0
#70% Anggaran Proyek APBD Pemkot Pasuruan dinikmati Pengusaha Konstruksi dari luar Kota, dan 30% untuk pengusaha Kontraktor/Asosasi lokal termasuk orang dekatnya terdakwa Setiyono (Wali Kota) serta fee mengalir ke Aparat Penegak Hukum#


beritakorupsi.co - “Ada Api ada Asap, ada penerima Suap ada pula pemberi Suap”. Ungkapan inilah yang mungkin tepat bagi para pejabat atau terdakwa yang terlibat dalam kasus Korupsi Suap di tanah air kita.

Dari ratusan bahkan ribuan Kasus Korupsi di tanah air yang ditangani KPK sejak dibentuknya KPK dan berlakunya UU Tindak Pidana Korupsi, salah satu diantaranya adalah kasus Korupsi Suap tangkap tangan Wali Kota Pasuruan Setiyono, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas PUPR Kota Pasuruan Dwi Fitri Nurcahyo dan Wahyu Tri Hardianto selaku pegawai honorer Pemkot Pasuruan (Kelurahan) yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 3 Oktober 2018.  


Saat ini Setiyono, Dwi Fitri Nurcahyo dan Wahyu Tri Hardianto diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya dengan tuduhan, menerima gratifikasi atau suap, dan dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, sebagaimana dakwaan Jaksa KPK yaitu Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 junckto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana teteh dtambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jis Pasal 55 ayat (1) Ke-1, Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. 

Pertanyaannya, Siapa yang terlibat menyuap Wali Kota Pasuran Setiyono sejak tahun 2016, 2017 dan 2018? Atau dari siapa saja uang suap sebesar Rp2.967.243.360 (dua milyar sembilan ratus enam puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh rupiah) yang diterima Wali Kota Setiono melalui Dwi Fitri Nurcahyo dan Wahyu Tri Hardianto serta bagaimana proses terjadinya suap menyuapan itu terjadi?.

Memang KPK tidak hanya menangkap Setiyono, Dwi Fitri Nurcahyo dan Wahyu Tri Hardianto. Tetapi saat itu (3 Oktober 2018) KPK juga turut menangkap Muhammad Baqir pemilik CV.
Mahadir) selaku penyuap, dan sudah di Vonis bersalah serta dijatuhi hukuman pidana penjara  selama 2 (dua) tahun.

Pertaanyaannya kemudian, apakah uang sebesar Rp2.967.243.360 (dua milyar sembilan ratus enam puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh rupiah) hanya dari si Muhammad Baqir, atau ada pihak lain ?.

Sedangkan dalam dakwaan, tuntutan Jaksa KPK maupun putusan Majelis Hakim terkait jumlah uang yang diterima terdakwa Setiyono dari terpidana Muhammad Baqir adalah sebesar Rp115.000.000 (seratus lima belas juta rupiah), lalu sisanya sebesar Rp2.852.243.360 (dua miliyar delapan ratus lima puluh dua juta dua ratus empat puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh rupiah) dari siapa ?

Foto atas kiri, terpidana Muhammad Baqir (pemilik CV Bahadir), dan foto bawa dari kanan, terdakwa Setiyono, Dwi Fitri Cahyono serta Wahyu Tri Hardiyanto
Pada hal dalam persidangan sudah terungkap, sebahagian nama-nama yang terlibat dalam pemberian uang suap itu kepada terdakwa Setiyono yang jumlahnya Rp2.967.243.360 (dua milyar sembilan ratus enam puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh rupiah), ternyata bukan hanya dari si Muhammad Baqir, melainkan puluhan pengusaha Kontraktor/Asosiasi Konstruksi di Pasuruan dan juga dari luar Kota Pasuruan.

Di antara nama-nama yang terungkap dalam persidangan terkait pemberian uang suap itu terhadap terdakwa Setiyono adalah si Wongso Kusumo selaku Direktur CV. Sinar Perdana yang juga Ketua Gapensi, “Trio Kwek-Kwek” yaitu Achmad Fadoli, Andi Wiyono, Prawito.

Selain itu, Andi Wiyono, Siti Chalimah, Bambang Parikesit, Murti Cahyani, Andi Wiyono, Sugeng Cahya Patria, Suko Setiyono, Achmad Fadoli, Abd. Rasyid, Achmad Fauzi, Aunur Rofiq, Sugiono Kartiadi Sudjoyo, Prawito, Arif Rozak, Fenty Bangkit Ardyansyah, Sugeng Cahya Patria, Muhammad Yahya, Roby Abdulrohim, Yus Saptono, M. Muzit, Supono dan rekanan lainnya yang tergabung dalam Lintas Asosiasi Kota Pasuruan (Gabungan beberapa Asosiasi Konstruksi), di mana Wongso Kusumo adalah sebagai Ketua dan Bendahara Muhammad Yahya serta Sekretarisnya Sugeng Cahya Patria.

Para pengusaha kontraktor dan Asosiasi di Kota Pasuruan ini mendapat proyek pekerjaan yang bersumber dari APBD Kota Pasuruan Tahun Anggaran 2016, 2017 dan 2018 sebesar 30 persen. Dan proyek pekerjaan itu tidaklah didapatkannya gratis begitu saja, melainkan ada fee yang besarnya 5% dari anggaran proyek pekerjaan saluran, dan 7% dari anggaran proyek pekerjaan jalan dan gedung setelah dikurangi pajak.

Uang itu ada yang disetorkan langsung ke terdakwa Setiyono, ada yang melalui Wongso Kusumo dan ada pula yang melalui Dwi Fitri Nurcahyo/Wahyu Tri Hardianto juga lewat keponakan Wali Kota Setiyono yaitu Hendri Prabowo pegawai Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Pasuruan. Dan si Hendri inilah yang dipercaya Setiyono untuk mengelola, menerima maupun menyalurkan uang “haram” itu. 

Yang masih “misterius” adalah nama-nama pengusaha kontraktor di luar Kota Pasuruan yang terlibat dalam pekerjaan proyek ABPD Kota Pasuruan sebesar 70%. Siapakah para pengusaha konstruksi di luar Kota Pasuruan yang terlibat itu? Apakah KPK akan mengungkapnya, atau akan tetap menjadi “mesterius”, atau KPK hanya cukup menyeret si Muhammad Baqir selaku penyuap Wali Kota Pasuruan Setiyono ? Lalau bagaimana dengan nama-nama yang disenut oleh Jaksa KPK dalam surat dakwaan?

Selain itu, ada lagi yang lebih “misterius dan memalukan” yaitu, Aparat Penegak Hukum yang disebut-sebut dalam persidangan juga menerima fee proyek. Siapakah Aparat Penegak Hukum di Kota Pasuruan yang menerima uang “haram” itu?

Pertanyaan selanjutnya, mengapa penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum KPK tidak menyeret pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian uang suap itu kepada terdakwa Setiyono ? Apakah ini yang disebut sebagai penegakan hukum kasus Tindak Pidana kejahatan yang luar biasa dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di tanah air?

Senin, 25 Maret 2019, Nama-nama yang terlibat dalam pemberian uang suap terhadap Wali Kota Setiyono terungkap dari keterangan 10 orang saksi yang dihadirkan Jaksa KPK dalam persidangan yang berlangsung di diruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya yang diketuai Majelis Hakim I Wayan Sosiawan dengan dibantu 2 (dua) Hakim anggota, Yakni Kusdarwanto dan Bagus Handoko (Keduanya Hakim Ad Hock)  serta  Panitra Pengganti Slamet Suripta, yang dihadiri Penasehat Hukum ketiga terdakwa (Setiyono, Dwi Fitri Cahyono dan Wahyu Tri Hardianto).

Ke- 10 saksi yang dihadirkan Tim Jaksa KPK Kiki Ahmad Yani dkk, adalah Bambang Parikesit, Sugeng Cahya Patria, Siti Chalimah, Muhammad Yahya (Direktur CV. Indra Bakti Bangsa), Mohammad Muzit, Supono (Direktur CV. Piratama Mandiri), Muhammad Baqir (CV Hadir), Hendri Prabowo (Keponakan Wali Kota Setiyono), Roby Abdulrohim dan Yus Saptono (Keduanya sebagai Konsultan pengawas). Para saksi yang dihadirkan itu adalah para pengusaha Konstruksi kecuali Hendri Prabowo.

Atas pertanyaan JPU KPK Kiki Ahmad Yani, para saksi ini menjelaskan dan mengakui Kepada Majelis Hakim, bahwa pada tahun 2016 ada pertemuan antara Wali Kota Setiyono bersama Dwi Fitri Cahyono  dengan para kontraktor/Asosiasi di rumah dinas Wali Kota.

Pertemuan itu adalah untuk mengatur Plotting proyek APBD Kota Pasuruan oleh Wali Kota kepada para rekenan/Asosiasi. Dari pemberian proyek itu, ada fee yang harus diberikan oleh setiap rekanan/kontraktor/Asosiasi kepada Wali Kota yang besarnya 5% dari anggaran proyek untuk pekerjaan saluran, dan 7% dari anggaran proyek untuk pekerjaan jalan dan gedung setelah dikurangi pajak.

“2016 ada pertemuan antara Wali Kota kontraktor, Asosiasi, ada 12 Asosiasi. Pertemuan itu sebagai perkenalan. Yang hadir, Yahya, Wongso, Achmad Fadoli, Andi Wiyono, Prawito dan ada Dwi (Dwi Tri Cahyono). Setelah itu ada lagi pertemuan di rumah dinas Wali Kota. Pertemuan itu ada plotting dan ada komitmen fee yang besarnya 5 persen untuk saluran dan 7 persen untuk pekerjaan jalan dan gedung, itu dari besarnya anggaran proyek setelah dikurangi pajak,” kata Sugeng Cahya Patria.

Sugeng mengakui, kalau dirinya mendapat proyek dan memberikan fee sebesar puluhan juta. Menurut Sugeng, uang itu diberikan ke Wali Kota yang dititipikannya melalui Andi Wiyono karean Andi Wiyono sangat dekat dengan Wali Kota.

Lebih lanjut Sugeng menjelaskan, pada tahun 2017 dibentuk lintas Asosiasi di Pasuruan yang Ketuanya adalah Wongso Kusumon, Bendaharanya Yahya dan Sekretaisnya adalah saksi sendiri. Dan pada tahun 2017, saksi juga mengakui telah memberikan fee sebesar Rp130 juta ke Wali Kota melalui Wongso.

“Tujuan dibentuknya lintas Asosiasi itu supaya kondusif dalam pertemanan antar kontraktor. Fee tahun 2017 sebesar seratus tiga puluh juta ke Wali Kota melalui Wongso,” kata Sugeng. Yang mengagetkan dari pengakuan Sugeng adalah, bahwa dirinya sudah mendapatkan RAB (Rencana Anggaran Biaya) dan Spesifikasi pekerjaan sebelum lelang di mulai.

Pengakuan saksi Sugeng Cahya Patria terkait adanya pertemuan dengan Wali Kota dan ploting proyek serta pemberian fee terhadap Wali Kota diakui juga oleh saksi lainnya, yaitu Bambang Parikesit, Siti Chalimah, Muhammad Yahya, Mohammad Muzit, Supono, Muhammad Baqir, Hendri Prabowo. Dan  para saksi juga mengakui telah merealisasikan fee proyek terhadap Wali Kota melalui Wongso dan ada juga yang langsung. 

Hendri (kiri beridiri) adalah keponakan terdakwa Setiyono
Salah satu saksi yaitu Roby Abdulrohim (Konsultan Pengawas), sempat “bulan’bulana” saat JPU KPK Kiki Ahmad Yani menjelaskan, bahwa berdasarkan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, dalam persidangan Jaksa KPK dapat meminta langsung kepada Majelis Hakim untuk mengeluarkan penetapan penahanan seorang saksi yang dianggap mempersulit persidangan dengan memberikan keterangan yang berbelit-belit atau yang tidak sesuai dengan keterangan saksi di BAP (Berita Acara pememriksaan), karena keterangan saksi dalam BAP saat dipenyidikan tidak mendapat tekanan apapun dan BAP itupun diparaf dan ditandatangani saksi sendiri.

Hal itu dijelaskan JPU KPK Kiki Ahmad Yani karena keterangan saksi terkait adanya pemberian fee tidak diakuinya. Namun akhirnya Roby  mungkin takut kalau dirinya sat itu langsung ditahan dan tidak pulang ke rumahnya dan akhirnya mengakui kalau ada fee dari proyek yang dikerjakannya sebagai konsultan pengawas.

“Saya masih bersikap baik loh… kalau nggak, berdasarkan Undang-undang KPK/Tindak Pidan Korupsi, dalam persidangan Jaksa KPK dapat meminta langsung kepada Majelis Hakim untuk mengeluarkan penetapan penahanan seorang saksi. Jadi saya minta saudara bicara jujur,” ucap JPU KPK Kiki Ahmad Yani.

“Ya ada fee antara lima persen sampai tujuh persen (5% - 7%) dari nilai anggaran setelah dipotong pajak,” jawab Roby.

Dari keterangan Roby Abdulrohim ada juga yang membuat geleng-geleng kepala, yaitu pengakuannya terkait fee ke Aparat Penegak Hukum (APH). Namun saksi tak menjelaskan secara rinci, siapa APH di Kota Pasuruan yang dimaksud. Apakah Kejaksaan atau Kepolisian.  
Roby dan Yus (kanan)

Pengakuan itu disampaikan oleh saksi Yus Saptono atas pertanyaan Penasehat Hukum terdakwa Dwi Fitri Cahyono, terkait kesiapa saja fee itu. “Ada ke Aparat Penegak Hukum,” kata saksi Yus Saptono.

Selain itu, usaha Penasehat Hukum terdakwa Dwi Fitri Cahyono untuk mengungkap pihak-pihak lain yang ikut mengerjakan proyek ABPD Kota Pasuruan yang berasal dari luar Kota Pasuruan itupun gagal karena Majelis Hakim tidak memberikan kesempatan. Alasan Majelis Hakim, bahwa hal itu tidak berkaitan dengan perkara yang sedang berlangsung.

Pada hal, uang suap yang diterima terdakwa Setiyono bisa jadi berkaitan dengan para kontraktor dari luar Kota Pasuruan itu. Karena kesempatan tidak diberikan, maka pihak-pihak yang dimaksudkanpun gagal untuk “dinyanyikan”.

Sementara Hendri mengakui kalau dirinya disuruh oleh terdakwa Setyono untuk mengelola uang yang berumber dari para pengusaha Konstruksi itu. Bahkan Hendri pernah menerima uang sebesar Rp300 juta dari rekanan. Hendri juga mengakui, ada beberapa rekning milik terdakwa Setiyono yang juga adik dari Ibu saksi yang dikelola oleh saksi sendiri termasuk membuka rekening baru.

"Ya, saya disuruh. Kalau ada yang perlu ya diambil dari situ" kata Hendri

Kepada media ini, salah seorang dari Tim Penasehat Hukum terdakwa Dwi Fitri Cahyono mengatakan, bahwa sesuai fakta persidangan, anggaran proyek sebesar 70% dikerjakan oleh pihak lain dari luar Kota Pasuruan, dan selain itu ada fee ke Aparat Penegak Hukum sesuai pengakuan saksi Yus Saptono.

“Yang kita inginkan adalah persidangan yang terang benderang. Karena sesuai fakta persidangan, ada anggaran proyek sebesar 70% yang dikerjakan oleh pihak lain di luar Pasuruan. Selain itu, ada 160 proyek yang diduga bermasalah, siapa yang mengerjakan itu, itu yang kita ingkan agar terungkap. Termasuk ada fee ke Aparat Penegak Hukum sesuai pengakuan saksi Yus Saptono,” ujarnya. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top