“Salah satu tujuan dari Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah “Menjamin Hak Warga Negara Untuk Mengetahui Rencana Pembuatan Kebijakan Publik, Program Kebijakan Publik, dan Proses Pengambilan Keputusan Publik, Serta Alasan Pengambilan Suatu Keputusan Publik. Tapi faktanya, mudahkah masyarakat mendapatkannya?”
BERITAKORUPSI.CO –Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama Presiden RI mengeluarkan salah satu Undang-Undang (UU) Tentang Keterbukaan Informasi Pubik, yaitu UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang salah satu tujuannya adalah “menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik
Namun pertanyaannya adalah, mudahkah masyarakat memperoleh informasi publik dari penguasa dalam hal ini pemerintah walaupun yang diminta masyarakat itu adalah adminitrasi tentang pengadaan suatu kegiatan dan bukan tentang rahasia negara ? Atau sebaliknya? Lalu bagaimana denga salah satu tujuan dari dibentuknya UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik ? Apakah Ibarat uangkapan, mudah mengucapkan tapi sulit melaksanakan ?
Padahal, dalam UU RI Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 4 ayat (1) berbunyi : Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang ini
ayat (2) berbunyi : Setiap Orang berhak:
a. melihat dan mengetahui Informasi Publik;
b. menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik;
c. mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang
a. melihat dan mengetahui Informasi Publik;
b. menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik;
c. mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang
ini; dan/atau
d. menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
d. menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Ayat (3) berbunyi : Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan permintaan Informasi Publik
disertai alasan permintaan tersebut.
Ayat (4) berbunyi : Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan gugatan ke pengadilan
apabila dalam memperoleh Informasi Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini.
Nah, akibat informasi inilah, timbul sengketa informasi antara Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan ICW mendesak Komisi Informasi Pusat menerima Permohonan Informasi Pengadaan Gas Air Mata di Kepolisian. Hal ini seperti yang disapaikan ICW dalam Siaran Persnya yang diterima beritakorupsi.co, Kamis, 16 Januari 2025
Dalam siaran Persnya dijelaskan, proses sengketa informasi antara Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belum kunjung menemui titik terang. Sebab, selama proses memperoleh informasi pengadaan gas air mata, sejak dari tahap permohonan informasi hingga memasuki proses ajudikasi, Polri terus bersikeras untuk membuka kontrak pengadaan sebagaimana yang dimintakan oleh ICW.
Sebagai informasi, ICW meminta 25 dokumen pengadaan atas 10 paket pengadaan gas air mata yang dilakukan oleh Polri pada Tahun Anggaran 2022 dan 2023 sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (9) huruf a dan b Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik, beberapa diantaranya yakni yang Kerangka Acuan Kegiatan (KAK), spesifikasi teknis, daftar kuantitas dan harga, dan dokumen kontrak.
Polri kerap berdalih bahwa informasi yang ICW mintakan, jika dibuka, dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 17 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Namun, jika dicermati lebih lanjut, daftar dokumen sebagaimana diuraikan di atas, hanya sebatas dokumen administratif proses pengadaan barang yang dilakukan oleh Polri, bukan berisikan informasi mengenai strategi, intelijen, operasi dan teknik.
Sehingga, bagi ICW, alasan menolak untuk membuka informasi melalui dokumen uji konsekuensi informasi yang dikecualikan di internal Polri jelas mengada-ada dan bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara.
Terlebih, sebagaimana ditegaskan dalam bagian penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU KIP, bahwa suatu informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup harus dilandaskan pada kepentingan publik. Pertanyaan reflektifnya, kepentingan publik seperti apa yang dijadikan dasar bagi Polri untuk menutup informasi mengenai pembelian gas air mata?
Pertanyaan tersebut hingga saat ini belum mampu dijelaskan oleh Polri, sehingga menimbulkan insinuasi di tengah masyarakat, bahwa ada potensi kecurangan dalam proses pengadaan yang sedang berusaha untuk ditutupi.
Sebaliknya, bagi ICW, proses permohonan hingga sengketa informasi ini menjadi sangat krusial dan harus dipandang sebagai bentuk partisipasi publik untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas di instansi kepolisian. Sebab, selain menepis adanya dugaan penyalahgunaan anggaran, dokumen pengadaan gas air mata penting untuk disampaikan kepada publik guna memastikan akuntabilitas dari kebijakan Polri ketika membeli peralatan untuk pengamanan massa, termasuk diantaranya gas air mata.
Apalagi dalam praktiknya selama ini, penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian seringkali tidak sesuai dengan prosedur pengamanan aksi massa sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dan Tindakan Kepolisian.
Ketidakpatuhan terhadap prosedur tersebut kemudian mengakibatkan sejumlah insiden yang sangat serius, salah satunya, saat aparat kepolisian dengan brutal menembakkan gas air mata ke tribun penonton sepak bola di Kanjuruhan, Malang, pada Oktober 2022 lalu. Akibatnya, 135 orang tewas, serta 1.363 orang lainnya mengalami luka-luka.
Selain itu, berdasarkan catatan ICW dan Trend Asia, sepanjang tahun 2015-2022 terdapat setidaknya 144 kejadian penembakan gas air mata yang dilakukan oleh kepolisian ketika melakukan pengamanan terhadap aksi massa. Kondisi inilah yang seharusnya dijadikan sebagai dasar oleh Polri sebagai wujud dari kepentingan publik yang harus dipertimbangan untuk lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan negara yang mereka kelola.
Berdasarkan uraian di atas, maka ICW mendesak agar:
1. Majelis Komisioner pada Komisi Informasi Pusat menerima permohonan dan memerintahkan agar Polri segera membuka dokumen pengadaan gas air mata sebagaimana dimohonkan oleh ICW;
2. Kapolri mencabut hasil uji konsekuensi atas informasi publik yang mencantumkan bahwa dokumen pengadaan untuk seluruh alat pengamanan aksi massa merupakan informasi yang dikecualikan
Sumber : Indonesia Corruption Watch (ICW)
Editor : Jentar S
Nah, akibat informasi inilah, timbul sengketa informasi antara Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan ICW mendesak Komisi Informasi Pusat menerima Permohonan Informasi Pengadaan Gas Air Mata di Kepolisian. Hal ini seperti yang disapaikan ICW dalam Siaran Persnya yang diterima beritakorupsi.co, Kamis, 16 Januari 2025
Dalam siaran Persnya dijelaskan, proses sengketa informasi antara Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belum kunjung menemui titik terang. Sebab, selama proses memperoleh informasi pengadaan gas air mata, sejak dari tahap permohonan informasi hingga memasuki proses ajudikasi, Polri terus bersikeras untuk membuka kontrak pengadaan sebagaimana yang dimintakan oleh ICW.
Sebagai informasi, ICW meminta 25 dokumen pengadaan atas 10 paket pengadaan gas air mata yang dilakukan oleh Polri pada Tahun Anggaran 2022 dan 2023 sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (9) huruf a dan b Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik, beberapa diantaranya yakni yang Kerangka Acuan Kegiatan (KAK), spesifikasi teknis, daftar kuantitas dan harga, dan dokumen kontrak.
Polri kerap berdalih bahwa informasi yang ICW mintakan, jika dibuka, dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 17 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Namun, jika dicermati lebih lanjut, daftar dokumen sebagaimana diuraikan di atas, hanya sebatas dokumen administratif proses pengadaan barang yang dilakukan oleh Polri, bukan berisikan informasi mengenai strategi, intelijen, operasi dan teknik.
Sehingga, bagi ICW, alasan menolak untuk membuka informasi melalui dokumen uji konsekuensi informasi yang dikecualikan di internal Polri jelas mengada-ada dan bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara.
Terlebih, sebagaimana ditegaskan dalam bagian penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU KIP, bahwa suatu informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup harus dilandaskan pada kepentingan publik. Pertanyaan reflektifnya, kepentingan publik seperti apa yang dijadikan dasar bagi Polri untuk menutup informasi mengenai pembelian gas air mata?
Pertanyaan tersebut hingga saat ini belum mampu dijelaskan oleh Polri, sehingga menimbulkan insinuasi di tengah masyarakat, bahwa ada potensi kecurangan dalam proses pengadaan yang sedang berusaha untuk ditutupi.
Sebaliknya, bagi ICW, proses permohonan hingga sengketa informasi ini menjadi sangat krusial dan harus dipandang sebagai bentuk partisipasi publik untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas di instansi kepolisian. Sebab, selain menepis adanya dugaan penyalahgunaan anggaran, dokumen pengadaan gas air mata penting untuk disampaikan kepada publik guna memastikan akuntabilitas dari kebijakan Polri ketika membeli peralatan untuk pengamanan massa, termasuk diantaranya gas air mata.
Apalagi dalam praktiknya selama ini, penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian seringkali tidak sesuai dengan prosedur pengamanan aksi massa sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dan Tindakan Kepolisian.
Ketidakpatuhan terhadap prosedur tersebut kemudian mengakibatkan sejumlah insiden yang sangat serius, salah satunya, saat aparat kepolisian dengan brutal menembakkan gas air mata ke tribun penonton sepak bola di Kanjuruhan, Malang, pada Oktober 2022 lalu. Akibatnya, 135 orang tewas, serta 1.363 orang lainnya mengalami luka-luka.
Selain itu, berdasarkan catatan ICW dan Trend Asia, sepanjang tahun 2015-2022 terdapat setidaknya 144 kejadian penembakan gas air mata yang dilakukan oleh kepolisian ketika melakukan pengamanan terhadap aksi massa. Kondisi inilah yang seharusnya dijadikan sebagai dasar oleh Polri sebagai wujud dari kepentingan publik yang harus dipertimbangan untuk lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan negara yang mereka kelola.
Berdasarkan uraian di atas, maka ICW mendesak agar:
1. Majelis Komisioner pada Komisi Informasi Pusat menerima permohonan dan memerintahkan agar Polri segera membuka dokumen pengadaan gas air mata sebagaimana dimohonkan oleh ICW;
2. Kapolri mencabut hasil uji konsekuensi atas informasi publik yang mencantumkan bahwa dokumen pengadaan untuk seluruh alat pengamanan aksi massa merupakan informasi yang dikecualikan
Sumber : Indonesia Corruption Watch (ICW)
Editor : Jentar S
Posting Komentar
Tulias alamat email :