0
#Puluhan Kontraktor yang tergabung dalam Lintas Asosiasi Konstruksi terlibat pemberian uang suap kepada Wali Kota Pasuruan Setiyono yang berasal dari fee proyek APBD#


beritakorupsi.co - Salah satu kejahatan yang luar biasa adalah Tindak Pidana Korupsi. Dan kasus Tindak Pidana Korupsi suap sudah jelas melibatkan dua pihak, yaitu penerima suap adalah pihak penyelenggara negara atau PNS (Pegawai Negeri Spil) atau yang dikenal di zaman Naw ini adalah ASN (Aparatur Spil Negara) yang diatur dalam Pasal 12 huruf a, huruf B atau Pasal 11 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, dan pemberi suap adalah pihak swasta baik sebagai perseorangan atau pengusaha yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf atau Pasal 13 Undang-undang yang sama.

Namun tak sedikit kasus Korupsi Suap yang ditangani Khususnya oleh Kepolisian/Kejaksaan di Jawa Timur diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya hanya penerima suap dan dijerat dengan Pasal 11 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara pemberi uang suap itu “SELAMAT”.

Ibarat ungkapan, “ada Api ada Asap, kalau ada penerima Suap sudah pasti ada pemberi Suap”. Dan inipula yang mungkin tepat bagi para pejabat atau terdakwa yang terlibat dalam kasus Korupsi Suap di tanah air Khususnya yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dari ratusan bahkan ribuan Kasus Korupsi di tanah air yang ditangani KPK sejak dibentuknya KPK dan berlakunya UU Tindak Pidana Korupsi, salah satu diantaranya adalah kasus Korupsi Suap tangkap tangan Wali Kota Pasuruan Setiyono, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas PUPR Kota Pasuruan Dwi Fitri Nurcahyo dan Wahyu Tri Hardianto selaku pegawai honorer Pemkot Pasuruan (Kelurahan) yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 3 Oktober 2018.

Dan saat ini Setiyono, Dwi Fitri Nurcahyo dan Wahyu Tri Hardianto diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya dengan tuduhan, menerima suap, dan dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, sebagaimana dakwaan Jaksa KPK yaitu Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 junckto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana teteh dtambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jis Pasal 55 ayat (1) Ke-1, Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Pertanyaannya, Siapa yang terlibat menyuap Wali Kota Pasuran Setiyono sejak tahun 2016, 2017 dan 2018? Atau dari siapa saja uang suap sebesar Rp2.967.243.360 (dua milyar sembilan ratus enam puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh rupiah) yang diterima Wali Kota Setiono melalui Dwi Fitri Nurcahyo dan Wahyu Tri Hardianto serta bagaimana proses terjadinya suap menyuapan itu terjadi?.

Memang KPK tidak hanya menangkap Setiyono, Dwi Fitri Nurcahyo dan Wahyu Tri Hardianto. Tetapi saat itu (3 Oktober 2018) KPK juga turut menangkap Muhammad Baqir pemilik CV.
Mahadir) selaku penyuap, dan sudah di Vonis bersalah serta dijatuhi hukuman pidana penjara  selama 2 (dua) tahun.

Pertaanyaannya kemudian, apakah uang sebesar Rp2.967.243.360 (dua milyar sembilan ratus enam puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh rupiah) hanya dari si Muhammad Baqir, atau ada pihak lain ?.

Sedangkan dalam dakwaan, tuntutan Jaksa KPK maupun putusan Majelis Hakim terkait jumlah uang yang diterima terdakwa Setiyono dari terpidana Muhammad Baqir adalah sebesar Rp115.000.000 (seratus lima belas juta rupiah),

Lalu sisanya sebesar Rp2.852.243.360 (dua miliyar delapan ratus lima puluh dua juta dua ratus empat puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh rupiah) dari siapa ?

Pada hal dalam persidangan sudah terungkap, sebahagian nama-nama yang terlibat dalam pemberian uang suap itu kepada terdakwa Setiyono yang jumlahnya Rp2.967.243.360 (dua milyar sembilan ratus enam puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh rupiah), ternyata bukan hanya dari si Muhammad Baqir, melainkan puluhan pengusaha Kontraktor/Asosiasi Konstruksi di Pasuruan dan juga dari luar Kota Pasuruan.

Di antara nama-nama yang terungkap dalam persidangan terkait pemberian uang suap itu terhadap terdakwa Setiyono adalah si Wongso Kusumo selaku Direktur CV. Sinar Perdana yang juga Ketua Gapensi, “Trio Kwek-Kwek” yaitu Achmad Fadoli, Andi Wiyono, Prawito.

Selain itu, Andi Wiyono, Siti Chalimah, Bambang Parikesit, Murti Cahyani, Andi Wiyono, Sugeng Cahya Patria, Suko Setiyono, Achmad Fadoli, Abd. Rasyid, Achmad Fauzi, Aunur Rofiq, Sugiono Kartiadi Sudjoyo, Prawito, Arif Rozak, Fenty Bangkit Ardyansyah, Sugeng Cahya Patria, Muhammad Yahya, Roby Abdulrohim, Yus Saptono, M. Muzit, Supono dan rekanan lainnya yang tergabung dalam Lintas Asosiasi Kota Pasuruan (Gabungan beberapa Asosiasi Konstruksi), di mana Wongso Kusumo adalah sebagai Ketua dan Bendahara Muhammad Yahya serta Sekretarisnya Sugeng Cahya Patria.

Para pengusaha kontraktor dan Asosiasi di Kota Pasuruan ini mendapat proyek pekerjaan yang bersumber dari APBD Kota Pasuruan Tahun Anggaran 2016, 2017 dan 2018 sebesar 30 persen. Dan proyek pekerjaan itu tidaklah didapatkannya gratis begitu saja, melainkan ada fee yang besarnya 5% dari anggaran proyek pekerjaan saluran, dan 7% dari anggaran proyek pekerjaan jalan dan gedung setelah dikurangi pajak.

Uang itu ada yang disetorkan langsung ke terdakwa Setiyono, ada yang melalui Wongso Kusumo dan ada pula yang melalui Dwi Fitri Nurcahyo/Wahyu Tri Hardianto juga lewat keponakan Wali Kota Setiyono yaitu Hendri Prabowo pegawai Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Pasuruan. Dan si Hendri inilah yang dipercaya Setiyono untuk mengelola, menerima maupun menyalurkan uang “haram” itu. 

Yang masih “misterius” adalah nama-nama pengusaha kontraktor di luar Kota Pasuruan yang terlibat dalam pekerjaan proyek ABPD Kota Pasuruan sebesar 70%. Siapakah para pengusaha konstruksi di luar Kota Pasuruan yang terlibat itu? Apakah KPK akan mengungkapnya, atau akan tetap menjadi “mesterius”, atau KPK hanya cukup menyeret si Muhammad Baqir selaku penyuap Wali Kota Pasuruan Setiyono ? Lalau bagaimana dengan nama-nama yang disenut oleh Jaksa KPK dalam surat dakwaan?

Selain itu, ada lagi yang lebih “misterius dan memalukan” yaitu, Aparat Penegak Hukum yang disebut-sebut dalam persidangan juga menerima fee proyek. Siapakah Aparat Penegak Hukum di Kota Pasuruan yang menerima uang “haram” itu?

Pertanyaan selanjutnya, mengapa penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum KPK tidak menyeret pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian uang suap itu kepada terdakwa Setiyono ? Apakah ini yang disebut sebagai penegakan hukum kasus Tindak Pidana kejahatan yang luar biasa dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di tanah air?

Apakah pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian uang suap terhadap Wali Kota Pasuruan Setiyono akan jadi “tersangka” atau “selamat” ?. Hingga saat ini pihak KPK melalui Jaksa Penuntut Umum KPK saat ditanya wartawan media ini belum memberikan jawaban.

Kasus yang sama yang melibatkan pihak-pihak lain dalam kasus Korupsi Suap 13 Kepala Daerah (Bupati/Wali Kota) yang ditangani KPK di Jawa Timur juga belum tuntas, diantaranya adalah Kasus suap tangkap tangan Bupati Nganjuk Taufiqurrahman. Terpidana Taufiqurrahman, selain terjerat kasus Suap dan sudah divonis, juga terjerat kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), namun hingga saat ini masih berstatus tersangka sejak tahun 2017.

Kemudian Kasus suap tangkap tangan KPK terhadap Ketua dan Wakil Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur serta 2 Kepala Dinas (Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan). Kemudian pengembgannya menyeret Kepala Dinas Koperasi dan Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian. Namun 5 Kepala Dinas yang terlibat pemberian komitmen fee ke Komisi B DPRD Jatim serta anggota Komisi B yang menikmati duit itu, hingga saat ini “aman-aman saja”

Lalu Kasus suap tangkap tangan KPK terhadap Ketua dan 2 (dua) Wakil Ketua DPRD serta Kepala Dinas PUPR Kota Mojokerto. Dari pengembangannya, kemudian KPK menyeret Wali Kota Mojokerto. Namun semua anggota DPRD Kota Mojokerto yang disebut dalam dakwaan Jakasa KPK kebagian duit “haram” itu juga “aman-aman” saja.

Selanjutnya Kasus suap tangkap tangan KPK terhadap Bupati Jombang Nyono. Dalam kasus ini, selain terjerat kasus suap, Nyono juga dijerat Undang-undang TPPU namun masih “jelas”. Belum lagi pihak lain yaitu Dr. Subur selaku Direktur RSIA Jombang yang memberikan uang sebesar Rp75 juta melalui Kepala Dinas Kesehatan Inna (sudah divonis), hingga saat ini juga “aman-aman” saja.

Belum lagi kasus suap APBD seluruh anggota DPRD Kota Malang. Dalam kasus ini penyidik KPK begitu bersemangat menyeret 41 dari 45 anggota DPRD termasuk Kepala Dinas PUPR dan Wali Kota Malang menjadi tersangka/terpidana. Namun masih meninggalkan “benang merah”, karena mantan Sekda Cipto Wiyono dan Teddy Soemama Sujadi yang terlibat pengumpulan uang suap untuk DPRD Kota Malang termasuk 45 kontraktor di Kota Malang “tak tersentuh”, hingga para mantan anggota Dewan dan mantan Wali Kota Malang itu mempertanyakannya. Dan belum lagi kasus Suap Ketua DPRD Kota Malang terkait penganggaran proyek Jembatan Kedungkandang.

Yang tak kalah dipertanyakan adalah, Kasus suap tangkap tangan KPK terhadap Direktur Utama, Direktur Keuangan dan General Manager (GM)  PT PAL (Penataran Angkatan Laut). Ketiga pejabat peruhahaan plat merah ini dijerat dengan Pasal penerima. Memang KPK juga menangkap Direktur Umum PT. Peusa Sejati.

Namun yang menjadi pertanyaannya adalah, Mengapa hingga saat ini KPK belum menangkap Direktur Utama PT Perusa Sejati selaku pemberi suap ke Direksi PT PAL melalui Direktur Umum PT Perusa Sejati ? Padal hal, menurut JPU KPK saat dipersidangan mengatakan kepada media ini, bahwa Dirut perusahaan yang semula bergerak di bidang bisnis peralatan pesat terbang dan kemudian beralih ke bisnis Kapal Laut yang tinggal di Amerika Serikat itu sudah ditetapkan menjadi tersangka.

Belum lagi pihak-pihak perusahaan selaku Subkontrak PT PAL untuk pekerjaan perbaikan dan perawatan Kapal dengan memberikan sejumlah fee kepada PT PAL. Dan uang yang diterima Direksi PT PAL baik dari pengusaha selaku Subkonrak, khususnya yang berkaitan dengan penjualan 2 unit Kapal Perang ke Pemerintah Piliphina disetorkan sebagai Dana Komando.

Dan selanjutnya kasus dugaan Korupsi pembangunan Rumah Sakit Unair, Surabaya yang merugikan keuangan negara sebesar Rp85 miliyar, di mana KPK telah menetapkan mantan Rektor Unair periode 2006-2015 “FAS” sebagai tersangka, namun hingga saat ini belum juga “tuntas”.

Apakah KPK sebagai lembaga super body yang dipercaya pemerintah untuk menangani kasus Korupsi akan menuntaskan kasus-kasus Korupsi yang ditangani di Jawa Timur sejak tahun 2017 ?. (*)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top