#3 Grup Penerima Insentif Biodiesel dari BPDPKS Terlibat Korupsi Ekspor Bahan Baku Minyak Goreng!#
Jakarta, BERITAKORUPSI.COO -
Jakarta, BERITAKORUPSI.COO -
Polemik langka dan mahalnya minyak goreng telah berlangsung berlarut-larut tanpa penanganan efektif dari pemerintah. Di tengah polemik tersebut, Kejaksaan Agung (Kejagung) baru saja menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemendag) sebagai tersangka korupsi pemberian Persetujuan Ekspor (PE) Crude Palm Oil (CPO). Pejabat Kemendag tersebut ditetapkan sebagai tersangka bersama 3 pihak lain dari group perusahaan penikmat insentif sawit terbesar. Hal ini disampaikan dalam siaran Pers Indonesia Corruption Watch (ICW), Kamis, 20 April 2022
Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) sempat digaungkan menjadi senjata pamungkas Kemendag untuk menangani langka bahan baku minyak goreng. Melalui kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 tahun 2022 tersebut, pemerintah mewajibkan eksportir CPO untuk terlebih dulu memasok minimal 20% dari volume ekspornya untuk kebutuhan domestik.
Satu sisi, kebijakan DMO diharapkan menjadi jurus paksa pemerintah terhadap eksportir agar memasok kebutuhan dalam negeri jika ingin mendapat PE. Bersama dengan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET), pemerintah bermaksud menjaga stok dan kestabilan harga. Namun di sisi lain, angka 20% dalam bisnis merupakan angka yang signifikan sehingga tanpa pengawasan yang memadai, kebijakan tersebut membuat persetujuan ekspor rentan suap/ transaksional. Kebijakan tersebut juga tak disertai sanksi yang signifikan, misalnya dikaitkan dengan Hak Guna Usaha (HGU) sawit. Hal tersebut mengingat pelaku usaha sawit dan pengolahan CPO terbesar saling terintegrasi dengan produsen minyak goreng.
Pada 9 Maret 2022, Menteri Perdagangan menyebut stok minyak goreng sudah melebihi kebutuhan nasional. Telah ada 415.787 ton minyak goreng yang diperoleh dari skema DMO untuk didistribusikan ke pasar. Tak sampai 1 bulan dari klaim keamanan stok tersebut, Menteri Perdagangan melalui mencabut HET minyak goreng kemasan. HET hanya berlaku untuk minyak goreng curah dengan harga setara minyak goreng kemasan sebelum HET dicabut, yaitu Rp 14.000 per liter. Selain kritik publik, kebijakan tersebut berbuah masalah baru, yaitu dioplosnya minyak goreng curah menjadi kemasan sehingga langka di pasar.
Dugaan suap Dirjen Daglu Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana bersama 3 individu dari PT Wilmar Nabati Indonesia, Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas dapat dilihat menjadi salah satu sebab tidak efektifnya DMO dan HET. Namun dalam kasus ini, Kejagung perlu menelusuri dugaan keterlibatan korporasi dan aktor lain lain, khususnya pejabat di Kemendag. Korporasi adalah pihak yang akan diuntungkan apabila persetujuan ekspor dikeluarkan tanpa persyaratan dalam kebijakan DMO dan DPO.
Di tengah polemik minyak goreng yang mendapat sorotan tajam Presiden dan publik luas, Kemendag semestinya memperkuat pengawasan atas setiap implementasi kebijakan penanganan minyak goreng. Terlebih mengenai celah suap dari korporasi yang terdampak kebijakan DMO, DPO, dan HET. Bagaimana kebijakan tersebut diawasi dan dievaluasi oleh inspektorat kementerian dan Menteri Perdagangan?
Selain menjabat sebagai Dirjen Daglu Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana juga masuk dalam jajaran dewan pengawas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sebelumnya, namanya telah beberapa kali disebut dalam sejumlah kasus korupsi, seperti pada kasus suap pengurusan kuota dan izin bawang putih di tahun 2019 dan pada kasus dugaan suap kuota impor ikan di Perum Perindo pada tahun yang sama. Melihat rekam jejaknya yang sudah bermasalah Menteri Perdagangan seharusnya tidak mempercayakan jabatan Dirjen Daglu yang sangat strategis, khususnya di tengah polemik minyak goreng kepadanya.
Jika dilihat dari profilnya, ketiga perusahaan yang terlibat dalam kasus penerbitan PE terkait komoditas CPO yang tidak memenuhi persyaratan ini merupakan pelaku-pelaku besar industri sawit dan produsen minyak goreng. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang juga banyak menyalurkan minyak sawit untuk biodiesel dan karenanya mendapat insentif triliunan rupiah dari dana pungutan ekspor sawit yang dikelola oleh BPDPKS di masa Indrasari Wisnu Wardhani menjadi anggota dewan pengawasnya. Sejak 2015, 9 perusahaan yang diduga terafiliasi dengan 3 grup perusahaan tersebut mendapatkan insentif BPDPKS lebih dari Rp 66,4 triliun. Nominal tersebut setara 60% dari total insentif BPDPKS untuk 27 perusahaan tahun 2015-2021.Dapat dikatakan, ketiga perusahaan yang tersangkut kasus korupsi PE CPO tersebut langganan mendapat dana dari negara sejak 2015. Ironisnya, mereka tak mendukung kebijakan Kemendag dengan mengajukan permohonan PE tanpa memenuhi syarat distribusi domestik 20%. Lebih ironis lagi, korupsi Dirjen Daglu Kemendag ini dilakukan di tengah jeritan kesulitan publik dengan ekonomi menengah ke bawah yang bergantung pada minyak goreng sawit curah dan kemasan. Semestinya, penindakan dan sanksi juga menjerat perusahaan sebagai suatu korporasi, tak hanya individu yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung.
Selain menelusuri dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus korupsi Dirjen Daglu Kemendag dan menjerat korporasi yang diduga terlibat, pemerintah perlu menyeriusi evaluasi dan pembenahan tata niaga minyak goreng. Kasus ini lagi-lagi perlu dijadikan sebagai momentum evaluasi kebijakan dan mengasesmen masalah dari hulu, yaitu industri sawit, hingga hilirnya. Dugaan korupsi PE CPO pada dasarnya adalah persoalan di sisi hilir akibat kebijakan yang tak matang dan komitmen serta pengawasan Kemendag yang lemah.
Merangkum catatan di atas, kami mendesak:
1. Kejagung menelusuri keterlibatan korporasi dan pejabat lain yang potensial turut terlibat, khususnya di Kemendag.
2. Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang belum tuntas menangani problem minyak goreng.
3. Kementerian Perdagangan melakukan evaluasi atau review kebijakan terkait ekspor dan menguatkan komitmen keterbukaan informasi pemberian persetujuan impor.
4. Pemerintah lintas kementerian, mulai dari Perdagangan hingga Pertanian mengevaluasi kebijakan tata niaga industri sawit dan minyak goreng demi menjamin ketersediaan pasokan minyak goreng atau pangan dalam negeri dengan harga stabil yang tidak mengalami kenaikan signifikan dan menyulitkan warga.
5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera menuntaskan penyelidikan atas dugaan kartel dan mafia minyak goreng.
Jakarta, 20 April 2022
Sumber : Corruption Watch (ICW)
Editor : Redaksi beritakorupsi.co
Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) sempat digaungkan menjadi senjata pamungkas Kemendag untuk menangani langka bahan baku minyak goreng. Melalui kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 tahun 2022 tersebut, pemerintah mewajibkan eksportir CPO untuk terlebih dulu memasok minimal 20% dari volume ekspornya untuk kebutuhan domestik.
Satu sisi, kebijakan DMO diharapkan menjadi jurus paksa pemerintah terhadap eksportir agar memasok kebutuhan dalam negeri jika ingin mendapat PE. Bersama dengan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET), pemerintah bermaksud menjaga stok dan kestabilan harga. Namun di sisi lain, angka 20% dalam bisnis merupakan angka yang signifikan sehingga tanpa pengawasan yang memadai, kebijakan tersebut membuat persetujuan ekspor rentan suap/ transaksional. Kebijakan tersebut juga tak disertai sanksi yang signifikan, misalnya dikaitkan dengan Hak Guna Usaha (HGU) sawit. Hal tersebut mengingat pelaku usaha sawit dan pengolahan CPO terbesar saling terintegrasi dengan produsen minyak goreng.
Pada 9 Maret 2022, Menteri Perdagangan menyebut stok minyak goreng sudah melebihi kebutuhan nasional. Telah ada 415.787 ton minyak goreng yang diperoleh dari skema DMO untuk didistribusikan ke pasar. Tak sampai 1 bulan dari klaim keamanan stok tersebut, Menteri Perdagangan melalui mencabut HET minyak goreng kemasan. HET hanya berlaku untuk minyak goreng curah dengan harga setara minyak goreng kemasan sebelum HET dicabut, yaitu Rp 14.000 per liter. Selain kritik publik, kebijakan tersebut berbuah masalah baru, yaitu dioplosnya minyak goreng curah menjadi kemasan sehingga langka di pasar.
Dugaan suap Dirjen Daglu Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana bersama 3 individu dari PT Wilmar Nabati Indonesia, Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas dapat dilihat menjadi salah satu sebab tidak efektifnya DMO dan HET. Namun dalam kasus ini, Kejagung perlu menelusuri dugaan keterlibatan korporasi dan aktor lain lain, khususnya pejabat di Kemendag. Korporasi adalah pihak yang akan diuntungkan apabila persetujuan ekspor dikeluarkan tanpa persyaratan dalam kebijakan DMO dan DPO.
Di tengah polemik minyak goreng yang mendapat sorotan tajam Presiden dan publik luas, Kemendag semestinya memperkuat pengawasan atas setiap implementasi kebijakan penanganan minyak goreng. Terlebih mengenai celah suap dari korporasi yang terdampak kebijakan DMO, DPO, dan HET. Bagaimana kebijakan tersebut diawasi dan dievaluasi oleh inspektorat kementerian dan Menteri Perdagangan?
Selain menjabat sebagai Dirjen Daglu Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana juga masuk dalam jajaran dewan pengawas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sebelumnya, namanya telah beberapa kali disebut dalam sejumlah kasus korupsi, seperti pada kasus suap pengurusan kuota dan izin bawang putih di tahun 2019 dan pada kasus dugaan suap kuota impor ikan di Perum Perindo pada tahun yang sama. Melihat rekam jejaknya yang sudah bermasalah Menteri Perdagangan seharusnya tidak mempercayakan jabatan Dirjen Daglu yang sangat strategis, khususnya di tengah polemik minyak goreng kepadanya.
Jika dilihat dari profilnya, ketiga perusahaan yang terlibat dalam kasus penerbitan PE terkait komoditas CPO yang tidak memenuhi persyaratan ini merupakan pelaku-pelaku besar industri sawit dan produsen minyak goreng. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang juga banyak menyalurkan minyak sawit untuk biodiesel dan karenanya mendapat insentif triliunan rupiah dari dana pungutan ekspor sawit yang dikelola oleh BPDPKS di masa Indrasari Wisnu Wardhani menjadi anggota dewan pengawasnya. Sejak 2015, 9 perusahaan yang diduga terafiliasi dengan 3 grup perusahaan tersebut mendapatkan insentif BPDPKS lebih dari Rp 66,4 triliun. Nominal tersebut setara 60% dari total insentif BPDPKS untuk 27 perusahaan tahun 2015-2021.Dapat dikatakan, ketiga perusahaan yang tersangkut kasus korupsi PE CPO tersebut langganan mendapat dana dari negara sejak 2015. Ironisnya, mereka tak mendukung kebijakan Kemendag dengan mengajukan permohonan PE tanpa memenuhi syarat distribusi domestik 20%. Lebih ironis lagi, korupsi Dirjen Daglu Kemendag ini dilakukan di tengah jeritan kesulitan publik dengan ekonomi menengah ke bawah yang bergantung pada minyak goreng sawit curah dan kemasan. Semestinya, penindakan dan sanksi juga menjerat perusahaan sebagai suatu korporasi, tak hanya individu yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung.
Selain menelusuri dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus korupsi Dirjen Daglu Kemendag dan menjerat korporasi yang diduga terlibat, pemerintah perlu menyeriusi evaluasi dan pembenahan tata niaga minyak goreng. Kasus ini lagi-lagi perlu dijadikan sebagai momentum evaluasi kebijakan dan mengasesmen masalah dari hulu, yaitu industri sawit, hingga hilirnya. Dugaan korupsi PE CPO pada dasarnya adalah persoalan di sisi hilir akibat kebijakan yang tak matang dan komitmen serta pengawasan Kemendag yang lemah.
Merangkum catatan di atas, kami mendesak:
1. Kejagung menelusuri keterlibatan korporasi dan pejabat lain yang potensial turut terlibat, khususnya di Kemendag.
2. Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang belum tuntas menangani problem minyak goreng.
3. Kementerian Perdagangan melakukan evaluasi atau review kebijakan terkait ekspor dan menguatkan komitmen keterbukaan informasi pemberian persetujuan impor.
4. Pemerintah lintas kementerian, mulai dari Perdagangan hingga Pertanian mengevaluasi kebijakan tata niaga industri sawit dan minyak goreng demi menjamin ketersediaan pasokan minyak goreng atau pangan dalam negeri dengan harga stabil yang tidak mengalami kenaikan signifikan dan menyulitkan warga.
5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera menuntaskan penyelidikan atas dugaan kartel dan mafia minyak goreng.
Jakarta, 20 April 2022
Sumber : Corruption Watch (ICW)
Editor : Redaksi beritakorupsi.co
Posting Komentar
Tulias alamat email :