Terdakwa Mustofa Kamal Pasha (mantan Bupati Mojokerto) |
beritakorupsi.co - Siapa tersangka baru dalam kasus Korupsi Bupati Mojokerto Mustopa Kamal Pasha sebesar Rp2.250.000.000 (dua miliyar dua ratus lima puluh juta rupiah), terkait pemberian 11 ijin IPPR (Ijin Prinsip Pemanfataan Ruang) dan 11 ijin IMB (Izin Mendirikan Bangunan) pembangunan Tower Telekomunikasi yang sudah dibangun 1 tahun sebelumnya sebelum aada ijin oleh PT Protelindo di Kabupaten Mojokerto tahun 2015 selaku pemilik yang menyewakan kepada Perusahaan Telkomsel, XL dan Tree ?
Pertanyaan ini muncul setelah Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya membacakan surat putusan (Vonis) kepada 5 (lima) terdakwa, yaitu Ockyanto, Nabiel Titawano, Onggo Wiajaya, Suhawi dan Subhan yang didakwa selaku penyuap Bupati Mojokerto Mustopa Kamal Pasha, yang berlangsung diruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya Jalan Raya Juanda, Sedati, Sidoaro Jawa Timur, pada Kamis, 4 April 2019.
Karena dalam putusan Majelelis Hakim mengatakan, barang bukti dikembalikan kepada Jaksa untuk perkara lain. Sementara dalam kasus ini, KPK baru menetapkan dan menyeret ke Pengadilan Tipikor Surabaya untuk diadili sebanyak 6 orang, yang terdiri dari 1 penerima suap yaitu Mustopa Kamal Kamal Pasha selaku Bupati Mojokerto, dan sudah divonis 8 tahun dari tuntutan Jaksa KPK selama 12 tahun, yang saat ini masih menunggu putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur.
Dalam fakta persidangan terungkap, bahwa untuk biaya pengurusan Ijin Tower milik PT Protelindo adalah dari Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto menyampaikan ke Subhan, saat Subhan menemui Bambang Wahyudi dengan memperkenalkan diri sebagai Wakil Bupati Malang untuk membantu Suhawi yang mengalami kesulitan untuk pengurusan Ijin dan meminta bantuan Subhan. Dan Subhan pun mengalami kesulitan untuk menemui Buapti Mojokerto.
Penyerahan uang fee perijinan Tower milik PT Protelindo terhadap Mustofa Kamal Pasha bukan dari kelima terdakwa. Karena yang terungkap dalam fakta persidangan maupun dalam surat dakwaan dan surat tuntutan JPU KPK, adalah setelah terdakwa I Onggo Wijawa berkomunikasi dengan Herman Setya Budi selaku Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk dan Direktur Utaama PT Solu Sindo Kreasi Pratama) terkait penyegelan tower, kemudian terdakwa I Onggo Wijaya kepada terdakwa II Suhawi.
Dari terdakwa II Suhawi kepada terdakwa III Subhan. Dari terdakwa III Subhan kepada Nano Santoso Hudiarto alias Nono dihadapan Bambang Wahyudi. Kemudian dari Nano Santoso Hudiarto alias Nono kepada Lutfi Arif Mustaqin selaku ajudan Bupati. Dari Lutfi Arif Mustaqin inilah baru disampaikan ke Mustofa Kamal Pasha.
Jadi tak salah memang, bila pada saat persidangan terdakwa Mustopa Kamal Pasha mengatakan, tidak menerima duit dari Ockyanto, Nabiel Titawano, Onggo Wiajaya, Suhawi dan Subhan yang didakwa selaku pemberi suap. Lalau siapa tersangka barunya ?
Sedangkan terdakwa Ockyanto, Nabiel Titawano, Onggo Wiajaya, Suhawi dan Subhan didakwa dan divonis terbukti bersalah selaku pemberi suap. Dan Barang Bukti (BB) dikembalikan kepada Jaksa untuk perkara lain.
Lalu Barang Bukti (BB) yang disebutkan oleh Majelis Hakim dalam putusannya, dikembalikan kepada Jaksa untuk perkara lain. Untuk perkara yang mana dan tersangkanya siapa ?
Sementara menurut JPU KPK Nur Haris Arhadi saat ditanya wartawan media ini seusai persidangan mengatakan, bahwa hingga saat ini KPK belum melakukan penyidikan baru dalam kasus Korupsi Suap Bupati Mojokerto Mustopa Kamal Pasha terkait pemberian 11 Ijin IPPR dan 11 Ijin IMB pembangunan Tower milik PT Protelindo di Kabupaten Mojokerto pada tahun 2015.
“Yang jelas, hingga saat ini belum ada penyidikan baru. Tapi kita akan menyapaikan fakta yang terunhkap dalam persidangan kepada Pimpinan,” ujar JPU KPK Nur Haris Arhadi.
Saat ditanya lebih lanjut, apakah kasus ini akan berhenti di sini atau masih ada pengembangan ?. Menanggapi hal itu, JPU KPK Nur Haris Arhadi menjelaskan, ada.
“Tidak berhenti di sini, ada,” pungkasnya.
Andai saja ada Undang-Undang di negeri ini yang mengatur tentang kewenangan Majelis Hakim dalam persidangan untuk menetapkan dengan mengeluarkan surat penetapan menjadi tersangka terhadap seseorang sesuai fakta dalam persidangan, mungkin Hakimpun akan menyebutkannya pada saat membacakan putusan (Vonis) terhadap terdakwa.
Namun karena para pemangku jabatan dinegeri ini tidak memikirkan dan tidak membuat Undang-Undang tentang kewenangan Majelis Hakim untuk menetapkan dengan mengeluarkan surat penetapan menjadi tersangka terhadap seseorang sesuai fakta dalam persidangan dalam penegakan hukum Khususnya dalam perkara Tindak Pidana Korupsi, maka putusan Majelis Hakimpun hanya menyebutkan “barang bukti dikembalikan untuk Jaksa dalam perkara lain”.
Akibatnya, tak sedikit perkara Korupsi yang sudah disidangkan dan putusan telah berkuatan hukum tetap, tak ada kelanjutan atau pengembangan dari perkara tersebut, seperti kasus Korupsi pelepasan aset daerah Kabupaten Blitar pada tahun 2013, di mana dalam putusan Majelis Hakim menyebutkan, bahwa Bupati turut bertanggung jawab terhadap pelepasan aset daerah.
Dan kasus perkara Korupsi Roud Show Kota Batu ke Kota Balikpapan, Kalimantan pada tahun 2015 lalu. Di mana dalam putusan Majelis Hakim menyebutkan, bahwa Wali Kota dan Kepala Inspektorat serta 2 Staf Pemkot Batu turut bertanggung jawab. Namun hingga saat ini, kedua kasus itupun tak ada kelanjutannya. Karena mungkin Kejaksaan menganggap bahwa “putusan itu tidak cukup bukti”.
Sekalipun ada Undang-Undang yang mengatur kewenangan Majelis Hakim untuk menetapkan dengan mengeluarkan surat penetapan menjadi tersangka terhadap seseorang sesuai fakta dalam persidangan dalam penegakan hukum Khususnya dalam perkara Tindak Pidana Korupsi, bila Aparat Penegak Hukum (APH) tidak melaksanakannya, tak ada bedanya dengan dua kaus perkara Koruspsi yang terjadi di Blitar dan Kota Batu.
Terdakwa Ockyanto dan Nabiel Titawano (kanan) |
Yang lebih anehnya lagi, setelah Majelis Hakim mengatakan dalam putusannya terkait keterlibatan seseorang dalam perkara tersebut, tak jarang hanya mengatakan masih didalami.
Tak heran memang, bila kasus Mega Korupsi P2SEM Provinsi Jawa Timur pada tahun 2008 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp277,6 miliar yang berasal dari APBD-P TA 2008 lalu, hingga saat ini tak ada kelanjutannya hingga 2 saksi utama selaku terpidana telah berangkat menghadap sang Ilahi, yaitu Mantan Ketua DPRD Jatim yang pernah membuat laporan ke Kejati Jatim setelah keluar dari penjara, dan dr. Bagus yang meninggal di Lapas Porong beberapa bulan lalu.
Sedangkan untuk biaya pengurusan ijin Tower yang disampaikan Bambang Wahyudi ke Subhan adalah sebesar Ro200 juta per Tower sesuai permintaan Bupati Mojokerto Mustopa Kamal Pasha.
Sementara dalam kasus Korupsi suap Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasha, berawal pada awal tahun 2015, saat Suharsono selaku Ka Sat Pol PP (Kepala Satuan Polisi Pamong Praja) Kabupaten Mojokerto, melaporkan kepada Mustopa Kmal Pasha, bahwa di wilayah Kabupaten Mojokerto ditemukan, ada Tower Telekomunikasi yang telah berdiri dan beroperasi, tetapi belum memiliki IPPR dan IMB. Atas laporan tersebut, Mustopa Kamal Pasha memerintahkan untuk dilakukan pemetaan dan pendataan jumlah Tower Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto yang belum memiliki izin.
Setelah melakukan pemetaan dan pendataan, Suharsono melaporkan kepada Mustofa Kamal Pasha, bahwa ditemukan 11 (sebelas) Tower telekomunikasi atas nama perusahaan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT Protelindo) yang telah beroperasi, tetapi belum memiliki izin IPPR dan IMB. Atas laporan tersebut, Mustopa Kamal Pasha memerintahkan agar dilakukan penyegelan atas tower-tower yang dimaksud, sampai ada izin IPPR dan IMB. Kemudian dilaksanakanlah penyegelan dan penyitaan peralatan oleh Sat Pol PP Kabupaten Mojokerto.
Setelah dilakukan penyegelan, Mustopa Kamal Pasha memerintahkan Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto, bahwa untuk perijinan dari tower dimaksud, harus ada fee untuk Mustopa Kamal Pash sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) per towemya, dan fee tersebut agar diserahkan melalui Nano Santoso Hudiarto alias Nono selaku orang kepercayaannya (Mutopa Kamal Pasha).
Atas penyegelan 11 tower telekomunikasi PT Protelindo tersebut, Suciratin dan Indra Mardani mendapat laporan dari tim di lapangan, bahwa ada tower milik PT Protelindo yang disegel oleh Sat Pol PP Kbpuaten Mojokerto, dan tidak dapat beroperasi karena perijinannya belum lengkap. Kemudian Suciratin dan Indra Mardani melaporkanya kepada terdakwa I Ongko Wijaya. Dan terdakwa I Ongko Wijowo kemudian memerintahkan Suciratin dan Indra Mardani untuk menyelesaikan permasalahan ijin tower telekomunikasi tersebut supaya tower dapat beroperasi kembali.
Kemudian Suciratin dan Indra Mardani meminta bantuan terdakwa II Achmad Suhawi selaku Direktur CV Sumajaya Citra Abadi untuk mengurus permasalahan perijinan tower telekomunikasi milik PT Protelindo di Kabupaten Mojokerto, sampai dengan tower dapat beroperasi kembali, dan terdakwa II Achmad Suhawi menyanggupinya.
Selanjutnya terdakwa II Achmad Suhawi menemui Mustopa Kamal Pasha di Vila miliknya, untuk meminta bantuan terkait penyegelan tower telekomunikasi milik PT Protelindo, dan Mustopa Kamal Pasha menyampaikan, agar diurus melalui Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto.
Setelah pertemuan itu, terdakwa II Achmad Suhawi menemui Bambang Wahyudi di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto dan menanyakan tentang penyegelan tower telekomunikasi milik PT Protelido. Bambang Wahyudi pun menyampaikan, bahwa tower telekomunikasi disegel karena perijinannya belum lengkap. Untuk itu, agar dilengkapi dan dibayar dendanya, serta perijinan tidak bisa diproses sebelum ada disposisi dari Mustofa Kamal Pasha.
Karena merasa kesulitan, terdakwa II Achmad Suhawi kemudian meminta bantuan untuk pengurusan ijin tower milik Protelindo yang disegel Pemkab Kabupaten Mojokerto kepada terdakwa III Subhan, yang menjabat selaku Wakil Bupati Malang Periode 2010 - 2015, dan terdakwa III Subhan pun menyanggupinya.
Kemudian terdakwa III Subhan menemui Bambang Wahyudi di kantor BPTPM dengan memperkenalkan diri sebagai Wakil Bupati Malang, dan meminta agar dibantu proses pengurusan ijin tower milik PT Protelindo yang disegel. Bambang Wahyudi pun menyampaikan, untuk pengurusan ijin tersebut harus disediakan fee untuk Mustofa Kamal Pasha sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) per-towernya, atau sebesar Rp2.200.000.00 (dua milyar dua ratus juta rupiah) untuk 11 tower.
Permintaan Bambang Wahyudi itupun disanggupi oleh terdakwa III Subhan, lalu menyampaikannya kepada terdakwa II Achmad Suhawi, bahwa untuk pengurusan tower telekomunikasi tersebut diperlukan biaya termasuk fee untuk Mustofa Kamal Pasha sebesar Rp2.460.000.000 (dua milyar empat ratus enam puluh juta rupiah).
Kemudian terdakwa II Achmad Suhawi menyampaikannya kepada terdakwa I Onggo Wijaya melalui Suciratin dan Indra Mardani, bahwa biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk Mustofa Kamal Pasha yang dibutuhkan sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh tujuh rupiah), dan terdakwa I Onggo Wijaya pun menyetujuinya.
Sebagai realisasi pengurusan ijin tower telekomunikasi milik PT Protelindo termasuk fee untuk Mustofa Kamal Pasha, terdakwa I Onggo Wijaya menyetujui permintaan pencairan dana dari terdakwa II Achmad Suhawi.
Pada sekitar bulan Juni sampai dengan Oktober 2015, terdakwa I Onggo Wijaya memberikan uang kepada terdakwa II Achmad Suhawi seluruhnya sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas n'bu dua ratus lima puluh lima rupiah) secara bertahap melalui transfer ke rekening CV. Sumajaya Citra Abadi dengan rincian sebagai berikut ;
1. Pada tanggal 8 Mei 2015 sebesar Rp1.515.306.133 (satu milyar lima ratus lima belas juta tiga ratus enam ribu seratus tiga puluh tiga rupiah);
2. Tanggal 25 Juni 2015 sebesar Rp757.653.061 (tujuh ratus lima puluh tujuh juta enam ratus lima puluh tiga ribu enam puluh satu rupiah);
3. Tanggal 15 Oktober 2015 sebesar Rp482.142.857 (empat ratus delapan puluh dua juta seratus empat puluh dua ribu delapan ratus lima puluh tujuh rupiah);
4. Tanggal 22 Oktober 2015 sebesar Rp275.510.204 (dua ratus tujuh puluh lima juta lima ratus sepuluh ribu dua ratus empat rupiah).
Dari total uang yang diterima terdakwa II Achmad Suhawi dari terdakwa I Onggo Wijaya sebesar Rp3.030.612.255 itu, hanya Rp Rp2.460.000.000 yang diserahkan ke terdakwa III Subhan. Sedangkan sisanya sebesar Rp250.000.011 (Dua ratus lima puluh juta sebelas rupiah) tetap dikantong terdakwa II Achmad Suhawi.
Uang sebesar Rp2.460.000.000 (dua milyar empat ratus enam puluh juta rupiah) itupun diberikan terdakwa II Suhawi kepada terdakwa III Subhan secara bertahap melalui cek maupun transfer dengan rincian sebagai berikut ;
1. Pada tanggal 16 Juni 2015 sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) di Hotel Utami Surabaya,; 2. Tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) di Hotel Mercure Surabaya,; 3. Tanggal 23 Juni 2015 sebesar Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) di Bank BRI Cabang Jembatan Merah Surabaya,; 4. Tanggal 25 Juni 2015 secara tunai sebesar Rp850.000.000 (delapan ratus lima puluh juta rupiah) di Bank BRI Mojokerto Cabang Mojopahit dan ke 5. Tanggal 17 September 2015 melalui cek sebesar Rp460.000.000 (empat ratus enam puluh juta rupiah) di Gedung Bidakara.
Pada tanggal 20 Mei 2015, terdakwa III Subhan, sebelum menerima uang dari terdakwa II Achmad Suhawai, terlebih dahulu menemui Bambang Wahyudi untuk menyampaikan, bahwa PT. Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk Mustofa Kamal Pasha seluruhnya sebesar Rp2.200.000.000 (dua milyar dua ratus juta rupiah), atau sebesar Rp200.000.000 per-towemya, dan akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) untuk diberikan kepada Mustofa Kamal Pasha.
Sedangkan sisanya sebesar Rp1.400.000.000 (Satu miliyar empat ratus juta rupiah) dari total uang sebesar Rp2.460.000.000 (dua milyar empat ratus enam puluh juta rupiah) yang diterima terdakwa III Subhan dari terdakwa II Suhawi, tetap diakntongi alias dinikmati terdakwa III Subhan.
Dan setelah pertemuan itu, Bambang Wahyudi meminta Khoirul Munif untuk segera memfinalisasi berkas permohonan pengurusan 11 izin tower telekomunikasi milik PT Protelindo.
Pada tanggal 24 Juni 2015, Bambang Wahyudi menemui Mustofa Kamal Pasha di ruang kerjanya untuk mengajukan permohonan rekomendasi perijinan 11 menara tower telekomunikasi yang diajukan oleh PT. Protelindo guna mendapatkan disposisi. Sebelum memberikan disposisi, Mustofa Kamal Pasha menanyakan fee yang pernah disampaikan sebelumnya kepada Bambang Wahyudi, dan mendapat jawaban, bahwa uang fee telah disanggupi pihak PT Protelindo, tetapi belum diberikan. Untuk itu Mustopa Kamal Pasha meminta agar fee secepatnya diminta, dan Mustofa Kamal Pasha pun memberikan paraf dan disposisi untuk di tindak lanjuti.
Pada tanggal 25 Juni 2015. terdakwa III Subhan dan Terdakwa II Achmad Suhawi melakukan pertemuan dengan Bambang Wahyudi di perumahan Griya Permata Meri Mojokerto, untuk menyerahkan uang muka sebagai fee kepada Mustofa Kamal Pasha sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) untuk diserahkan kepada Mustofa Kamal Pasha melalui Nano Santoso Hudiarto alias Nono.
Kemudian Bambang Wahyudi menghubungi Nano Santoso Hudiarto alias Nono meminta datang ke perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto, untuk mengambil uang tersebut. Sesampainya Nano Santoso Hudiarto alias Nono di perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto, terdakwa III Subhan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) kepada Nano Santoso Hudiarto alias Nono.
Setelah menerima uang, Nano Santoso Hudiarto alias Nono meminta Lutfi Arif Mustaqin (ajudan Bupati) untuk menemuinya di daerah Mojosari Mojokerto, dan setelah Lutfi Arif Mustaqin datang, Nano Santoso Hudiarto alias Nono menyerahkan uang sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) itu kepada Lutfi Arif Mustaqin, dan kemudian uang tersebut disimpan oleh Lutfi Arif Mustaqin di meja kerja ruang dinas Mustofa Kamal Pasha, dan melaporkanya kepada Mustofa Kamal Pasha.
Setelah uang diterima oleh Mustofa Kamal Pasha, 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan 11 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pembangunan tower telekomunikasi milik PT Protelindo pun diterbitkan.
Ke- 5 terdakwa (Ockyanto, Nabiel Titawano, Onggo Wiajaya, Suhawi dan terdakwa Subhan) ini dibagi dalam 2 berkas penuntutan termasuk dalam sidang pembacaan putusan oleh Majelis Hakim yang berlangsung diruang sidang Cakra Pengadilan Tipikir Surabaya Jalan Raya Juanda, Sedati, Sidaorjo Jwa Timur, pada Kamis, 4 April 2019.
Pembacaan surat putusan (Vonis) yang pertama adalah untuk Terdakwa I Ockyanto dan terdakwa II Nabiel Titawano (satu berkas perkara). Untuk terdakwa I Ockyanto selaku Permint & Regulatory Division Head PT Tower Bersama lnfrastructurure Tower Bersama Grup (PT TBG), divonis pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 3 (tiga) bulan dan denda sebesar Rp100 juta subsidair 1 bulan kurungan.
Kemudian terdakwa II Nabiel Titawano selaku Penyedia Jasa di PT Tower Bersama lnfrastructurure Tower Bersama Grup (PT TBITBG). Terdakwa Nabiel Titawano dipenjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp100 juta subsidair 1 bulan kurungan. Vonis yang dijatuhkam Majelis Hakim terhadap Kedua terdakwa ini lebih ringandari tuntutan Jaksa KPK, yaitu dengan pidana penjara masing-masing selama 3 tahun dan denda masing-masing sebesar Rp200 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Selanjutnya Tiga terdakwa lainnya yang divonis kemudian dalam satu berkas perkara adalah Onggo Wijaya, Suhawi dan Subhan).
Untuk terdakwa I Onggo Wijaya selaku Direktur Operasi PT Protelindo divonis pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp100 juta subsidaoe 1 bulan kurungan. Hukuman terhadap terdawa ini lebih ringan 1 (satu) tahun termasuk denda dari tuntutan JPU KPK yaitu pidana penjara selama 3 tahun denda sebesar Rp200 juta subsidair 6 bulan kurungan. Yang sama dari tuntutan Jaksa KPK dengan putusan Majelis Hakim adalah terkait uang sebesar Rp3 miliyar yang diperoleh PT Protelondo dari hasil menyewakan Tower Ke Telkomsel, XL dan TREE yang sudah dikembalikan terdakwa ke negara melalui KPK, dirampas untuk negara, karena menurut Majelis Hakim, duit yang diperoleh oleh PT Protelindo tidak sah karena Towe yang dibangun belum ada ijin.
Dan Terdakwa II Suhawi, selaku Direktur CV Sumajaya Citra Abadi, divonis pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan, denda sebesar Rp100 juta subsidair 1 bulan kurungan. Selain hukuman penjara, terdakwa Suhawi juga di hukum untuk mengembalikan duit sebesar Rp250 juta yang dianggapnya sebagai keuntungan atau fee dari PT Protelondo karena sudah membantu pengurusan Ijin, namun menurut Majelis Hakim dan sesuai fakta persidangan, tidak ada bukti sebagai kerjasama antara terdakwa Suhawi dengan terdakwa Onggo Wijaya. Kalau terdakwa Suhawi tidak membayar dalam waktu 1 bulan setelah hukuman berkekuatan hukum tetap (Inckrah), maka hartanyalah yang akan disita oleh Jaksa untuk dilelang sebagai uang pengganti. Kalau tidak cukup, akan dipenjara selama 1 bulan.
Vonis inipun lebih ringan dari tuntutan Jaksa KPK, yaitu dengan peidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan dan denda sebesar Rp200 juta subsidair 6 bulan kurungan. Membayar uang pengganti sebesar Rp250.000.011 (Dua ratus lima puluh juta sebelas rupiah) dalam waktu 1 (satu) bulan setelah hukuman berkekuatan hukum tetap (Inckrah), maka hartanyalah yang akan disita oleh Jaksa untuk dilelang sebagai uang pengganti. Kalau tidak cukup, akan dipenjara selama 1 tahun.
Selanjutnya terdakwa III Subhan selaku Wakil Bupati Malang periode 2010 - 2015 yang juga sebagai Direktur CV. Central Manunggal dipenjara selama 2 tahun an 8 bulan denda sebesar Rp150 juta subsidair 4 bulan kurungan. Terdakwa juga di hukum untuk mengembalikan duit sebesar Rp1.375 miliyar dari total duit yang diperolehnya sejumlah Rp1.4 miliyar, karena baru mengembalikan ke negara melalui KPK sebesar Rp25 juta, dalam waktu 1 (satu) bulan setelah hukuman berkekuatan hukum tetap (Inckrah), maka hartanyalah yang akan disita oleh Jaksa untuk dilelang sebagai uang pengganti. Kalau tidak cukup, akan dipenjara selama 1 tahun.
Terdakwa III Subhan juga memperoleh keringanan hukuman dari Majelis Hakim. Karena dalam tuntutan JPU KPK, yaitu dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan dan denda sebesar Rp200 juta subsidair 6 bulan kurungan, serta mengembalilakan duit sejumlah Rp1.375 miliar atau dipenjara selama 1 tahun dan 6 bulan kalau terdakwa tidak membayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, atau Jaksa akan menyita harta benda terdakwa untuk dilelang sebagai uang pengganti yang tidak mencukupi. (Rd1)
Posting Komentar
Tulias alamat email :