Yang I (pertama)
Kasus Korupsi pemotongan dana kapitasi jasa pelayanan (Jaspel) di 32 Puskesmas Se-Kabupatena Gresik sebesar 10 persen.
Dalam kasus ini, Kejari Gresik hanya menyeret dr. H.M. Nurul Dholam selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gresi (sudah divonis 6 tahun penjara oleh Hakim Tipikor Surabaya) sebagai terdakwa untuk diadili dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya.
Kejari Gresik menuduh dr. H.M. Nurul Dholam telah melakukan pemotongan alokasi dana kapitasi jasa pelayanan (Jaspel) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 10 persen di 32 Puskesmas Se-Kabupaten Gresik pada tahun 2016 - 2017 yang totalnya sebesar Rp.2.451.370.985.
Itulah sebabnya, penyidik Kejari Gresik menjerat terdakwa dengan unsur pemaksaan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 12 huru e atau unsur melakukan pemotongan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 12 huruf f Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 12 berbunyi : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :
huruf e berbunyi : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
huru f yang berbunyi : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
Anehnya, bahwa pemotongan dana kapitasi jasa pelayanan (Jaspel) Puskesmas Kabupaten Gresik yang terjadi sejak tahun 2016 - 2017, sudah berlangsung sebelum terdakwa dr. H.M. Nurul Dholam menduduki jabatan sebagai Plt. Kepala Dinas Kesehatan pada tanggal 1 April 2016 yang kemudian dilantik menjadi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gresi sejak ranggal 30 Desember 2016.
Terdakwa/terpidana dr. H.M. Nurul Dholam |
Dalam rapat tersebut ada penyerahan sejumlah uang kurang lebih sebesar Rp454 juta dari dr. Soegeng Widodo kepada terdakwa, di mana uang itu adalah sisa dari pemotongan dana kapitasi Jaspel, dan disepakati bahwa uang tersebut diserahkan kepada Eni Wahyuni, S.Km (staf dari Bagian RenGram di Dinas Kesehatan Kab. Gresik) untuk disimpan dan dicatatkan dalam pembukuan.
Anehnya, si dr. Sugeng Widodo yang terlebih dahulu melakukan pemotongan jasa pelayanan (Jaspel) dana kapitasi Puskesmas justru “selamat”. Yang masuk penjara adalah dr.H.M. Nurul Dholam karena melanjutkan “perjuangan” pendahulunya.
Anehnya, pemotongan dana kapitasi Jaspel yang dilakukan oleh dr. Sugeng Widodo selaku Kepala Dinas Kesehatan sebelum digantikan terdakwa dianggap benar oleh Kejari Gresik, sehingga dr. Sugeng pun “selamat” hingga saat ini. Sementara terdakwa yang melanjutkan kegiatan pejabat pendahulunyalah yang dianggap salah hingga akhirnya dijebloskan kepenjara.
Yang lebih anehnya adalah, bahwa duit hasil pemotangan dana kapitasi jasa pelayanan (Jaspel) BPJS tersebut tidak dinikmati oleh terdakwa sendiri, melainkan dibagi-bagikan ke pejabat Kabupaten Gresik sebagai THR (Tunjangan Hari Raya), diantaranya ke Bupati Sambari dan ajudannya, Wakil Bupati Qosim dan ajudannya, Asasisten I, II dan III Kabupaten Gresik, Kepala DPPKAD dan Kepala Bidang serta anggota DPRD Kabupaten Gresik.
Selain itu dipergunakan juga untuk kegiatan Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik diantaranya untuk THR (tunjugan hari raya) tahun 2016 - 2017 sebesar Rp175 juta, Kunjungan pengawasan DPRD ke Puskemas sebar Rp20 juta, Partisipasi Kegiatan Pemkab Gresik tahun 2016 dan 2017 sebesar Rp200 juta, Tamu Study banding ke Dinas Kesehatan sebesar Rp20 juta, Pengembalian Temuan BPK Terkait Pengadaan Makanan Minuman dinDinas Kesehatan Tahun 2016 sebesar Rp170 juta, Dinkes SAKIP ke Tretes sebesar Rp40 juta, Halal Bihalal tahun 2016 dan 2017 sebesar Rp20 juta, Hari Kesehatan Nasional (HKN) sebesar Rp50 juta, HUT RI (Mobil Hias ) sebesar Rp10 juta, konsumsi peserta lomba sebanyak 300 orang sebesar Rp10 juta, pembuatan video sebesar Rp5 juta, transportasi dan akomodasi untuk 2 orang ke Lampung untuk menerima hadiah sebesar Rp10 juta, transportasi Kader sebesar Rp16 juta, total kegiatan PHBS Rp41 juta.
Kemudian untuk kegiatan UKS SMAN Kedamean Gresik sebagai transport dan akomodasi ke Jakarta sebanyak 5 orang (@Rp4 juta) sebesar Rp20 juta, Germas untuk pemaparan di Jakarta sebanyak 4 Orang (@Rp4 juta) sebesar Rp16 juta, Kabupaten Sehat di Kemendagri Jakarta untuk menerima hadiah sebesar Rp8 juta, dan total biaya Rp85 juta.
Selanjutnya untuk Kegiatan LSM, Wartawam dan Security termasuk Iklan ucapan HUT Gresik, HKN dan HUT Jawa Pos sebesarbRp3 juta, kegiatan LSM sebanyak 6 orang sebesar Rp3 juta, Santunan anak Yatim Piatu dan janda sebanyak 20 orang masing-masing Rp300 ribu (Rp6 juta). Untuk kegiatan Gathering Batam - Singapura bulan Februari 2016 untuk 110 peserta sebesar Rp345 juta, Gathering ke Jogja Tahun 2017 sebanyak 110 Orang sebesar Rp192 juta, STUBA ke Jakarta Selatan Tahun 2016 sebanyak 42 Orang sebesar Rp112 juta, STUBA ke Dinkes Padang sebanyak 45 orang sebesar Rp128 juta.
Belum lagi duit itu dibagi-bagikan kepada Pejabat Kabupaten Gresik, diantaranya Bupati Sambari dan ajudannya, Wakil Bupati Qosim dan ajudannya, Sasisten 1, 2 dan 3 Kabupaten Gresik, Kepala DPPKAD dan Kepala Bidang, DPRD Kabupaten Gresik.
Ironisnya, bahwa duit yang dinikmati oleh puluhan orang di Kabupaten Gresik itu harus dipikul oleh terdakwa sendiri, dan “menjadi senyum manis bagi orang-orang yang turut menikmatinya”.
Yang ke II (kedua) adalah kasus tangkap tangan atau yang lebih kren dikalangan masyarakat OTT (Operasi Tangkap Tangan)
Dalam kasus ini, Tim Penyidik Kejari Gresik melakukan penangkapan terhadap Plt. Sekretaris BPPKAD (Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) Kabupaten Gresik, M. Mukhtar pada tanggal 14 Januari 2019 karena melakukan pemotongan pungutan pajak Daerah Kabupaten Gresik dari staf dan para pejabat struktural di kantor BPPKAD Kabupaten Gresik kurun waktu 2018 - 2019 dengan totalnya Rp2.1 miliyar
Penangkapan terhadap M. Mukhtar saat itu (14 Januari 2019), karena tim penyidik Kejari Gresik mengetahui adanya pemotongan uang insetif dari seluruh staf dan pejabat struktural di kantor BPPKAD yang berasal dari pemungutan pajak Daerah Kabupaten Gresik.
M. Mukhtar pun dijerat Pasal yang sama dengan dr. H.M. Nurul Dholam, yaitu unsur pemaksaan ( Pasal 12 huru e) atau unsur melakukan pemotongan (Pasal 12 huruf f) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua Pasal inilah yang lebih menarik dari kegiatan yang disebut oleh penyidik Kejari Gresik Operasi tangkap tangan (OTT). Sebab yang ditangkap hanya satu orang pejabat setingkat Kepala Dinas karena melakukan pemaksaan atau pemotongan. Kata memaksa atau melakukan pemepotongan adalah pengertian hukum yang berbeda sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 huruf f UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ibarat perumpaan, Lain ladang lain rumputnya, lain lembaga lainpula Kinerjanya. Karena kegiatan tangkap tangan (KTT) yang dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tidak hanya seorang melainkan lebih. Dan para pelaku yang ditangkap KPK itupun tidak pernah dikatakan karena melakukan pemotongan atau pemaksaan. Yang ada adalah adanya kegiatan transaksi.
Anehnya, pemaksaan yang dilakukan oleh terdakwa sebagaiaman dalam dakwaan Jaksa, tidak dapat dibuktikan dalam persidangan, apakah terdakwa melakukan pemaksaan secara fisik atau psikis terhadap staf dan seluruh pejabat struktural di BBPKAD.
Yang menggelitik dari kasus ini adalah, tuduhan penyidik maupun JPU terhadap terdakwa yang mengatakan telah melakukan “pemotongan”, sehingga penyidik melakukan penangkapan pada tanggal 14 Januari 2019, bukan saat terdakwa menerima sesuatu hadiah berupa uang. Pertanyaannya, apakah penyidik dan JPU Kejari Gresik “bingung” menerapkan Pasal terhadap terdakwa ?
Pada hal, apa yang dilakukan oleh terdakwa Mukhtar adalah hasil rapat pada bulan Pebruari 2018 saa pergantian Kepala BPPKAD dari Yetty Sri Suparyatidra kepada Andhi Hendro Wijaya yang saat ini menjabat sebagai Sekda (Sekretaris Daerah) Kabupaten Gresik. Dalam rapat tersebut adalah untuk membahsan tentang pemotongan dana insentif pemungutan pajak daerah Kabupaten Gresik yang dihadiri oleh Andhi Hendro Wijaya selaku Kepala BPPKAD, Agus Pramono selaku Skretaris BPPKAD dan para kapala bidang, antara lain Anis Nurul Aisni, Herawan Eka Kusuma, Ahmad Haris Fahman, Adriana Tecunan, Bambang Sayogyo dan terdakwa sendiri.
Hasil rapat memutuskan, untuk melanjutkan kebijakan pemotongan dana insentif pemungutan pajak daerah Kabupaten Gresik yang sudah berlangsung sejak masa kepemimpinan Yetty Sri Suparyatidra, yang selanjutnya Agus Pramono selaku Sekretaris BPPKAD menyampaikan kepada Andhi Hendro Wijaya selaku KepaIa BPPKAD Kabupaten Gresik, bahwa terdapat sisa uang hasil pemotongan dana insentif pemungutan pajak daerah pada masa kepemampinan Yetty Sri Suparyatidra sebesar Rp106.749.221
Kemudian atas perintah Agus Pramono, uang tersebut diserahkan oleh Nurikah Handayani kepada Lilis Sutiyowati untuk disimpan di brankas bendahara BPPKAD. Dana sisa tarsebut dipergunakan untuk kebutuhan BPPKAD di luar DIPA APBD Kabupaten Gresik.
Dan uang itupun dibagikan sebagai hadiah kepada pihak-pihak di luar BPPKAD Kabupaten Gresk antara lain ; Bupati, Wakil Bupati, Asisten I, II dan III, Setda(Sekretaris Daerah) Kabupaten Gresik, Kepala BKD (Badan Kepegawaian Daerah), Kabag Hukum, Kasubag Hukum, Ajudan dan Sekpri Bupati, Wakil Bupati, Sekda, LSM serta pihak-pihak lainnya.
Tetapi dari dakwaan JPU maupun fakta yang terungkap di persidangan, bahwa apa yang dilakukan terdakwa adalah atas persetujuan dan sepengetahuan Andhi Hendro Wijaya selaku Kepala BPPKAD yang saat ini menjabat sebagai Sekda Kabupaten Gresik. Bahkan Andhi Hendro Wijaya ikut membagikan uang dari hasil yang terkumpul.
Untuk kasus yang kedua ini, Kejari Gresik “menyelamatkan” Andhi Hendro Wijaya selaku Kepala BPPKAD yang menyetujui dan mengetahui serta ikut membagikan uang hasil pemotongan itu keberbagai pihak seperti yang terungkap dalam persidangan.
Tak heran, bahwa isu yang beredar di Kabupaten Gresik seperti yang disampaikan salah sumber kepada beritakorupsi.co mengatakan bahwa tidak akan ada pengembangan dari kasus yang menghantar M. Mukhtar ke penjara.
Karena M. Mukhtar sudah diadili dan sudah dituntut pidana penjara selama 5 tahun. M. Mukhtar pun dituntut untuk mengembalikan sejumlah uang yang dinikmati pihak-pihak lain. Walau dalam Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi mengatakan, bahwa yang wajib dikembalikan oleh terdakwa adalah sejumlah uang yang dinikmatinya.
Sementara Kasi Pidsus Kejari (Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri) Gresik, Andrie Dwi Subianto mengatakan, bahwa tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain. Selain itu, Kasi Pidsus Kejari Gresik ini juga mengatakan, apa yang dilakukan oleh Andhi Hendro Wijaya adalah salah dan harus bertanggung jawab, sepertinya hanya isapan jempol belaka.
Faktanya, Pasal yang menjerat terdakwa M.Mukhtar yang tercantum dalam surat dakwaan maupun surat untutan JPU tidak mencantumkan Pasal 55 sebagaimana yang berbunyi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan hingga saat ini penyidik Kejari Gresik pun belum memeriksa pihak-pihak lain seperti Andhi Hendro Wijaya sebagai pengembangan dari kasus ini.
Pasal 55 ayat (1) berbunyi : Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Salahkah bila masyarakat menuding Kejari Gresik tak adil dan tak tegas dalam penegakan hukum kasus Tindak Pidana Korupsi yang dikatakan sebagai suatu kejahatan yang luar biasa?. Salahkah masyarakat bila menuding, bahwa Kejari Gresik pilih kasih dalam penanganan kasus Korupsi untuk yang kedua kalinya ?
Menanggapi hal ini, Kasi Pidsus Kejari Gresik , Andrie Dwi Subianto mengatakan bahwa dirinya pihaknya (Kejari) tidak pernah mengatakan kalau kasus ini akan berhenti di sini, tetapi akan menunggu putusan Majelis Hakim untuk mempermudah penyidik melakukan penyidikan.
“Kami tidak pernah mengatakan kalau kasus ini akan berhenti di sini. Tunggu saja, kami menunggu putusan Hakim seperti apa pertimbangannya. Hal ini untuk mempermudah penyidikan,” ucap Andrie.
Apakah penjelasan Kasi Pidusus Kejari Gresik ini akan dapat dibuktikan untuk menyeret pihak-pihak yang terlibat dalam kasus yang menghantarkan Mukhtar kepenjara, atau hanya sebatas ucapan saja untuk tetap menarik kepercayaan masyarakat ? (Jen/Rd/T1m)
Posting Komentar
Tulias alamat email :