0
“Terdakwa menyebutkan dalam Eksepsinya, Bahwa surat dakwan JPU Kejari Bojonegoro No.
No.Reg.Perk : PDS.02/O.5.16/Ft.1/06/2019, melanggar Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara”


beritakorupsi.co - Adakah rekayasa dalam Kasus perkara Korupsi Nomor 72/PID.SUS/TPK/2019/PN.SBY dengan terdakwa Drs. Syamsul Hadi, Ak.,CA selaku Kepala Inspektorat Kabupaten Bojonegoro, yang bermula dari laporan masyarakat kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro terkait adanya dugaan penyimpangan anggaran belanja biaya khusus pemeriksaan / pengawasan Rencana Kerja Anggaran (RKA) Inspektorat Kabupaten Bojonegoro tahun anggaran 2015, 2016 dan tahun 2017, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1.714.067.500 (satu milyar tujuh ratus empat belas juta enam puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) berdasarkan hasil penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia dengan Nomor : 101 / LHP / XXI / 12 / 2018 tanggal 28 Desember 2018.

Hal ini terungkap dari surat Eksepsi atau keberatan terdakwa Drs. Syamsul Hadi, Ak.,CA atas surat dakwaan JPU Kejari Bojonegoro No.Reg.Perk : PDS.02/O.5.16/Ft.1/06/2019 dalam kasus perkara Tindak Pidana Korupsi penyimpangan anggaran belanja biaya khusus pemeriksaan / pengawasan Rencana Kerja Anggaran (RKA) Inspektorat Kabupaten Bojonegoro tahun anggaran 2015, 2016 dan tahun 2017 sebesar Rp1.714.067.500 (satu milyar tujuh ratus empat belas juta enam puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) berdasarkan hasil penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia dengan Nomor : 101 / LHP / XXI / 12 / 2018 tanggal 28 Desember 2018.

Dalam surat dakwaan JPU ada yang menggelitik. Sebab JPU Kejari Bojonegoro menyebutkan, bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri sejak tahun 2015 sampai dengan 2017 sebesar Rp528.090.000 (Lima ratus dua puluh delapan juta sembilan puluh ribu rupiah) atau orang lain sebesar Rp1.185.977.500 (Satu miliar seratus delapan puluh lima juta sembilan ratus tujuh puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp1.714.067.500 (satu milyar tujuh ratus empat belas juta enam puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).

Atau setidak–tidaknya sekitar jumlah tersebut, sesuai perhitungan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia dengan Nomor : 101 / LHP / XXI / 12 / 2018 tanggal 28 Desember 2018.

Anehnya, JPU menyebutkan dalam surat dakwaannya, bahwa terdakwa Drs. Syamsul Hadi, Ak.,CA telah memperkaya diri sendiri sejak tahun 2015 sampai dengan 2017 sebesar Rp528.090.000 (Lima ratus dua puluh delapan juta sembilan puluh ribu rupiah), atau orang lain sebesar Rp1.185.977.500 (Satu miliar seratus delapan puluh lima juta sembilan ratus tujuh puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp1.714.067.500 (satu milyar tujuh ratus empat belas juta enam puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).

Yang lebih anehnya lagi, JPU tidak menyebutkan siapa pihak-pihak yang dimaksud, yang turut menikmati duit sebesar Rp1.714.067.500 (satu milyar tujuh ratus empat belas juta enam puluh tujuh ribu lima ratus rupiah), jauh lebih besar dari tuduhan JPU terhadap terdakwa?.

Mengapa dalam dalam surat dakwaan JPU, tidak menyertakan Pasal 55 ayat (1) Ke- 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menyeret pihak-pihak lain sebagai orang yang turut serta?

Apakah JPU “bingung” dalam membuat surat dakwaannya terkait kerugian keuangan negara yang dituduhkan terhadap terdakwa?. Sebab di satu sisi, JPU menyebutkan kerugian keuangan negara sebesar Rp1.714.067.500 (satu milyar tujuh ratus empat belas juta enam puluh tujuh ribu lima ratus rupiah). Di sisi lain, JPU hanya menuduh bahwa kerugian negara yang dilakukan oleh terdakwa sebesar Rp528.090.000 (Lima ratus dua puluh delapan juta sembilan puluh ribu rupiah). Adakah yang diselamatkan dalam kasus ini?

Pada hal, dalam surat dakwaan JPU dengan jelas menyebutkan dan merinci, bahwa jumlah anggaran atau duit yang menjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp1.714.067.500 (satu milyar tujuh ratus empat belas juta enam puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) dinikamati oleh sebanyak 50 orang pegawai Inspektorat Kabupaten Bojonegoro.

Dalam kasus ini, terdakwa, Terdakwa Drs. Syamsul Hadi. Ak.CA  dijerat dalam Pasal 2 ayat (1) (atau Pasal 3) jo Pasal 18 Undang–Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang–Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara dalam persidangan yang berlangsung di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya, pada Kamis, 25 Juli 2019 adalah agenda pembacaan surat Eksepsi atau keberatan oleh terdakwa maupun melalui Tim Penasehat Hukumnya atas surat dakwaan JPU yang diketuai Hakim Dede Suryaman, SH., MH dengan dibantu 2 (dua) Hakim anggota (Ad Hock) yaitu Emma Elyani, SH., MH dan John Desta, SH, dan dihadiri JPU Prya Agung Jatmiko dari Kejari (Kejaksaan Negeri) Bojonegoro, serta Tim Penasehat Hukumnya yang terdiri dari Ir. Bayu Wibisono TEP, SH dkk.

Dalam surat Eksepsinya terdakwa mengatakan, bahwa tuduhan masyarakat terhadap dirinya yang dianggap telah melakukan / penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan internal oleh inspektorat Kabupaten Bojonegoro, yaitu dengan melaporkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro.

Atas tuduhan ini, terdakwapun menjelaskan, bahwa SK Inspektorat Kabupaten Bojonegoro tidak terdapat unsur penyalahgunaan wewenang berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Tuduhan penyalahgunaan wewenang tersebut, terdakwa melalui Kuasa Hukumnya telah melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk melakukan pemeriksaan atas Surat Keputusan Nomor : 800/13.a/201.412/2016 tentang Perubahan Atas Keputusan Nomor : 800/13/201.412/2016 tentang Satuan Biaya Khusus Pemeriksaan/Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro Tahun Anggaran 2016.

“Hasil pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya menyatakan dengan keputusannya, bahwa SK Inspektorat tersebut tidak terdapat unsur penyalahgunaan wewenang.  Dengan demikian, maka tuduhan masyarakat tersebut tidak benar,” ungkap terdakwa.

Terdakwa juga menuding dakwaan JPU Kejari Bojonogero No.Reg.Perk : PDS.02/O.5.16/Ft.1/06/2019 telah melanggar Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam perkara Tindak Pidana Korupsi (TPK) penyimpangan anggaran belanja biaya khusus pemeriksaan / pengawasan Rencana Kerja Anggaran (RKA) Inspektorat Kabupaten Bojonegoro tahun anggaran 2015, 2016 dan tahun 2017

Terdakwa mengatakan,  jika dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut dilaksanakan/diterima, maka dakwaan tersebut telah melanggar pasal 34 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Menurur terdakwa Drs. Syamsul Hadi, Ak.,CA, bahwa dalam Perbup (Peraturan Bupati) Nomor 48 Tahun 2014 pasal 33 menyatakan, Ketentuan Standar Biaya Perjalanan Dinas tidak berlaku untuk pelaksanaan pemeriksaan Inspektorat. Dan dalam SK Inspektorat Bojonegoro adalah sebagai tindak lanjut atas Perbup tentang SBU (Standar Biyaa Umum), dan sesuai dengan target kinerja yang terdapat dalam Perda APBD, Perbup Penjabaran APBD dan DPA Inspektorat, maka untuk kegiatan pemeriksaan menggunakan sistem paket.

Terdakwa mengatakan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 54 ayat (1) menyatakan, bahwa SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan yang tidak tersedia anggarannya, dan/atau yang tidak cukup tersedia anggarannya dalam APBD. Atas dasar tersebut, dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima

Terdakwa membeberkan, bahwa Inspektur Kabupaten Bojonegoro menerbitkan Surat Keputusan : 1. Keputusan Nomor : 800/07/201.412/2015 tanggal 12 Januari 2015,; 2. Keputusan Nomor : 700/24/201.412/2015 tanggal 04 Mei 2015,; 3. Keputusan Nomor : 700/27/201.412/2015 tanggal 04 November 2015,; 4. Keputusan Nomor : 800/13/201.412/2016 tanggal 06 Januari 2016,; 5. Keputusan Nomor : 800/13.a/201.412/2016 tanggal 29 Januari 2016,; 6. Keputusan Nomor : 700/01/412.100/2017 tanggal 06 Januari 2017,; 7. Keputusan Nomor : 800/37/KEP/412.100/2017 tanggal 09 Oktober 2017.

Menurut terdakwa, bahwa Keputusan-keputusan Inspektur tersebut merupakan tindak lanjut atas Perbup Bojonegoro tentang SBU Tahun 2015, 2016 dan 2017.

“Namun oleh Jaksa Penuntut Umum dianggap tidak berlaku atau tidak sah. Sikap Jaksa Penuntut Umum tersebut bertentangan dengan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,  dan pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang secara tegas menyatakan, bahwa jika terdapat suatu kesalahan dalam keputusan dan/atau tindakan selama belum ada pembatalan, maka keputusan dan/atau tindakan tersebut tetap sah dan mengikat,” ucap terdakwa saat membacakan Eksepsinya.

Terdakwa mengatakan, bahwa yang dapat melakukan pembatalan atas keputusan dan/atau tindakan yang salah adalah Pejabat Pemerintahan dan/atau atasan pejabat yang melakukan keputusan atau berdasarkan perintah pengadilan

Menurut terdakwa, bahwa Surat Keputusan Inspektur Bojonegoro tentang Standar Biaya Khusus Pemeriksaan/Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro Tahun Anggaran 2015. 2016 dan 2017, merupakan hasil Keputusan Tata Usaha Negara yang harus dianggap sah secara hukum sampai dengan adanya keputusan Pengadilan yang menyatakan sebaliknya.

“Hal tersebut berdasarkan asas praduga sah (praesumptio iustae causa). Dimana dalam asas ini mengandung makna bahwa semua tindakan pejabat selalu harus dianggap Sah (rechmatig) sampai ada pembatalan atau bahwa keputusan pejabat (benar atau salah) oleh publik harus dianggap benar dan segera dilaksanakan. kecuali pengadilan yang berwenang menyatakan sebaliknya. Hal tersebut sejalan dengan pasal 33 ayat (2) Undang-Undang 30 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa Keputusan danlatau tindakan yang ditetapkan danlatau dilakukan badan dan/atau pejabat pemerintahan yang benNenang tetap berlaku hingga berakhir atau dicabut keputusan atau dihentikannya tindakan oleh badan danlatau pejabat pemerintahan yang berwenang,” ujar terdakwa

Terdakwa menjelaskan, bahwa keputusan-keputusan Inspektur Bojonegoro tersebut merupakan pelaksanaan atas Peraturan Bupati Bojonegoro Nomor 48 Tahun 2014 tentang Standar Biaya Umum di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro pasal 33 ayat (1) Ketentuan Standar Biaya Perjalanan Dinas tidak berlaku untuk pelaksanaan pemeriksaan Inspektorat, untuk itu diberikan biaya khusus pemeriksaan/pengawasan,; Ayat (2), Satuan biaya khusus pemeriksaan/pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarannya menyesuaikan dengan anggaran dana yang tersedia dan ditetapkan dengan Keputusan Inspektur.

Peraturan Bupati Bojonegoro Nomor 36 Tahun 2015 tentang Standar Biaya Umum di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro Tahun 2016, pasal 32 ayat (1), untuk pelaksanaan pemeriksaan, Inspektorat Kabupaten Bojonegoro diberikan biaya khusus pemeriksaan/pengawasan,; Ayat (2), Satuan biaya khusus pemeriksaan/pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarannya menyesuaikan dengan anggaran dana yang tersedia dan ditetapkan dengan Keputusan Inspektur.

Peraturan Bupati Bojonegoro Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Biaya Umum di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro Tahun 2017, Ayat (1). Untuk pelaksanaan pemeriksaan, inspektorat Kabupaten Bojonegoro diberikan biaya khusus pemeriksaan/pengawasan . Ayat (2), Satuan biaya knusus pemeriksaan/pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) besarannya menyesuaikan dengan anggaran dana yang tersedia dan ditetapkan dengan Keputusan Inspektur

“Bahwa anggaran dana yang tersedia yang dimaksud tersebut, terdapat dalam Perda APBD dan atau DPA Inspektorat,” pungkas terdakwa.

Terkait surat dakwaan JPU yang mengatakan, bahwa pada tahun 2015, Kegiatan Pengawasan Internal oleh Inspektorat Kabupaten Bojonegoro dengan anggaran yang bersumber dari APBD Kabupaten Bojonegoro TA (tahun anggaran) 2015 terdapat penugasan yang tumpang tindih sebanyak 5.151 (lima ribu seratus lima puluh satu) hari. Dan Tahun 2016, terdapat penugasan yang tumpang tindih sebanyak jumlah 7.446 hari serta pada tahun 2017, terdapat penugasan yang tumpang tindih sebanyak jumlah 4.799 hari.

Terkait hal ini, terdakwa menjelaskan dalam Eksepsinya, bahwa jumlah kelebihan hari pengawasan tersebut, diperoleh dengan mengkonversi penugasan sistem paket kedalam sistem harian atau mengggunakan uang SPPD. Sesuai dengan Peraturan Bupati Bojonegoro Nomor 48 Tahun 2014 tentang Standar Biaya Umum di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro pasal 33 ayat ( 1) menyatakan, bahwa Ketentuan Standar Biaya Perjalanan Dinas tidak berlaku untuk pelaksanaan pemeriksaan Inspektorat, untuk itu diberikan biaya khusus pemeriksaan/pengawasan.

Atas dakwaan tersebut, lanjut terdakwa, kami tidak bisa terima karena : a. Dalam Perda APBD TA 2015 s/d. 2017, Perbup Penjabaran APBD TA 2015 s/d. 2017, dan DPA dan RKA Inspektorat TA 2015 s/d. 2017, tidak ada anggaran perjalanan dinas untuk kegiatan pengawasan/pemeriksaan. Inspektorat Bojonegoro hanya menganggarkan Biaya Khusus Pengawasan/Pemeriksaan untuk kegiatan pemeriksaan

Terdawa mengatakan, bahwa Jaksa Penuntut Umum telah mendakwahkan, bahwa usulan alokasi belanja biaya khusus yang tercantum dalam RKA TA 2015 s/d 2017, dan pembayaran belanja biaya khusus seluruhnya merupakan perbuatan Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana dan bertentangan dengan PP Nomor 58 Tahun 2006 pasal 39 ayat (2).

“Dakwaan tersebut tidak menjelaskan hubungan antara RKA, pembayaran biaya khusus dan PP Nomor 58 Tahun 2006,” kata terdakwa.

Menurut terdakwa, bahwa RKA merupakan proses perencanaan pengajuan anggaran suatu kegiatan, bukan dasar untuk melakukan pembayaran biaya khusus pemeriksaan/pengawasan. Dan pembayaran biaya khusus pemeriksaan/pengawasan, tidak bisa dikaitkan dengan PP Nomor 58 Tahun 2006 pasal 39 ayat (2), karena PP Nomor 58 Tahun 2006 tersebut bukan dasar pembayaran dan PP tersebut tidak mengatur pengelolaan keuangan daerah

“Penyusunan RKA pembayaran, biaya khusus pemeriksaan/pengawasan rnerupakan tindakan/keputusan Tata Usaha Negara dalam rangka menjalankan penyelenggaraan pemerintahan. Hal tersebut masih dalam wilayah hukum administrasi pemerintahan,” jelas terdakwa
Terdakwa menyebutkan, bahwa Jaksa Penuntut Umum telah memasukkan tindakan Tata Usaha Negara ke dalam wilayah hukum tindak pidana korupsi. Penyalahgunaan kewenangan merupakan bentuk pelanggaran hukum public. Dengan demikian, maka penyelenggaraan pemerintahan tidak bisa dimasukkan dalam wilayah hukum publik. Atas dasar tersebut, maka dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima.

Terkait surat dakwaan JPU yang mengatakan, bahwa pada tahun 2015, Kegiatan Pengawasan Internal oleh Inspektorat Kabupaten Bojonegoro dengan anggaran yang bersumber dari APBD Kabupaten Bojonegoro TA (tahun anggaran) 2015 terdapat penugasan yang tumpang tindih sebanyak 5.151 (lima ribu seratus lima puluh satu) hari. Dan Tahun 2016, terdapat penugasan yang tumpang tindih sebanyak jumlah 7.446 hari serta pada tahun 2017, terdapat penugasan yang tumpang tindih sebanyak jumlah 4.799 hari.

Hal ini menurut terdakwa, bahwa jumlah kelebihan hari pengawasan tersebut, diperoleh dengan mengkonversi penugasan sistem paket kedalam sistem harian atau mengggunakan uang SPPD. Sesuai dengan Peraturan Bupati Bojonegoro Nomor 48 Tahun 2014 tentang Standar Biaya Umum di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro pasal 33 ayat ( 1) menyatakan, bahwa Ketentuan Standar Biaya Perjalanan Dinas tidak berlaku untuk pelaksanaan pemeriksaan Inspektorat, untuk itu diberikan biaya khusus pemeriksaan/pengawasan.

Atas dakwaan tersebut, lanjut terdakwa, kami tidak bisa terima karena : a. Dalam Perda APBD TA 2015 s/d. 2017, Perbup Penjabaran APBD TA 2015 s/d. 2017, dan DPA dan RKA Inspektorat TA 2015 s/d. 2017, tidak ada anggaran perjalanan dinas untuk kegiatan pengawasan/pemeriksaan. Inspektorat Bojonegoro hanya menganggarkan Biaya Khusus Pengawasan/Pemeriksaan untuk kegiatan pemeriksaan

Terdawa mengatakan, bahwa Jaksa Penuntut Umum telah mendakwahkan, bahwa usulan alokasi belanja biaya khusus yang tercantum dalam RKA TA 2015 s/d 2017, dan pembayaran belanja biaya khusus seluruhnya merupakan perbuatan Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana dan bertentangan dengan PP Nomor 58 Tahun 2006 pasal 39 ayat (2).

“Dakwaan tersebut tidak menjelaskan hubungan antara RKA, pembayaran biaya khusus dan PP Nomor 58 Tahun 2006,” kata terdakwa.

Menurut terdakwa, bahwa RKA merupakan proses perencanaan pengajuan anggaran suatu kegiatan, bukan dasar untuk melakukan pembayaran biaya khusus pemeriksaan/pengawasan. Dan pembayaran biaya khusus pemeriksaan/pengawasan, tidak bisa dikaitkan dengan PP Nomor 58 Tahun 2006 pasal 39 ayat (2), karena PP Nomor 58 Tahun 2006 tersebut bukan dasar pembayaran dan PP tersebut tidak mengatur pengelolaan keuangan daerah

“Penyusunan RKA pembayaran, biaya khusus pemeriksaan/pengawasan rnerupakan tindakan/keputusan Tata Usaha Negara dalam rangka menjalankan penyelenggaraan pemerintahan. Hal tersebut masih dalam wilayah hukum administrasi pemerintahan,” jelas terdakwa 

Terdakwa menyebutkan, bahwa Jaksa Penuntut Umum telah memasukkan tindakan Tata Usaha Negara ke dalam wilayah hukum tindak pidana korupsi. Penyalahgunaan kewenangan merupakan bentuk pelanggaran hukum public. Dengan demikian, maka penyelenggaraan pemerintahan tidak bisa dimasukkan dalam wilayah hukum publik. Atas dasar tersebut, maka dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima.

Apa yang disampaikan oleh terdakwa, tak jauh beda dengan apa yang disampaikan oleh Tim Penasehat Hukum terdakwa dalam surat Eksepsinya.

Bayu Wibisono TEP, SH dkk selaku Penasehat Hukum terdakwa juga menyampaikan, bahwa kasus yang menejerat kliennya sudah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya menyatakan dengan keputusannya, bahwa SK Inspektorat tersebut tidak terdapat unsur penyalahgunaan wewenang

Selain itu, Bayu Wibisono juga menyampaikan keberatannya kepada Majelis Hakim terkait Barang Bukti berupa sertifikat rumah atas nama istri terdakwa yang disita oleh Kejari Bononegoro. Menurut terdakwa, bahwa barang bukti tersebut tidak ada kaitannya dengan perkara yang menjerat terdakwa. Sehingga Penasehat Hukum terdakwa memohon kepada Majelis Hakim untuk memerintahkan JPU supaya mengembalikan barang bukti yang dimaksud.

“Kami memohon, agar barang bukti tersebut dikembalikan,” ucap Bayu.

Di akhir surat Eksepsi yang disampaikan oleh terdakwa sendiri maupun melalui Tim Penasehat Hukum terdakwa, menyampaikan agar keberatan atas surat dakwaan JPU dikabulkan.

Pun demikian, JPU Kejari Bojonegoro juga tak terima keberatan terdakwa atas surat dakwaannya. Sehingga JPU menyampaikan kepada Majelis Hakim, akan menanggapinya dalam surat Duplik pada persidangan sepekan berikutnya.

“Kami akan tanggapi dalam secara tertulis,” kata JPU kepada Majelis Hakim. (Rd1/*)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top