0
JPU KPK Arif Suheranto : Kami akan menghadapi PK dari para Terpidana Korupsi, mantan angota DPRD Kota Malang

BERITAKORUPSI.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Versus para mantan anggota DPRD Kota Malang Periode 2014 – 2019 selaku terpidana Koruptor dalam Jilid II mulai berlangsung.

Perlawanan yang dilakukan para Koruptor Suap APBD Kota Malang Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp4.5 M, dan Gratifikasi uang “Pokir sejumlah Rp700 juta dan Sampah senilai Rp300 juta” yang totalnya sebesar Rp5.5 milliar adalah dengan cara mengajukan PK (Peninjauan Kembali) ke Mahkamah Agung RI di Jakarta.

Dalam kasus Jilid I, KPK berhasil menyeret 42 dari 45 jumlah anggota DRPD Kota Malang periode 2014 – 2019 yang terdiri dari seluruh unsur pimpinan (Ketua, Wakil Ketua, Ketua Komisi dan Ketua Fraksi serta anggota) ke Pengadilan Tipikor Surabaya di Jalan Raya Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, dan membuktikan bahwa perbuatan ke 42 anggota Dewan yang terhormat di Kota Malang itu berhasil dengan dinyatakannya bahwa para terdakwa yang kini menjadi terpidana itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi Suap dan Gratifikasi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 huruf a (Dakwaan pertama) dan pasal 12 huruf B (Dakwaan Kedua) UU RI 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP juncto pasal 65 ayat (1) KUHP.
Para terdakwapun tak satu yang mengatakan pikir-pikir bahkan menolak, melainkan menerima putusan (Vonis) dari Majelis Hakim. Dimana para terdakwa di Vonis antara 4 hingga 4.8 tahun penjara serta hukuman untuk membayar uang pengganti yang besarnya sesuai yang suap dan gratifikasi yang dinikmati para Koruptor itu.

Nyata namun aneh. Setelah menerima putusan (Vonis) pidana penjara badan dan hukuman membayar uang pengganti, bahkan sebahagian telah mengembalikan (membayar) uang tersebut pada saat persidangan dan ada juga setelah Vonis, kini para Koruptor itu tak menerima di Vonis lalu mengajukan PK.

PK atau Peninjauan Kembali perkara Korupsi yang diajikan para Koruptor itu tanpa ada Novum atau Bukti baru yang diajukan dalam persidangan PK diPengadilan Tipikor Surabaya. Lalu apa yang diusung sebagai dasar PK ? Ternyata hanya mengatakan tidak menerima uang Suap dan Gratifikasi.

Hal itu dikatakan JPU Arif Suhermanto kepada beritakorupsi.co beberapa hari lalu di gedung Pengadilan Tipikor Surabaya seusai persidangan PK yang diajukan terpidana 4.8 tahun penjara yaitu Ya’qud Ananda Gudban

Perlu diketahui,  Ya’qud Ananda Gudban adalah terpidana kedua yang mengajukan PK. Sebelumnya adalah terpidana Sulik Lestyowati

“Tidak ada bukti baru atau saksi yang diajukan oleh terpidana (Ya’qud Ananda Gudban). Saksi yang dibawa juga sesama terpidana dan sudah pernah diperiksa di persidangan. Begitu dengan terpidana Sulis (Sulik Lestyowati),” kata JPU KPK Arif Suhermanto.
JPU KPK Arif Suhermanto menanggapi, bahkwa KPK siap menghadapi bila seleruh terpidana akan mengajukan PK. Hal itu dikatakah JPU KPK Arif Suhermanto menjawab pertanyaan beritakorupsi.co terkait isu yang beredar bahwa para Koruptor itu akan ramai-ramai mengajukan PK

“Bisa jadi, dan kita siap aja kalau para terpidana itu mengajukan PK,” jawab JPU Arif Suhermanto dengan santai

Kasus inipun salah satu Kasus Korupsi yang menarik perjatian rakyat Indoonesia, mulai dari pemulung hingga pejabat negara. Sebab, KPK telah menyeret sebanyak 42 dari 45 jumlah anggota DPRD Kota Malang periode 2014 – 2019 termasuk Wali Kota Malang, Anton sebelum masa jabatannya berakhir.

Selain menarik sekaligus menjadi “Teka Teki” di masyarakat Khususnya Kota Malang. Alasannya ???

1. Nama Subur Triono yang juga anggota DPRD Kota Malang periode 2014 - 2019 hingga detik ini AMAN, NYAMAN DAN TENTRAM karena tidak terseret. Ada apa antara KPK dengan si Subur Triono ?. Apakah karena Subur diangakan sebagai “Kawan” alias JC (Justice Collaborator)?. Apakah JC bebas dari jeratan Hukum ?

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakukan bagi pelapor tindak pidana (Whistle Blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu. Justice Collaborator (JC) adalah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum.

JC tersebut akan memperoleh penghargaan yang dapat berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi, pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain yang terbukti bersalah, perlakukan khusus, dan sebagainya.

Pasal 37 ayat (2) UNCAC 2003 yang berbunyi : Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk
memberikan kemungkinan, dalam kasus tertentu, untuk mengurangi hukuman terdakwa yang memberikan kerja sama yang penting dalam penyidikan atau penuntutan kejahatan menurut Konvensi ini.
Pasal 37 ayat (2) UNCAC 2003 yang berbunyi : Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk memberikan peluang, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan terhadap penuntutan kepada orang yang menunjukkan kerja sama yang penting dalam penyidikan atau penuntutan kejahatan menurut Konvensi ini.

Kemudian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pasal 10 ayat (1) dan (2).

ayat (1) berbunyi : Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Ayat (2) berbunyi : Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Selain Subur Triono, masih ada Teddy Sujada selaku Kabid PUPPB Kota Malang. Sebab, Teddy inilah yang mengumpulkan duit sebanyak 900 juta sebagai uang “Pokir” dari 45 kontraktor di lingkungan Dinas PUPPB Kota Malang, lalu melaporkannya ke Ke Kepala Dinas PUPPB yang juga sudah di Vonis terlebih dahulu sebelum 42 anggota Dewan serta Wali Kota Malang dan kemudia mantan Sekda Kota Malang yang sempat menjabat sebagai Kepala Dinas Cipta Karya Pemprov. Jatim

Lalu bagaimana dengan 45 kontraktor di lingkungan Dinas PUPPB Kota Malang yang memberikan uang sebanyak Rp900 juta ke Teddy ? apakah itu dianggap sah menurut Hukum ?

Belum lagi lanjuta kasus Korupsi Suap oleh terpidana 2 tahun, Hendarwan Maruszaman, anak Mantan (alm) pejabat tinggi Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) terhadap Ketua DPRD Kota Malang terkait pembangunan Jembatan Kedungkandang Kota Malang tahun 2015 ?

Semula masyarakat mendukung penegakan hukum dalam pemberantasan Korupsi di Kota Malang oleh KPK. Namun dukungan itu secara perlahan-lahan berubah menjadi kekecewaan karena hingga hari ini tak ada kelanjutan dari kasus yang menghebohkan masyarakat Kota Malang Raya.

Belum lagi puluhan kasus Korupsi dari kelanjutan kasus Korupsi Tangan Tangan maupun penyidikan yang dilakukan KPK di Jawa Timur, diantaranya, Kabupaten Jombang, Nganjuk, DPRD dan Dinas Pemprov Jatim, Tulungagung, Blitar, Pasuruan, Kabupaten Malang, Mojokerto Kota dan Kabupaten
Sehingga masyarakat akhirnya meduga, bahwa kasus yang menyeret 42 anggota DPRD Kota Malangperiode 2014 – 2019 termasuk Wali Kota Malang, Kepala Dinas PUPPB dan mantan Sekda Kota Malang “berbau Politik” karena saat itu berdekatan dengan Pemilihan Wali dan Wakil Wali Kota Malang periode 2018 – 2023 dan Pemilihan Legis Latif perioe 2019 – 2024.

Yang akhirnya, Mohammad Anton dan Ya'qud Ananda Gudban yang masing-masing maju sebagai calon Wali Kota Malang kandas dibalik jeruji besi alias penjara.

Seperti yang diberitakan sebelumnya dalam kasus terpidana Ya’qud Ananda Gudban. Ya’qud Ananda Gudban, adalah anggota DPRD Kota Malang periode 2014 - 2019 sebagai Ketua Fraksi Hanura - PKS, yang kemudian mencalonkan Wali Kota Malang untuk periode 2018 - 2024 dalam Pilkada serentak yang berlangsung pada tanggal 27 Juni 2018 lalu, namun wanita cantik ini terjerat dalam kasus Korupsi suap dan Gratifikasi bersama seluruh anggota DPRD Kota Malang lainnya saat pembahasambahasan Perubahan APBD Kota Malang TA 2015 lalu, dan dinyatakan terbukti bersalah sehingga wanita yang akrab dipanggil Nanda ini pun divonis pidana penjara selama 4 tahun dan 8 bulan, serta hukuman pidana tambahan berupa pengembalian uang suap dan gratifikasi yang diterimanya sebesar Rp150 juta dan pencabutan hak politiknya selama 3 tahun setelah selesai menjalani hukuman pokok.

Putusan itu dibacakan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya (Rabu, 19 Desember 2018),  dengan Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana., SH., MH dengan dibantu 2 (dua) Hakim Anggota (Ad Hoc) Samhadi., SH., MH dan Dr. Lufsiana, dengan dihadiri Tim JPU KPK Burhanuddin, Arif Suhermanto dkk.  Sementara para terdakwa didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya masing-masing diantanya  Fatra M. Zein dkk dari Jakarta sebagai PH terdakwa Ya’qud Ananda Gudban.

Sidang yang berlangsung dalam III session, masing-masing sebanyak 6 terdakwa dalam 1 berkas perkara yang sama, Majelis Hakim juga menjatuhkan hukuman pidana penjara  terhadap 17 terdakwa lainnya yang juga selaku anggota DPRD Kota Malang periode 2014 - 2019, diantaranya Terdakwa Sulik Lestyowati, Abd. Hakim, Bambang Sumarto, Imam Fauzi, Syaiful Rusdi dan Tri Yudiani (1 berkas perkara ) sidang session I.

Dalam session ke II, dengan terdakwa Rahayu Sugiarti, Ya’quban Ananda Gudban, Hery Subiantono, Heri Pudji Utami, Abdul Rahman dan Sukarno (1 berkas perkara). Dan Sesion ke III adalah terdakwa Sprapto, Sahrawi, Mohan Katelu, Slamet, H.M. Zainuddin AS dan Wiwik Puji Astuti, satu berkas perkara.

Dalam persidangan sejak awal pada tanggal 15 Agustus 2018, terdakwa Ya’quban Ananda Gudban menolak dakwaan Jaksa. Bahkan terdakwa selaku mantan calon Wali Kota Malang ini bersumpah dengan meletakkan Al’Qur'an di atas kepalanya dan mengatakan tidak menerima uang apapun.
Namun apapun kata terdakwa, putusan Majelis Hakim adalah berdasarkan fakta-fakta persidangan dan keyakinan Majelsi Hakim sendiri.

Dalam putusan Majelis Hakim menyebutkan, bahwa uang pokir sebesar Rp12.5 juta setiap anggota Dewan adalah atas usulan terdakwa Ya’qud Ananda Gudban. Putusan Majelis Hakim ini sama dengan keterangan saksi dalam persidangan. Walu dalam persidangan, terdakwa tak mengakuinya. Bahkan terdakwa mengatakan tidak menerima uang apapun dengan meletakkan Al’Qur'an di atas kepalanya.

Majelis Hakim menyatakan, bahwa penerimaan uang oleh para terdakwa berkaitan dengan kedudukannya sebagai anggota DPRD Kota Malang pada saat pembahasan Perubahan APBD Kota Malang haruslah dianggap suap dan gratifikasi karena terdakwa tidak melaporkannya ke KPK dalam kurun waktu 30 hari sesuai dengan Undang-Undang.

Tedakwa Ya’qud Ananda Gudban pun dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bdersalah menurut hukum sebagaimana dalam dakwaan kesatu yaitu Pasal 12 huruf a dan dakwaan kedua Pasal 12 huruf B UU RI 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP juncto pasal 65 ayat (1) KUHP.

“Mengadili ; Menyatakan terdakwa Ya’qud Ananda Gudban terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum telah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama (Pasal 12 huruf a) dan dakwaan ke- 2 (kedua, Pasal 12 huruf B) UU RI 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP juncto pasal 65 ayat (1) KUHP," ucap Ketua Majelis Hakim Cokorda, Rabu, 19 Desember 2018
Ketua Majelis Hakim melanjutkan, “Menghukum terdakwa Ya’qud Ananda Gudban dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 8 bulan, denda sebesar Rp200 juta. Bilamana terdakwa tidak membayar maka diganti dengan kurungan selama 1 bulan. Menghukum terdakwa Ya’qud Ananda Gudban untuk membayar uang pengganti yang seluruhnya sebesar Rp150 juta. Bilamana terdakwa tidak membayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bedandanya akan rampas oleh Jaksa. Apabila harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan,” ucap Ketua Majelis Hakim dalam putusannya.

Ke- 18 terdakwa ini sama-sama dianggap bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaiamana dalam dakwaan kesatu dan kedua, yaitu Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf B UU RI 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP juncto pasal 65 ayat (1)

Para terdakwa di pidana penjara antara 4 tahun dan 1 bulan hingga 4 tahun dan 8 bulan. Hukuman pidana tambahan juga dijatuhkan Majelis Hakim terhadap semua para terdakwa, yaitu dengan mengembalikan uang yang diterimanya. Selain itu, para terdakwa juga di hukum berupa pencabutan hak politiknya masing-masing selama 3 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok (lihat tabel).

Atas putusan Majelis Hakim, 3 dari 18 terdakwa mengatakan pikir-pikir, begitu juga dengan JPU KPK. Sementara 15 terdakwa lainnya menerima dan telah mengembalikan seluruh uang yang diterimanya melalui KPK pada saat proses peridangan berlangsung. Pada hal sebelumnya, tak satu pun para terdakwa ini yang mengakui telah menerima uang pokir, karena para terdakwa mengatakan bahwa itu adalah uang rezki dari Ketua DPRD Kota Malang Moch. Arif Wicaksono yang sudah divonis pidana penjara selama 5 tahun pada persidangan sebelumnya.

Dalam surat tuntutan JPU KPK

Sementara dalam surat tuntutan JPU KPK terhadap terdakwa Ya’qud Ananda Gudban menyebutkan, terkait pembahasan Perunahan APBD Kota Malang Tahun Anggaran (TA) 2015 lalu, dan penerimaan uang Pokir sebesar Rp15 juta dan uang sampah Rp10 jta pada pembahasan Perubahan APBD Kota Malang Tahun Anggaran (TA) 2015, pada Juni - Juli 2015, serta uang 1 (satu) persen dari total anggaran APBD Kota Malang TA 2017 yang masing-masing Ketua sebesar Rp125 juta, sedangkan untuk setiap anggota sejumlah Rp100 juta, pada saat pembahasan APBD Kota Malang TA 2015, pada November - Desembaer 2014.

Dihadapan Majelis Hakim, JPU KPK membeberkan dalam surat tuntutannya, sedikitnya 10 (sepuluh) kesalahan terdakwa Ya’quban Ananda Gudban diantaranya, berupa  hasil percakapan antara terdakwa dengan Wali Kota Malang Moch. Anton, Jarot Edi Sulistiyono selaku Kepala Dinas PU yang dalam percakapan tersebut membahas Pokir dan percepatan pembahasan Perubahan APBD. Percakapan terdakwa dengan Sekda Kota Malang Cipto Wiyono dengan sebutan “synk”  oleh Cipto, termasuk ATM milik Cipto Wiyono yang dipakai oleh terdakwa.
Bahkan dalam surat tuntutan JPU KPK ini juga dijelaskan, adanya pertemuan antara terdakwa dengan Cipto Wiyono disalah satu tempat di Kota malang. Selain itu, JPU KPK juga menjelaskan beberapa keterangan saksi yang juga terdakwa, yakni Wiwit Puji Astuti yang menjelaskan bahwa terdakwalah yang mengusulkan uang pokir menjadi Rp12.5 juta untuk setiap anggota yang semula oleh Ketua DPRD Moch. Arif Wicaksono sebesar Rp10 juta untuk masing-masing Dewan. Sedangkan keterangan Rahayu Sugiarti dan Bambang Sumarto, yang pada intinya menjelaskan bahwa terdakwa hadir pada saat pertemuan informal membahasan Pokir antara Ketua DPRD Moch. Arif Wicaksono dengan para Ketua Fraksi dan Ketua Komisi diruang kerja Ketua DPRD.

Dalam surat tuntutan JPU KPK mengatakan, bahwa terdakwa tidak mengakui haruslah dikesampingkan. Sehingga atas perbuatan terdakwa, JPU KPK menuntutnya dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pencabutan hak melih dan dipilih dalam jabatan Publik yang diselnggarakan oleh pemerintah selama 5 tahun setelah terdakwa selesai menjalani hukuman pokok.

Dalam surat tuntutan JPU KPK dijelaskan, bahwa terdakwa I Rahayu Sugiarti, terdakwa II Ya’qud Ananda Gudban, terdakwa III Hery Subaintono, terdakwa IV Sukarno, terdakwa V Heri Puji Utami, dan Terdakwa VI H. Abd. Rachman (juga terdakwa lainnya dalam sidang session ke II dan ke III) bersama-sama dengan Moch. Arif Wicaksono, Wiwik Hendri Astuti, H.M. Zainuddin AS, Mohan Katelu, Salamat, Sahrawi, Bambang Sumarto, Suprapto, Abdul Hakim, Sulik Lestyowati, Imam Fauzi, Tri Yudiani dan Siful Rusdi, pada tanggal 25 Juni 2015 sampai dengan tanggal 22 Juli 2015.

Atau setidak tidaknya pada suatu waktu di tahun 2015, bertempat di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (PUPPB) Jalan Bingkil No.1 Kota Malang, Kantor DPRD Kota Malang di Jalan Tugu No. 1A Kota Malang dan Rumah Dinas Ketua DPRD Kota Malang Jalan Panji Soeroso No. 7 Kota Malang, atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini
Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu sebagai anggota DPRD Kota Malang masa jabatan periode tahun 2014 - 2019, menerima hadiah atau janji yaitu menerima uang sebesar Rp700 juta dari Moch. Anton, Cipto Wiyono dan Jarot Edy Sulistlyono yang diserahkan melalui Tedy Sujadi Soemama, pada hal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya

 Yaitu para terdakwa mengetahui atau patut menduga uang tesebut diberikan agar memberikan persetujuan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) Kota Malang Tahun Anggaran (TA) 2015 yang diajukan oleh Pemerintah Kota Malang, yang bertentangan dengan kewajiban anggota DPRD Kota Malang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dan 6 UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN)  juncto pasal 400 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan SPRD juncto UU RI Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan SPRD yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
“Pada tanggal 25 Juni 2015, bertempat di ruang rapat paripurna DPRD Kota Malang, dilakukan Rapat Paripurna I dengan agenda penyampaian sambutan Walikota Malang dalam menghantar Konsep Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Malang dengan DPRD Kota Malang tentang Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Perubahan APBD TA 2015,” ucap JPU KPK

Dalam pembahasan tersebut, dibahas juga tentang anggaran kegiatan pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD yang hasilnya, setiap anggota DPRD mendapatkan anggaran sebesar Rp200 juta dimasukkan pada Dinas PUPPB Kota Malang yang seluruhnya sebesar Rp9 milliar. Terkait anggaran Pokir tersebut, Ketua DPRD Moch. Arief Wicaksono mengadakan pertemuan dengan pimpinan DPRD, yaitu terdakwa l Rahayu Sugiarti, Wiwik Hendri Astuti, H.M Zainuddin AS dan para Ketua Fraksi, yaitu terdakwa II Ya'qud Ananda Gudban, terdakwa III Heri Subiantono, terdakwa IV Sukarno, terdakwa V Hery Pudji Astuti, Suprapto, Mohan Katelu, Salamet, Sahrawi serta dihadiri Ketua Komisi C Bambang Sumarto diruangan Ketua DPRD Kota Malang, terkait usulan kegiatan pokok-pokok pikiran yang ada di Dinas PUPPB Kota Malang, dan menyepakati bahwa anggota DPRD tidak usah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan pokir di Dinas PUPPB yang diusulkan oleh Konstituen, dan sebagai penggantinya akan diberikan imbalan fee dengan istilah 'uang pokir' dengan besaran 10 persen dari nilai kegiatan anggaran pokir atau sebesar Rp 900 juta.

“Pada tanggal 6 Juli 2015, sebelum dimulainya rapat paripurna dengan agenda penyampaian pendapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Malang dan pendapat Fraksi-fraksi terhadap Konsep Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Malang dan DPRD Kota Malang tentang KUA dan PPAS Perubahan APBD TA 2015, Ketua DPRD Kota Malang Moch. Arief Wicaksono, terdakwa l Rahayu Sugiarti, Wiwik Hendri Astuti, H.M Zainuddin AS dan para Ketua Fraksi DPRD Kota Malang, yaitu terdakwa Il Ya'qud Ananda Gudban, terdakwa III Heri Subiantono, terdakwa IV Sukarno, terdakwa V Hery Pudji Astuti, Suprapto, Mohan Katelu, Salamet, dan Sahrawi melakukan pertemuan dengan Walikota Malang Moch. Anton, Wakil Walikota Malang Sutiadji, dan Sekretaris Daerah Kota Malang Cipto Wiyono bertempat di ruangan Ketua DPRD Kota Malang,” kata JPU KPK
Sekitar pukul 15.00 WIB, Jarot Edy Sulistiyono meminta Teddy Sujadi Soemama untuk menyerahkan uang sebesar Rp700 juta kepada Moch. Arief Wicaksono, dan uang sebesar Rp200  juta kepada Cipto Wiyono. Kemudian Tedy Sujadi Soemama menyerahkan uang sebesar Rp700  juta yang terbungkus dalam kardus kepada Moch. Arief Wicaksono dirumah dinasnya, dan Rp200 juta kepada Cipto Wiyono di rumah dinasnya, namun Cipto Wiyono tidak ada sehingga Teddy Sujadi Soemama menyerahkan uang tersebut melalui staff Cipto Wiyono yang berada dirumah dinas.

“Setelah mendapat laporan penyerahan "uang pokir", Cipto Wiyono melaporkannya kepada Moch. Anton. Setelah Moch. Arief Wicaksono menerima uang tersebut, Moch. Arief Wicaksono kemudian memberitahukan kepada Suprapto, bahwa “uang pokir" sebesar Rp700 juta sudah diterima, dan meminta Suprapto datang ke rumah dinasnya. Setelah Suprapto datang, Moch. Arief Wicaksono meminta Suprapto untuk menghubungi para Ketua Fraksi DPRD Kota Malang supaya datang ke rumah dinasnya untuk membagi “uang pokir” kepada seluruh anggota DPRD Kota Malang.

Dalam surat tuntutan JPU KPK disebutkan nama-nama para anggota dewan yang menerima uang Pokir itu adalah :

1. terdakwa I Rahayu Sugiarti sebesar Rp17.500.00,;
2. Terdakwa II Ya'qud Ananda Gudban sebesar Rp15.000.000,;
3. Terdakwa III Hery Subiantono sebesar Rp15.000.000,;
4. Terdakwa IV Sukarno sebesar Rp17.500.000,;
5. Terdakwa V Heri Pudji Utami sebesar Rp15.000.000,;
6. Terdakwa VI H. Abd. Rachman sebesar Rp12.500.000,;
7. Moch. Anef Wmaksono (divonis penjara 5 tahun dan sudah inckrah) sebesar Rp82.500.000,;
8. Wiwik Hendri Astuti sebesar R917 500.000,;
9. H.M. Zainuddin AS sebesar Rp17.500.000;
10. Mohan Katelu sebesar Rp17.500.000,;
11. Salamet sebesar Rp15.000,;
12. Sahrawl sebesar Rp15.000.000,;
13. Bambang Sumarto sebesar Rp15.000.000,;
14. Suprapto sebesar Rp17.500.000,;
15. Abdul Hakim sebesar Rp17.500.000,;
16. Sulik Lestyowati sebesar Rp12.500.000,;
17. Imam Fauzi sebesar Rp12.500.000,;
18. Tri Yudlani sebesar Rp15.000.000, dan
19. Syaiful Rusdi sebesar Rp15.000.000,” beber JPU KPK dalam surat dakwaannya

Pada pertemuan tersebut, Moch. Arief Wicaksono dan Suprapto menjadi juru bicara para Ketua Fraksi yang mewakili seluruh anggota DPRD Kota Malang. meminta kepada Walikota Malang Moch. Anton untuk memberikan uang imbalan fee pembahasan Rancangan Perubahan APBD TA 2015 dengan istilah 'uang pokir' kepada anggota DPRD Kota Malang, agar pembahasan berjalan lancar dan tidak ada halangan dari Anggota DPRD Kota Malang sehingga dapat disetujui.

“Atas permintaan tersebut, Moch Anton menyanggupi dengan memerintahkan Cipto Wiyono untuk menyiapkan 'uang pokir' dimaksud. Setelah pertemuan di ruangan Ketua DPRD tersebut, Moch. Arief Wicaksono membicarakan kembali dengan Moch. Anton secara berdua saja, agar Moch. Anton memenuhi permintaan uang oleh anggota DPRD tersebut, dan Moch Anton menyanggupinya,” kata JPU KPK

JPU KPK menyebutkan, hal itu disampaikan kepada seluruh anggota DPRD Kota Malang dan seluruh anggota DPRD Malang menyetujuinya. Selanjutnya Cipto Wiyono meminta Jarot Edy sulistyono untuk memerintahkan Teddy Sujada sumama selaku Kepala Bidang PUPPB Kota Malang untuk menemui dirinya. Setelah Teddy Sujada sumama menghadap, Cipto Wiyono meminta Teddy Sujada sumama agar mengumpulkan uang dari para rekanan atau kontraktor pada Dinas PUPPB  Kota Malang sebesar 9p900 juta, yang mana uang sebesar Rp700 juta diserahkan kepada Moch. Arif Wicaksono, dan uang Rp200 juta diserahkan kepada Cipto Wiyono.

“Pada tanggal 14 Juli 2015 sekitar pukul 13.00 WIB, Moch. Arif Wicaksono menghubungi Cipto Wiyono, meminta realisasi uang pokir untuk anggota DPRD Kota Malang, yang kemudian Cipto Wiyono menyampaikan bahwa uang akan segera diserahkan oleh Jarot Edy sulistyono. Sekitar pukul 14.00 WIB, atas perintah Cipto Wiyono, Jarot Edy Sulistyono menghubungi Moch. Arif Wicaksono, menanyakan ke mana penyerahan uang pokir sebesar Rp700 juta. Kemudian Moch.  Arif Wicaksono meminta agar uang Pokir diserahkan di rumah dinasnya Jalan Panji Suroso No 7 Kota Malang dengan terlebih dahulu dipisahkan jatah untuk dirinya sebesar Rp100 juta, dan untuk seluruh anggota DPRD Kota Malang sebesar Rp600 juta dibungkus tersendiri. Kemudian,  pada pukul 14.24 WIB, Moch. Arif Wicaksono menyampaikan kepada Bambang Sumarto,  bahwa uang pokir dari Moch. Anton akan segera diterima,” ungkap JPU KPK
JPU KPK menyatakan, bahwa setelah para terdakwa dan anggota DPRD Kota Malang lainnya menerima uang tersebut, proses pembahasan Perubahan APBD Kota Malang TA 2015 berjalan lancar tanpa ada hambatan dari para anggota DPRD Kota Malang. Sehingga pada tanggal 22 Juli 2015, dapat dilaksanakan kegiatan penyampaian Pendapat Akhir Fraksi DPRD Kota Malang terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pembahan APBD TA 2015 yang pada pokoknya, menyetujui Rancangan Perubahan APBD TA 2015 menjadi APBD-P TA 2015 Kota Malang sebagaimana dituangkan dalam Keputusan DPRD Kota Malang Nomor:  188.4/48/35.73.201/2015 tanggal 22 Juli 2015 tentang Persetujuan Penetapan Recangan Peraturan Daerah Kota Malam Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Beianja Dumh Tahm Anggaran 2015 yang ditandatangani oleh Moch. Arief Wicaksono selaku Ketua DPRD Kota Malang.

JPU KPK menyatakan, bahwa pemberian uang itu supaya DPRD memberikan pemetujuan terhadap usulan Perubahan APBD Pemerintah Kota Malang TA 2015,  yang bertentangan dengan kewajiban para terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan 6 UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) juncto Pasal 400 ayat (3) UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD juncto UU RI Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

“Perbuatan para terdakwa merupakan tindak pidana, sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 12 huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ucap JPU KPK.
 Dalam surat tuntutan JPU KPK disebutkan nama-nama para anggota dewan yang menerima uang “Sampah” adalah :

Bahwa “uang sampah” sebesar Rp300 juta pada saat pembahasan persetujuan pelaksanaan proses Investasi pembangunan dan pengelolaan barang milik daerah Pemerintah Kota Malang, berupa tanah yang difungsikan sebagai Tempat Pembuangan Akhir  (TPA) Supit Urang yang diterima Ketua DPRD Kota Malang Moch. Arief Wicaksono untuk kemudian dibagikan kepada 45 (Empat puluh Lima) anggota DPRD Kota Malang melaiui para Ketua Fraksi, diantaranya :

1. Terdakwa I Rahayu Sugiarti sebesar Rp10.000.000
2. Terdakwa ll Ya’qud Ananda Gudban sebesar Rp10.000.000
 3. Terdakwa III Hery Subiantono sebesar Rp10.000.000
 4. Terdakwa IV Sukarno sebesar Rp10.000.000
5. Terdakwa V Heri Pudji Utami sebesar Rp10.000.000
 6. Terdakwa VI H. Abd. Rachman sebesar Rp10.000
 7. Moch Arief Wicaksono (divonis penjara 5 tahun dan sudah inckrah) sebesar Rp25.000.000
8. Wiwik Hendri Astuti sebesar Rp10.000.000
9. H.M. Zainuddin AS sebesar Rp10.000.000
10. Mohan Katelu sebesar Rp10.000.000
11. Salamet sebesar Rp10.000.000
12. Sahrawi sebesar Rp10.000.000
13. Bambang Sumarto sebesar Rp5.000.000
 14. Suprapto sebesar Rp5.000.000
15. Abdul Hakim sebesar Rp5.000.000
16. Sullk Lestyowati sebesar Rp5.000.000
17. Imam Fauzi sebesar Rp5.000.000
 18. Tn Yudianl sebesar Rp5.000.000
19. Syaiful Rusdi sebesar Rp5.000.000

Selain menerima uang suap untuk memperlancar pembahasan Perubahan APBD TA 2015 pada Juni 2015,  para terdakwa juga didakwa menerima Gratifikasi pada sekitar Nopember - Desember 2014 pada saat pembahasan APBD (murni) Kota Malang TA 2015
JPU KPK dalam surat tuntutannya menjelakan, bahwa dalam rentang waktu antara bulan September 2014 sampai dengan bulan Juli 2015,  bertempat di Kantor DPRD Kota Malang di Jalan Tugu No. 1A Kota Malang, para tendakwa telah menenma uang berkaitan dengan pembahasan APBD murni :
1. Terdawak I Rahayu Sugiarti ”besar Rp125 000000
2. Terdakwa II Ya’qud Ananda Gudban sebesar Rp125.000.000
3. Terdakwa III Hery Sublantono sebesar Rp125.000.000
4. Terdakwa IV Sukarno sebesar Rp125.000.000
5. Terdakwa V Heri Pudji Utami sebesar Rp110.000.000
6. Terdakwa VI H. Abd. Rachman sebesar Rp100.000.000
7. Moch Anef Wicaksono (divonis penjara 5 tahun dan sudah inckrah) sebesar Rp125.000.000
8. Wiwik Hendri Astuti sebesar Rp125.000.000
9. H.M. Zainuddin AS sebesar Rp125.000.000
10. Mohan Katelu sebesar Rp125 000.000
11. Salamat sebesar Rp125.000.000
12. Sahrawi sebesar Rp125.000 000
13. Bambang Sumarto sebesar Rp100.000.000
14. Suprapto sebesar Rp100.000.000
15. Abdul Hakim sebesar Rp100.000.000
16. Sulik Lestyowati sebesar Rp100.000.000
17. Imam Fauzi sebosar Rp100.000.000
18. Tri Yudiani  sebesar Rp100 juta
19. Syaiful Rusdi sebesar Rp100 juta,

“Bahwa para terdakwa, sejak menerima uang tersebut diatas tidak melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai dengan batas waktu 30 (Tiga puluh) hari kerja,  sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UU RI Nomor 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  padahal penerimaan itu tidak ada alasan yang sah menurut hukum,” kata JPU KPK

Bahwa perbuatan para terdakwa menerima gratifikasi dalam bentuk uang tersebut, haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban, atau tugas para terdakwa selaku Penyelenggara Negara, yaitu sebagai anggota DPRD Kota Malang. Hal mana bertentangan dengan kewajiban para terdakwa selaku anggota DPRD Kota Malang periode tahun 2014 2019 sebagaimana ketentuan :

JPU KPK mengatakan, bahwa perbuatan para terdakwa bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pasal 5 angka 4 yang menyatakan : “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme”. Pasal 5 angka 6 lebih lanjut menyatakan : “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

“Perbuatan para terdakwa merupakan Tindak Pidana, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 B UU RI 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP juncto pasal 65 ayat (1) KUHP,” ucap JPU KPK kemudian

JPU KPK dalam surat tuntutannya menuntut terdakwa Ya’qud Ananda Gudban dengan pidana penjara selama 7 tahun. Selain itu, terdakwa juga dituntut pidana tambahan berupa pengembalian uang yang diterimanya serta pencabutan hak politiknya selama 5 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok. (Jen)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top