“Sidang Perkara Dugaan Tindak Pidana KDRT Di Pengadilan Militer III-12 Surabaya Menjadi Perhatian Publik Karena Mungkin Yang Pertama Kalinya Terjadi Pada Saat Agenda Pembacaan Pledoi, Justru Majelis Hakim Merevisi Surat Tuntutan Pidana Dari Oditur Militer Terhadap Terdakwa Yang Sudah Dibacakan Pada Pesidangan Yang Terbuka Untuk Umum. Sahkah Surat Tuntutan Yang Sudah Dibacakan Lalu Direvisi Kembali?”
BERITAKORUPSI.CO –Pada Kamis, 9 Januari 2025, Majelis Hakim Pengadilan Militer (Dilmil) III-12 Surabaya yang diketuai Letkol (CHK) Arif Sudibya, SH., MH dengan dibantu 2 Hakim anggota yaitu Letkol (CHK) Muhammad Saleh, SH dan Letkol (Kum) Wing Eko Joedha H, SH., MH akan membacakan Putusan (Vonis) dalam sidang perkara kasus dugaan Tindak Pidana KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dengan Terdakwa Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra
Nasib Terdakwa Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra, yang diduga melakukan KDRT terhadap istrinya, dr. Maedy Christiyani Bawolje, dan kedua anak tirinya yaitu Christia Sanika Putri Aprilia (24 tahun/10 Mei 2000/Mahasiswa) dan Adisha Satya Putri Aprilia (20 tahun/ 15 Mei 2003/Mahasiswa) pada tanggal 29 April 2024 di Jalan Semolowaru Bahari, Kelurahan Medokan Semampir, Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya, akan ditentukan oleh Tiga Majelis Hakim Pengadilan Militer (Dilmil) III-12 Surabaya, yaitu Letkol (CHK) Arif Sudibya, SH., MH selaku Ketua Majelis, dengan dibantu 2 Hakim anggota yaitu Letkol (CHK) Muhammad Saleh, SH dan Letkol (Kum) Wing Eko Joedha H, SH., MH. Apakah Terdakwa Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra divonis bebas, penjara atau percobaan?
Sementara dalam tuntutan Oditur Militer (Odmil) pada Oditorat Militer III-11 Surabaya Letkol CHK Yadi Mulyadi, Terdakwa dituntut pidana penajara selama 8 (delapan) bulan, dan tuntutan tambahan berupa Restitusi Ganti Rugi sebesar Rp158 juta lebih (Sidang pada Selasa, 19 November 2024)
Sidang perkara dugaan Tindak Pidana KDRT di Pengadilan Militer III-12 Surabaya menjadi perhatian publik khususnya beberapa perwira TNI AL maupun AD, karena mungkin Saksi korban dr. Maedy Christiyani Bawolje adalah anak mantan Komandan Lantamal V Sby Alm. Laksma TNI Ismail Bawilje/Hidayati atau mantan istri AKBP Polisi Hendrik Aswan Aprilianto, SH yang kabarnya satu angkatan dengan petinggi Pom Lantamal
Selain itu, yang paling menarik perhatian publik maupun beberapa perwira TNI AL maupun AD adalah, mungkin untuk pertama kalinya terjadi, Majelis Hakim memerintahkan Oditur Militer untuk merevisi surat tuntutannya yang sudah dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, Selasa, 19 November 2024 dan menetapkan jadwal sidang selanjutnya pada Selasa, 26 November 2024 dengan agenda pembacaan Pledoi.
Ibarat peribahasa “Masak malam, mentah pagi siang. Yang artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah Suatu hal yang telah putus (sudah jadi), tetapi tidak lama kemudian berubah”. Tuntutan yang sudah dibacakan lalu dibatalkan atau direvisi kembali dan dibacakan beberapa minggu kemudian
Beberapa saat setelah Ketua Majelis Hakim membuka sidang dengan agenda pembacaan Pledoi pada Selasa, 26 November 2024, tiba-tiba Saksi Korban dr. Maedy Christiyani Bawolje selaku Pemohon lewat Kuasa Hukumnya menyerahkan surat Pemohonan Restitusi Ganti Rugi Biaya kepada suaminya, Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra selaku Termohon melalui Majelis Hakim
Alasan Majelis Hakim memerintahkan Oditur Militer untuk merevisi surat tuntutannya adalah karena surat Pemohonan Restitusi Ganti Rugi dari Pemohon berdasarkan ayat (10) Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No. 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana “Penuntut Umum wajib mencantumkan permohonan Restitusi dalam tuntutan pidana”.
Sementara Pasal 8 ayat (2) berbunyi : Dalam hal permohanan diajukan melalui penyidik atau LPSK, penyidik atau LPSK menyampaikan berkas permohanan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 kepada Penuntut Umum disertai Keputusan LPSK mengenai besaran nilai Restitusi jika terdapat Keputusan dan pertimbangan LPSK mengenai besaran nilai Restitusi sebelum berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan atau paling lambat sebelum Penuntut Umum membacakan tuntutan pidana.
Dan Pasal 8 ayat (3) berbunyi : Dalam hal permohanan Restitusi diajukan sebelum berkas perkara dilimpahkan, Penuntut Umum wajib memuat permahanan tersebut ke dalam surat dakwaan dan memasukkan berkas permahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam berkas perkara dan segera menyampaikan salinannya kepada terdakwa atau penasihat hukumnya.
Serta Pasal 8 ayat (4) berbunyi : Dalam hal Korban Restitusi dan Korban tidak mengajukan dihadirkan dalam permohanan Persidangan sebagai saksi, Hakim memberitahukan hak Karban untuk memperoleh Restitusi yang dapat diajukan sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan atau setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Pertanyaannya adalah, mengapa Pemohon baru menyampaikan surat permohonan Restitusi Ganti Rugi kepada Pemohon melalui Majelis Hakim setelah selesai tahapan proses persidangan mulai dari pembacaan surat dakwaan, Eksepsi, Replik, Duplik, pemeriksaan saksi-saksi, ahli dan barang bukti, dimana dr. Maedy Christiyani Bawolje selaku Saksi korban/Pelapor sekaligus Pemohon dihadirkan sebagai pada persidangan?
Mengapa Majelis Hakim atau Ketua Majelis Hakim Letkol (CHK) Arif Sudibya, SH., MH tidak menyampaikan hak-hak korban dr. Maedy Christiyani Bawolje dalam perkara KDRT pada saat dihadirkan sebagai pada persidangan?
Apakah Pemohon dan Majelis Hakim baru mengingat tentang adanya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No. 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana?
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah sah sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP), surat tuntutan yang sudah dibacakan dalam persidangan dan kemudian direvisi untuk dibacakan kembali pada persidangan beberapa pekan kemudian?
Terkait revisi surat tuntutan yang sudah dibacakan, tidah terdapat dalam Kapita Selekta Proses Perkara di Pengadilan Militer sebagaimana dikutip dari :
https://dilmil-bandung.go.id/peradilan-militer/, yaitu :
Tuntutan Pidana (Requisitoir) dan Pembelaan (Pledoi) :
1. Tuntutan (Requisitoir), Pledooi dan duplik disiapkan dalam bentuk tertulis.
2. Apabila Hakim Ketua berpendapat bahwa pemeriksan terhadap Terdakwa, Saksi-saksi, barang-barang bukti dan alat-alat bukti lainnya telah selesai maka Hakim Ketua menyatakan pemeriksaan selesai kemudian memberi kesempatan kepada Oditur Penuntut Umum untuk membacakan tuntutannya.
3. Apabila Oditur Penuntut Umum belum siap, sidang ditunda untuk memberikan waktu kepada Oditur Penuntut Umum untuk menyusun tuntutan.
4. Oditur Penuntut Umum membacakan tuntutannya dengan sikap berdiri, kecuali jika Hakim Ketua menentukan lain. Pada waktu Oditur Penuntut Umum membacakan tuntutannya Terdakwa berdiri dengan sikap sempurna, Terdakwa berdiri dengan sikap sempurna menghadap Hakim Ketua. Setelah selesai membacakan tuntutan Oditur Penuntut Umum menyerahkan kepada Hakim Ketua, Terdakwa atau Penasihat Hukumnya masing-masing satu eksemplar.
5. Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada Terdakwa dan atau Penasihat Hukum untuk menanggapi tuntutan Oditur. Pembelaan dapat dibacakan oleh Terdakwa dan Penasihat Hukum secara sendiri-sendiri atau hanya oleh Penasihat Hukum saja. Setelah selesai dibacakan naskah pembelaan (Pledooi) diserahkan kepada Hakim Ketua dan Oditur Penuntut Umum masing-masing satu eksemplar, pembacaan pledooi dibacakan dengan sikap berdiri, apabila dibacakan oleh Terdakwa ia berdiri di sebelah kanan kursi Penasihat Hukum.
6. Terhadap pembelaan dari Terdakwa dan atau Penasihat Hukum, Oditur Penuntut Umum dapat mengajukan jawaban (replik) selanjutnya Terdakwa atau Penasihat Hukum dapat me-ngajukan duplik.
7. Dalam hal mengajukan pidana berdasarkan asas kesatuan penuntutan terutama mengenai perkara berat, seyogianya Oditur Penuntut Umum mengadakan konsultasi dengan Kabaotmil atau Orjen TNI sebelum tuntutan dalam sidang. Selain itu, juga tidak terdapat dalam Pedoman Teknis Administrasi dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Militer sebagaimana dikutip dari : https://www.dilmiltama.go.id/home/images/stories/dilmiltama/pdf/juknisadmmilatrium.pdf, yaitu ;
Padahal, dalam Pedoman Teknis Administrasi dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Militer sudah diatur, yaitu ;
3. Persidangan
a. Acara Pemeriksaan Biasa
6) Dalam hal suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan menimbulkan kerugian bagi orang lain, orang yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penggabungan pemeriksaan perkara gugatan ganti rugi pada perkara pidana.
7) Penggabungan pemeriksaan perkara gugatan ganti rugi pada pemeriksaan perkara pidana dapat dilakukan paling lambat sebelum Oditur mengajukan Tuntutan.
8) Atas pengajuan permohonan penggabungan perkara ganti rugi tersebut Hakim Ketua mengeluarkan Penetapan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Rugi (Formulir Model : 10). Hal ini sebagaimana dilansir dari:
https://www.dilmiltama.go.id/home/images/stories/dilmiltama/pdf/juknisadmmilatrium.pdf Andai saja Persidangan ini tidak tertunda sebanyak beberapa kali dengan adanya Surat Permohonan Restitusi Ganti Rugi, bisa jadi sidang perkara tersendiri ini sudah putus (Vonis) pada akhir November atau awal Desember 2024, dan Perkara Permohonan Restitusi Ganti Rugi disidangkan setelah putusan inckrah atau berkekuatan hukum tetap sebagaimana dalam Pasal 8 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. (Jnt)