Penasehat Hukum terpidana, Mesak Abbet Neggo Taloim (Obby) : “Alasan kita PK adalah putusan MA kepada Setyono (mantan Wali Kota Pasuruan yang sudah berstatus terpidana)” -
BERITAKORUPSI.CO – Senin, 19 Oktober 2020, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya menunda sidang PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan terpidana 5 (lima) tahun penjara Dwi Tri Nurcahyono mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kadis PUPR) Kota Pasuruan melalui Tim Penasehat Hukumnya, Dewo Widyarto dan Mesak Abbet Neggo Taloim atau Obby
Sidang yang berlangsung di ruang sidang Candra Pengadilan Tipikor Surabaya Jalan Raya Junda Sidoarjo, diketua Majelis Hakim DR. Johanis Hehamony, SH., MH dengan dibantu 2 (dua) Hakim anggota (Ad Hock) yaitu DR. Lufsiana, SH., MH dan Emma Elliani, SH., MH yang dihadiri JPU (Jaksa Penuntut Umum) Arif Suhermanto dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
JPU KPK |
“Ini kan ada dua terpidana dalam perkara yang sama, dan sama-sama mengajukan PK, yaitu Dwi Tri Nurcahyono dan Wahyu Tri Hardianto. Karena ini perkara yang sama, saya akan berkonsultasi dengan Ketua Pengadilan supaya ini diperiksa oleh Majelis Hakim yang sama. Jadi kita tunda dulu persidangan ini sampai tanggal dua Nopember (2 Nopember 2020.Red),” ucap Ketua Majelis Hakim DR. Johanis Hehamony, SH., MH
“Ia, maksudnya Majelis Hakim tadi, supaya disidangkan oleh Majelis Hakim yang sama. Karena inikan perkara yang sama dengan terpidana Wahyu Tri Hardianto,” kata JPU KPK Arif Suhermanto kepada beritakorupsi.co di ruang sidang sesaat setelah persidangan usai
Hal itupun lebih jelaskan oleh Ketua Majelis Hakim DR. Johanis Hehamony, SH., MH saat ditemui beritakorupsi.co sebelum meninggalkan gedung Pengadilan Tipikor Surabaya.
Baca juga : Puluhan Asosiasi Konstruksi Terlibat Penyuapan Wali Kota Pasuruan
Foto Dok. BK |
Menurut Obby, putusan MA terhadap terpidana Setyono adalah dengan hukuman pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, dan pasal yang dikenakan adalah dakwaan kedua, yaitu pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
“Tidak ada Novum ataus saksi. Alasan kita PK adalah mengacu pada putusan MA kepada Setyono. Putusan Pengadilan Tipikor Surabaya adalah pidana penjara selama 6 (enam) tahun. Dan putusan PT (Pengadilan Tinggi.Red) menguatkan. Kemudian putusan MA menjadi 3 (tiga) tahun. Pasal yang dikenakan adalah dakwaan kedua yaitu pasal 11. Kalau putusan Pengadilan Tipikor Surabaya adalah pasal 12 b (maksudnya pasal 12 huruf b.Red),” kata Obby
Baca juga : Siapa Tersangka Baru Selaku Penyuap Wali Kota Pasuruan Setiyono?
Menanggapi pertanyaan beritakorupsi.co, Obby mengatakan bahwa pihaknya yakin akan dikabulkan karena pelau utamanya alah terpidana Setyono
“Kita optimis aja,” kata Obby singkat
Anehnya, pengajuan PK yang diajukan oleh terpidana Dwi Tri Nurcahyono maupun Wahyu Tri Hardianto, setelah Keduanya menerima putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya pada Jum'at, 17 Mei 2019
Dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya megatakan, bahwa terdakwa/terpidana Dwi Tri Nurcahyono dan Wahyu Tri Hardianto terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi menerima fee proyek APBD Kota Pasuruan tahun 2016 hingga 2018.
Perbuatan kedua terdakwa/terpidana ini sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 12 huruh b jo pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Majelis Hakim pun menjatuhi hukuman pidana penjara selama 5 (lima) tahun terhadap Dwi Tri Nurcahyono, dan untuk Wahyu Tri Hardianto dengan hukuman pidana pejara selama 4 (empat) tahun.
Pasal yang sama juga dikenakan kepada terpidana Setyono, dengan hukuman pidana penjara yang lebih berat, yaitu 6 tahun penjara. Dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, dikuatkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya Jawa Timur.
Namun, mantan Wali Kota Pasuruan yang tertangkap tangan KPK ini mendapat ‘diskon’ hukuman dari Hakim Agung Mahkamah Agung RI, menjadi 3 (tiga) tahun penjara.
Sedangkan pihak swasta selaku pemberi uang “haram” kepada Ketiga terpidana (Setyono, Dwi Tri Nurcahyono dan Wahyu Tri Hardianto) adalah Muhammad Baqir yang diadili terlebih dahulu dan kemudian divonis pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Putusan itupun diterima oleh Muhammad Baqir
Keempat terpidana dalam kasus ini (Setyono, Dwi Tri Nurcahyono, Wahyu Tri Hardianto dan Muhammad Baqir) sama-sama tertangkap tangan Tim Penyidik KPK pada tanggal 3 Oktober 2018.
Yang menarik sekaligus memalukan dari kasus Korupsi suap tangkap tangan KPK terhadap Wali Kota Pasuruan ini adalah keterlibatan Wartawan dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Dan tidak hanya dalam kasus ini, namun beberapa kasus Korupsi Suap tangkap tangan KPK terhadap Kepala Daerah di Jawa Timur, diantaranya Bupati Tulungagung, Bupati Nganjuk, Ketua DPRD Kota Malang, Bupati Jombang dan Bupati Sidoarjo
Dan beberapa diantaranya ada yang dihadirkan sebagai saksi di persidangan, yaitu dalam sidang perkara kasus Korupsi Suap Ketua DPRD Kota Malang, di mana KPK menghadirkan mantan Wartawan Radar Malang (Jawa Pos Group) yang menerima duit dari Ketua DPRD Malang Moch. Arif Wicaksono dan Eryk Armando Talla.
Kemuidan dalam sidang perkara kasus Korupsi suap tangkap Tangan KPK terhadap Bupati Nganjuk, KPK juga menghadirkan Wartawan Radar Nganjuk (Jawa Pos Group) menjadi saksi di persidangan dan sempat diamankan KPK saat melakuan tangkap tangan terhadap Tafuqurrahman selaku Bupati Nganjuk.
Anehnya, JPU KPK tidak menghadirkan wartawan dan LSM dalam sidang perkara Korupsi Suap tangkap tangan KPK terhadap Bupati Tulungagung dan sidang perkara Korupsi Suap tangkap tangan KPK terhadap Wali Kota Pasuruan termasuk dalam sidang perkara Korupsi Suap tangkap tangan KPK terhadap Bupati Sidoarjo
Konyolnya, tak satupun pejabat bahkan Dewan Pers yang menyebutkannya sebagai Wartawan “Gandrong” atau Wartawan “Bodrek”. Apakah mungkin karena Wartawan seperti ini yang dianggap “Profesional dan dekat dengan pejabat”?
Selain itu, keterlibatan Tim sukses dalam kasus Korupsi Suap tangkap tangan KPK Wali Kota Pasuruan, Setyono juga terjadi dalam kasus Korupsi suap tangkap tangan KPK terhadap Bupati Tulungagung, Bupati Malang dan Bupati Sidoarjo
Keterlibatan Wartawan, LSM dan Tim sukses dalam kasus Korupsi tangkap tangan KPK terhadap Kepala Daerah di Jawa Timur, terungkap pada saat JPU KPK membacakan surat dakwaannya dan keterangan saksi dalam persidangan
Yang lebih aneh dan menjadi pertanyaan adalah, dari 15 Kepala Daerah yang terseret dalam kasus Korupsi tertangkap tangan maupun penyidikan KPK sejak tahun 2017 hingga awal 2020, tak satupun yang diseret oleh KPK terhadap pihak-pihak yang terlibat.
Semula masyarakat Indonesia Khususnya Jawa Timur mendukung penegakan hukum dalam pemberantasan Korupsi yang ditangani KPK. Namun dukungan itu secara perlahan-lahan berubah menjadi kekecewaan
Apakah puluhan perkara Korupsi di Jawa Timur ini akan dituntaskan atau mati suri ditangan Ketua KPK Firli Bahuri ???
(Jen)
Posting Komentar
Tulias alamat email :