#Heri Susetyo, ST., MM, Pengelola Teknik Proyek di DPU CKTR (Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Tata Ruang) Provinsi Jawa Timur dihadirkan sebagai saksi untuk 3 Terdakwa Korupsi Pekerjaan Proyek IGD RS. Paru Dungus Kab. Madiun tahun 2015 sebesar Rp1.7 M. Heri Susetyo, ST., MM juga kejipratan duit “haram” Rp100 juta, dr. Dita Artingtyas (Direktur RS Paru Dungus Kab. Madiun) Rp100 juta, Indra Budi (Konsultan Pengawas) Rp22.850.000 dan beberapa orang lainnya. Apakah akan jadi “Tersangka atau sudah selamat???”#
BERITAKORUPSI.CO –
Banyak kalangan masyarakat bertanya terkait proses penegakan hukum di negara hukum dalam perkara Tindak Pidana Korupsi dengan perkara Tindak Pidana Umum seperti Pencurian “sendal jepit” atau Pencemaran nama baik seseorang melalui Media Sosial, mana yang lebih diutamakan dan manapula yang lebih berbahaya?
Disatu sisi, masyarakat menyaksikan bahwa tak sedikit perkara pidana umum seperti pencurian atau kasus pencemaran nama baik seseorang melalui media sosial yang tak butuh waktu lama bagi Aparat Penegak Hukum (APH) menyeret para pelakunya ke Pengadilan untuk diadili dihadapan Majelis Hakim
Pemerintah bahkan dunia Internasional mengatakan bahwa kasus Tindak Pidana Korupsi adalah salah satu kejahatan yang luar biasa. Itulah sebabnya, PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) melahirkan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tahun 2003 (United Nations Convention Againnt Corruption 2003) yang kemudian ‘melahirkan’ Undang-Undang RI No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againnt Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tahun 2003). Dan kemudian ‘melahirkan Undang-Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Korups serta Undang-Undang Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang, Lembaga dan Peradilan untuk menangani kasus Tindak Pidana Korupsi begitu jelas dan tegas di ‘lahirkan’ oleh pemerintah.
Anehnya, proses penegakan hukum terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi oleh Aparat Penegak Hukum (APH) sepertinya “ada pilih tebang” untuk menyeret pihak-pihak yang diduga terlibat seperti dalam kasus dugaan Korupsi “Mark Up” pekerjaan proyek pembangunan gedung IGD (instalasi gawat darurat) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paru Dungus Kabupaten Madiun Tahun 2015 yang menelan anggaran sebesar Rp9.400.000.000 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp1.715.882.622 berdasarkan hasil audit BPKP Provinsi Jawa Timur Nomor : SP-537/PW13/5/2021
Banyak kalangan masyarakat bertanya terkait proses penegakan hukum di negara hukum dalam perkara Tindak Pidana Korupsi dengan perkara Tindak Pidana Umum seperti Pencurian “sendal jepit” atau Pencemaran nama baik seseorang melalui Media Sosial, mana yang lebih diutamakan dan manapula yang lebih berbahaya?
Disatu sisi, masyarakat menyaksikan bahwa tak sedikit perkara pidana umum seperti pencurian atau kasus pencemaran nama baik seseorang melalui media sosial yang tak butuh waktu lama bagi Aparat Penegak Hukum (APH) menyeret para pelakunya ke Pengadilan untuk diadili dihadapan Majelis Hakim
Pemerintah bahkan dunia Internasional mengatakan bahwa kasus Tindak Pidana Korupsi adalah salah satu kejahatan yang luar biasa. Itulah sebabnya, PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) melahirkan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tahun 2003 (United Nations Convention Againnt Corruption 2003) yang kemudian ‘melahirkan’ Undang-Undang RI No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againnt Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tahun 2003). Dan kemudian ‘melahirkan Undang-Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Korups serta Undang-Undang Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang, Lembaga dan Peradilan untuk menangani kasus Tindak Pidana Korupsi begitu jelas dan tegas di ‘lahirkan’ oleh pemerintah.
Anehnya, proses penegakan hukum terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi oleh Aparat Penegak Hukum (APH) sepertinya “ada pilih tebang” untuk menyeret pihak-pihak yang diduga terlibat seperti dalam kasus dugaan Korupsi “Mark Up” pekerjaan proyek pembangunan gedung IGD (instalasi gawat darurat) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paru Dungus Kabupaten Madiun Tahun 2015 yang menelan anggaran sebesar Rp9.400.000.000 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp1.715.882.622 berdasarkan hasil audit BPKP Provinsi Jawa Timur Nomor : SP-537/PW13/5/2021
Anehnya lagi, sekalipun Aparat Penegak Hukum telah menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi, atau dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum menyebutkan adanya keterlibatan pihak-pihak lain dan kemudian dikuatkan dengan fakta dalam persidangan, namun tak sedikit “hilang begitu saja” alias dihentikan atau di SP-3 kan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) diantaranya kasus perkara Korupsi P2SEM (Prgram Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat) Pemprov Jatim tahun 2009 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp277 miliar, kasus perkara Korupsi pembebasan lahan untuk pembangunan kampus UIN Malang tahun 2013 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp8 miliar dan kasus Korupsi Japung (Jasa Pungut) Pemkot Surabaya untuk DPRD Surabaya tahun 2009 sebesar Rp720 juta belum lagi SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) tahun 2015 yang sempat menghebohkan masyarakat luas menjelang Pemelihan Wali Kota Surabaya pada 9 Desember 2015. Mengapa...???
Yang lebih anehnya lagi adalah, dalam kasus perkara duggan Korupsi “Mark Up” pekerjaan proyek pembangunan gedung IGD (instalasi gawat darurat) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paru Dungus Kabupaten Madiun Tahun 2015, sepertinya “ada benang merah di tempat yang terang benderang tidak dan atau belum terurai” terkait keterlibatan pihak-pihak lain yang dibeberkan dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (JPU Kejari) Kabupaten Madiun yang dibacakan di persidangan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, pada Kamis, 19 Agustus 2019 terhadap 3 Terdakwa, yaitu Yohanes Widodo Agung Pradjoko (Terdakwa I), Alex Wibisono, ST Bin Djayadi (Terdakwa II) dan Pitoyo Karsanto Bin Minhat (Terdakwa III)
Baca juga: Diduga Korupsi Rp1.7 M, Tiga Terdakwa Pelaksana Proyek IGD RS. Paru Dungus Kab. Madiun Diadili -http://www.beritakorupsi.co/2021/08/diduga-korupsi-rp1072-m-tiga-terdakwa.html
Yang lebih anehnya lagi adalah, dalam kasus perkara duggan Korupsi “Mark Up” pekerjaan proyek pembangunan gedung IGD (instalasi gawat darurat) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paru Dungus Kabupaten Madiun Tahun 2015, sepertinya “ada benang merah di tempat yang terang benderang tidak dan atau belum terurai” terkait keterlibatan pihak-pihak lain yang dibeberkan dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (JPU Kejari) Kabupaten Madiun yang dibacakan di persidangan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, pada Kamis, 19 Agustus 2019 terhadap 3 Terdakwa, yaitu Yohanes Widodo Agung Pradjoko (Terdakwa I), Alex Wibisono, ST Bin Djayadi (Terdakwa II) dan Pitoyo Karsanto Bin Minhat (Terdakwa III)
Baca juga: Diduga Korupsi Rp1.7 M, Tiga Terdakwa Pelaksana Proyek IGD RS. Paru Dungus Kab. Madiun Diadili -http://www.beritakorupsi.co/2021/08/diduga-korupsi-rp1072-m-tiga-terdakwa.html
Dan “benang merah di tempat yang terang benderang” dalam perkara duggan Korupsi “Mark Up” pekerjaan proyek pembangunan gedung IGD (instalasi gawat darurat) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paru Dungus Kabupaten Madiun Tahun 2015 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1.715.882.622 mulai terurai alias terungkap setelah kehadiran Heri Susetyo, ST., MM, selaku Pengelola Teknik Proyek di DPU CKTR (Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Tata Ruang) Provinsi Jawa Timur yang dihadirkan sebagai saksi untuk 3 Terdakwa dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, pada Rabu, 22 September 2021
Pada persidangan yang berlangsung secara Virtual (Zoom) di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor pada PN Surabaya (Rabu, 22 September 2021) adalah agenda mendengarkan keterangan saksi, salah satunya adalah Heri Susetyo, ST., MM yang dihadirkan Tim JPU Purning Dahono Putra, SH yang juga selaku Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Kab. Madiun dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Pembangunan Gedung IGD RS Paru Dungus Kabupaten Madiun tahun 2015 yang merugikan keuangan negara senilai Rp1.715.882.622 dengan Terdakwa I Yohanes Widodo Agung Pradjoko, Terdakwa II Alex Wibisono, ST Bin Djayadi dan Terdakwa III Pitoyo Karsanto Bin Minhat yang diketuai Majelis Hakim Marper Pandeangan, SH., MH dan dibantu 2 Hakim Ad Hock masing-masing sebagai anggota yaitu Poster Sitorus, SH., MH dan Manambus Pasaribu, SH., MH serta Panitra Pengganti (PP) Asep Priyatno, SH., MH yang dihadiri Tim Penasehat Hukum Ketiga Terdakwa. Sementara Ketiga Terdakwa mengkuti persidangan dari Rutan Kejati Jatim (Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur) Cabang Surabaya melalui Zoom karena kondisi Pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019)
Dalam fakta persidangan, “benag merah” itu mulai terungkap dari keterangan saksi Heri Susetyo, ST., MM. Sebenarnya, dalam dakwaan JPU sudah dijelaksan adanya peranan Heri Susetyo, ST., MM yang menawarkan pekerjaan pembangunan Gedung IGD RS. Paru Dungus Kabupaten Madiun terhadap Terdakwa I Yohanes Widodo Agung Pradjoko sebelum dimulainya proses lelang melalui LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) dengan mengarahkan untuk meminjam perusahaan PT Aneka Jasa Pembungan
Keterangan saksi Heri Susetyo, ST., MM menjawab pertanyaan JPU maupun Ketiga Majelis Hakim dipersidangan, lebih banyak menjawab tidak tau dan lupa. Namun saksi mengakui sudah mengenal Terdakwa I Yohanes Widodo Agung Pradjoko sejak tahun 2011, saat Terdakwa I mengerjakan proyek pekerjaan RS Kabupaten Madiun
“Saya kenaal tahun 2011 saat itu (Terdakwa I) mengerjakan RS Paru Madiun,” jawab saksi.
Saat ditanya kehadirannya pada sekitar bulan Agustus dan September 2015, saksi hanya mengaakui menghadiri rapat koordinasi perjaan RS Paru Dungus Kabupaten Madiun, namun tidak menjelaskan secara jelas terkait koordinasi dibiadang apa.
“Koordinasi dibidang apa?,” tanya Ketua Majelis Hakim termasuk Dua anggota Majelis Hakim. Namun saksi tidak menjelaskan secara rinci.
Pada persidangan yang berlangsung secara Virtual (Zoom) di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor pada PN Surabaya (Rabu, 22 September 2021) adalah agenda mendengarkan keterangan saksi, salah satunya adalah Heri Susetyo, ST., MM yang dihadirkan Tim JPU Purning Dahono Putra, SH yang juga selaku Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Kab. Madiun dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Pembangunan Gedung IGD RS Paru Dungus Kabupaten Madiun tahun 2015 yang merugikan keuangan negara senilai Rp1.715.882.622 dengan Terdakwa I Yohanes Widodo Agung Pradjoko, Terdakwa II Alex Wibisono, ST Bin Djayadi dan Terdakwa III Pitoyo Karsanto Bin Minhat yang diketuai Majelis Hakim Marper Pandeangan, SH., MH dan dibantu 2 Hakim Ad Hock masing-masing sebagai anggota yaitu Poster Sitorus, SH., MH dan Manambus Pasaribu, SH., MH serta Panitra Pengganti (PP) Asep Priyatno, SH., MH yang dihadiri Tim Penasehat Hukum Ketiga Terdakwa. Sementara Ketiga Terdakwa mengkuti persidangan dari Rutan Kejati Jatim (Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur) Cabang Surabaya melalui Zoom karena kondisi Pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019)
Dalam fakta persidangan, “benag merah” itu mulai terungkap dari keterangan saksi Heri Susetyo, ST., MM. Sebenarnya, dalam dakwaan JPU sudah dijelaksan adanya peranan Heri Susetyo, ST., MM yang menawarkan pekerjaan pembangunan Gedung IGD RS. Paru Dungus Kabupaten Madiun terhadap Terdakwa I Yohanes Widodo Agung Pradjoko sebelum dimulainya proses lelang melalui LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) dengan mengarahkan untuk meminjam perusahaan PT Aneka Jasa Pembungan
Keterangan saksi Heri Susetyo, ST., MM menjawab pertanyaan JPU maupun Ketiga Majelis Hakim dipersidangan, lebih banyak menjawab tidak tau dan lupa. Namun saksi mengakui sudah mengenal Terdakwa I Yohanes Widodo Agung Pradjoko sejak tahun 2011, saat Terdakwa I mengerjakan proyek pekerjaan RS Kabupaten Madiun
“Saya kenaal tahun 2011 saat itu (Terdakwa I) mengerjakan RS Paru Madiun,” jawab saksi.
Saat ditanya kehadirannya pada sekitar bulan Agustus dan September 2015, saksi hanya mengaakui menghadiri rapat koordinasi perjaan RS Paru Dungus Kabupaten Madiun, namun tidak menjelaskan secara jelas terkait koordinasi dibiadang apa.
“Koordinasi dibidang apa?,” tanya Ketua Majelis Hakim termasuk Dua anggota Majelis Hakim. Namun saksi tidak menjelaskan secara rinci.
Saksi mengakui, diundang setelah pekerjaan dimulai dan bukan dari awal. Dan saksi juga memberi masukan terkait terjadinya CCO (Contract Change Order) Pekerjaan Tambah Kurang karena terdapat penyesuaian antara gambar rencana dengan lokasi pekerjaan yang dituangkan dalam Berita Acara Contract Change Order (CCO) pelaksanaan pekerjaan kontruksi Nomor 027/3721/111.20/2015 tanggal 8 Agustus 2015. Dari bukti berupa dokumen yang diperlihatkan JPU kepada Majelis Hakim, tertera tandatangan saksi Heri Susetyo, ST., MM
“Saran saya. Boleh dilakukan pekerjaan tambah kurang asalkan nol rupiah,” jawab saksi.
Karena keterangan saksi yang terkesan berbelit-belit dan selalu menjawab tidak tau dan lupa, bahkan tidak mengakui menerima sesuatu dari kegiatan pekerjaan gedung IGD RS Paru Dungus, Ketiga Majelis Hakimpun terlihat marah, dan meminta kepada JPU untuk membuktikan dakwaan terkait duit “haram” sebesar Rp100 juta ke saksi.
“Jaksa harus bisa buktikan uang seratu juta ke saksi, ini dakwaan jelas,” perintah Ketua Majelis Hakim
Lalu bagimana dengan nasib Heri Susetyo, ST., MM, dalam perkara dugaan Korupsi proyek pekerjaan gedung IGD RS Paru Dungus Kab. Madiun tahun 2015 yang merugikan keuangan negara senilai Rp1.7 miliar ini? Apakah penyidik Polres Kabupaten Madiun akan menyeretnya sebagai Tersangka atau cukup sebagai penonton alias saksi???
Dari dakwaan JPU, terkait pihak-pihak yang kejipratan duit “haram” bukan hanya Heri Susetyo, ST., MM, melainkan masih ada dr. Dita Artinigtyas M.Kes selaku KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) yang menjabat Direktur RS Paru Dungus Kab. Madiun sebesar Rp100 juta, Suratno, Amd Kep selaku PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) sebesar Rp10 juta, Agus Winarto, Amd Kep selaku PPTK (Pejabat Pelakasana Tekni Pekerjaan) sebesar Rp10 juta, Rizal Muttaqin selaku Konsultan Pengawas sebesar Rp22.850.000, Indra Budi selaku Konsultan Pengawas sebesar Rp22.850.000, Ir. Wahyu Sukoco, MM selaku pengelola teknis proyek di Dinas PU CKTR Provinsi Jatim sebesar Rp50 juta dan Suwandi selaku Direktur PT. Tunggal Jaya Raya Rp207.000.000.
Apakah penyidik Polres Kabupaten Madiun akan menyeretnya sebagai Tersangka atau cukup sebagai penonton alias saksi juga???
Menanggapi hal ini, Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Kab. Madiun Purning Dahono Putra, SH kepada beritakorupsi.co menyampaikan, belum ada penyidikan dari Polres untuk Heri Susetyo, ST., MM. Namun Purning Dahono Putra, SH mengakui, ada penyidikan baru atas nama Suwandi selaku Direktur PT Tunggal Jaya Raya
“Ada atas nama Suwandi,” jawab Purning kepada beritakorupsi.co
“Saran saya. Boleh dilakukan pekerjaan tambah kurang asalkan nol rupiah,” jawab saksi.
Karena keterangan saksi yang terkesan berbelit-belit dan selalu menjawab tidak tau dan lupa, bahkan tidak mengakui menerima sesuatu dari kegiatan pekerjaan gedung IGD RS Paru Dungus, Ketiga Majelis Hakimpun terlihat marah, dan meminta kepada JPU untuk membuktikan dakwaan terkait duit “haram” sebesar Rp100 juta ke saksi.
“Jaksa harus bisa buktikan uang seratu juta ke saksi, ini dakwaan jelas,” perintah Ketua Majelis Hakim
Lalu bagimana dengan nasib Heri Susetyo, ST., MM, dalam perkara dugaan Korupsi proyek pekerjaan gedung IGD RS Paru Dungus Kab. Madiun tahun 2015 yang merugikan keuangan negara senilai Rp1.7 miliar ini? Apakah penyidik Polres Kabupaten Madiun akan menyeretnya sebagai Tersangka atau cukup sebagai penonton alias saksi???
Dari dakwaan JPU, terkait pihak-pihak yang kejipratan duit “haram” bukan hanya Heri Susetyo, ST., MM, melainkan masih ada dr. Dita Artinigtyas M.Kes selaku KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) yang menjabat Direktur RS Paru Dungus Kab. Madiun sebesar Rp100 juta, Suratno, Amd Kep selaku PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) sebesar Rp10 juta, Agus Winarto, Amd Kep selaku PPTK (Pejabat Pelakasana Tekni Pekerjaan) sebesar Rp10 juta, Rizal Muttaqin selaku Konsultan Pengawas sebesar Rp22.850.000, Indra Budi selaku Konsultan Pengawas sebesar Rp22.850.000, Ir. Wahyu Sukoco, MM selaku pengelola teknis proyek di Dinas PU CKTR Provinsi Jatim sebesar Rp50 juta dan Suwandi selaku Direktur PT. Tunggal Jaya Raya Rp207.000.000.
Apakah penyidik Polres Kabupaten Madiun akan menyeretnya sebagai Tersangka atau cukup sebagai penonton alias saksi juga???
Menanggapi hal ini, Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Kab. Madiun Purning Dahono Putra, SH kepada beritakorupsi.co menyampaikan, belum ada penyidikan dari Polres untuk Heri Susetyo, ST., MM. Namun Purning Dahono Putra, SH mengakui, ada penyidikan baru atas nama Suwandi selaku Direktur PT Tunggal Jaya Raya
“Ada atas nama Suwandi,” jawab Purning kepada beritakorupsi.co
Yang paling menggelitik dari kasus ini adalah, yang Pertama: terkait penyusunan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) yaitu Suratno.
Dalam dakwaan JPU disebutkan, bahwa PPK menetapkan Harga Perkiraan Sendiri yang didapatkan dari perhitungan dan Gambar Rencana (DED) yang dibuat oleh Konsultan Perencana yaitu PT. Dewi Permata Mandiri yang ditunjuk berdasarkan Surat Perjanjian (Kontrak) Nomor : 027/1706/111.20/2014 tanggal 19 Mei 2014 dengan nama paket pekerjaan Belanja Modal Gedung Tempat Kerja Jasa Konsultasi Perencanaan Pembangunan Gedung IGD, Program pengadaan peningkatan sarana dan sarana rumah sakit/rumah sakit jiwa/rumah sakit paru paru/rumah sakit mata, kegiatan peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan, kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok. Saat itu saksi Suratno menetapkan HPS dengan Nilai Rp9.354.117.000
Padahal, dalam Pasal 66 ayat (7) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berbunyi: “Penyusunan HPS didasarkan pada data harga pasar setempat, yang diperoleh berdasarkan hasil survei menjelang dilaksanakannya Pengadaan, dengan mempertimbangkan informasi yang meliputi: a. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS); b. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan; c. daftar biaya/tarif Barang/Jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal; d. biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya; e. inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia; f. hasil perbandingan dengan Kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain; g. perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan oleh konsultan perencana (engineer's estimate); h. norma indeks; dan/atau i. informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kemuidan yang Kedua: terkait perubahan harga satuan sebanyak 42 item yang menyebabkan nilai kontrak dari semula senilai Rp8.640.000.000 berubah menjadi Rp9.394.000.000 tanpa sepengetahuan dari konsultan pengawas maupun PPK yang mana pada saat itu para terdakwa tidak pernah membahas tentang perubahan harga satuan dalam rapat dan tidak ada berita acara rapat sebagai acuan awal dalam penyusunan CCO.
Perubahan harga satuan yang dituangkan dalam perubahan kontrak tersebut bukan karena keadaan alam atau karena adanya kenaikan harga barang yang signifikan, akan tetapi karena keinginan para terdakwa untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar
Pertanyaannya, kalau memang PPK tidak mengetahui adanya perubahan harga satuan sebanyak 42 aitem sehingga terjadi perubahan nilai kontrak, apakah yang dipakai nilai kontrak semula yaitu Rp8.640.000.000 atau Rp9.394.000.000??? apaka PPK menandatangani doikumen adanya perubahan nilai kontrak itu? Apakah ini sebaagai “jalan penyelamatan bagi PPK???” Apakah PPK hanya sebagai penonton alias saksi dalam perkara ini?
Kalau memang pekerjaan pembangunan gedung IGD RS Paru Dungus Kabupatena Madiun tidak sesuai dengan Kontrak sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar 1 miliar rupiah lebih, apakah PA (Pengguna Anggaran), KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), PPTK (Pelaksana Teknik Pekerjaan), PPHP (Panitia Penerima Hasil Pekerjaan), Konsultan Pengawas dan Panitia Pengaadaan hanya sebagai penonton alias saksi dalam perkara ini?. (Jnt)
Baca juga berita terkiat: Diduga Korupsi Rp1.7 M, Tiga Terdakwa Pelaksana Proyek IGD RS. Paru Dungus Kab. Madiun Diadili - http://www.beritakorupsi.co/2021/08/diduga-korupsi-rp1072-m-tiga-terdakwa.html
Dalam dakwaan JPU disebutkan, bahwa PPK menetapkan Harga Perkiraan Sendiri yang didapatkan dari perhitungan dan Gambar Rencana (DED) yang dibuat oleh Konsultan Perencana yaitu PT. Dewi Permata Mandiri yang ditunjuk berdasarkan Surat Perjanjian (Kontrak) Nomor : 027/1706/111.20/2014 tanggal 19 Mei 2014 dengan nama paket pekerjaan Belanja Modal Gedung Tempat Kerja Jasa Konsultasi Perencanaan Pembangunan Gedung IGD, Program pengadaan peningkatan sarana dan sarana rumah sakit/rumah sakit jiwa/rumah sakit paru paru/rumah sakit mata, kegiatan peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan, kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok. Saat itu saksi Suratno menetapkan HPS dengan Nilai Rp9.354.117.000
Padahal, dalam Pasal 66 ayat (7) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berbunyi: “Penyusunan HPS didasarkan pada data harga pasar setempat, yang diperoleh berdasarkan hasil survei menjelang dilaksanakannya Pengadaan, dengan mempertimbangkan informasi yang meliputi: a. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS); b. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan; c. daftar biaya/tarif Barang/Jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal; d. biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya; e. inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia; f. hasil perbandingan dengan Kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain; g. perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan oleh konsultan perencana (engineer's estimate); h. norma indeks; dan/atau i. informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kemuidan yang Kedua: terkait perubahan harga satuan sebanyak 42 item yang menyebabkan nilai kontrak dari semula senilai Rp8.640.000.000 berubah menjadi Rp9.394.000.000 tanpa sepengetahuan dari konsultan pengawas maupun PPK yang mana pada saat itu para terdakwa tidak pernah membahas tentang perubahan harga satuan dalam rapat dan tidak ada berita acara rapat sebagai acuan awal dalam penyusunan CCO.
Perubahan harga satuan yang dituangkan dalam perubahan kontrak tersebut bukan karena keadaan alam atau karena adanya kenaikan harga barang yang signifikan, akan tetapi karena keinginan para terdakwa untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar
Pertanyaannya, kalau memang PPK tidak mengetahui adanya perubahan harga satuan sebanyak 42 aitem sehingga terjadi perubahan nilai kontrak, apakah yang dipakai nilai kontrak semula yaitu Rp8.640.000.000 atau Rp9.394.000.000??? apaka PPK menandatangani doikumen adanya perubahan nilai kontrak itu? Apakah ini sebaagai “jalan penyelamatan bagi PPK???” Apakah PPK hanya sebagai penonton alias saksi dalam perkara ini?
Kalau memang pekerjaan pembangunan gedung IGD RS Paru Dungus Kabupatena Madiun tidak sesuai dengan Kontrak sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar 1 miliar rupiah lebih, apakah PA (Pengguna Anggaran), KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), PPTK (Pelaksana Teknik Pekerjaan), PPHP (Panitia Penerima Hasil Pekerjaan), Konsultan Pengawas dan Panitia Pengaadaan hanya sebagai penonton alias saksi dalam perkara ini?. (Jnt)
Baca juga berita terkiat: Diduga Korupsi Rp1.7 M, Tiga Terdakwa Pelaksana Proyek IGD RS. Paru Dungus Kab. Madiun Diadili - http://www.beritakorupsi.co/2021/08/diduga-korupsi-rp1072-m-tiga-terdakwa.html
Posting Komentar
Tulias alamat email :