Rp570.612.255 (lima ratus tujuh puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) dinikmati oleh terdakwa II Achmad Suhawi.
“Pada tanggal 20 Mei 2015, terdakwa III Subhan, sebelum menerima uang dari terdakwa II Achmad Suhawai, terlebih dahulu menemui Bambang Wahyudi untuk menyampaikan, bahwa PT. Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk Mustopa Kamal Pasha seluruhnya sebesar Rp2.200.000.000 (dua milyar dua ratus juta rupiah), atau sebesar Rp200.000.000 per-towemya. Dan Ia (terdakwa III Subhan) akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) untuk diberikan kepada Mustopa Kamal Pasha. Dan setelah pertemuan itu, Bambang Wahyudi meminta Khoirul Munif untuk segera memfinalisasi berkas permohonan pengurusan 11 izin tower telekomunikasi milik PT Protelindo” kata JPU KPK lagi.
JPU KPK Mengatakan, bahwa pada tanggal 24 Juni 2015, Bambang Wahyudi menemui Mustofa Kamal Pasha di ruang kerjanya untuk mengajukan permohonan rekomendasi perijinan 11 menara tower telekomunikasi yang diajukan oleh PT. Protelindo guna mendapatkan disposisi. Sebelum memberikan disposisi, Mustopa Kamal Pasha menanyakan fee, yang pernah disampaikan sebelumnya kepada Bambang Wahyudi, dan mendapat jawaban, bahwa uang fee telah disanggupi pihak PT Protelindo, tetapi belum dibelikan. Untuk itu Mustopa Kamal Pasha meminta agar fee secepatnya diminta, dan Mustopa Kamal Pasha pun memberikan paraf dan disposisi untuk di tindak lanjuti.
Pada tanggal 25 Juni 2015. terdakwa III Subhan dan Terdakwa II Achmad Suhawi melakukan pertemuan dengan Bambang Wahyudi di perumahan Griya Permata Meri Mojokerto, untuk menyerahkan uang muka fee kepada Mustopa Kamal Pasha sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) untuk diserahkan kepada Mustopa Kamal Pasha melalui Nano Santoso Hudiarto alias Nono.
Kemudian Bambang Wahyudi menghubungi Nano Santoso Hudiarto alias Nono untuk meminta datang ke perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto, mengambil uang tersebut. Sesampainya Nano Santoso Hudiarto alias Nono di perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto, terdakwa III Subhan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) kepada Nano Santoso Hudiarto alias Nono.
Setelah menerima uang, Nano Santoso Hudiarto alias Nono meminta Lutfi Arif Mustaqin (ajudan Bupati) untuk menemuinya di daerah Mojosari Mojokerto, dan setelah Lutfi Arif Mustaqin datang, Nano Santoso Hudiarto alias Nono menyerahkan uang sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) itu kepada Lutfi Arif Mustaqin, dan kemudian uang tersebut disimpan oleh Lutfi Arif Mustaqin di meja kerja ruang dinas Mustopa Kamal Pasha, dan melaporkanya kepada Mustopa Kamal Pasha.
“Setelah uang diterima oleh Mustopa Kamal Pasha, 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan 11 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pembangunan tower telekomunikasi milik PT Protelindo pun diterbitkan,” ungkap JPU KPK
JPU KPK mengatakan, bahwa perbuatan terdakwa I Onggo Wijaya bersama dengan terdakwa II Achmad Suhawi dan terdakwa III Subhan memberikan uang kepada Mutopa Kamal Pasha sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah), bertentangan dengan kewajiban Mustopa Kamal Pash selaku Bupati Mojokerto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dari perbuatan para terdakwa (Onggo Wijaya, Achmad Suhawi dan Subhan), JPU KPK pun menjelaskan tentang ancaman pidana penjara yang harus dijalaninya.
“Perbuatan para terdakwa (Onggo Wijaya, Achmad Suhawi dan Subhan) sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 5 ayat (1) huruf a (atau Pasal 13) Undang-Undang Republik lndonesia (UU RI) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP,” ucap JPU KPK Gina di akhir surat dakwaan.
Atas surat dakwaan PU KPK, tak satupun Penasehat para terdakwa yang keberatan atau menyampaikan Eksepsinya. Sehingga Ketua Majelis Hakim pun memerintahkan PU KPK untuk menghadirkan saksi dan bukti-bukti dalam persidangan berikutnya.
Penasehat Hukum terdakwa Subhan pun mengatakan kepada media ini, bahwa dirinya maupun terdakwa sendiri tidak keberatan.
“Kita tidak keberatan. Nati kita lihat aja dalam persidangan selanjutnya,” ujar PH terdakwa Subhan. (Rd1)
Posting Komentar
Tulias alamat email :