JPU KPK Joko Hermawan : Jangan tanya saya, itu tergantung penyidik
beritakorupsi.co - Siapa tersangka baru dalam perkara Korupsi Suap Bupati (nono aktif) Mojokerto Mustopa Kamal Pasha sebesar Rp2.750.000.000 (dua miliar tujuh ratus lima puluh juta rupia) terkait pemberian ijin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) pembangunan Tower Telekomunikasi oleh PT Profesional Telekomunikasi indonesia (Protelindo) di Kabupaten Mojokerto tahun 2015 lalu ?
Pertanyaan inilah yang mungkin terucap dari pengunjung sidang maupun masyarakat yang mengikuti jalannya persidangan pada saat Mustopa Kamal Pasha selaku penerima suap diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya, dan sudah divonis pidana penjara selama 8 tahun oleh Majelis Hakim, dari 12 tahun tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) beberapa waktu lalu.
Sebab dalam dakwaan JPU KPK dijelaskan, duit suap sebagai fee pemberian ii ijin IPPR dan 11 ijin IMB pembangunan Tower yang diterima Mustopa Kamal Pasha adalah berasal dari Okyanto (PT Tower Bersama Infrastructure Tower Bersama Group (TGB)), dan dari Onggo Wijaya (PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo)).
Dari dakwaan JPU KPK maupun keterangan saksi di muka persidangan dihadapan Majelis Hakim terungkap, bahwa duit itu tidak langsung diterima oleh Mustopa Kamal Pasha dari Okyanto dan Onggo Wijaya, melainkan melalui Lutfi selaku ajudan. Sedangkan Lutfi menerima dari Nano Santoso Hudiarto alias Nono, mantan Kepala Desa yang juga orang kepercayaan sekaligus Tim Sukses Mustopa kamal Pasha. Sedangkan Nono menerima dari Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto. Sementara Bambang Whahyudi menerima dari Subhan selaku Direktur CV Central Manunggal yang masih menjabat sebagai Wakil Bupati Malang periode 2010 - 2015.
Dijelaskan dalam surat dakwaan JPU KPK dengan terdakwa Mustopa Kamal Pasha, bahwa penerimaan uang suap atau fee dari PT Protelindo atas penyegelan 11 tower telekomunikasi PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo). Onggo Wijaya memerintahkan Indra Mardani dan Suciratin untuk menyelesaikannya, kemudian Indra Mardani dan Suciratin meminta bantuan Ahmad Suhawi, dimana Ahmad Suhawi menyanggupinya asal disediakan biaya termasuk fee untuk Mustopa Kamal Pasha. Akhirnya disepakati biaya pengurusan ijin termasuk fee Bupati seluruhnya sebesar Rp3.030.612.247 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah).
Kemudian penerimaan fee dari PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group (TBG), beberapa hari setelah dilakukan penyegelan terhadap 11 tower telekomunikasi milik PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group (TBG). Ockyanto meminta bantuan Nabiel Titawano dan dibantu oleh Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro untuk mengurus perizinan 11 tower yang tyelah disegel.
Pertanyaannya, dari dakwaan maupun keterangan saksi dipersidangan dalam perkara ini, apakah hanya Mustopa Kamal Pasha, Onggo Wiajaya, Subhan, Achamd Suhawi, Ockyanto dan Nabiel Titawano yang menjadi tersangka/terdakwa, atau ada pihak lain ? Bagaimana dengan peran Nono dan Bambang Wahyudi dan pihak-pihak lainnya ?
Namun menurut JPU KPK Joko Hermawan, bahwa JPU KPK hanya bertugas untuk menyidangkan, sedangkan penetapan tersangka adalah kewenangan penyidik KPK.
“Itu ke penyidik, kami kan hanya menyidangkan,” ujar JPU KPK Joko, Rabu, 20 Pebruari 2019
Hal itu dikatakannya kepada wartawan media ini seusai persidangan dalam Jilid II dengan 5 (lima) terdakwa yang dibagi dalam 2 (dua) perkara penuntutan, yaitu Subhan, Onggo Wiajaya selaku Direktur Operasi PT Protelindo dan Achamd Suhawi (Direktur CV Sumajaya Citra) serta terdakwa Ockyanto selaku Permit & Regulatory Division Head PT Tower Bersama lnfrastructurure Tower Bersama Grup (PT TBG) bersama Nabiel Titawano selaku Penyedia Jasa di PT Tower Bersama lnfrastructurure Tower Bersama Grup (PT TBG) yang berlangsung di Pengadilan Tipikor, pada Rabu, 20 Pebruari 2019.
Rabu, 20 Pebruari 2019, Sidang yang berlangsung diketuai Majelis Hakim Cokorda Gedearthana, SH., MH dengan dibantu 2 (dua) Hakim Ad Hock masing-masing sebagai anggota yaitu Samhadi, SH dan Dr. Lufsiana adalah mendengarkan keterangan 4 (empat) orang saksi yaitu Bambang Wahyudi, Lutfi dan Nono yang dihadirkan tim JPU KPK Joko Hermawan dkk untuk 5 (lima) terdakwa yaitu Subhan, Onggo Wiajaya selaku Direktur Operasi PT Protelindo dan Achamd Suhawi (Direktur CV Sumajaya Citra) serta terdakwa Ockyanto selaku Permit & Regulatory Division Head PT Tower Bersama lnfrastructurure Tower Bersama Grup (PT TBG) bersama Nabiel Titawano selaku Penyedia Jasa di PT Tower Bersama lnfrastructurure Tower Bersama Grup (PT TBG) dengan didampingi masing-masing Penasehat Hukumnya.
Dihadapan Majelis Hakim, Bambang Wahyudi, Lutfi dan Nono mengakui telah menerima uang yang berkaitan dengan pemberian ijin 11 ijin IPPR dan 11 ijin IMB. Duit itu kemudian diserahkan ke Bupati.
Namun ada penerimaan duit oleh Bambang Wahyudi dari Subhan berkurang jumlahnya, yang seharusnya Rp550 juta menjadi 530 juta. Menurut Bambang, berkurangnya duit itu diketahui dari Nono. Sementara Nono mengetahui dari Lutfi, dan Lutfi mengetahui dari Bupati.
Bambang Wahyudi menjelaskan, karena dirinya diperintahkan oleh Bupati Mustopa Kamal Pasha untuk menagihnya, sehingga Ia pun menghubungi Subhan untuk menagih kekurangan sebesar Rp20 juta.
“Saya diberi tahu Nono, katanya uang itu kurang. Karena saya diperintahkan Bupati makaya saya minta,” kata Bambang Wahyudi enteng.
Keterangan Lutfi menjelaskan, uang yang diterimanya dari Nono, ditaruhnya di atas meja raung belakang atau di dapaur rumah dinas Bupati. Lutfi juga mengakui, bahwa dirinya seringa kali menerima duit dari para Kepala Dinas sebesar Rp20 juta setiap minggunya.
“Saya taruh di atas meja ruang belakang atau di dapur, itu perintah beliau sejak awal. Ada juga penerimaan uang dari Dinas Rp20 juta setiap minggu, kadang setiap hari Kamis atau Juma. Saya langsung serahkan ke beliau atau saya taruh di atas meja kalau beliau tidak ada,” kata Lutfi menjelaskan.
Sementara Nono menjelaskan, bahwa dirinya diperintahkan Bupati untuk menerima uang dan kemudian diserahkan ke Lutfi atas perintah Bupati.
“Saya disuruh untuk menerima uang dan saya serahkan ke Lutfi,” kata Nono.
Anehnya, dari keterangan Bambang Wahyudi, Lutfi dan Nono dibantah
Mustopa Kamal Pasha. Saksi yang juga terdakwa dan sudah divonis 8 tahun
penjara ini justru menuduh Bambang Wahyudi dan Nono serta Lutfi sebagai
otak dari kasus yang menyeretnya ke penjara.
Yang lebih anehnya lagi adalah, hasil percakapannya melalui telepon dengan beberapa orang termasuk Nono yang pernah diputar dan diperdengarkan oleh JPU KPK dihadapan Majelis Hakim tak diakuinya. Namun JPU KPK telah memiliki bukti sampel suara dari Mustopa Kamal Pasha.
“Saya tidak pernah menerima apapun. Justru nama saya seringa digunakan. Orang bertiga itu (Bambang Wahyudi, Lutfi dan Nono) otaknya,” kata Mustopa Kamal Pasha seperti “menggurui” Majelis Hakim.
Bahkan saksi yang juga terdakwa ini mengelak, bahwa uang yang ditaruh Lutfi di atas mejanya, menurutnya belum tentu untuk dirinya.
“Apakah uang atau barang yang ditaruh di atas meja, itu saya ? belum tentu,” kata Mustopa Kamal Pasha.
Karena keterangan Mustopa Kamal Pasha pemilik 200 benda-benda pusaka yang berasal dari Jawa Tengah dengan mahar sebesar Rp300 juta hingga 1 miliar rupiah ini, Majelis Hakim sepertinya dibuat geram.
“Saudara sudah di hukum kan ?. Semua saksi yang di dengar keterangannya di bawah sumpah mengarah ke saudara,” kata Ketua Majelis Hakim.
“Ya Pak Hakim, saya sudah diukum 8 tahun penjara,” jawab Mustopa Kamal Pasha sedikit bertingkah.
Saat ini memang Mustopa Kamal Pasha melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur atas Vonis pidana 8 tahun penjara dan mengembalikan uang suap yang dinikmaatinya sebesar Rp2.250.000.000
Seperti yang diberitakan sebelumnya. Pada awal tahun 2015, Suharsono selaku Ka Sat Pol PP (Kepala Satuan Polisi Pamong Praja) Kabupaten Mojokerto, melaporkan kepada Mustopa Kmal Pasha, bahwa di wilayah Kabupaten Mojokerto ditemukan, ada Tower Telekomunikasi yang telah berdiri dan beroperasi, tetapi belum memiliki IPPR dan IMB. Atas laporan tersebut, Mustopa Kamal Pasha memerintahkan untuk dilakukan pemetaan dan pendataan jumlah Tower Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto yang belum memiliki izin.
Setelah melakukan pemetaan dan pendataan, Suharsono melaporkan kepada Mustopa Kamal Pasha, bahwa ditemukan 11 (sebelas) Tower telekomunikasi atas nama perusahaan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT Protelindo) yang telah beroperasi, tetapi belum memiliki izin IPPR dan IMB. Atas laporan tersebut, Mustopa Kamal Pasha memerintahkan agar dilakukan penyegelan atas tower-tower yang dimaksud, sampai ada izin IPPR dan IMB. Kemudian dilaksanakanlah penyegelan dan penyitaan peralatan oleh Sat Pol PP Kabupaten Mojokerto.
Setelah dilakukan penyegelan, Mustopa Kamal Pasha memerintahkan Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto, bahwa untuk perijinan dari tower dimaksud, harus ada fee untuk Mustopa Kamal Pash sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) per towemya, dan fee tersebut agar diserahkan melalui Nano Santoso Hudiarto alias Nono selaku orang kepercayaannya (Mutopa Kamal Pasha).
Atas penyegelan 11 tower telekomunikasi PT Protelindo tersebut, Suciratin dan Indra Mardani mendapat laporan dari tim di lapangan, bahwa ada tower milik PT Protelindo yang disegel oleh Sat Pol PP, dan tidak dapat beroperasi karena perijinannya belum lengkap. Kemudian Suciratin dan Indra Mardani melaporkanya kepada terdakwa I Ongko Wijaya. Dan terdakwa I Ongko Wijaya kemudian memerintahkan Suciratin dan Indra Mardani untuk menyelesaikan permasalahan ijin tower telekomunikasi tersebut supaya tower dapat beroperasi kembali.
Menidaklanjuti perintah terdakwa I Ongko Wijaya, Suciratin dan Indra Mardani meminta bantuan terdakwa II Achmad Suhawi selaku Direktur CV Sumajaya Citra Abadi untuk mengurus permasalahan perijinan tower telekomunikasi milik PT Protelindo di Kabupaten Mojokerto, sampai dengan tower dapat kembali beroperasi, dan terdakwa II Achmad Suhawi menyanggupinya.
Pada awal bulan Juni 2015, terdakwa II Achmad Suhawi menemui Mustopa Kamal Pasha di Vila miliknya, untuk meminta bantuan terkait penyegelan tower telekomunikasi milik PT Protelindo, dan Mustopa Kamal Pasha menyampaikan, agar diurus melalui Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto.
Setelah pertemuan itu, terdakwa II Achmad Suhawi menemui Bambang Wahyudi di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto dan menanyakan tentang penyegelan tower telekomunikasi PT Protelido. Bambang Wahyudi pun menyampaikan, bahwa tower telekomunikasi disegel karena perijinannya belum lengkap. Untuk itu, agar dilengkapi dan dibayar dendanya, serta perijinan tidak bisa diproses sebelum ada disposisi dari Mustopa Kamal Pasha.
Karena merasa kesulitan, Terdakwa II Achmad Suhawi kemudian meminta bantuan pengurusan ijin tower Protelindo di Kabupaten Mojokerto tersebut kepada terdakwa III Subhan, yang menjabat selaku Wakil Bupati Malang Periode 2010 - 2015 dan menyanggupinya.
Kemudian terdakwa III Subhan menemui Bambang Wahyudi, meminta agar dibantu proses pengurusan ijin tower PT Protelindo dimaksud. Bambang Wahyudi pun menyampaikan, untuk pengurusan ijin tersebut harus disediakan fee untuk Mustopa Kamal Pasha sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) per-towernya. Sehingga untuk 11 tower, fee yang harus disediakan sebesar Rp2.200.000.00 (dua milyar dua ratus juta rupiah).
Terdakwa III Subhan lalu menyampaikan kepada terdakwa II Achmad Suhawi, bahwa untuk pengurusan tower telekomunikasi tersebut diperlukan biaya termasuk fee untuk Mustopa Kamal Pasha seluruhnya sebesar Rp2.460.000.000 (dua milyar empat ratus enam puluh juta rupiah). Atas informasi itu, Terdakwa II Achmad Suhawi kemudian menyampaikan kepada Terdakwa I Onggo Wijaya melalui Suciratin dan Indra Mardani, bahwa biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk Mustopa Kamal Pasha yang dibutuhkan sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh tujuh rupiah), dan terdakwa I Onggo Wijaya pun menyetujuinya.
Sebagai realisasi pengurusan perijinan tower telekomunikasi PT Protelindo termasuk fee untuk Mustopa Kamal Pasha, terdakwa I Onggo Wijaya menyetujui permintaan pencairan dana dari terdakwa II Achmad Suhawi.
Pencarian duit “panas” ijin tower dari terdakwa I Onggo Wijaya terhadap Bupati Mojokerto Mustopa Kamal Pasha melalui terdakwa II Achmad Suhawi.
Dalam rentang waktu bulan Mei sampai dengan Oktober 2015, terdakwa I Onggo Wijaya memberikan uang kepada terdakwa II Achmad Suhawi seluruhnya sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas n'bu dua ratus lima puluh lima rupiah) secara bertahap melalui transfer ke rekening CV. Sumajaya Citra Abadi dengan rincian sebagai berikut ;
2. Tanggal 25 Juni 2015 sebesar Rp757.653.061 (tujuh ratus lima puluh tujuh juta enam ratus lima puluh tiga ribu enam puluh satu rupiah);
3. Tanggal 15 Oktober 2015 sebesar Rp482.142.857 (empat ratus delapan puluh dua juta seratus empat puluh dua ribu delapan ratus lima puluh tujuh rupiah);
4. Tanggal 22 Oktober 2015 sebesar Rp275.510.204 (dua ratus tujuh puluh lima juta lima ratus sepuluh ribu dua ratus empat rupiah).
Dari total uang yang diterima terdakwa II Achmad Suhawi dari terdakwa I Onggo Wijaya sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar trga puluh juta enam ratus dua belas nbu dua ratus lima puluh lima rupiah) itu, sebesar Rp2.460.000.000 (dua milyar empat ratus enam puluh juta rupiah) diberikan kepada terdakwa III Subhan secara bertahap melalui cek maupun transfer dengan rincian sebagai berikut ;
1. Pada tanggal 16 Juni 2015 sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) di Hotel Utami Surabaya;
2. Tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) di Hotel Mercure Surabaya;
3. Tanggal 23 Juni 2015 sebesar Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) di Bank BRI Cabang Jembatan Merah Surabaya;
4. Tanggal 25 Juni 2015 secara tunai sebesar Rp850.000.000 (delapan ratus lima puluh juta rupiah) di Bank BRI Mojokerto Cabang Mojopahit;
5. Tanggal 17 September 2015 melalui cek sebesar Rp460.000.000 (empat ratus enam puluh juta rupiah) di Gedung Bidakara, sedangkan sisanya sebesar Rp570.612.255 (lima ratus tujuh puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) dinikmati oleh terdakwa II Achmad Suhawi.
Pada tanggal 20 Mei 2015, terdakwa III Subhan, sebelum menerima uang dari terdakwa II Achmad Suhawai, terlebih dahulu menemui Bambang Wahyudi untuk menyampaikan, bahwa PT. Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk Mustopa Kamal Pasha seluruhnya sebesar Rp2.200.000.000 (dua milyar dua ratus juta rupiah), atau sebesar Rp200.000.000 per-towemya. Dan Ia (terdakwa III Subhan) akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) untuk diberikan kepada Mustopa Kamal Pasha. Dan setelah pertemuan itu, Bambang Wahyudi meminta Khoirul Munif untuk segera memfinalisasi berkas permohonan pengurusan 11 izin tower telekomunikasi milik PT Protelindo.
Pada tanggal 24 Juni 2015, Bambang Wahyudi menemui Mustofa Kamal Pasha di ruang kerjanya untuk mengajukan permohonan rekomendasi perijinan 11 menara tower telekomunikasi yang diajukan oleh PT. Protelindo guna mendapatkan disposisi. Sebelum memberikan disposisi, Mustopa Kamal Pasha menanyakan fee, yang pernah disampaikan sebelumnya kepada Bambang Wahyudi, dan mendapat jawaban, bahwa uang fee telah disanggupi pihak PT Protelindo, tetapi belum dibelikan. Untuk itu Mustopa Kamal Pasha meminta agar fee secepatnya diminta, dan Mustopa Kamal Pasha pun memberikan paraf dan disposisi untuk di tindak lanjuti.
Pada tanggal 25 Juni 2015. terdakwa III Subhan dan Terdakwa II Achmad Suhawi melakukan pertemuan dengan Bambang Wahyudi di perumahan Griya Permata Meri Mojokerto, untuk menyerahkan uang muka fee kepada Mustopa Kamal Pasha sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) untuk diserahkan kepada Mustopa Kamal Pasha melalui Nano Santoso Hudiarto alias Nono.
Kemudian Bambang Wahyudi menghubungi Nano Santoso Hudiarto alias Nono untuk meminta datang ke perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto, mengambil uang tersebut. Sesampainya Nano Santoso Hudiarto alias Nono di perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto, terdakwa III Subhan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) kepada Nano Santoso Hudiarto alias Nono.
Setelah menerima uang, Nano Santoso Hudiarto alias Nono meminta Lutfi Arif Mustaqin (ajudan Bupati) untuk menemuinya di daerah Mojosari Mojokerto, dan setelah Lutfi Arif Mustaqin datang, Nano Santoso Hudiarto alias Nono menyerahkan uang sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) itu kepada Lutfi Arif Mustaqin, dan kemudian uang tersebut disimpan oleh Lutfi Arif Mustaqin di meja kerja ruang dinas Mustopa Kamal Pasha, dan melaporkanya kepada Mustopa Kamal Pasha.
Setelah uang diterima oleh Mustopa Kamal Pasha, 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan 11 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pembangunan tower telekomunikasi milik PT Protelindo pun diterbitkan.
Bahwa perbuatan terdakwa I Onggo Wijaya bersama dengan terdakwa II Achmad Suhawi dan terdakwa III Subhan memberikan uang kepada Mutopa Kamal Pasha sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah), bertentangan dengan kewajiban Mustopa Kamal Pash selaku Bupati Mojokerto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dari perbuatan para terdakwa (Onggo Wijaya, Achmad Suhawi dan Subhan), JPU KPK pun menjelaskan tentang ancaman pidana penjara yang harus dijalaninya.
“Perbuatan para terdakwa (Onggo Wijaya, Achmad Suhawi dan Subhan) sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 5 ayat (1) huruf a (atau Pasal 13) Undang-Undang Republik lndonesia (UU RI) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP,” ucap JPU KPK Gina di akhir surat dakwaan, Rabu, 30 Januari 2019. (Rd1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :